Membongkar Industri Perbukuan Nasional
Isu harga buku yang relatif mahal beberapa tahun belakangan ini menjadi rumor yang berkembang di kalangan mahasiswa dan masyarakat pencinta buku. Dari beberapa cerita, para konsumen buku terkadang harus merogok kocek lebih dalam untuk mendapatkan sebuah buku. Terkadang pula mereka menemukan buku dengan lembaran dan kualitas terbitan yang sama tetapi dengan perbedaan harga hingga berapa kali lipat. Belum lagi jika membandingkan harga antar toko buku, maka umumnya akan ditemukan beda harga yang cukup kontras antara toko buku ternama setingkat Gramedia yang relatif lebih mahal dari toko biasa. Mengapa hal demikian terjadi? Mengapa harga buku berfluktuasi dengan kecenderungan semakin mahal? Apa sebenarnya yang terjadi dalam kamar industri perbukuan di Indonesia? Dan bagaimana kebijakan mengaturnya?
Wacana ini kiranya menarik untuk disimak, mengingat Momentum Hari Buku Nasional, yang dikukuhkan pada 17 Mei 2010 oleh Malik Fajar untuk membangun minat baca di Indonesia berhadapan dengan realitas industri perbukuan yang tidak menentu. Bukan saja buku-buku menjadi relatif mahal, tetapi sudah sampai pada sulitnya buku-buku berkualitas. Pada selasa, 15 Mei 2012, melalui Forum MAP Corner – MKP Klub (MCKM), dua aktivis perbukuan, Mas Ade Ma’ruf (penulis buku “Declare, Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007”) dan Akhmad Fikri (Ketua Ikatan Penerbit Indonesia/IKAPI DIY) dihadirkan untuk menjawab keresahan kaum intelektual penggemar buku dengan mengungkap kompleksnya jejaring industri perbukuan di Indonesia.
Problematika Industri Perbukuan: Pemasaran dan Fluktuasi Harga
Jika melirik sekilas kamar industri perbukuan, nampak tidak ada persoalan yang berarti. Dalam pengalaman Mas Ade (pemantik diskusi MCKM) memantau industri perbukuan di DIY, sembari membandingkan dengan hasil penelitiannya tentang sejarah perkembangannya pada kurun waktu 1998 – 2007, proses industri perbukuan berlangsung datar-stabil dengan aktivitas yang tidak berubah. Pemantik melihat bahwa alur atau proses produksi buku dari dulu sampai sekarang sama saja, yakni produksi akan selalu dimulai dari menemukan naskah, tahap pracetak, kemudian mencetak, hingga siap didistribusikan. Dalam setiap proses tersebut relatif berjalan lancar. Terlebih industri perbukuan dalam konteks Yogyakarta, nyaris tanpa hambatan karena ditunjang oleh berbagai kemudahan mendapatkan semua komponen pendukung untuk penerbitan sebuah buku. Bahwa, “dengan jumlah kampus yang banyak,kita bisa menemukan sekian banyak penulis; dengan menjamurnya prodi desain grafis maka sekian banyak desain grafis bisa digunakan untuk buku; bahkan hampir di setiap gang ada percetakan mulai yang berskala besar hingga sekecil apapun yang bisa dimanfaatkan untuk produksi sebuah buku”.
Betapapun demikian, kelancaran dan kemudahan dalam industri perbukuan ini bukan berarti tidak memiliki hambatan. Persoalan mulai muncul saat alur telah masuk pada pekerjaan pasca produksi. Pekerjaan pasca produksi salah satunya berhubungan dengan aspek pemasaran buku. Mas Ade merunut bahwa pada awal tahun 2000-an, masalah pemasaran terutama karena banyak penerbit tidak dapat menembus ke toko buku secara langsung. Hal ini sedikitnya disebabkan dua alasan, yakni minimnya sumber daya dan proses administrasi yang rumit. Kebanyakan rumah produksi hanya berskala kecil bahkan masih tergolong baru di dunia penerbitan sehingga kapasitas sumber dayanya pun terbatas. Sejalan dengan itu, ada banyak aturan baru (berupa restriksi) yang menyebabkan penerbit, tidak mudah menembus pasaran toko buku. Sementara, jaringan toko besar, semisal Gramedia pun seringkali menyarankan kepada penerbit buku – terutama yang masih baru – untuk melalui penyalur (distributor) saja, sambil mengantisipasi adanya oknum penerbit yang tidak konsisten dalam mengatur terbitannya, karena dianggap sangat mengganggu dalam manajemen toko modern semacam Gramedia. Karenanya, pada pasca produksi, langkah praktis pemasaran dengan menitipkan ke distributor menjadi mekanisme yang berlangsung hingga sekarang.
Persoalannya kemudian, sistem pemasaran yang bermain diantara tiga aktor utama, penerbit, distributor dan toko buku ini, telah menciptakan perputaran yang mengakibatkan adanya penambahan nilai jual, yang kemudian mulai dirasakan mahal oleh konsumen. Dalam mekanisme ini, ada konsekuensi rabat yang berlaku dan cukup dilematis utamanya terhadap penerbit buku. Jejaring ini umumnya menyepakati penggunaan sistem konsinyasi (titip jual) dengan kisaran mencapai 50 – 55%. Penjelasannya, jumlah diskon tersebut adalah hasil presentasi yang telah memperhitungkan royalti penulis, biaya dan laba penerbit, serta keuntungan untuk toko buku dan distributornya. Jadi, dapat dibayangkan jika harga buku tidak dinaikkan maka sudah pasti penerbit akan pingsan. Apalagi jika biaya bahan baku produksi (seperti kertas dan tinta) turut berfluktuasi dimana penerbitlah yang harus menanggung seluruhnya, maka masa depan usaha penerbitan akan semakin terpuruk. Berfluktuasinya harga buku demikian menjadi jelas, yang tidak lain sangat dipengaruhi oleh jejaring pemasaran yang terpola secara konvensional. Sangat sulit memutus rantai jaringan tersebut sebab pola pemasaran ini sudah berlaku secara umum diantara ketiga aktor industri perbukuan. Tidak ada satu pihak yang bisa disalahkan untuk kondisi tersebut, karena jejaring ini kompleks, sementara penerbit sendiri tidak berdaya untuk menembus toko buku secara langsung.
“Persoalannya kemudian, sistem pemasaran yang bermain diantara tiga aktor utama, penerbit, distributor dan toko buku ini, telah menciptakan perputaran yang mengakibatkan adanya penambahan nilai jual, yang kemudian mulai dirasakan mahal oleh konsumen. Dalam mekanisme ini, ada konsekuensi rabat yang berlaku dan cukup dilematis utamanya terhadap penerbit buku. Jejaring ini umumnya menyepakati penggunaan sistem konsinyasi (titip jual) dengan kisaran mencapai 50 – 55%”.
Selain jejaring pemasaran yang rumit, penyebab lain berfluktuasinya harga buku adalah karena buku-buku bajakan juga beredar di pasaran. Untuk kelas Gramedia mungkin tidak akan ditemukan produk buku bajakan, tetapi di toko-toko biasa, terlebih yang menjual buku dengan murah (seperti di Shopping) akan sangat mudah didapatkan. Perbedaan range harganya pun lebih rendah beberapa kali lipat. Sudah tentu banyak orang akan menggunakan hukum ekonomi dalam membeli, sehingga preferensi memperoleh produk buku jatuh kepada ‘penjual buku murah’. Cara illegal pembajakan ini, sama saja dengan meremehkan kerumitan jejaring pemasaran yang sudah lama dijalankan.
Strategi Bertahan dan Eksistensi Buku
Kendati rumitnya jaringan pemasaran, sulit dipungkiri bahwa para penerbit tetap akan menjadikan toko buku yang besar (seperti Gramedia dan Toga Mas) sebagai mainstream pasarnya. Jadi, suka atau tidak para penerbit akhirnya kebanyakan memilih untuk menyesuaikan diri dengan isu yang berkembang di pasar bukunya. Itulah yang menyebabkan banyak penerbit sejak 2004 hingga sekarang ini mengubah haluannya dengan hanya menerbitkan buku-buku yang masuk dalam mainstream pasar atau sesuai minat konsumen. Dalam penuturan Mas Ade, Jika buku yang diproduksi kurang trend, maka sebentar saja akan segera disingkirkan dari floor display utama toko buku, karena termasuk dalam kategori tidak laris. Sehingga mengikuti arus pasar menjadi strategi untuk tetap berproduksi atau sebagai cara menjaga kelangsungan penerbitannya. Memberi contoh, kekhawatiran sebagian penerbit, khususnya di Yogyakarta, melihat dinamika perbukuan yang makin sedikit menerbitkan buku-buku ‘kekhasan Jogja’ di awal tahun 1990-an.
“Jika buku yang diproduksi kurang trend, maka sebentar saja akan segera disingkirkan dari floor display utama toko buku, karena termasuk dalam kategori tidak laris. Sehingga mengikuti arus pasar menjadi strategi untuk tetap berproduksi atau sebagai cara menjaga kelangsungan penerbitannya”.
Meskipun demikian, ada juga sebagian penerbit memainkan strategi antisipatif, yakni jika buku di pasar mainstream sudah tidak dilirik, maka sirkulasi dialihkan dengan mendekatkan pada konsumennya atau mencari pasar yang sesuai dengan jenis buku yang terbit tersebut. Namun model sedemikian cukup jarang terjadi. Dalam kisah pemantik (Mas Ade), pada tahun 2000-an awal, tema-tema yang minim (seperti ‘khas Jogja’) kurang diminati lagi oleh penerbit setara Gramedia. Dan semakin parah dengan tidak adanya pembaharuan dalam pola pemasaran yang berakibat pada semakin hilangnya buku-buku berkualitas (rujukan referensi) tergantikan oleh buku yang ‘miskin pengetahuan’.
Satu catatan yang perlu diketahui, bahwa cukup banyak naskah-naskah yang tersingkir dari dapur penerbitan akibat harus menyesuaikan dengan minat pasar. Hal ini karena penerbit mempertimbangkan nilai jual pada produk buku yang akan dihasilkan. Kalau buku kurang diminati, tentunya akan merugikan penerbit atas biaya produksi yang harus dikeluarkan. Dalam kalkulasi teknisnya, biaya produksi terutama digunakan untuk mencetak buku dengan jumlah yang banyak agar harga jual bisa ditekan. Jadi, jika buku cetak tersebut tidak laku, sudah pasti kerugian akan ditanggung penerbit yang juga dapat mempengaruhi citra penerbitannya. Pada akhirnya sangat beralasan jika penerbit lebih mengutamakan minat pasar.
Akan tetapi hal ini sedikit dapat teratasi dengan lahirnya teknologi POD (Print on Demand) dalam dunia penerbitan. Mekanisme POD menawarkan pencetakan buku sesuai permintaan. Jadi buku dapat dicetak meski hanya 1 eksemplar, atau tergantung jumlah yang diinginkan. Mesin POD ini, menyelamatkan naskah-naskah yang dianggap kurang laku atau tidak diminati untuk tetap memenuhi kebutuhan sebagian konsumen lainnya. Keuntungan lain POD adalah dapat mempermudah orang awam memasuki dunia penerbitan. Begitu pula dengan para penulis baru yang membutuhkan ruang publikasi juga akan lebih mudah dengan POD. Kehadiran POD pun akhirnya banyak direspon oleh industri penerbitan di Jogja, mengingat hal ini juga dapat membantu kesinambungan penerbitannya.
Mengidentifikasi Tantangan [Baru]
Di tengah kegalauan industri perbukuan, Konferensi Kerja Nasional (Konkernas) IKAPI juga mengidentifikasi dua isu yang menjadi tantangan industri perbukuan. Sebagaimana yang dipaparkan Mas Akhmad Fikri (pemantik Kedua). Pertama, semakin menyempitnya ruang-ruang display bagi produk-produk buku baru di toko buku mainstream. Penyebab keterbatasan display tersebut dipicu oleh pertumbuhan produk buku yang jauh lebih besar dibandingkan space (ruang) yang tersedia di toko buku utama tadi. Menurut data IKAPI tidak kurang dari 1000 judul buku yang terbit perbulan dari sekian banyak penerbit. Sementara toko buku mainstream seperti Gramedia hanya menyediakan sekitar 150 outlet dan 50 outlet untuk Toga Mas di Indonesia. Sedangkan untuk toko-toko kecil tidak dihitung sebagai mainstream karena mekanismenya berbeda dan luas space-nya tidak lebih dari 1000 m2 atau lebih sempit. Gramedia dan Toga Mas pun yang memiliki space besar (sekitar 2000 – 4000 m2) masih bisa dihitung jari, yakni hanya ada satu sampai tiga lokasi di satu kota dan hanya punya satu atau dua floor display untuk buku baru. Lalu dengan keterbatasan ini sudah pasti hanya buku yang laku saja (trend dipasaran terkait harga dan jenisnya) yang akan bertahan menempati display, sementara lainnya yang kurang diminati akan tersingkir, kecuali jika ada strategi penjualan lain yang menopangnya.
Tantangan kedua, terkait hadirnya teknologi baru di dunia perbukuan. Kemunculan e-book sebagai perkembangan mutakhir fenomena perbukuan, cukup menimbulkan keresahan dalam industri penerbitan buku (print book/buku fisik). Maraknya e-book membuat banyak buku dianeksasi oleh teknologi masuk ke dalam ‘gadget’ (perangkat komputer-internet). Dengan teknologi ini, buku tidak lagi berbentuk fisik tetapi menjadi soft file yang lebih memudahkan bagi konsumen untuk menggunakannya secara cepat dan mudah. Karena perkembangan e-book yang lebih praktis, mudah dan murah tersebut maka semakin banyak konsumen buku beralih menggunakannya. Memang hal ini cukup menjadi tantangan berat bagi penerbit, yang kemudian harus menyusun strategi dalam mengatur terbitannya. Sebab kendati e-book begitu menggejala, masih ada sebagian orang yang tetap lebih senang mengoleksi buku fisik (print book).
“..(tantangan) pertama, semakin menyempitnya ruang-ruang display bagi produk-produk buku baru di toko buku mainstream. Penyebab keterbatasan display tersebut dipicu oleh pertumbuhan produk buku yang jauh lebih besar dibandingkan space (ruang) yang tersedia di toko buku utama tadi… Tantangan kedua, terkait hadirnya teknologi baru di dunia perbukuan. Kemunculan e-book sebagai perkembangan mutakhir fenomena perbukuan, cukup menimbulkan keresahan dalam industri penerbitan buku (print book/buku fisik)”.
Fenomena e-book juga memunculkan buku-buku gratis yang jumlahnya ratusan ribu judul yang dapat diperoleh dengan mudah melalui mekanisme download langsung di internet. Bahkan sebagian lainnya juga menyediakan mekanisme pemasaran atau penjualan buku dengan transaksi secara langsung via internet yang kini sudah mulai digemari banyak orang. Namunpun begitu, buku-buku tersebut kebanyakan masih berupa buku-buku ringan seperti buku resep masakan. Dengan kata lain belum merupakan buku-buku referensi yang serius, yang sebenarnya secara luas juga bisa di-download secara mudah dan gratis. Tetapi seiring perkembangannya sangat mungkin buku-buku serius/referensi pun akan dibajak oleh mekanisme online tersebut.
Gejala transformasi perbukuan dari industri cetak ke elektronik ini memang melaju cepat karena adanya kemampuan memberikan berbagai kemudahan. Karena, selain menyediakan buku elektronik, juga disajikan sejenis program yang dapat menciptakan industri perbukuan online ‘milik sendiri’ – dimana hanya dengan satu orang dapat berperan menjadi penulis, editor dan layouter, sekaligus juga dapat mencetak atau menjual via internet. Program ini melahirkan banyak pemain-pemain baru dalam industri perbukuan yang bekerja di dunia maya dengan tidak menggunakan banyak instrumen penerbitan fisik. Mekanisme pemasarannya pun sangat mudah dengan hanya melakukan pembayaran dengan sistem transaksi online, seperti mekanisme yang ditawarkan oleh XL, dimana konsumen dapat men-download buku setelah proses kesepakatan pengurangan pulsa berlangsung. Kemudahan ini pun cukup mengundang perhatian banyak kalangan.
Karenanya, gejala ini sempat memunculkan perkiraan akan terjadinya keruntuhan pada industri buku fisik atau penerbitan pada lima tahun mendatang. Sebab generasi e-book akan semakin banyak dan lebih memilih teknologi sebagai media bacanya karena mudah dan terkesan modern. Apakah hal tersebut akan terjadi ?. Bagi Mas Fikri hal tersebut masih perlu disangsikan. Karena sekedar catatan, bahwa mekanisme online juga memiliki aspek kerawanan bagi timbulnya kecurangan yang sulit diatasi, semisal kasus XL terkait pencurian pulsa dengan konten provider, yang berujung pada dihentikannya pula transaksi pulsa untuk pembelian buku online.
Walaupun tantangan teknologi semakin berat, usaha penerbitan (print book) dilihat masih akan tetap eksis disebabkan teknologi online sangat tergantung pada infrastruktur tertentu, yakni jaringan internet. Saat ini dapat dipastikan tidak semua daerah sudah memiliki jaringan internet yang lancar, atau bahkan mungkin sebagian belum mampu menggunakan teknologi tersebut. Selain itu, media ini pun disinyalir memiliki produk yang tidak jelas, seperti e-book yang tidak mempunyai kejelasan jumlah halaman yang menyulitkan bagi konsumen, sehingga print-book masih dipercaya sebagai produk buku yang terjamin. Dengan demikian, menjadi terlalu berlebihan jika fenomena perkembangan teknologi ini dikhawatirkan, apalagi sampai menciptakan pesimisme.
Kemana Kebijakan Perbukuan ?
Realitas industri perbukuan nampak berjalan sendiri tanpa adanya perhatian pemerintah. Sampai hari ini, belum pernah ada payung undang-undang yang mengatur tentang industri perbukuan yang dapat memberi kenyamanan dalam menjalankan usahanya. Dibandingkan bidang usaha lainnya, Kebijakan yang mengatur industri perbukuan hampir jarang terdengar akan diagendakan dalam forum legislatif. Padahal IKAPI telah mengusulkan RUU Industri Perbukuan agar jejaring yang selama ini tidak jelas dapat diatur dengan tidak ada lagi pihak yang mesti menanggung konsekuensi yang besar. Ada kemungkinan tidak teragendanya RUU tersebut berkaitan dengan adanya logika transaksional sehingga titik terang RUU perbukuan terlunta-lunta hingga kini.
IKAPI sudah mendorong supaya dalam konteks kebijakan RUU perbukuan dapat memperhatikan fenomena perbukuan yang berkembang. Namun lagi-lagi usulan konsep ini sering melenceng dalam konsep pemerintah yang hanya mengaitkannya dengan buku-buku ajar (pelajaran). Padahal dalam banyak momen, para politisi juga birokrasi seringkali membutuhkan industri buku untuk menampilkan pengaruhnya ke publik . Dalam versi Konkernas IKAPI dikatakan bahwa dalam setahun terdapat dana pemerintah sekitar 11 Trilyun untuk konsumsi buku nasional. Tetapi dalam penggunaannya, 70 – 80% dana tersebut adalah buku-buku proyek, dimana yang bisa menerbitkannya hanya yang dekat dengan sumber dana (pemerintah) atau memiliki lobi-lobi dengan penguasa. Lalu sisanya yang hanya 30% (untuk terbitan biasa) baru diberikan kepada sekian ratus penerbit. Dengan situasi ini, tidak ada ruang bagi penerbit untuk berkembang. Terlebih dengan tidak adanya kebijakan yang mengaturnya.
“Dikarenakan kebijakan telah abai mengatur industri perbukuan, para penerbit, umumnya mengambil langkah aman dengan bergabung dalam komunitas penerbit yang dinilai dapat melindungi keberlangsungan industrinya”.
Dikarenakan kebijakan telah abai mengatur industri perbukuan, para penerbit, umumnya mengambil langkah aman dengan bergabung dalam komunitas penerbit yang dinilai dapat melindungi keberlangsungan industrinya. IKAPI sebagai wadah komunitas tersebut selalu berusaha mencari solusi untuk terciptanya ruang-ruang pasar baru. Salah satu yang telah diupayakan adalah merumuskan Road Map perbukuan untuk lima tahun ke depan sambil tetap mendorong adanya RUU Perbukuan. Mungkin inilah cara mendukung industri untuk tetap hidup.
Industri Buku [masih] perlu Introspeksi
Sudah pasti meski dilanda kekalutan, penerbit masih terus harus berupaya untuk mengembalikan kemajuan industri perbukuan. Diakui bahwa kemunduran begitu dirasakan dengan mulai menurunnya minat terhadap buku akibat harga yang mahal dan teknologi yang mulai menyedot banyak perhatian – diluar memang masih rendahnya minat/kemampuan baca masyarakat. Dunia kampus yang diharapkan menopang berkembangnya industri perbukuan, akhir-akhir ini pun mulai lesu yang secara perlahan dapat mematikan aktivitas penerbitan. Satu alasannya, yakni sudah sangat jarang kampus mengembangkan seminar ataupun diskusi yang dapat menjadi wacana/isu menarik yang dapat diterbitkan. Perbincangan seminar lebih banyak berupa ilmu-ilmu praktis daripada diskusi terkait dinamika perkembangan keilmiahan. Hal ini berakibat, buku-buku yang beredar menjadi miskin pengetahuan baru dan lebih bersifat trend setting. Namun apakah ini yang memang menjadi pokok kelesuan perbukuan nasional ?
Barangkali tidak sesederhana itu, satu hal yang kiranya perlu lebih dicermati oleh penerbit bahwa sebenarnya banyak penulis-penulis muda dari akademisi yang masih membutuhkan ruang penerbitan untuk mendistribusikan ide-idenya. Namun hal itu sulit terwujud karena terkendala juga oleh alur industri perbukuan sendiri yang masih memprioritaskan penulis yang prominence. Seperti cerita Bang Robby (peserta akrab MCKM) yang harus menunggu sampai dua tahun dengan proses yang tidak tentu agar karyanya dapat menembus kamar produksi penerbitan. Mungkin ada hal dilematis bagi penerbit terkait misi ekonominya, namun mestinya ini mampu dikorelasikan dengan misi edukasi yang diembannya (disari dari tanggapan Bang Robby).
“..satu hal yang kiranya perlu lebih dicermati oleh penerbit bahwa sebenarnya banyak penulis-penulis muda dari akademisi yang masih membutuhkan ruang penerbitan untuk mendistribusikan ide-idenya. Namun hal itu sulit terwujud karena terkendala juga oleh alur industri perbukuan sendiri yang masih memprioritaskan penulis yang prominence”.
Begitu juga dengan pilihan konsumen, jika kemudian kini banyak orang lebih memilih membeli pulsa untuk mengakses lebih banyak informasi dan pengetahuan dibanding membeli produk buku fisik, itu adalah koreksi terhadap kondisi industri perbukuan. Patut dipahami ketika counter pulsa menjadi lebih laris dari toko buku, hal ini sekali lagi karena kecenderungan orang sebagai mahluk ekonomis. Dengan 50 ribu saja misalnya, mereka dapat mengakses lebih banyak informasi yang jika digunakan untuk membeli buku hanya akan dapat maksimal dua buku. Jadi, kalaupun masih ada sebagian orang (mahasiswa atau masyarakat umum) yang mau menyisakan jatah bulanannya untuk membeli buku, dapat ditaksir alokasi untuk buku akan lebih rendah dari kebutuhan akan pulsa. Jika sudah demikian, penerbit seharusnya tidak hanya mengatur strategi tetapi kembali mengintrospeksi buku-buku terbitannya, sudahkah berkualitas, terjangkau atau diminati konsumen? Dalam hal ini penerbit harus pandai membaca demand dan mencuri perhatian konsumen kembali.
Satu hal lagi yang paling banyak digugat pada buku-buku terbitan adalah konten buku itu sendiri. Pada sesi tanya jawab di Forum MCKM, ada banyak kritik yang terlontar terkait konten buku yang mungkin sudah merepresentasikan suara konsumen (mahasiswa). Satu contoh gugatan konten buku diutarakan Afif (Peserta MCKM, Jurusan Sosiologi UGM), mengangkat riset Nieils Mulder – ditulis dalam bukunya “Wacana Publik di Indonesia” (Kanisius, 2003) – menilai bahwa ternyata dari peredaran buku-buku di SMA seperti buku IPA atau IPS, sebagian besar kontennya sudah sangat menyimpang dari kurikulum standar sehingga menimbulkan reproduksi ilmu pengetahuan yang sangat fatal. Lebih luas terkait konten buku, juga banyak mempertanyakan persoalan buku yang bersifat radikal, fulgar, atau paradoks lainnya (sensor buku); mengandung unsur plagiasi; atau terkait akurasi buku terjemahan. Singkatnya, berbagai persoalan konten buku ini kiranya masih perlu dikaji kembali oleh penerbit dan berbagai stakeholder lainnya.
Memang, kotak pandora industri perbukuan berisi persoalan yang sangat kompleks. Kekusutan yang ada didalamnya tidak cukup diurai hanya dengan menjajakan buku murah (sebagai solusinya). Barangkali disini penerbit kembali ditantang untuk lebih kreatif, inovatif, dalam mengambil langkah cerdas untuk memperluas kembali “masyarakat pencinta buku”. Jika mampu dengan merangkul teknologi sebagai kolaborasi menciptakan peradaban industri perbukuan yang tidak saja mudah dan terjangkau, tetapi juga berkualitas luar dan dalamnya. Memang untuk itu dibutuhkan dukungan semua pihak (pemerintah dan masyarakat), tetapi sudahkah industri perbukuan juga siap dengan ini?
Oleh: Masni