Menyalahkan Buruh: PHK Massal dan Masalah Ketenagakerjaan Indonesia
Pada awal tahun 2016, media mainstream ramai memberitakan bahwa terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran pada perusahaan multinasional di Indonesia. Ribuan buruh di sektor industri padat modal (capital intensive) mulai di-PHK dan puluhan ribu buruh lainnya berpotensi di-PHK, bahkan ribuan buruh di sektor padat karya pun sudah ter-PHK. Menurut konferensi pers dari Said Iqbal (Presiden KSPI) ada sekitar 2.500 buruh yang akan di-PHK pada tahun 2016 ini, setelah sebelumnya PT Samoin telah mem-PHK 1.200 buruhnya, dan juga PT Starlink yang me-PHK 500 buruh. Selain itu menurut Said Iqbal perusahaan yang lain sudah pasti melakukan PHK ribuan buruh pada Januari-Maret 2016 ini adalah PT Panasonic (ada dua pabrik di Cikarang-Bekasi dan Pasuruan), PT Toshiba, PT Jaba garmindo (tekstil), PT Ford Indonesia, PT Chevron Pacific Indonesia. Puluhan perusahaan yang bergerak dalam industri motor dan mobil seperti PT Yamaha dan PT Astra Honda Motor, dan PT Hino. Perusahaan komponen motor dan mobil seperti PT Astra Komponen, PT AWP, PT Aishin, PT Mushashi, dan PT Sunstar juga melakukan PHK.
Media mainstream memberitakan bahwa penyebab utama PHK masal adalah buruh yang selalu meminta kenaikan upah. Wakil Sekretaris Umum Apindo, Aditya Warman mengatakan, permasalahan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi pada PT Panasonic dan PT Toshiba, di Kawasan Industri East Jakarta Industrial Park (EJIP) terjadi karena dua hal yakni employee cost dan alih teknologi mesin di perusahaan. Apakah diskursus yang dibangun media mainstream dan informasi banyak diterima oleh masyarakat itu benar? Mengapa buruh selalu menjadi kambing hitam dalam gejolak perekonomian? Apa sebenarnya yang menyebabkan gelombang PHK masal di Indonesia terjadi ? Apa permasalahan dalam ketenagakerjaan Indonesia sampai sekarang? Bagaimana gerakan buruh bersikap terhadap gelombang PHK massal ini? Pertanyaan-pertanyaan telah didiskusikan MAP Corner-Klub MKP pada hari Selasa 16 Februari 2016 bersama pemantik diskusi Hempri Suyatna (Dosen Fisipol UGM) dan Sultoni (Sentral Gerakan Buruh Nasional).
Penyebab Gelombang PHK Masal di Indonesia
Untuk melihat penyebab banyak perusahaan di Indonesia yang melakukan PHK, tidak bisa dilepaskan dari kondisi perekonomian global. Kelesuan ekonomi tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Ekonomi dunia secara makro mengalami pelemahan. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, mengatakan perekonomian global berisiko terus melemah. Pada pasar komoditas, harga minyak mentah dunia diperkirakan cenderung menurun, akibat meningkatnya suplai dan melemahnya permintaan. Di Indonesia sendiri masih mengandalkan investasi asing, sehingga jika terjadi gejolak ekonomi global berakibat besar pada ekonomi dalam negeri. Bisa dilihat perusahaan yang banyak melakukan PHK adalah sector industri padat modal (capital intensive). Perusahaan migas misalnya, karena penurunan harga minyak dunia menyebabkan perusahaan melakukan PHK. Hal itu tidak terjadi di Indonesia saja, sekitar 150 perusahaan minyak dan gas bumi global terancam gulung tikar.
Perusahaan yang bergerak dalam industri elektronik, motor dan mobil yang mengalami pelemahan (berakibat pada PHK) rata-rata adalah perusahaan dari Jepang dan Korea. Apabila dilihat data empiris maka lemahnya perusahaan besar itu tidak terlepas dari hukum persaingan. Pasar Indonesia beberapa tahun terakhir diserbu oleh barang dari Cina. Barang-barang elektronik dan otomotif buatan Cina dijual dipasaran dengan harga yang terjangkau bagi kelas menengah kebawah. Dengan daya beli yang masih rendah masyarakat beralih menggunakan barang-barang dari Cina. Kalah dalam memainkan harga dan segmen pasar membuat perusahaan Jepang dan Korea melemah. Rendahnya daya beli masyarakat Indonesia juga tidak terlepas dari rendahnya Upah Minimum yang diterima buruh. Upah yang rendah mengakibatkan daya konsumsi rendah.
Penjualan rendah menyebabkan perusahaan mendapat keuntungan sedikit. Harga minyak yang tidak kunjung naik mengharuskan perusahaan meminimalisir biaya produksi. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan perusahaan untuk penghematan biaya. Mencari bahan atau komponen yang lebih murah, mengganti tenaga manusia dengan mesin, relokasi tempat industri, menurunkan upah buruh, dan mengurangi jumlah buruh. Dari alternatif-alternatif tersebut yang paling memungkinkan dan mudah dilakukan (high feasibility) adalah mengurangi jumlah buruh. Buruh selalu menjadi korban dari melemahnya perusahaan. Sultoni dan Hempri dalam diskusi menyampaikan penyebab buruh selalu menjadi korban dari gejolak ekonomi adalah sejak Orde Baru buruh dianggap sebagai sekedar alat produksi. Posisi buruh hanya sebagai objek, tidak dijadikan sebagai subjek dalam relasi produksi. Dalam ilmu ekonomi mainstream yang diajarkan dalam pendidikan Indonesia pun buruh dianggap sebagai modal (human capital). Implikasinya apabila perusahaan mengalami penurunan keuntungan maka faktor produksi yang mudah untuk dimanipulasi adalah buruh (bisa dengan PHK maupun kebijakan upah murah).
Framing Media dan Buruh
Pemutusan hubungan kerja sejatinya merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan Sultoni menyampaikan data yang dihimpun oleh SGBN mulai dari tahun 2013 sampai 2016 angka PHK tetap besar. Bahkan pada tahun 2012 -2013 buruh yang di PHK lebih besar daripada yang terjadi dewasa ini. Menurut Sultoni buruh yang di-PHK sebagian besar adalah buruh yang berserikat. Buruh yang sadar berserikat dianggap sebagai ancaman stabilitas hubungan industrial. Berita di media yang menggiring opini seakan-akan PHK disebabkan oleh buruh yang sering melakukan aksi demo menutut upah naik, menurut Sultoni merupakan “serangan balik” akibat aksi mogok nasional. Aksi mogok nasional pada tanggal 24 November – 27 November 2015 yang menuntut pencabutan PP.78/2015 tentang pengupahan berhasil membuat pemilik modal kawatir akan kekuatan buruh. Menggunakan hegemoni media pemilik modal berusaha menahan radikalisasi gerakan buruh dengan menggiring opini masyarakat bahwa PHK masal disebabkan oleh tuntutan kenaikan upah buruh dan demo buruh.
Data yang disampaikan Hempri, upah minimum di Indonesia masih amat rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Di kawasan ASEAN upah minimum Indonesia berada di urutan nomor 8. Bahkan upah minimum Indonesia berada dibawah Vietnam. Lebih parahnya lagi, data menurut World Bank (2015) sekitar separuh buruh di Indonesia upahnya masih dibawah upah minimum. Ketentuan upah minimum yang diatur hukum tidak otomatis dilaksanakan di lapangan. Dengan kata lain, di banyak daerah, meski buruh di atas kertas mendapat angka upah minimum sesuai kondisi daerah masing-masing, tapi itu tidak selalu berarti mereka benar-benar memperoleh tingkat upah dimaksud. Dalam banyak kasus, pengusaha meminta penangguhan upah yang membuat buruh tetap dibayar dibawah ketentuan upah minimum. Masihkan kita begitu mudah percaya terhadap pemberitaan media mainstream terhadap buruh? Isu hengkangnya perusahaan mobil Ford dari Indonesia juga bisa menjadi contoh lain. Jika dianalisa lebih jauh, kita bisa bertanya: jika Ford saja tidak memiliki pabrik di Indonesia, yang ada hanyalah kantor pemasaran, bagaimana bisa diberitakan bahwa Ford hengkang dari Indonesia?
Permasalahan Ketenagakerjaan
Demi mengejar target pertumbuhan ekonomi, negara berlomba-lomba meningkatkan investor dari dalam maupun luar negeri. Salah satu daya tarik yang ditawarkan pemerintah adalah hubungan industrial yang harmonis. Buruh murah dan mudah diatur adalah tawaran pemerintah untuk memanjakan investor yang datang ke Indonesia. Dikeluarkannya UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan merupakan manifestasi untuk menjamin buruh murah. Kebijakan tersebut melegitimasi bahwa pemerintah Indonesia semakin liberal. Dalam UU No.13/2003 terdapat kebijakan yang menimbulkan banyak polemik yaitu kebijakan tentang tenaga kontrak dan outsourcing. Buruh kontrak dan outsourcing tidak mempunyai jaminan masa depan yang jelas. Kebijakan buruh kontrak juga menyebabkan bargaining position dari buruh menjadi rendah. Posisi tawar buruh yang rendah membuat perusahaan bisa mengatur buruhnya dengan leluasa. Bahkan BUMN pun banyak yang menggunakan tenaga kerja kontrak. Hubungan kerja kontrak yang singkat menjadikan buruh kurang mempunyai kesadaran pentingnya berserikat. Kondisi buruh yang terpecah-pecah dan tidak bisa mendesakkan kepentingannya sebagai kelompok (Hadiz, 1998; 2002, Tornquist, 2004). Buruh tidak memiliki rasa kebersamaan sebagai kelompok dan buruh seringkali justru lebih memperhatikan gaya hidup konsumtifnya sendiri (Warrouw, 2005). Jika ada buruh kontrak yang berserikat dan sadar akan perjuangan kelas bisa dengan mudah di PHK atau tidak diperpanjang kontrak kerjanya. Sistem kerja kontrak juga berhubungan dengan isu PHK masal dewasa ini.
Menurut Sultoni, mayoritas buruh yang di-PHK adalah buruh yang berserikat dan pernah ikut aksi perjuangan kelas. Apakah benar PHK yang dilakukan perusahaan-perusahaan belakangan ini hanya untuk mengatasi krisis dalam tubuh perusahaan tersebut? Logikanya adalah jika untuk menghemat biaya produksi maka jika perusahaan mem-PHK buruh dengan jumlah X maka perusahaan tidak akan merekrut buruh baru dengan jumlah X. Akan tetapi menurut Sultoni, banyak perusahaan yang mem-PHK atau memutus kontrak ribuan buruh, tapi dalam waktu singkat (dalam hitungan bulan) kembali merekrut ribuan buruh baru. Sultoni mencontohkan pada tahun 2007 PT Karang Murni melakukan “cuci gudang” (pemutihan) buruh yang dianggap kurang produktif dengan melakukan PHK ribuan buruh, setelah selang beberapa waktu kembali merekrut buruh baru yang lebih muda dan segar.
Selain masalah buruh kontrak, buruh informal menjadi PR tersendiri bagi ketenagakerjaan di Indonesia. Data International Labor Organization (ILO) di tahun 2013 menyebutkan 63% dari total buruh merupakan buruh informal (informal proletariat). Buruh informal yang dimaksud contohnya adalah buruh UMKM, pekerja freelance, dan termasuk pembantu rumah tangga (PRT). Regulasi ketenagakerajaan belum mengakomodasi dan mengatur jaminan perlindungan terhadap informal proletariat. Gerakan buruh sampai saat ini juga belum menggandeng dan mengakomodasi buruh-buruh informal. Hempri memberikan masukan kepada serikat pekerja untuk mulai mengakomodasi informal proletariat. Dari fakta empiris yang telah dijabarkan diatas pemerintah tidak melakukan intervensi untuk meningkatkan kesejahteraan kaum buruh. Hubungan industrial diserahkan kepada pasar. Pemerintahan yang dengan kebijakan-kebijakan neoliberalnya menjadikan buruh tidak sejahtera. Jaminan sosial yang ditawarkan pemerintah hanya sebagai ilusi. Bahkan Sultoni mengatakan bahwa jaminan sosial dari pemerintah hanya omong kosong belaka. Sistem yang diberlakukan pada jaminanan sosial sama seperti asuranasi swasta. Apabila pemerintah benar-benar ingin mensejahterakan buruh seharusnya mulai membangun industri nasional yang digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Hempri menyatakan pemerintah seharusnya mengintervensi perusahaan dengan membawa kepentingan buruh. Program Kemenakertrans yang mengantisipasi buruh korban PHK dengan pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan memberikan pelatihan kerja hanya solusi permukaan belaka. Program tersebut tidak menyelesaikan masalah yang mendasar. Malah bisa digunakan untuk melegitimasi perusahaan untuk mem-PHK buruh dengan rasionalisasi program preventif tersebut.
Sikap Gerakan Buruh
Pada masa pasca Orde Baru, politik jalanan (aksi demo buruh) merupakan strategi yang efektif untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah (Juliawan, 2011). Kita dapat melihat efektivitas dari politik jalanan buruh misalnya pada aksi ribuan buruh pada Mei dan Juni 2001 di berbagai daerah yang menuntut pemberlakuan kembali KepMen Tenaga Kerja No 150/2000, aksi ribuan buruh di bulan April dan Mei 2006 dalam demo besar-besaran menolak revisi UU No/13/2003. Kita juga harus menengok aksi buruh baru-baru ini yang menghebohkan: ‘grebek pabrik’ di Bekasi dan sekitarnya pada medium 2012. Aksi jalanan yang berhasil memaksa ratusan pabrik mengangkat puluhan ribu buruh kontrak dan outsourcing itu menjadi buruh tetap. Penyadaran kepada buruh terhadap pentingnya berserikat dan belajar perjuangan kelas penting bagi masadepan gerakan buruh. Hempri menyatakan penyadaran kepada buruh bisa dilakukan misalnya dengan mendirikan sekolah buruh.
Permasalahan banyaknya buruh informal yang tidak terorganisir juga harus segera disikapi oleh serikat buruh. Menurut Sultoni gerakan buruh harus keluar dari isu sektarian. Gerakan buruh perlu bersolidaritas seluas-luasnya pada sektor lain yang sama-sama memperjuangkan kelas tertindas. Untuk memperkuat gerakan agar bisa mempengaruhi kebijakan yang tidak pro terhadap buruh diperlukan kendaraan politik. Hempri mengatakan bahwa partai kiri sudah tidak banyak muncul, untuk itu serikat buruh bisa mengadvokasi kepentingan dengan bergabung dengan partai yang ada dan bertarung pada ranah politik. Penulis tidak sepakat dengan solusi pragmatis tersebut. Untuk dapat mengkoordinir dan memperjuangkan kelas tertindas, buruh harus membentuk partai dengan landasan ideologi yang jelas. Senada dengan statement tersebut Sultoni mengatakan bahwa buruh perlu membangun partai sendiri karena partai yang ada, sepanjang sejarah memang sudah tidak bisa diharapkan. Nasib buruh dan kelas tertindas lain tidak bisa dititipkan kepada kelas penguasa. Pembangunan partai revolusioner yang memperjuangkan kelas tertindas nampak merupakan opsi paling masuk akal. Seperti kata Bung Karno :
“Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu : “Innallahu la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim”. ”Tuhan tidak merobah nasib kaum “buruh” sebelum kaum itu merobah nasibnya sendiri”.