Memahami Konflik Pasca Pemilukada
Pemilukada langsung, sejatinya bertujuan mewujudkan kedaulatan rakyat di daerah. Sejak tahun 2005, ribuan Pemilukada langsung telah digelar di seluruh Indonesia. Beberapa Pemilukada memang dinilai berhasil dengan hadirnya pemimpin yang dianggap benar-benar mewakili rakyat. Sayangnya, tidak sedikit diantara penyelenggaraan Pemilukada yang berujung pada konflik kekerasan. Tidak hanya terjadi jauh sebelum hajatan di bilik suara digelar, kekerasan terkait Pemilukada bahkan lebih banyak terjadi saat pengumuman pemenang telah dilakukan. Kasus yang terbaru, konflik Pemilukada di Aceh, Papua, Bali dan beberapa daerah lain telah memakan korban jiwa memilukan. Publik seakan heran, Pemilukada bukannya mendidik masyarakat dalam berpolitik secara cerdas demi mewujudkan kedaulatannya, tapi Pemilukada justru seolah menjadi ajang pertarungan kekerasan yang mematikan. Mengapa konflik pasca Pemilukada yang diwarnai kekerasan terus terjadi? Bagaimana sebenarnya desain mekanisme transformasi konflik dalam Pemilukada yang sekarang berlaku? Apa yang perlu dilakukan ke depan? Untuk membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, MAP Corner-Klub MKP (MCKM) edisi 7 Februari 2012, menghadirkan Hasrul Hanif, Dosen Jurusan Politik Pemerintahan, Fisipol UGM.
Antara Demokrasi dan Konflik
Membuka diskusi, Mas Hanif mencoba merefleksi konflik pasca Pemilukada dengan mempertanyakan kembali seputar munculnya konflik. “Apakah (konflik) semata-mata karena persoalan aturan main, regulasi, juknis/juklak, atau karena adanya persoalan yang lebih besar yakni mengenai “desain demokrasi” di Indonesia”. Menurutnya, jika Fenomena ini dibongkar, maka persoalan tidak hanya akan berkaitan dengan Pemilukada tetapi lebih jauh terkait hubungan politik (political linkage) di antara pemain politik dan birokrasi. Namun sebelum sampai pada pembahasan tersebut, pemahaman antara demokrasi dan konflik menjadi fokus yang perlu terlebih dahulu diulas.
Dalam proses demokrasi (elektoral), konflik merupakan sebuah keniscayaan, karena setiap individu atau kelompok sosial memiliki kepentingan, pemahaman dan nilai yang berbeda-beda. Konflik relatif mudah hadir dari basis sosial yang lebih kompleks, dibanding hanya sekedar suatu kompetisi dalam proses demokrasi. Pada sisi lain, demokrasi juga diyakini oleh sebagian orang sebagai sarana untuk mentransformasikan konflik. Jika dulu orang saling membunuh untuk menjadi raja, kini mereka bertarung melalui bilik suara. Jika dulu orang merangkul senjata untuk membuat orang lain tunduk, sekarang mereka harus berkampanye dengan memasang spanduk atau leafleat di mana-mana agar memperoleh dukungan suara menjadi kepala daerah. Demokrasi berupaya mentransformasikan konflik yang berwujud kekerasan ke arah bilik suara, dari memaksa (coercive) ke persuasif.
Meski demikian, demokrasi dan konflik sebenarnya juga merupakan dua hal yang tidak mudah dihubungkan. Dari banyak pengalaman yang ada, bukan hal yang mudah membuktikan bahwa demokrasi dapat menjadi pemicu konflik, walaupun dapat saja diklaim bahwa eskalasi konflik disebabkan oleh liberalisasi politik yang bekerja dalam proses demokrasi. Jadi eksistensi konflik memang suatu hal yang wajar bagi suatu proses demokrasi. Hanya saja, menjadi berbahaya jika konflik sudah represif dan berwujud kekerasan (violence). Dalam wacana demokrasi, konflik tidak dipahami sebagai hal yang negatif, melainkan sebagai satu gejala responsif dalam upaya menciptakan kontrol dan keseimbangan di antara pihak-pihak yang berkepentingan.
“Apakah (konflik) semata-mata karena persoalan aturan main, regulasi, juknis/juklak, atau karena adanya persoalan yang lebih besar yakni mengenai ‘desain demokrasi’ di Indonesia”
Logika Pemilukada
Pemilukada, sebagai sebuah mekanisme demokrasi, sebenarnya dirancang untuk mentransformasikan sifat konflik yang terjadi di masyarakat. Pemilukada berupaya mengarahkan agar konflik tidak meluas menjadi kekerasan. Sayangnya, idealitas yang dibangun dalam sebuah proses demokrasi, pada kenyataannya seringkali jauh dari apa yang diharapkan. Pemilukada yang dirancang sebagai demokrasi elektoral, justru menjadi ajang baru timbulnya konflik kekerasan. Jika sebelumnya konflik dilihat sebagai sebuah kewajaran, Pemilukada justru seolah membuat orang berpikir bahwa konflik kini kian mencemaskan. Benturan-benturan fisik antar pendukung calon kepala daerah menjadi pemandangan jamak yang ditemui. Singkatnya, mekanisme demokrasi yang ada seolah justru melegitimasi munculnya kekerasan akibat perbedaan yang sulit ditolerir antara pihak-pihak berkepentingan di arena demokrasi. Dengan kata lain, desain demokrasi di Indonesia dalam konteks penyelenggaraan Pemilukada telah gagal sebagai cara mentransformasikan konflik. Lalu, apa yang membuatnya gagal ?
Mas Hanif melihat adanya logika dasar yang dibangun dan bekerja dalam demokrasi elektoral (Pemilukada) di Indonesia. Logika tersebut dijelaskan sebagai berikut: pertama, pemilu yang diperkenalkan selama ini dibangun atas basis pondasi preferensi individu. Diumpamakan bahwa mereka yang berinteraksi adalah individu-individu otonom yang masing-masing memiliki preferensi tersendiri, one man, one vote, one voice. Asumsi ini sangat problematik jika dihadapkan pada masyarakat Indonesia, yang sebagai individu tidak pernah lepas dari kategorisasi-kategorisasi sosial yang membentuknya. Sebagaimana di Papua, satu suara lahir dari suatu honai (keluarga/rumah tangga), bukan dari satu individu. Jadi suatu “jamaah/umat” akan menentukan preferensi individu-individu yang ada di dalamnya. Preferensi individu sebagian besar didasarkan atas basis sosial (socially bounded Individu). Dari pilihan basis sosialnya, individu baru kemudian akan mempertimbangkan pilihan-pilihannya terhadap kandidat yang tampil dalam pemilu. Kandidat dalam hal ini juga tidak sekedar sebagai kandidat Pemilukada tetapi juga tokoh yang dianggap mewakili basis social tertentu. Tidak mengherankan jika kemudian tokoh masyarakat seperti Kyai, kepala suku atau tokoh panutan lain, akan lebih menentukan preferensi-prefensi atau pilihan individu untuk bertindak secara politik.
“Logika ‘winner take all’.. kemenangan kandidat dalam Pemilukada akan menentukan nasib satu kampung, etnis atau komunitas tertentu. Komunitas yang terwakili akan mampu bertahan karena adanya jaminan sumberdaya publik yang mereka dapatkan. Sementara bagi komunitas yang lain, nasibnya sangat besar kemungkinan akan terabaikan”
Kedua, jika melihat logika cara mengelola elektoralisme di Indonesia, maka yang berlaku adalah logika “winner take all”, “kalau saya dapat, yang lain tidak akan dapat”. Dengan kata lain, logika yang terbentuk adalah demokrasi dengan desain mediteranisme yang pada prinsipnya “siapa yang menang, maka dia yang akan mendapatkan segalanya”, sementara bagi yang kalah harus menunggu lima tahun lagi. Logika winner take all menciptakan dominasi kekuasaan, sebab konsekuensi dari kemenangan kepala daerah dari komunitas tertentu akan menciptakan “gerbong” birokrasi atas dasar basis sosial di lingkup pemerintahan daerah. Posisi-posisi birokrasi strategis akan dipegang oleh orang-orang yang berasal dari basis sosial yang sama. Sebaliknya, orang-orang (pejabat) yang berasal dari basis social berbeda akan tersingkir pada posisi pinggiran, yang bahkan sama sekali tidak diperhitungkan. Posisi yang dulunya merupakan posisi “mata air” berubah pada posisi “air mata” disebabkan perbedaan etnis atau basis sosial lainnya.
Logika winner take all, tidak hanya menjelaskan tentang adanya dominasi elit. Lebih jauh dari itu, kemenangan kandidat dalam Pemilukada akan menentukan nasib satu kampung, etnis atau komunitas tertentu. Komunitas yang terwakili akan mampu bertahan karena adanya jaminan sumberdaya publik yang mereka dapatkan. Sementara bagi komunitas yang lain, nasibnya sangat besar kemungkinan akan terabaikan. Kepala daerah terpilih akan memprioritaskan penyaluran bantuan sosial atau alokasi dana sosial ke komunitas tertentu yang merepresentasikannya. Akibatnya, kesejahteraan suatu entitas atau komunitas pendukung Kepala daerah terpilih akan terjamin dibanding komunitas lainnya. Begitu juga jajaran birokrasi yang telah didominasi oleh komunitas pendukung kepala daerah, akan melicinkan jalan memperoleh kesejahteraan bagi komunitasnya.
Akar Konflik (Pasca) Pemilukada
Pemilukada yang bekerja dengan logika socially bounded individu dan winner take all memunculkan persoalan konflik yang cukup rumit. Kompleksitas salah satunya berakar pada karakter masyarakat Indonesia sendiri. Struktur sosial yang terfragmentasi dimana masing-masing kelompok memiliki basis kuat, Nampak tidak kompatibel dengan logika Pemilukada yang dibangun pemerintah. Dilihat dari struktur masyarakat plural seperti itu, Pemilukada tidak bisa lagi dilihat hanya sekedar persoalan rekruitmen kepala daerah, tetapi lebih kompleks dari itu, Pemilukada menyangkut persoalan “hidup mati” sebuah komunitas. Dapat dibayangkan jika setelah Pemilukada konfigurasi birokrasi di daerah didasarkan atas basis sosial atau entitas tertentu seperti etnis, agama atau golongan lainnya, maka akan selalu ada peniadaan terhadap entitas lainnya yang berbeda. Karena itulah maka basis sosial menjadi tempat mereka bergantung dan menyalurkan aspirasinya.
Dominannya jalur aspirasi melalui basis social memang tidak dapat dilepaskan dari kurangnya mekanisme pelibatan publik luas dalam pengambilkan keputusan. Hampir bisa dikatakan bahwa iklim demokrasi di Indonesia pasca otonomi tidak mengalami perubahan yang berarti bagi hadirnya ruang publik. Tidak ada mekanisme efektif apapun yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan. Musrembang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) yang notabene sebagai ajang partisipasi masyarakat pun hanya menjadi suatu proses ritual demokrasi belaka. Birokrasi seolah menganggap masyarakat tidak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Dalih ini memberi otoritas bagi birokrasi sebagai pihak yang dianggap paling tahu dalam menentukan alokasi sumberdaya. Demikian pula dengan model ‘jaring asmara’ yang dilakukan oleh parlemen kepada masyarakat. Jaring asmara yang dimaksud, nampak tidak lebih dari proses meminta tanda tangan kepada masyarakat sambil menebar “uang recehan” dari suatu program, untuk kemudian kepada sekretariat dewan diminta untuk mempertanggungjawabkannya sebagai hasil reses penjaringan aspirasi masyarakat. Bukannya merangkul keterlibatan masyarakat, ‘jaring asmara’ justru menjadi penyebab tidak adanya waktu bagi masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan kebijakan yang menyangkut nasib mereka.
“Basis pemilihan masyarakat bukanlah pada apa yang dapat menjamin atau memastikan kesejahteraan atau mengeluarkan mereka dari kemiskinan, tetapi basis pemilihan menjadi lebih pada kesamaan entitas atau komunitas belaka…Kesadaran semacam inilah yang nampaknya menjadi landasan masyarakat dalam melihat Pemilukada, yang kemudian mendorong mereka berani mempertaruhkan nyawa, demi mempertahankan eksistensi entitasnya, demi eksistensi dirinya sendiri”
Dengan kondisi seperti ini, dimana ruang-ruang representasi dan artikulasi kepentingan masyarakat semakin sempit, preferensi utama masyarakat akan semakin mendekat pada basis entitas dibanding basis substansi. Basis pemilihan masyarakat bukanlah pada apa yang dapat menjamin atau memastikan kesejahteraan atau mengeluarkan mereka dari kemiskinan, tetapi basis pemilihan menjadi lebih pada kesamaan entitas atau komunitas belaka. Masyarakat tidak peduli dengan segudang janji atau desain visi misi yang secara substantif akan menjamin kehidupan mereka. Mereka lebih peduli bahwa calon pemimpin mereka harus berasal dari komunitas yang sama. Hal ini diyakini masyarakat akan lebih menjamin eksistensi entitas dan pemenuhan hak-hak mereka terkait alokasi sumberdaya publik, daripada sekadar visi misi yang mungkin sudah basi. Kesadaran semacam inilah yang nampaknya menjadi landasan masyarakat dalam melihat Pemilukada, yang kemudian mendorong mereka berani mempertaruhkan nyawa, demi mempertahankan eksistensi entitasnya, demi eksistensi dirinya sendiri.
Pada sisi yang lain, mekanisme demokrasi sebagaimana sebelumnya dipaparkan cenderung menjadikan masyarakat bersikap “pra bayar”. Masyarakat bukannya lebih memilih menggunakan momentum Pemilukada untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingannya secara ideologis, mereka justru menjadikan Pemilukada sebagai bagian dari sumber pendapatan uang tunai. Daripada mengaharap janji-janji Pemilu yang sudah sering tidak ditepati, masyarakat lebih memilih memperoleh uang tunai di awal sebelum menentukan pilihan. Mereka nampak telah skeptis dan berpikir bahwa akan lebih sulit mendapatkan kompensasi apapun dari pemenang Pemilukada setelah hingar bingar berlalu. Masyarakat seakan tahu: lebih baik memilih mengambil keuntungan di awal karena mereka tahu setelah Pemilukada, mereka akan ditinggalkan. Jika demikian, maka persoalan konflik Pemilukada bukan semata-mata karena adanya provokator atau adanya mekanisme dan regulasi yang tidak tepat. Tetapi konflik lahir sebagai dampak logika Pemilukada yang bersandar pada basis sosial amat kuat.
Mendesain Ulang Demokrasi (Elektoral) : Logika Konsosionalisme
Adanya kecenderungan demokrasi elektoral demikian menimbulkan suatu kebutuhan untuk memikirkan ulang desain demokrasi yang tepat bagi Indonesia dengan basis sosial yang multikultur dan terfragmentasi dengan begitu kuat. Paradigma mediteranian yang diaplikasikan sudah tidak tepat lagi digunakan dalam mekanisme electoral karena desain justru sangat sensitif merangsang timbulnya benturan atau konflik yang mengarah pada bentuk kekerasan. Mas Hanif mencoba menawarkan solusi paradigmatik dengan mendorong ke arah bentuk demokrasi konsosionalisme (consosionalism). Desain ini sebagai upaya mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan (winner take all) dan mendorong terjadinya power sharing. Desain konsosionalime berusaha menciptakan demokrasi inklusif yang tersebar dan saling membatasi.
Logika konsosionalisme sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah perpolitikan nasional. Secara informal, logika ini telah pernah digunakan dalam memetakan lingkup-lingkup kekuasaan oleh entitas tertentu, seperti Mendiknas yang dijatah untuk Muhammadiyah, Menteri Agama untuk Nahdatul Ulama (NU) atau alokasi menteri-menteri lainnya untuk komunitas tertentu – meskipun hal ini dianggap sebagai sebuah kecelakaan sejarah. Model konsosionalisme, berusaha menawarkan desain demokrasi dalam rekruitmen kepala daerah dengan mempertimbangkan struktur sosial masyarakat yang plural dan terfragmentasi kuat. Sehingga antar entitas-entitas yang ada dapat memiliki keseimbangan representasi dalam lingkup kekuasaan, baik pada wilayah parlemen maupun representasi birokrasi. Kepala daerah dapat merupakan representasi dari entitas A, namun wakilnya bisa berasal dari entitas B, jadi landasannya adalah basis sosial dari berbagai komunitas tertentu. Kepala dinas A dapat berasal dari komunitas X, sementara kepala dinas B dapat berasal dari komunitas Z, dan seterusnya.
“Model konsosionalisme, berusaha menawarkan desain demokrasi dalam rekruitmen kepala daerah dengan mempertimbangkan struktur sosial masyarakat yang plural dan terfragmentasi kuat. Sehingga antar entitas-entitas yang ada dapat memiliki keseimbangan representasi dalam lingkup kekuasaan, baik pada wilayah parlemen maupun representasi birokrasi”
Model konsosional bukan disandarkan pada mekanisme Pemilu, seperti di Indonesia yang menganut pemilihan langsung, melainkan dirancang berdasarkan keterwakilan komunitas tertentu di daerah pemilihan. Dengan logika ini, maka pemilihan langsung bukan tujuan utama. Sepanjang dapat menjamin keterwakilan entitas yang beragam, mekanisme tanpa pemilihan langsung pun dapat dibenarkan. Pemilu melalui pemilihan langsung oleh masyarakat ataupun pemilihan tidak langsung melalui parlemen atau presidium, bukanlah tolak ukur untuk menilai demokratis atau tidaknya suatu pemilu. Paling banter, mekanisme pemilihan langsung sebenarnya tidak lebih hanya untuk memperkuat sistem presidensial. Negara yang merasa paling demokratik sekalipun seperti Amerika, presidennya tidak dipilih oleh rakyat secara langsung melainkan melalui suatu Electoral College. Dengan menggambarkan negara Swiss, Mas Hanif kemudian melanjutkan bahwa pada proses demokrasi negara tersebut berjalan dengan desain konsosional. Alasan menggunakan model konsosional didorong oleh latar belakang sosial yang terfragmentasi baik dari segi bahasa maupun etnis. Dalam Pemilu Swiss, pemilihan diserahkan kepada sebuah presidium yang kemudian menentukan proportional representation di parlemen, yang akan berpengaruh pada komposisi di birokrasi.
Jika membayangkan Indonesia, maka model konsosional mungkin dapat diterapkan tidak dengan menyeragamkan mekanisme Pemilukada di seluruh daerah. Banyak model dalam memilih wakil rakyat di daerah dengan mempertimbangkan prasyarat keterwakilan entitas sebagaimana diajukan konsosionalisme mungkin bisa menjadi opsi tersendiri. Menyambungkan dengan teori Lipset yang mengatakan bahwa demokrasi membutuhkan prasyarat, maka prasyarakat sosiokultural dan ekonomi adalah dua diantaranya yang perlu diakomodir dalam mengajukan model konsosional. Hal ini diperlukan guna mengidentifikasi daerah mana yang dapat menggunakan pemilihan langsung atau melalui presidium dalam rekruitmen kepala daerah, sebagaimana logika yang telah diulas sebelumnya.
Mendesain demokrasi di tengah masyarakat yang majemuk dengan basis sosial terfragmentasi mungkin membutuhkan mekanisme beragam dalam memilih kepala daerah, termasuk menata konfigurasi birokrasi. Pada daerah yang “bersumbu pendek” – daerah dengan basis masyarakat yang sangat pluralistik, memiliki banyak sentrum entitas sosial (polisentrik) sehingga rentan terhadap benturan yang mengarah pada kekerasan – perlu dilakukan desain demokrasi yang dapat mentransformasikan konflik dengan memastikan representasi masyarakat baik dalam konfigurasi politik maupun birokrasi. Setelah itu, yang perlu diperhatikan pula dalam desain tersebut adalah menata ulang hubungan politik (political linkage) antara masyarakat di akar rumput dengan representasi entitasnya sehingga mampu menyambung aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam sebuah sistem demokratis.
Terakhir, sebenarnya tidak ada negara yang dengan sengaja betul-betul mempersiapkan desain demokrasinya dengan baik. Demokrasi lebih banyak tergantung pada praktik actual disbanding desain konseptual. Karenanya, kedewasaan demokrasi berjalan seiring perubahan-perubahan sistem sosial yang sangat kompleks. Kalaupun logika konsosional kemudian ditawarkan, maka hal yang sepatutnya dilakukan adalah merangkai kesepahaman dalam mengatur kepentingan dari komunitas yang berbeda. Melalui cara ini, benturan antar komunitas dapat diminimalisir sebagai cara menciptakan demokrasi sesuai konteks yang berlaku di masyarakat. Selanjutnya, konfigurasi politik dan birokrasi yang terbentuk perlu diatur agar tidak ada dominasi tunggal dan saling menjatuhkan. Meski demikian, sifat elitis dalam model konsosional juga penting diperhatikan. Alih-alih menghadirkan kedaulatan rakyat, demokrasi konsosionalis justru berpotensi menyerahkan kedaulatan pada elit semata. Sepanjang relasi rakyat dengan elit belum dapat dijamin keterwakilannya, model konsosional nampaknya masih perlu dipikirkan dengan seksama.
Oleh: Masni