Melawan Sandiwara Politik Berkedok Makar & Pencemaran Nama Baik
Polemik UU ITE terus menuai pro & kontra. Sejak kemunculannya di era SBY UU ITE tidak perna sepi perdebatan sampai awal tahun 2017 (pasca revisi UU No. 11 Tahun 2008 menjadi UU No. 19 Tahun 2016). Berbagai cibiran terus mewarnai dinamika UU ITE, sebagian ada yang menyebutnya sebagai pasal karet. Alasannya UU ITE menyerupai “karet” yang sifatnya lentur dan fleksibel. Dapat digunakan secara ketat dan disisi lain secara longgar tergantung konteks yang menyertainya. Sebagian lagi memberi sebutan sebagai “pasal keranjang sampah”.
Pendapat ini lebih cenderung melihat pasal-pasal dalam UU ITE khususnya bab VII tentang perbuatan yang dilarang seperti pasal 27, 28, 29 yang memuat tentang pencemaran nama baik & perbuatan tidak menyenangkan sebagai pasal sampah. Pasal-pasal tersebut dalam konteks dilapangan seringkali berbeda dengan aturan normatif yang ada. Oleh negara sampai ke penegak hukum pasal itu seringkali dijadikan eksperimen untuk menjerat seseorang yang dianggap sebagai ancaman. Ironisnya, konseptualisasi yang terbangun oleh penegak hukum terhadap “pasal keranjang sampah” tidak dipahami secara kaffah sehingga yang muncul adalah pembacaan secara subyektif pasal ke pasal oleh penegak hukum, begitupun oleh individu maupun lembaga, yang kebanyakan berakhir pada kasus “lapor melapor” dengan tuduhan makar & pencemaran nama baik.
Salah satu contohnya pada kasus Saut Situmorang. Budayawan dan seniman asal Yogyakarta ini dilaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik setelah terlibat diskusi sastra disalah satu group dimedia sosial. Diskusi saat itu mempersolkan terbitnya buku 33 tokoh sastra yang berpengaruh di Indonesia. Oleh Saut, dia mempertanyakan terbitnya buku tersebut, metode yang digunakan dalam penyusunan buku dan indikator 33 tokoh yang dipilih. Alasannya bagi Saut ada beberapa tokoh sastra indonesia yang namanya tidak terdapat disitu tetapi justru ada tokoh yang bukan sastrawan yang namanya ada dalam buku tersebut.
Namun, dari diskusi tersebut bukannya menemui titik terang tetapi justru Saut di laporkan setelah menulis disalah satu kolom komentar dengan kata “BAJINGAN”. Yang menurut Saut, sah-sah saja menggunakan terminologi itu dalam diskusi sastra. Selama itu sesuai dengan konteks dimana kata itu digunakan, apalagi menurut Saut ditengah-tengah diskusi sastra yang punya dimensi tersendiri yang sering memaknai sesuatu hal berbeda dengan yang lainnya. Sehingga bukan persoalan serius ketika harus mengatakan itu. Menurut Saut, kata bajingan sendiri tidak selamanya berkonotasi negatif, bajingan juga merujuk pada seseorang yang menjadi pengendali gerobak sapi yang mengangkut hasil bumi. Kata ini digunakan oleh masyarakat Jawa sejak dulu, dan sama sekali tidak dipersoalkan karena konteksnya yang memang relevan. Begitupun dengan profesi yang lain, ada banyak istilah, terminologi, tergantung dimensi dan profesinya. Politisi punya istilah sendiri, begitupun dengan sastrawan. Dan inilah kemerdekaan yang tidak seharusnya dipersoalkan. Celakanya ketika orang lain mengintegrasikan istilah-istilah tersebut ke dalam dunianya menjadi konsumsi tanpa menyertai dimana konteks dan latar belakangan kata itu di perdebatkan seperti “Bajingan”.
Kasus saut sebagai cermin atas aktifnya “sensor” negara terhadap segala persoalan kritis di negeri ini. Dimana UU ITE menjadi jubah negara untuk memperkecil ruang sensor pasca orde baru. Upaya mempertanyakan sesuatu akan direspon oleh negara sebagai kritik pedas, dengan alibi UU ITE siapa saja yang tidak disenangi oleh negara maupun pihak yang punya relasi politik akan sangat rentan untuk di perkarakan dengan tuduhan bermacam-macam. Sejak tahun 2016 sudah ada 3.700 kasus yang di tangani oleh kepolisian diseluruh indonesia yang berkaitan dengan UU ITE. Khususnya menyangkut tentang pencemaran nama baik & perbuatan yang tidak menyengkan. Dengan UU ITE, seseorang dengan mudahnya berurusan dengan pihak kepolisian.
Sementara itu menurut Tris Agus dosen APMD pada diskusi MAP Corner-Klub MKP edisi 21 Februari 2017, mengatakan ada kecenderungan republik ini mengalami “arus balik” ke masa orde baru. Ilusi demokrasi yang dihadapi hari ini hanyalah retorik demokrasi yang bersifat prosedural tetapi terlepas dari esensi yang lebih substansial. Semangat demokrasi yang salah satunya memberi kebebasan kepada media kembali menghadapi persoalan yang serius pasca terbitnya UU ITE. UU ITE salah satu contoh konkret kemunduran demokrasi di sektor media yang paling nampak saat ini. Arus balik, akan nampak dengan jelas setelah pemetaan secara singkat perkembangan media di tiga fase, Orde Baru, Masa transisi dan Demokrasi.
Media Pada Masa Orde Baru
Ciri orde baru adalah otoritariasme. Soeharto menjalankan orde baru dibawa kontrol yang sangat ketat. Menjalankan pemerintahan di bantu dengan Patrimonial Administrative yang terdiri dari militer, birokrasi dan golkar. Media tidak luput dari kontrol yang sangat ketat oleh orde baru. Harmoko selaku menteri penerangan Indonesia di era orde baru menjadi tameng terdepan untuk mengawasi gerak gerik media. Termasuk penerepan sensor terhadap apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan.
Media di orde baru berada di cekraman pemerintah. Ruang geraknya sangat dibatasi dan tetap berada dibawah kendali pemerintah. Tidak banyak yang bisa diperbuat oleh media kecuali tunduk dan patuh di bawah otoritas Soeharto. Akibatnya, ruang media semakin tertutup dan akses informasi publik sangat terbatas. Informasi yang beredarpun merupakan informasi satu arah yang biasanya hanya akan menguntungkan dan menjaga dinasti kekuasaan Soeharto.
Media Pada Masa Transisi Orde Baru Ke Reformasi
Memasuki era awal demokrasi, media nampaknya telah mendapat ruang yang lebih besar. runtuhnya orde baru telah meluluh lantahkan tembok yang selama ini mengurung kebebasan media. Kemerdekaan oleh media paling tidak tercermin dari dua regulasi, yaitu undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers yang memberi kebebasan kepada pers dan undangg-undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang semakin memberi kesempatan kepada media untuk melakukan penyiaran yang lebih terbuka.
Sekilas dua undang-undang ini sebagai warna baru bagi perkembangan media di Indonesia. Dengan dua regulasi ini sebuah panggung baru bagi eksistensi media di Indonesia. Hubungan media dengan negara tidak lagi hubungan sub-ordinat. Media punya ruang gerak yang lebih besar, kebebasan yang diperolehnya semakin tidak terbatas. Punya kebebasan secara obsulut untuk menyajikan informasi, baik itu menguntungkan negara ataupun merugikan.
Media menjadi alternatif corong demokrasi bagi warga negara. Aspirasi politik seringkali harus berakhir di media, melalui tulisan, liputan, opini bahkan oleh aksi massa yang menggunakan media sebagai sarana komunikasi kepada negara ketika mengalami kebuntuan politik. Era ini membuat media semakin lepas, seperti binatang buas yang sedang lapar. Terus bergerak dan sangat massif menyebarkan informasi yang selama ini jarang dijumpai khususnya ketika masa orde baru.
Media Pada Masa Reformasi
Tetapi, kebebasan itu tidak berlangsung lama. 10 Tahun demokrasi menjadi usia yang harus mengakhiri kebebasan media dan civil society. Tepatnya di masa pemerintahaan SBY, demokrasi kembali diciutkan dengan terbitnya UU ITE No. 11 Tahun 2008.
UU ITE ini memerankan diri sebagai penyerangan balik oleh para elit terhadap kekuatan civil society yang semakin progresif. Ada kecenderungan fase-fase awal demokrasi membuat negara semakin terdesak dengan adanya hadiah demokrasi “kebebasan” yang justru menjadi ancaman bagi para elit politik dan elit ekonomi yang selama ini menggunakan negara untuk menggapai kepentingannya. Nampaknya, perkembangan civil society yang terus membaik pasca orde baru membuat negara dan kapital mengalami kekhawatiran yang cukup serius.
Kekhawatiran itu langsung direspon oleh negara melalui terbitnya UU ITE No. 1 Tahun 2008, tetapi kali ini negara tidak lagi memainkan peran secara tunggal. Negara bersama dengan para elit bergandeng bersama secara mesra untuk menekan ruang gerak civil society khususnya di media massa & elektronik semakin sempit. Alasannya cukup sederhana, perkembangan demokrasi dengan kebebasa oleh civil society yang semakin membuas ternyata tidak menguntungkan para elit tersebut. Negara semakin terdesak dengan adanya kebebasan di media. Kebusukan-kebusukan para elit yang selama ini menguasai pemerintahan terus di suarakan melalui media sosial baik dalam bentuk kritik, nyanyian pengganggu malam, sorakan demonstran, dan tulisan-tulisan yang menuntut keadilan, baik oleh perorangan maupun oleh kelompok. Dengan bantuan media sosial, bangkai busuk yang disembunyikan oleh negara terus dimunculkan dan akhirnya mulai tercium hingga ke pelosok negeri yang terpencil sekalipun. Dan itu yang membuat tidur malam para elit beserta aparat pemerintahan semakin terganggu.
Selain itu, kebebasan civil society disatu sisi menguntungkan korporat seperti Facebook namun disisi lain menjadi duri bagi sebagian perusahaan. Dengan adanya ruang kebebasan yang begitu terbuka, siapa saja dengan lantang dapat meneriakan ketidak adilan atas perlakuan para elit. Sehingga bagi para oligark, itu menjadi ancaman bagi kekuasaan mereka.
Pasca orde baru misalnya, antara pemilik media dengan pimpinan partai politik terjalin hubungan mesra. Kasus pilpres 2014 menjadi bukti paling konkret bagaimana persengkokolan antara pengusaha media dengan penguasa parpol bercumbu dalam satu panggung demokrasi yang sangat vulgar. Publik di pertontonkan dengan sebuah sandiwara politik antara “ oligarki melawan oligarki” yang sama-sama di sokong oleh media sebagai mimbar untuk mengumbar janji-janji politik kepada masyarakat. Tontonan dan pemberitaan media di setting menjadi sesuatu yang boleh dan tidak boleh diperdebatkan. Sementara faktanya, semua yang ditampilkan hanya sandiwara telenovela yang tidak berujung pada kesejahteraan rakyat sebagaimana yang dijanjikan.
Media sosial dalam konteks ini lahir sebagai alternatif dari corong media mainstream. Media sosial dalam satu posisi dapat membawa pesan-pesan baru dengan perspektif yang lebih nakal untuk mempersolkan keadaan dan kondisi yang ada. Menyajikan alternatif lain dari sekedar sandiwara telenovela yang selama ini disajikan di media-media mainstream, Perdebatan yang disajikan pun lebih geliat dengan menyerang jantung oligarki ekonomi politik di negeri ini. Dan lagi-lagi itu sangat mengusik kemesraan pengusaha media dengan penguasa politik. Maka tidak ada jalan lain kecuali memanfaatkan parlemen sebagai perpanjangan tangan antara penguasa media dan penguasa politik untuk mengerdilkan ciutan civil society melalui UU ITE.
Dua alasan inilah yang secara sekilas menjadi pemicu lahirnya UU ITE di tengah iklim demokrasi (Agus, 2017). Tidak menguntungkan pihak pemerintah disatu sisi dan mengusik kepentingan korporat disisi yang lain lain. Sementara antara pemerintah dengan pihak korporat telah menjalin hubungan yang cukup mesra untuk kepentingan penguasaan secara tunggal sumber-sumber informasi di republik ini.
SBY Menanam Jokowi Petik Hasil
Meskipun UU ITE di usulkan di era SBY, namun yang paling menikmati keberadaan UU ITE adalah pemerintahan Jokowi-JK. Menurut Agus, jumlah kasus yang terkait dengan pelanggaran terhadap UU ITE lebih banyak dan lebih masiif di eranya Jokowi dengan jumlah kasus 3.700 dibanding dengan era SBY yang cenderung lebih sedikit.
Selain itu, revisi yang dilakukan di era pemerintahaan Jokowi-JK tidak berimplikasi besar terhadap penghapusan pasal-pasal yang dianggap kontroversial. Menurut Saut Situmorang, revisi pasal UU ITE yang terbaru lebih banyak merevisi pada aspek teknis dibanding dengan aspek substansial. Salah satunya yang banyak direvisi soal masa tahanan yang di perkecil menjadi paling maksimal 4 tahun dari sebelumnya 6 tahun. Sementara untuk persoalan pasal karet, tidak banyak disentuh bahkan tidak tersentuh sedikitpun.
Point selanjutnya, revisi UU ITE yang terbaru sama sekali belum menyinggung soal pelanggaran untuk informasi & transaksi elektronik. Sementara menurut Saut, seharusnya yang menjadi roh dari undang-undang ITE adalah untuk mengatur persebaran informasi & transaksi elektronik agar selaras dengan iklim demokrasi yang di hadapi saat ini.
Akhirnya, UU ITE No. 11 Tahun 2008 yang kemudian di revisi menjadi UU No. 19 Tahun 2016 adalah bagian dari sandiwara oligarki media dengan pemerintah untuk mempersempit ruang kritik civil society. Dimana setiap siapapun yang berusaha mengusik hubungan mesra antara kapital dengan negara akan diperhadapkan dengan pasal keranjang sampah dengan tuduhan makar ataupun pencemaran nama baik.
Sehingga tidak ada jalan lain, yang oleh Tris Agus mengungkapkan bahwa yang harus dilakukan adalah melawan sandiwara yang dimainkan oleh oligarki diatas, dengan membangun gerakan “Koletif Intelektual”. Sebuah gerakan yang berpihak untuk kepentingan dan perjuangan demokrasi disegala dimensi kehidupan. Lebih lantang Saut mengatakan tidak ada pilihan lain yang harus dilakukan oleh intelektual, ditengah kemelut persoalan yang di hadapi saat ini sudah seharusnya intelektual dengan berani berbicara dan berhadapan dengan kekuasaan. Tidak banyak yang bisa disandarkan oleh aparat negara, satu-satunya sandaran itu ada di pundak intelektual yang sudah harus bersikap.