Mempersoalkan ‘Kelas Menengah’ Baru Indonesia
Istilah ‘Kelas menengah’, dengan segala problematika yang melekat padanya, kembali memperoleh perhatian luas di Indonesia. Kompas, harian terkemuka di Indonesia sejak tahun lalu sering memberitakan fenomena kelas menengah. Berita biasanya bersemangat optimistis. ‘Kelas menengah baru’ telah muncul di Indonesia, dalam jumlah yang cukup spektakuler. Pada gilirannya, perkembangan ini dianggap sebagai pertanda kesejahteraan yang meningkat dan positif bagi proses konsolidasi demokrasi Indonesia. Puncaknya, minggu lalu, majalah Tempo juga menyoroti fenomena ini. Meski agak ragu-ragu, Tempo akhirnya memilih untuk tidak menggunakan istilah ‘Kelas Menengah’. Mereka berargumen, untuk alasan praktis, ‘Kelas Menengah’ yang masih sangat bisa diperdebatkan itu dihindari. Tempo lebih memilih istilah ‘Kelas Konsumen Baru’.
Meskipun Kompas dan Tempo nampak berbeda dalam penggunaan istilah, keduanya memiliki semangat yang kurang lebih sama. Kelas menengah ditempatkan sebagai gambaran angka yang statis. Kedua media hanya membicarakan jumlah, ciri-ciri yang diambil begitu saja dari World Bank, dan baru sedikit menyinggung peran kelas menengah di berbagai arena kehidupan. Tidak ada gambaran tentang relasi antara kelas menengah dengan kelas atasnya ataupun kelas di bawahnya. Bahkan, apa yang digambarkan sebagai peran kelas menengah juga masih berbalut romantisme kelas menengah pada jaman Revolusi Prancis. Kelas menengah dianggap sebagai kelas yang berbudi luhur, penganjur demokrasi dan suka berpihak pada kelas bawah. Padahal sebagaimana disampaikan Gouldner, borjuis Eropa adalah penjilat kelas atas sebelum mereka mampu menggulingkan kekuasaan.
Dari kedua posisi mengenai ‘kelas menengah’ ini, siapa sebenarnya mereka itu? Darimana dan kapan istilah ‘kelas menengah’ mulai muncul? Pertanyaan yang lebih penting: bagaimana sebenarnya peran ekonomi politik mereka? Dalam kondisi apa mereka akan menjilat kelas atas? Dalam kondisi apa pula mereka akan memihak kelas bawah? Kapan mereka pro perubahan dan kapan mereka pro status quo? Apa instrument yang mereka gunakan? Bersama Eric Hiariej (Dosen Fisipol UGM), pertanyaan-pertanyaan ini yang coba dijawab pada kesempatan diskusi MAP Corner-Klub MKP, selasa 6 Maret 2012.
Apa sih [spesies] kelas menengah?
Toh, pengikut Marxism tak pernah menganggap kelas menengah sebagai sebuah kelas—justru dianggap kelas banci. Pengantar Eric Hiariej dimulai dari “apa yang disebut kelas menengah” akan selalu merujuk pada perdebatan dua pemikiran. Pertama, pemikiran Marx. Marx menggunakan dasar hubungan faktor produksi sebagai pembeda kelas, makanya Marx hanya percaya dua kelas yang saling bertentangan, yakni borjuis/capital atau kaum pemilik modal dan kaum buruh atau proletar/working class. Dalam kaca mata Marx, tidak ada kelas yang berada di antara kedua kelas tersebut. Kelas menengah sama dengan kelas banci ini dalam pengertian “plin-plan”; jika kepentingannya terpenuhi dengan mendekati capitalist class maka kelompok ini menjadi capitalist class, atau jika kepentingannya lebih dekat dengan kelas proletar maka kelas ini menjadi kelas proletar. Pada masa itu, teorisasi Marx tidak menaruh perhatian khusus terhadap pertumbuhan kelas menengah. Ternyata dalam perkembangan selanjutnya—bahkan setelah satu abad Marx—pertumbuhan kelas menengah sedemikian cepat dan besar. Awal abad 20 Eropa memunculkan banyak teoritisi Marxism baru mengenai studi kelas menengah. Nicos Poulantzas mengenalkan New petty bourgeoisie (kelas menengah saat ini) yang dibedakan dari kelas pekerja dengan cara pembayarannya. Jika kelas pekerja dibayar dengan upah, sedangkan new petty bourgeoisie dibayar berdasarkan prosentase profit. Sederhananya white-collar merepresentasikan new petty bourgeoisie dan blue-collar merepresentasikan kelas pekerja. Teorisasi ini cukup lama digunakan.
Selanjutnya pemikiran kedua yaitu pemikiran Weber. Kelas menengah tidak harus diukur melalui cara kepemilikan faktor produksi—justru Weber menggunakan cara berpikir BPS (Badan Pusat Statistik, red). Ukuran yang digunakan bisa merupakan gabungan pendapatan, pendidikan, status sosial atau semua hal yang bisa dikuantifikasi. Gampang-nya, penentuan kelas menengah menggunakan data statistik—dilihat dari pendapatan yang berada di antara kelompok pendapatan kaya dan di bawah garis kemiskinan.
Kedua pemikiran ini juga mempengaruhi perdebatan tradisi akademis. bagi yang belajar ilmu social dengan tradisi Positivisme sangat kuat, maka pemikiran Weber digunakan. Sedangkan bagi yang belajar ilmu social dengan tradisi ekonomi politik yang kuat, maka pemikiran Marx yang dipilih. Perdebatan ini masih berlanjut hingga tahun 60an terdapat kritik terhadap Marx maupun Weber. Kelas menengah tidak hanya bisa dilihat kepemilikan Faktor produksi dan data statistik. Ada yang terlupa untuk melihat kelas menengah yaitu tabiat/ selera/ karakter yang sifatnya sangat cultural. Kelas menengah menunjukkan tabiat yang seragam. Cara berpikir “selera akan menentukan cara berpikir anda” ini bermula dari kelompok ilmuan sosial yang belajar culture studies di Inggris. Salah satu tokohnya EP Thompson—dengan temuan yang penting adalah “kelas, maka tabiatnya harus sama”. Perdebatan kelas menengah hingga tahun 80an merujuk pada pertama cara pandang kelas menengah apakah memakai Marx atau Weber. Kedua, tabiat dari kelas. Kasus kelas menengah Indonesia menunjukkan memang secara statistik pendapatan ada. Namun secara tabiat, Indonesia tidak mempunyai kelas menengah. Hal ini menunjukkan disjuncture karena ada kelompok secara ekonomi termasuk kelas menengah namun secara tabiat sama sekali bukan kelas menengah. Ini adalah persoalan serius kelas menengah Indonesia—bahkan termasuk menjelaskan alasan Tempo enggan menggunakan istilah kelas menengah dalam edisi 20-26 Februari 2012 lalu. Pun Lukman sutrisno maupun Kuntowijoyo pada jaman itu tidak menggunakan istilah kelas menengah, tetapi golongan menengah. Istilah kelas menengah pun tak digunakan di awal tahun 1990an, karena pertama takut menghindari tuduhan komunis dan kedua jangan-jangan memang bukan kelas.
Kelas menengah “versi” Indonesia
Penentuan kelas menengah bisa dengan cara tersederhana adalah menggunakan statistik sederhana. kedua, dengan cara menggunakan culture studies—asumsi bahwa kelas menengah mempunyai karakter tabiat politik tertentu. Alih-alih mendebatkan tentang kelas menengah versi Weber, Eric Hiariej mengajak analisis tabiat untuk melihat kelas menengah Indonesia. Dalam 30 tahun terakhir, kelas menengah Indonesia ada dua level perdebatan yang berpusat pada pertanyaan kelas menengah ini pro atau anti “Orde Baru”? (pro atau anti “demokrasi”? pro atau anti “reformasi “)? pertanyaan seperti ini pun mengarah pada jawaban yang sama-sama kuat. Pendapat pertama kelas menengah pro demokrasi sementara pendapat lain mengatakan kelas menengah anti demokrasi—mau enaknya saja. Perkembangan kedua studi ini dari tahun 1990an hingga sekarang adalah kecenderungan baru studi perdebatan kelas menengah “pro atau anti demokrasi” berakhir pada kejenuhan—karena mungkin belum ada titik temu. Studi baru lebih tertarik pada bagaimana kelas menengah menjadi sangat berpengaruh di Indonesia (misal jabatan publik, budaya politik, media massa dst)? Sementara latar belakang kelas menengah pro atau anti demokrasi tidak dipentingkan lagi.
Studi pertama ini dilupakan, padahal sampai sekarang masih diperdebatkan—kelas menengah pro atau anti demokrasi? Jawaban dominan menunjukkan kelas menengah pro demokrasi. Salah satu argumen yang sering digunakan berulang-ulang adalah sejarah revolusi yang berkaitan dengan demokrasi. Kelompok bourgeoisie mendorong revolusi (lihat penjelasan civil society milik Alexis de Tocqueville dalam revolusi Amerika). Tokoh seperti George Washington, John Adams, Thomas Jefferson ataupun tokoh pemikir besar Eropa abad pertengahan merupakan bagian kelas menengah yang dikenal dengan istilah cendekiawan—tokoh pro demokrasi. Dengan latar belakang ini, maka orang yang percaya kelas menengah pro demokrasi akan menjawab dengan yakin, namun persoalan berikutnya adalah terbentur pada ketiadaan kelas menengah di Indonesia. Merujuk kelas menengah tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara tabiat maka George Washington, John Adams, Thomas Jefferson dan seterusnya bukan hanya menjadi kelas menengah secara pendapatan, tetapi mejadi kelas menengah karena tabiat independent thinker (pemikir bebas). Persoalan kelas Indonesia adalah kelas menengah bukanlah kelompok pemikir (bebas).
“kita punya middle class dalam pengertian status ekonomi, tapi middle class kita bukan independent thinker bahkan mereka tidak pernah thinking sama sekali. Jadi gayanya sih berpikir, tapi sebetulnya ndak mikir”
Alasan penjelas dari kenyataan ini yang digunakan dari dulu hingga sekarang adalah karena sejak awal, orang tidak boleh berfikir independen—tidak harus berhubungan jika berpikir bebas akan berakhir dengan penangkapan. Berkaitan dengan ini Eric Hiariej sempat mem-flashback pengalamannya bahwa ada situasi menakutkan karena berpikir kritis. Bagi kelompok ini percaya kemampuan berpikir independen itu bukan saja karena ada koersif yang bersifat kasat mata tetapi juga ada situasi tertentu yang membuat orang berfikir independen. Eric Hiariej mencontohkan Wardiman Djojonegoro yang mengenalkan konsep link and match yang oleh Eric Hiariej merupakan salah satu cara mematikan berpikir independen. Karena jika setuju dengan link and match, maka pendidikan hanya bertujuan untuk masuk dalam “pabrik” saja (dunia kerja, operasionalisasi mesin, ISO, red). Padahal dunia akademik adalah fungsi untuk berkontemplasi menyemai cara berpikir independen. Kritik saat ini, dunia akademik pun juga mengalami kuantifikasi yang dalam taraf tertentu dapat menghalangi penciptaan independent thinker.
Masih pada kelompok pertama ini, Indonesia pernah ada kelompok menengah yang independent—yang mencari inovatif—yang ternyata dibumihanguskan oleh kolonialisme, Orde Lama maupun Orde Baru. Studi ini dilakukan oleh Lukman Sutrisno dan Kuntowijoyo. Kalaupun kelas menengah jenis ini ada, pasti jumlahnya sedikit dan tidak berpengaruh. Pun jika bisa ditemukan maka kelas menengah yang dimaksudkan Lukman Sutrisno dkk ini dapat ditemukan pada beberapa pedagang pesisir utara Pulau Jawa. Jika dipadankan sejarah eropa, maka sebenarnya itu cikal bakal bourgeoisie—independent dan selalu kreatif. Masalahnya sejarah pedagang kecil Indonesia: saat kolonial, belanda menyingkirkan pedagang dengan memasukkan pedagang timur asing; atau oleh orba memang dibiarkan “hidup ya mati nggak” lihat pedagang batik laweyan versus pabrik sritek masuk atau pedagang rokok kudus versus Jarum atau Sampoerno masuk. Kondisi ini oleh Lukman Sutrisno mengakibatkan cikal kelas menengah tidak pernah tumbuh sebagai kelas menengah yang utuh. Bahkan lama-kelamaan kelompok ini meminta bantuan negara untuk ditolong—melalui kredit lunak atau nasionalisasi. Di negara lain fenomena ini tidak terjadi, justru kelas menengah melakukan demo melawan rezim militernya. Alhasil, kelas menengah Indonesia lebih menyukai sindrom Stockholm.
Kelompok kedua tidak pernah percaya bahwa kelas menengah pro perubahan. Studi kelompok ini berbeda dengan studi kelompok pertama yang berkesimpulan kelas menengah berpengaruh pada perubahan (lihat negara maju). Eric Hiariej mengambil contoh kelas menengah di negara-negara Amerika Latin justru merupakan kelas yang pertama kali melarikan diri jika terjadi masalah—memilih save play atau kelas yang menunggu “situasi”. Keputusan baru dibuat ketika sudah jelas siapa yang akan menang—terjadi Brazil, Argentina dan Chile. Kasus Chile saat Presiden Chile Salvador Allende yang sangat kiri menjadi pemenang sah pemilu tahun 60an pun didukung oleh kelas menengah, tetapi ketika terjadi aliansi kudeta sektor finansial dan militer tampak akan menang, maka kelas menengah tiba-tiba berbondong pindah mendukung aliansi ini. Jelas karenanya, kelas menengah menjadi penting secara politis—menjadi swinging voters dengan afiliasi yang tidak pernah tetap. Kecenderungan ini terjadi di Korea Selatan, Filipina dan sementara Indonesia. Grand Coalition Orde Baru oleh Ben Anderson menjadi penjelas Orde Baru kuat dan bertahan lama. Grand coalition ini berisi kelas menengah. Jika disederhanakan, maka Orba muncul dari revolusi 65 yang gagal—yang bisa dilihat sebagai perang kelas kecil. Terdapat kelompok yang “mengatasnamakan” rakyat yang melawan militer—kabir (kapitalis birokrat, red)—yang dimenangi oleh kabir. Makanya salah satu yang penting adalah mempertahankan kabir dengan cara memastikan kelas bawah tidak kuat lagi. Ini juga menjelaskan pemerintah Orba sangat berkepentingan dengan korporasi negara, misalnya adanya KORPRI dan bukan Serikat Pegawai Negeri? Karena dengan KORPRI, negara mempunyai kontrol terhadap pegawai negeri menjadi lebih gampang. Dalam hubungan industrial terdapat Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang di dalamnya terdapat Kodim. Cara-cara ini dipilih rezim politik yang secara sistematis memastikan tidak ada lagi kelas stuggle (yang dianggap Orba identik dengan PKI). Bahkan ini sampai pada penggunaan istilah yang menghindari kelas struggle, misal kata buruh diganti pekerja, man power, sumber daya manusia dsb., atau pada jaman Orba subsidi beras menjadi sangat penting atau Green Revolution penting dipilih ternyata salah satunya agar bisa menyuplai beras murah ke kota. Relasinya adalah hampIr semua peristiwa besar yang menggoyang rezim berawal dari masyarakat kota yang marah (lihat peristiwa Malari). Makanya rezim Orba membuat bahkan melalui 10 program PKK di desa, peran penting BULOG dalam green revolution, BINMAS dan kegiatan-kegiatan di desa yang bertujuan untuk menyuplai “kota”—ada kekuatiran rezim Orba terhadap orang kota yang miskin tersebut berontak.
Bagi kelompok kedua ini, penekanan bahwa kelas menengah justru bersikap “mendua” terhadap demokrasi terjadi pada saat Tempo dibredel. Awalnya kelas menengah secara keseluruhan bersuara satu membentuk AJI (Aliansi Jurnalis Independen, red). Namun diperjalanannya, AJI pecah. Ada yang memilih tetap AJI sebagai bentuk romantisme terhadap independent thinker. Sementara ada yang mendirikan GATRA karena pilihan menjadi kelas menengah yang realistis. Meski ini legitimated tetapi juga memunculkan persoalan kelas menengah apakah pro demokrasi atau tidak. Hal yang sama juga dijumpai sesaat sebelum Soeharto turun, pemimpin kelas menengah—termasuk Amien Rais, Nurcholis Majid dsb—berteriak “turunkan Soeharto!” dan menginisiasi bahwa akan ada rencana demo besar-besaran namun ketika wajah kelas bawah yang garang muncul maka situsasi kemudian diredakan—demo besar-besaran dibatalkan. Nah, peristiwa 13-14 Mei 1998 inilah wajah asli kelas bawah yang setiap hari marah tidak bisa menikmati kue pembangunan. Representasi kelas menengah kala itu justru traumatik dan memilih “main aman” atau pragmatis saja. Memang dalam konteks 98 ini kelas menengah bukan berarti tidak pro perubahan. Kita bisa mengharapkan perubahan dari kelas pragmatic ini, tapi tetap saja perubahan yang dikawal menjadi bersifat incremental saja.
“Konon kabarnya revolusi tidak ada yang dimulai dari pragmatism. Dan pragmatism itu katanya dekat dengan konservatisme”
Yang ditekankan Eric Hiariej adalah cara pandang pragmatism ini hingga sekarang turut memeriahi perdebatan kelas menengah tersebut di samping pilihan jangan terlalu pragmatism. Kedua pilihan cara pandang ini juga memunculkan konsekuensi-konsekuensi tersendiri terhadap perubahan.
Kelas buzzing yang traumatik
Apapun penyikapan terhadap kelas menengah, kelas ini tetap berpengaruh karena menguasai media lantaran suka buzzing. Perbedaan kelas menengah terhadap kedua kelas lainnya adalah kelas orang kaya sudah tidak memerlukan buzzing lagi—kelompok kelas ini menyukai privat, sementara kelas orang miskin tidak mempunyai apapun untuk di-buzzing-kan atau dipeributkan dan cenderung diam. Kelas menengah ini kelas yang baru namun lebih canggih daripada kelas bawah yang di atasnya masih ada kelas orang kaya. Kelas menengah memerlukan buzzing untuk menunjukkan eksistensi diri, salah satunya memakai simbol. Contoh sederhananya orang memakai gadget yang menjadi bagian buzzing untuk menunjukkan “I am not you atau I am part of you”. Persoalannya, buzzing ini berimplikasi luas karena ditangkap oleh media. Kelas menengah menjadi trendsetter—bisa baik bisa buruk. Repotnya, kelas menengah bicara apapun hanya untuk kepentingannya sendiri. Maka dari itu tak jarang, ledekan parodi kelas menengah kerap terselip oleh kelas bawah. Kedua, saking berpengaruhnya kelas menengah, maka mereka ini juga aktor penyeting agenda. Bagi Eric Hiariej, isu korupsi adalah isu kelas menengah. Ada pertanyaan serius tentang menggelapkan uang negara, tapi yang pertanyaan lebih serius adalah uang negara itu digunakan untuk apa? atau kenapa justru tidak ada yang ribut ketika jumlah anggaran pendidikan lebih sedikit dibanding uang untuk rekapitulasi bank. Penyelewengan uang, transparan atau fair yang menjadi bahasa khas kelas menengah tak bisa secara kaku dipadankan dengan kondisi kelas bawah. Misalnya masyarakat kelas bawah di wilayah Terban (Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta) pada saat kampanye pemilu. Sejumlah uang kampanye yang diterima lantaran ikut kampanye dianggap money politic. Istilah ini benar jika dilihat dari orang yang tidak menerima uang. Namun jika pertanyaan ditujukan langsung ke masyarakat bawah belum tentu sama, artinya pembagian uang kampanye itu dilihat sebagai redistribusi pendapatan. Kehidupan kelas bawah yang rumit jarang dilihat apa adanya karena cara pandang yang digunakan adalah cara kelas menengah yang tidak pernah hidup kepepet yaitu justru melihat kehidupan hanya secara “sederhana”.
Cara berpikir struktural maka setiap perilaku, tindakan, peristiwa ditentukan oleh social structure, salah satunya kelas. Perilaku kelas menengah akan tampil sedemikian rupa karena berada di social structure yang spesifik. Kelas menengah dapat ke atas maupun ke bawah karena secara struktur berada di tengah dan independen, yang balik lagi adalah kelas menengah Eropa—kaum yang muncul dengan sendirinya, bukan bangsawan bukan petani tetapi kaum bebas berdagang. Kelas menengah Eropa merupakan kaum burgher (orang kota) yang berarti secara historis, strukturnya independen—maka sangat masuk akal berpikir independen. Beda dengan Indonesia, kelas menengah tidak independen secara struktur—karena dibentuk oleh negara. Dulu pembentukan kelas menengah berdasarkan bantuan konsensi usaha atau mengerjakan proyek pemerintah. Representasinya pengusaha muda seperti Siswono Yudhohusodo, Ginanjar Kartasasmita, Fahmi Idris Atau Ponco Sutowo.
“…artinya kelas menengah yang sejak awal tidak akan independen. Kelas menengah yang tidak pernah berhasil disapih oleh Negara”
Meskipun demikian, kelas menengah Indonesia tetap bisa buzzing. Buzzing ini menggunakan simbol seperti gadget, pakaian, rumah dst., tapi tetap bukan buzzing secara politik. Kelas menengah juga mementingkan security –keamanan pribadi. Kelas menengah sangat menjaga aset secara serius dibanding kelas atas. Slavoj Žižek mengatakan kelas menengah selalu menghindari pengalaman yang traumatik yang bisa menimbulkan ketakutan terhadap keamanan pribadinya secara psikologis. Kelas menengah pasti mempunyai perhatian besar terhadap isu kemanusian, namun pada saat yang sama ia tidak mau bertemu secara langsung dengan masalah kemanusian—karena ketakutan keadaan tersebut berbalik kepada si kelas menengah ini. Ini menjelaskan bantuan disumbangkan kepada masyarakat yang jauh secara geografi. Pilihan facebook atau jejaring social lainnya untuk menghindari pengalaman traumatik. Ini berlaku tidak hanya kelas menengah Indonesia tapi di seluruh dunia. Pengalaman traumatik berimplikasi pada penganggapan “isu”. Misalnya isu konflik etnik Indonesia pada 10 tahun terakhir digadang-gadang melebihi konflik agama—hanya saja jarang diberitakan (berita konflik etnik Sepa di Pulau Seram). Kejarangan ini dipengaruhi keputusan media yang mengagendakan apa saja berdasar preferensi bacaan kelas menengah. Situasi ini selalu terjadi. Kelas menengah membuat setting agenda berita, termasuk peran media besar turut di dalamnya.
Pengalaman masyarakat kelas bawah Eropa dalam melawan kelas kelas adalah melalui pub. Pub berasal dari kata public. Merujuk public sphere milik Habermas, pub adalah tempat di mana seluruh yang menjadi agenda utama yang keluar di media tersebut di-scrutinized dengan parodi atau ledekan. Sementara pub ala Yogyakarta adalah angkringan—yang di dalamnya, justru masyarakat berinterpretasi berbeda terhadap berita media. Mengenai berita, maka menarik untuk komparasi antara media besar dan lokal. Justru berita yang asli adalah berita dalam media lokal (exp. Koran Merapi) karena kita bebas mengintepretasi isi beritanya. Sementara berita dari media besar (exp. Media Kompas) yang menulis berita dengan cara sangat aman—isinya tentang sekedar pendapat-pendapat. Tradisi Koran besar menginginkan setting agenda berita—baik secara sengaja atau tidak—justru menggiring kita melihat sesuatu dengan cara tertentu. Celakanya, yang sering kita baca sebagai berita itu hasil dari intepretasi kelas menengah terhadap berita dan kelas menengah yang sering kali mengintegrasi berita tersebut adalah akademisi. Porsi lainnya adalah simbol kelas menengah terhadap politik mengabarkan politik kita itu gadget. Substansi pesan politik sudah tidak dipentingkan lagi. Justru penampilan fisik si politisi menjadi komoditas. Ini menjelaskan banyaknya politisi yang menyewa PR ketika berkampanye. PR bertugas memastikan politisi berpenampilan bagus. Maka dari itu politik kita saat ini adalah politik kelas menengah.
Kelas antara Thing Itself dan thing for itself
Penting membedakan kelas sebagai konsep maupun jargon. Kelas dalam hal ini bisa dipandang dengan dua cara ini. Sebagai konsep, kelas menggunakan definisi yang jelas dan spesifik. Pengkonsepan ini akan berkembang dan berubah secara terus menerus. Eric Hiariej dalam hal ini membahas dua konsep Thing It self dan thing for itself milik Imanuel Kant yang sampai sekarang bukanlah perdebatan filosofis yang tidak menyenangkan. Bahasa enaknya, thing it itself itu tentang (misal) “batu” ketika benar-benar menjadi batu tanpa ada manusia. Sedangkan “batu menjadi batu” karena dinamai manusia disebut thing for itself.
“…kalau Marx ambil itu tuh, dia bilang kelas juga gitu. Ada Kelas Itself ada kelas for itself…”
Kelas secara in itself tidak terbantahkan dan tak terhindarkan karena data statistik memang menunjukkan leveling kelas. Kemudian ada kelas for itself yang merujuk “Anda merasa nggak menjadi bagian kelas tersebut?”. EP Thompson mengembangkan studi spesifik melihat kelas for itself: bagaimana buruh merasa dirinya sebagai buruh? Karena bisa jadi buruh tidak merasa menjadi buruh atau buruh merasa orang kaya. Sebagai konsep, kelas for itself mengatasi kecenderungan strukturalisme yang menganggap “anggota kelas menerima nasib”. Kelas for itself berbicara juga tentang membangun tradisi bersama, tabiat yang seragam dst. Konsep kelas for itself menjadi penting karena konsep tersebut digunakan untuk membuat kelas pekerja tidak melawan. Kelas for itself dari pekerja dipreteli. Kelas pekerja di Tangerang selalu lebih merasa menjadi orang dengan identitas asal daerahnya—Wonogiri, Tegal atau Jombang. Hal ini dikarenakan tempat tinggalnya diorganisir sehingga lupa akan identitas sebagai buruh. Sederhananya, kelas in itself buruh tetapi kelas for itself nya etnik—Ini berlaku secara internasional juga. Kecenderungan ini dibaca oleh gerakan 1% lawan 99% yang sebenarnya terdapat persoalan akan pertentangan kesadaran subjektif dan situasi objektif. Eric Hiariej lagi-lagi menekankan gerakan seperti itu adalah masih perlawanan kelas menengah, bukan kelas bawah.
Paradigma kelas tidak pernah hilang, meski terjadi penolakan. Karena melihat kelas bisa dengan banyak kategori, bahkan bisa dengan meminjam habitus-nya Bourdieu. Bisa juga menggunakan berpikir beyond class tetapi kita tidak bisa menemukan banyak hal yang penting, karena spesifikasi cara berpikir kelas itu adalah materialistik. Lanjut, Eric Hiariej mengutip Robert W. Cox yang bukan penganut posivitism untuk menjelaskan pertanyaan relevansi kelas menengah. Jika kelas tidak relevan maka sebenarnya terdapat usaha untuk menetralkan ideologi dari ilmu—yang merupakan kritikan terpenting terhadap posivitism. Konteks perdebatan kelas tidak harus dilihat “relevan atau tidak” untuk saat ini tetapi harus dilihat dalam konteks struggle of power karena perjuangan ideologi tertentu.
Menanggapi Kelas menengah dan ruang publik, ternyata menunjukkan telah terjadi penguasaan wilayah publik yang canggih. Ruang public recently bisa dilihat dari mall yang juntrungannya dikuasai dengan sedemikian rupa melalui bahasa liberal. Mall dianggap bebas dan public sphere, padahal “bebas” terhadap pilihan sudah ditentukan. Publik diciptakan sebagai alat segregasi sosial. Masih bertalian, gerakan reclaiming the common (melawan papan reklame, red) sebagai upaya pembebasan public yang premeditate yang hingga saat ini masih diupayakan.
Ruang publik diupayakan untuk diredifinisi. Ruang publik yang baru berkembang sedemikian rupa yang bahkan di luar pikiran Habermas. Jika dulu, pub dibayangkan sebagai tempat beradu argumen secara independen dan bebas muncul—karena independensi diukur dari pikiran, otonomi diukur dari pikiran; self being free ditunjukkan dengan seberapa jauh bias menyampaikan pikiran secara bebas. Nah, mall merubah definisi ini. Independen bukan lagi dilihat dari mind tetapi body. Di ruang publik (sekarang) orang beradu tubuh. Reclaiming the common berproses, misalnya penelitian Eric Hiariej menggambarkan kelompok fundamentalis di Ngruki berusaha reclaiming the common pada level tubuh.
Bertalian dengan kelas dan sejarah kemunculan demokrasi di banyak negara oleh Barrington Moore menghasilkan tiga rumus bentuk Negara. Pertama, kelas atas ditambah kelas bawah menghasilkan pemerintah seperti pemerintah komunis Uni Soviet. Kedua, jika kelas atas ditambah kelas menengah yang berkuasa, maka pemerintah fasis yang dihasilkan seperti Jerman dan Jepang. Ketiga, jika gabungan antara kelas menengah dan kelas bawah maka yang muncul adalah pemerintahan demokrasi seperti Inggris Perancis Amerika Serikat.
“…ada orang namanya Mohtar Mas’oed sangat percaya dengan itu…ini Barrington Moore datang dengan formulanya itu dan itu dipercaya banyak orang..mungkin gabungan kelas menengah dan kelas bawah bisa menghasilkan demokrasi. tapi dia hanya berhenti di situ..”
Barrington Moore ternyata hanya sampai pada rumusan pembentukan demokrasi ini. Merunut sejarah, ternyata penjelasan detail dilakukan oleh Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin. Lenin merujuk Marx bahwa revolusi akan terjadi jika penindasan terhadap buruh secara masif dan buruh melakukan perlawanan untuk revolusi. Hipotesis ini tidak terjadi, bagi Lenin alasan kelas buruh tidak melawan karena tidak ada yang memberi tahu “kelas for itself”. Untuk itu, kelas for itself harus diciptakan oleh kelas menengah—melalui Vanguard Party. Vanguard Party cendekiawan karena berperan membimbing buruh. Kasus Indonesia, Vanguard Party pernah organisasi yang bernama Serikat Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID) tahun 90an yang kemudian bermetamorfosis menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD). Atau penjelasan lain oleh Gramsci yang mengatakan “membimbing bukan hanya untuk membentuk Vanguard Party tetapi juga membimbing “counter discourse”. Hal ini ditunjukkan dengan keadaan Indonesia yang menghadapi kelas bawah yang kadang berfikir fatalistik—nrimo. Hegemoni ini harus dilawan dan bagi Gramsci, hegemoni ini dilawan oleh kampus—kampus juga simbol kelas menengah. Butuh culture untuk menyelesaikan persoalan simbolik semacam ini. Tradisi berpikir Barrington, Lenin dan Gramsci bertahan di kampus UGM—paling tidak pada generasi Eric Hiariej—bahkan hingga terjadi dua kubu yaitu pendukung Lenin bahwa mahasiswa harus menjadi pelopor bagi buruh yang diwakili SMID. Sedangkan dewan mahasiswa yang mewakili dukungan bahwa mahasiswa berjuang secara independent yang akan diikuti oleh buruh—partai mahasiswa.
Terakhir masih dalam saling adu argumen dalam cara berpikir ala kelas Marx ataupun mendukung ruang publik ala Habermas—atau pertarungan antara identitas versus kelas—maka konklusinya tidak akan bertemu—begitu menurut Eric Hiariej. Tapi yang lebih penting, perargumentasian tersebut kembali kepada pemaknaan itu sendiri. Harus didudukkan bagaimana cara berpikir kita apakah positivism atau tidak posivitism untuk melihat seluruh dunia ini. Siap tidak melihat dunia dengan cara berpikir kelas, karena konsekuensi dari cara pandang tersebut akan sangat menentukan masa depan itu sendiri.