Mencermati Pertarungan Penyusunan RUU Pemilu
Agenda akbar pemilu lima tahunan yang akan diselenggarakan 2014 nanti sudah menimbulkan riak-riak politis. Hingga akhir Maret 2012, DPR belum punya kata sepakat terkait RUU Pemilu. Sistem pemilu, ambang batas parlemen (parliamentary threshold), alokasi kursi di daerah pemilihan, dan metode penghitungan dan pengkorversian suara menjadi kursi di DPR menelan banyak energi negosiasi politik. Sistem pemilu sebagai sebuah misal, Fraksi PDIP, PKS, dan PKB melihat sistem proporsional tertutup ideal untuk diterapkan pada pemilu 2014. Namun, Fraksi PD bersama beberapa fraksi lainnya justru ingin mempertahankan sistem proporsional terbuka seperti yang sudah dipraktekan pada pemilu 2009 lalu. Kabar terakhir, mekanisme voting kemungkinan besar terpaksa ditempuh demi mendamaikan perbedaan tersebut.
Kondisi ini mendorong MAP Corner-Klub MKP mengadakan diskusi santai pada 27 Maret lalu. Bertema RUU Pemilu, Bayu Dardias Kurniadi yang juga staf pengajar JPP FISIPOL UGM mencoba membuka wawasan peserta terkait isu pemilu. “Pemilu pada dasarnya adalah setumpuk hal ihwal teknis yang berusaha untuk mentransfer suara pemilih menjadi kursi..”, demikian kalimat pembuka pada makalah penghantar diskusi Bayu. Tersirat makna, pemilu sejatinya persoalan teknis yang karenanya sederhana. Tetapi, karena bertumpuk dan berkaitan dengan kekuasaan, maka pemilu berubah menjadi rumit.
Sejak sepuluh tahun lalu Bayu sudah mengamati isu pemilu di Indonesia. Keterlibatannya di dalam tim pembuatan RUU Pemilu FISIPOL UGM dan HUKUM UGM membuatnya leluasa mengamati dinamika pemilu di Indonesia. Kesimpulan akhir, persoalan pemilu sejak sepuluh tahun terakhir tidak berubah. Bahkan, sepuluh tahun ke depan akan tetap sama. Pemilu di Indonesia, menurut Bayu, tidak akan melenceng dari persoalan perubahan rutin lima tahun, electoral formula, district magnitude, ballot structure, sebaran penduduk dan kondisi geografis, threshold, dan judicial power.
Isu-isu Pemilu Indonesia
Prediket sebagai sebuah negara yang masih mencari bentuk terbaik demokrasi akan sesuai jika diberikan kepada Indonesia. Sejak reformasi dimulai, Indonesia melakukan perubahan regulasi mendasar terhadap struktur dan sistem pemilu setiap lima tahun sekali. Regulasi mendasar yang dimaksud ialah mengenai partai politik, pemilu legislatif dan eksekutif, susunan dan kedudukan DPR/D serta MPR. Diantara regulasi-regulasi ini, RUU pemilu legislatif memakan energi yang sangat besar. Itu disebabkan adanya kaitan erat antara kualitas legislatif dengan kualitas pembangunan lima tahun kedepan.
Contoh yang menunjukkan bagaimana seringnya sistem pemilu berubah adalah penggunaan sistem pemilu pada pemilihan legislatif. Pada pemilu 1999, sistem yang digunakan adalah proporsional tertutup. Kemudian bergeser ke sistem semi terbuka pada pemilu 2004, dan berubah lagi menjadi proporsional terbuka pada pemilu 2009. Perubahan kondisi sosiopolitik selama lima tahun rupa-rupanya menciptakan keinginan untuk mencermati bahkan mengubah sistem politik yang ada.
Electoral formula menjadi isu kedua yang selalu muncul lima tahunan. Secara sederhana, electoral formula berkaitan dengan cara mengonversi jumlah suara yang didapat parpol ketika pemilu menjadi jumlah kursi di DPR. Isu ini memiliki sisi krusial yang membuat semua parpol merasa penting untuk mengawal peregulasiannya. Kekrusialan itu terlihat jelas ketika ada ketidaksesuaian antara persentase suara yang didapat ketika pemilu dengan jumlah kursi di DPR. Beberapa parpol mengalami peningkatan, sedangkan lainnya justru mengalami pengurangan. Seperti yang terjadi pada pemilu 2009, Partai Demokrat yang memperoleh 20,85% suara ketika pemilu nyatanya ‘berhasil’ mendapatkan 26,79% kursi di DPR. Nasib yang sebaliknya dialami Partai Hanura. Sebanyak 3,77% suara yang berhasil dikumpulkan saat pemilu ternyata susut menjadi 3.21% kursi di DPR (Kompas, 25/7/2009).
Pada isu district magnitude, perdebatan terjadi antara partai kecil dan partai besar. District magnitude merupakan istilah untuk menggambarkan jumlah kursi yang dimiliki tiap daerah pemilihan. Partai-partai kecil cenderung memperbesar jumlah kursi, namun sebaliknya bagi partai-partai besar. Logika politiknya, jika jumlah kursi di sebuah daerah pemilihan besar, maka partai kecil berpeluang untuk mendapatkan kursi meski dengan jumlah sedikit. Tetapi sebaliknya, jika jumlah kursi disebuah daerah pemilihan kecil, maka peluang partai kecil untuk mendapatkan kursi sangat sempit. Partai yang memiliki kursi di DPR hanyalah partai-partai besar. Sebab itu, sudah semestinya jika partai kecil dan partai besar memiliki tuntutan yang saling berlawanan. Partai-partai kecil cenderung mempertahankan peluangnya untuk mendudukan wakil di DPR, sedangkan partai-partai besar berusaha menutup peluang partai-partai kecil mendudukan wakilnya di DPR.
“Logika politiknya, jika jumlah kursi di sebuah daerah pemilihan besar, maka partai kecil berpeluang untuk mendapatkan kursi meski dengan jumlah sedikit. Tetapi sebaliknya, jika jumlah kursi disebuah daerah pemilihan kecil, maka peluang partai kecil untuk mendapatkan kursi sangat sempit”
Ballot structure merupakan isu selanjutnya yang selalu muncul setiap periode pemilu. Ini merupakan istilah yang berkaitan erat dengan cara rakyat mengekspresikan pilihannya. Pada pemilu 2004 dan 2009, rakyat dapat memilih dua kali, yaitu memilih partai dan kandidat. Ini berbeda dengan tahun 1999 yang hanya memilih partai. Pola pengekspresian pilihan pada pemilu 1999 memutuskan kandidat yang nantinya terpilih sebagai anggota DPR ialah sesuai dengan urutan kandidat yang dibuat oleh partai. Artinya, partai memiliki kewenangan untuk memprioritaskan kandidat sesuai dengan kehendaknya. Perbedaan ini menimbulkan implikasi tertentu. Pola pemilu 2004 dan 2009 membuat kandidat yang terpilih dekat dan dikenal rakyat, namun berpotensi tidak loyal kepada partai. Kandidat merasa bahwa partai hanyalah kendaraan politik, sedangkan yang menentukan dirinya terpilih atau tidak adalah popularitasnya di mata rakyat. Sebaliknya, pola pemilu 1999 melahirkan kandidat yang tidak dekat dan dikenal rakyat, namun loyal kepada partai. Kandidat yang terpilih merasa bahwa partai adalah penentu utama dirinya menjadi anggota DPR atau tidak, sedangkan rakyat seolah tidak memiliki hubungan langsung kepada dirinya.
Sebaran penduduk dan geografis memunculkan persoalan tersendiri bagi pemilu. Bagi Bayu sendiri, variabel ini lahir dari kekhususan yang dimiliki Indonesia, karena itu belum tentu dapat ditemukan di negara lainnya. Persoalan ini bermula dari ketidakmerataan penyebaran penduduk Indonesia. Berkaca pada data BPS tahun 2010, Pulau Jawa seluas 6,8% ditinggali oleh 57,5% penduduk. Di sisi lain, sebagai misal, Pulau Papua seluas 21,8% dihuni oleh 1,5% penduduk. Dengan menggunakan sistem proporsional dimana jumlah kursi sesuai dengan jumlah suara yang didapat saat pemilu, maka sebagian besar jumlah kursi DPR berasal dari daerah pemilihan di Pulau Jawa. Hal ini bagi daerah damai tidak soal, namun menjadi soal besar bagi daerah konflik. Kondisi geopolitik seperti demikian membuat Papua merasa semakin dikucilkan sehingga gerakan separatis meningkat. Jalan keluar yang diambil pemerintah ialah dengan menambah jumah kursi dari Pulau Papua dari 7 menjadi 10 kursi. Kebijakan ini menimbulkan konsekuensi tersendiri. Jika diperbandingkan, maka 1 suara rakyat papua sama nilainya dengan 6 suara di Pulau Jawa. Atau dengan pengertian lain, ada ketidaksetaraan nilai suara antar rakyat. Hal ini melenceng dari kebakuan prinsip pemilu di mana semua rakyat memiliki nilai suara yang setara. Walau demikian, kebijakan ini amat berguna dalam meredam separatisme Papua.
Isu lima tahunan berikutnya ialah threshold. Threshold bermakna batasan minimal yang harus dilewati sebuah partai jika ingin mendudukan wakilnya di DPR atau mengikuti pemilu periode selanjutnya. Ada dua jenis threshold, yakni electoral threshold dan parliamentary threshold. Partai yang tidak mampu melewati electoral threshold tidak diperkenankan untuk mengikuti pemilu selanjutnya. Di Indonesia, electoral threshold sudah pernah digunakan pada tahun 1999 dan 2004. Ada banyak partai berperolehan suara kecil yang tidak dapat mengikuti pemilu pada periode selanjutnya. Tetapi, parpol di Indonesia menunjukkan kreatifitasnya dengan mengganti nama partai. Dengan nama baru, partai yang tidak lolos electoral threshold memiliki hak untuk menjadi kontestan di pemilu selanjutnya. Belajar dari pengalaman ini, maka pemilu 2009 silam memilih untuk mengganti skema electoral threshold dengan parliamentary threshold. Dengan sistem yang baru, setiap partai memiliki hak untuk tetap berkontestasi pada pemilu selanjutnya. Namun begitu, partai yang tidak berhasil melewati angka parliamentary threshold tidak bisa mendudukan wakilnya di DPR.
“Tetapi, parpol di Indonesia menunjukkan kreatifitasnya dengan mengganti nama partai. Dengan nama baru, partai yang tidak lolos electoral threshold memiliki hak untuk menjadi kontestan di pemilu selanjutnya. Belajar dari pengalaman ini, maka pemilu 2009 silam memilih untuk mengganti skema electoral threshold dengan parliamentary threshold”
Terakhir, isu yang selalu muncul lima tahunan ialah terkait judicial power. Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga judicial power yang memiliki kuasa veto sangat besar. Pada tahun 2009, MK menghapus sekelompok pasal tentang electoral formula. Akibatnya, sistem pemilu proporsional semi-terbuka beralih menjadi sistem pemilu proporsional terbuka. Akibat lanjutan dari keputusan ini tidak kecil. Terjadi kekacauan perpolitikan. Kandidat jauh lebih penting dibanding parpol. Ada kecenderungan dimana kandidat tidak loyal kepada parpol karena keterpilihanya ditentukan langsung oleh rakyat, bukan parpol. Selain itu, kekacauan perpolitikan lainnya juga ditunjukkan saat parpol berbondong-bondong berburu artis.
Mengawal Isu-Isu Pemilu
Meski dirasa membosankan, namun perubahan RUU pemilu lima tahunan sudah seharusnya tetap dikawal. Setidaknya ini didukung oleh dua alasan. Pertama, pemilu sangat penting karena menjadi indikator tingkat demokrasi sebuah negara. Dengan mengutip Diamond dan Larry (2005), Bayu menyebutkan bahwa ada empat ciri negara demokratis. Keempat ciri itu ialah adanya hak memilih bagi orang dewasa secara menyeluruh, pemilu jujur dan adil, jumlah partai lebih dari satu, dan terakhir terdapat sumber berita alternatif. Tampak dari pendapat tersebut, tiga dari empat ciri negara demokratis berkaitan dengan pemilu. Selain itu, pemilu menjamin adanya rotasi kepemimpinan yang menjadi pembeda antara negara beridiologi demokratis dengan negara beridiologi lainnya, seperti oligarki dan otoriter.
Kedua, isu lima tahunan yang selalu berulang merupakan hal yang sangat wajar. Tidak ada sistem pemilu yang memiliki kebenaran universal. Tidak satu sistem pemilu pun yang ideal dan bisa diterapkan diseluruh negara. Karena pada dasarnya, sistem pemilu mengikuti kebutuhan masing-masing negara. Bisa saja terjadi, sistem pemilu yang dirasa ideal oleh sebuah negara pada suatu waktu, lalu berubah menjadi tidak ideal diwaktu lain sehingga mendesak untuk melakukan perubahan. Sebagaimana yang ditulis Bayu di dalam makalahnya,
“..Jadi sistem pemilu ini selalu unik dan bangsa yang bersangkutanlah yang meraciknya. Tidak ada resep universal..”.
Jika dihubungkan dengan kondisi terkini, dimana riak-riak politis pemilu 2014 sudah dirasakan, maka pesan yang hendak disampaikan Bayu sebetulnya jelas. Riak-riak politis yang muncul beberapa waktu belakangan ini sudah sesuai dengan kelaziman. Dinamika politik dalam menyongsong pemilu merupakan konsekuensi logis dari rumit dan strategisnya pemilu. Untuk itu, tidak perlu berlebihan dalam merespon kondisi ini. Hal terpenting yang perlu dilakukan ialah dengan memastikan bahwa UU pemilu yang akan digunakan pada 2014 nanti sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Indonesia.
Oleh: Yuli Isnadi