KTT Bumi Rio +20 : Green Economy Sebagai Tameng Baru Kapitalisme?
KTT Bumi Rio+20 yang diselenggarakan di Rio De Jenairo, Brasil, 20-22 Juni 2010 kembali mempertemukan 120 kepala negara dari berbagai penjuru dunia. Satu poin penting yang diusung pertemuan ini adalah gagasan ekonomi hijau (green economy) sebagai strategi baru pembangunan berwawasan lingkungan. Gagasan ini bertolak dari kondisi pembangunan yang menyumbang dampak eksternalitas dan kerusakan lingkungan yang besar, hingga menggradasi bumi dan kehidupannya. Tidak sedikit negara di dunia, terutama negara-negara sedang berkembang merasakan kerusakan ekosistem dan musnahnya aset alam oleh pembangunan ekonomi yang hanya “meng-iming-imingkan” pertumbuhan tanpa mempertimbangkan dampak ekologisnya. Karena itu, green economy menjadi sebuah tawaran memperbaharui agenda pembangunan berkelanjutan guna menyelamatkan bumi dan melestarikan lingkungan.
Banyak kemungkinan yang bisa muncul dari hasil KTT Bumi Rio+20, termasuk timbulnya berbagai kepentingan yang berkedok perlindungan lingkungan. Negara-negara yang turut serta dalam perundingan tersebut menjadi aktor pemilik kepentingan yang akan menentukan masa depan lingkungan. Tidak sedikit pengamat mengkritisi KTT ini sebagai arena untuk melegalkan transaksi jasa pelestarian lingkungan yang diperankan oleh sebagian aktor tersebut. Nampak dari sini tangan invisible kapitalisme kembali bekerja untuk tetap mengeruk untung yang lebih banyak di negara-negara subur dan kaya sumber daya alam. Dibalik gagasan ekonomi hijau eksploitasi alam akan terus berlangsung dengan dilegitimasi komitmen bersama negara-negara di dunia. Begitulah forum itu disinyalir menjadi ajang konspirasi aktor dalam melanggengkan kapitalisme. Lantas, bagaimana konspirasi ini bekerja ? Bagaimana ekonomi hijau ditawarkan? Berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan ini, Forum MAP Corner – Klub MKP pada Selasa, 26 Juni 2012 berupaya mengupas konfigurasi dalam KTT Bumi Rio+20 dan berbagai implikasinya pada negara-negara maju maupun negara berkembang, bersama Suparlan – Direktur Eksekutif Walhi DIY.
Ekonomi Hijau: Strategi Baru Pembangunan ?
KTT Bumi Rio+20 merupakan kali ketiga rantai pertemuan mengusung isu pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan pada tingkat global. Tidak jauh berbeda dengan isu yang diangkat pada KTT Rio tahun 1992 dan KTT Bumi+10 tahun 2002 di Afrika Selatan, pada KTT Bumi Rio+20 ini mengangkat konsep green economy sebagai evolusi strategi pembangunan berkelanjutan. Jika pada forum KTT awal strategi pembangunan berkelanjutan hanya mengaitkan dengan masalah ekonomi, maka pada KTT selanjutnya agenda pembangunan berkelanjutan diperluas mencakupi aspek sosial dan lingkungan. Hasilnya, kemudian lahir dokumen bertajuk “The Future We Want” yang mengintrodusir Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai sebuah target pencapaian pembangunan yang ramah lingkungan.
Mas Parlan mengulas, konsep ekonomi hijau adalah sebuah kerangka yang dibangun pemerintah dengan rumusan yang berusaha mengintegrasikan dan mengsinkronisasi tiga aspek dalam pembangunan: sosial, ekonomi dan lingkungan. Terlepas dari adanya indikasi lain yang mungkin muncul, konsep tersebut menempatkan aspek lingkungan dan sosial sama pentingnya dengan aspek ekonomi. Dalam kaitan antara aspek lingkungan hidup dan ekonomi, Mas Parlan mengutip argumen Emil Salim, bahwa lingkungan hidup sebagai sebuah ekosistem akan menentukan tingkat produksi perekonomian yang bersumber dari alam; jika terumbu karang sebagai siklus hidup hewan laut rusak, maka produksi sektor perikanan akan menurun; sama halnya pada sektor pertanian, irigasi yang tercemar akan mempengaruhi hasil produksi pertanian; begitu pula pada sektor industri perkayuan, hutan yang rusak akan berdampak pada menurunnya produksi industri kayu; dan ketiganya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Gambaran ini bukan sebuah perumpamaan belaka tetapi adalah kenyataan yang terjadi di era 1970-an hingga 1980-an dari berbagai pembangunan sektoral yang lebih mengedepankan aspek ekonomi.
Fenomena serupa masih terus berlangsung hingga sekarang meski konvensi lingkungan hidup telah diratifikasi oleh negara-negara di dunia. Sekitar 200 perusahaan tambang terbesar – dalam hal ini yang dapat beroperasi 20 sampai 30 tahun – adalah milik asing yang bercokol di Indonesia. Dari jumlah ini dapat dipastikan berapa besar sumber daya alam yang dieksploitasi dan berapa besar kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkan. Bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri terlihat jelas pada PT. Freeport, PT. Newmont, PT. Lapindo Brantas dan masih banyak lagi yang lainnya. Bahkan, kehadiran dan kerusakan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaaan ini justru akibat legitimasi dari negara yang tidak berdaya mengendalikannya. Dapatkah kehadiran ekonomi hijau mengubah perusahaan ini menjadi sarat lingkungan ?
Ada sejumlah spekulasi yang kemungkinan akan menerjemahkan konsep ekonomi hijau. Secara ideal, konsep ini diharapkan menjadi solusi agar pembangunan dapat lebih memperhatikan lingkungan. Dan sebagai implementasinya, perusahaan-perusahaan yang ada harus mengadopsinya. Tetapi kekhawatiran justru muncul ketika konsep ini diterima sebagai peleburan dosa perusahaan-perusahaan yang selama ini merusak lingkungan. Sebab akan ada peluang mengeksploitasi lebih besar kekayaan alam yang makin membahayakan masa depan kelestarian lingkungan. Seterusnya, ketika hasil KTT Rio+20 menjadi acuan kebijakan pemerintah, maka akan ada konsekuensi yang lebih berat ditanggung masyarakat. Ekonomi hijau masih menjadi tawaran yang perlu diwaspadai.
Konfigurasi Dibalik Green Economy
Bukan pertama kali forum KTT lingkungan ini menghasilkan konsep-konsep alternatif yang dipoles dengan rumusan yang logis dan atraktif. Di awal-awal berkembangnya strategi pembangunan berkelanjutan, sangat gencar mengkritisi pembangunan ekonomi yang memporak-porandakan lingkungan. Lalu ekonomi hijau hadir lagi sebagai ‘mahluk baru’ yang menawarkan heroisme dalam menegakkan pembangunan yang ramah lingkungan. Akan tetapi, sebagaimana paparan di atas, gagasan tersebut masih menyisakan sekelumit penyangsian. Disinyalir ada konfigurasi dibalik konsep green economy yang dikemas menarik ini, berikut jelasnya.
Secara konseptual, ekspektasi ekonomi hijau adalah terjadinya keseimbangan antara kebutuhan dan keterbatasan alam. Kecenderungan manusia untuk terus menerus mengeksploitasi sulit dihindari, sementara alam memiliki siklus yang membutuhkan waktu untuk menyediakan sumber daya yang cukup. Kunci ekonomi hijau terletak pada upaya manusia me-manage lingkungan supaya tetap suistained memenuhi kebutuhan manusia. Namun dalam prakteknya, konsep ini akan sangat mudah dimanfaatkan oleh negara-negara maju yang menawarkan aktivitas pelestarian alam di negara berkembang. Dalam logika pemantik, keterbatasan ini akan berusaha dipertahankan agar negara-negara maju dapat tetap memainkan peran dengan gagasan ekonomi hijau. Bustanul Arifin dalam sebuah kolom media dengan tegas membahasakan bahwa ekonomi hijau dapat menjadi pasar jual-beli jasa lingkungan hidup, yang pastinya akan lebih banyak menguntungkan negara-negara maju yang tidak lain juga adalah sumber datangnya perusahaan-perusahaan yang berkontribusi besar pada kerusakan lingkungan. Contohnya REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), disatu sisi dapat dianggap sebagai bagian green economy karena investasinya yang besar dalam upaya pengurangan emisi, degradasi lingkungan dan deforestasi, tetapi di sisi lain, aktivitas ini adalah kontribusi dari salah satu negara penyalur pencemaran/kerusakan lingkungan terbesar di dunia, yang pastinya juga akan mendapat untung yang lebih besar ketika program ini dilangsungkan.
“Dalam konteks dunia, green economy sejauh ini mendapat predikat baik, bahkan mendapat dukungan berbagai negara, terutama dari negara dunia ketiga yang umumnya menjadi lahan eksploitasi sumber daya alam. Padahal, ketika ekonomi hijau sudah bekerja, pada saat yang sama aktivitas ini dapat melanggengkan eksploitasi sumber daya alam yang lebih besar, begitu juga dengan terjadinya degradasi lingkungan. Green economy memberi kemudahan negara maju melakukan aktifitas ekonomi yang dinamis dengan kemasan ramah lingkungan. Di lain hal, negara sedang berkembang – seperti Indonesia – juga tetap membuka diri bagi masuknya investasi asing dengan berbagai konsesi kebijakan. Ibarat musang berbulu domba, ekonomi hijau menjadi instrumen apik yang dilegalisasi pemerintah untuk mengikis aset alam dan merusak ekosistem di negara berkembang”
Munculnya konfigurasi ini memang mudah dituduh sebagai strategi baru kapitalisme. Dalam konteks dunia, green economy sejauh ini mendapat predikat baik, bahkan mendapat dukungan berbagai negara, terutama dari negara dunia ketiga yang umumnya menjadi lahan eksploitasi sumber daya alam. Padahal, ketika ekonomi hijau sudah bekerja, pada saat yang sama aktivitas ini dapat melanggengkan eksploitasi sumber daya alam yang lebih besar, begitu juga dengan terjadinya degradasi lingkungan. Green economy memberi kemudahan negara maju melakukan aktifitas ekonomi yang dinamis dengan kemasan ramah lingkungan. Di lain hal, negara sedang berkembang – seperti Indonesia – juga tetap membuka diri bagi masuknya investasi asing dengan berbagai konsesi kebijakan. Ibarat musang berbulu domba, ekonomi hijau menjadi instrumen apik yang dilegalisasi pemerintah untuk mengikis aset alam dan merusak ekosistem di negara berkembang. Sungguh sebuah dilema bagi negara-negara yang terlanjur memelihara kapitalisme di buminya.
Dalam konteks yang lain, ekonomi hijau juga dapat berupa inovasi bagi peningkatan produksi perekonomian. Di sektor pertanian, petani diarahkan untuk menggunakan bibit unggul dan peralatan canggih yang diperoleh dari impor. Artinya, peningkatan produksi pangan tidak lagi bersifat contextual locally, melainkan lebih mengandalkan rekayasa genetik dan teknologi dari luar. Sebagai salah satu bentuk pengembangan ekonomi hijau, hal ini sebenarnya sudah terjadi sejak dulu di Indonesia melalui program “revolusi hijau”. Implikasinya kini sudah menggantikan bibit lokal, pupuk organik/alami, cangkul, pacul, dan kerbau sebagai kearifan bertani lokal. Disini sekali lagi menguntungkan asing, sebab ketergantungan akan tercipta dan kearifan lokal perlahan ditinggalkan bahkan mungkin terlupakan.
Jadi, menurut Mas Parlan, gagasan ekonomi hijau sangat beralasan untuk diwaspadai. Karena sangat mungkin implementasinya tidak lain adalah ajang kapitalisme baru yang kini sudah dengan kemasan semakin peduli lingkungan. Secara substansi, kapitalisme akan selalu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Sehingga ekonomi hijau yang digagas pada KTT Rio+20 akan mudah dimanfaatkan bagi negara maju sebagai legitimasi aktivitasnya untuk tetap mengeruk laba dari sumber daya alam negara berkembang. Apalagi masih belum ada defenisi yang jelas dan pasti mengenai green economy yang dapat diterima oleh komunitas dunia (CSO/aktivis pemerhati lingkungan, pengamat, maupun pemerintah/negara). Rumusan hasil KTT masih kabur dan belum memiliki instrumen yang tegas untuk melindungi bumi. Dengan belum adanya kejelasan, berbagai kepentingan akan gampang bermain di dalamnya.
Neo Kapitalisme, Ekonomi Hijau dalam Konteks Indonesia
Jika lebih tajam menyorot ke Indonesia, terdapat berbagai keganjilan dalam aktivitas yang ber-terma “green” untuk menjaga keberlangsungan pembangunan ekonomi sektoral. Satu diantaranya yang banyak mendapat sorotan dalam forum diskusi MAP Corner – Klub MKP, yakni kehadiran REDD sebagai dewa penolong bagi lingkungan. Argumennya, REDD dalam menjalankan peran sebagai pemberi kompensasi untuk perlindungan hutan dari dampak emisi karbon negara maju (akibat adanya perdagangan karbon) tidak menyertakan adanya pembatasan transaksi pembuangan gas emisi karbon ke belantara hutan Indonesia. Jelasnya, perdagangan karbon sebagai transaksi pasar berjalan beriringan dengan upaya mengurangi dampak emisi karbon di hutan. Jadi secara logika, aktivitas REDD ini sama halnya dengan memelihara hutan agar tetap dapat menampung gas buang (CO2) dari produksi negara tersebut. Kendatipun REDD beranggapan bahwa aktivitasnya adalah bentuk penghapusan utang (ganti rugi) atas kerusakan lingkungan oleh perusahaan multinasional asal negara-negara maju, namun dibalik itu ada motif lain yang hendak dicapai, yakni tetap berjalannya perdagangan karbon. Aktivitas REDD ini menjadi satu titik tolak memahami bagaimana kapitalisme bekerja lewat mekanisme ekonomi hijau.
“REDD dalam menjalankan peran sebagai pemberi kompensasi untuk perlindungan hutan dari dampak emisi karbon negara maju (akibat adanya perdagangan karbon) tidak menyertakan adanya pembatasan transaksi pembuangan gas emisi karbon ke belantara hutan Indonesia. Jelasnya, perdagangan karbon sebagai transaksi pasar berjalan beriringan dengan upaya mengurangi dampak emisi karbon di hutan. Jadi secara logika, aktivitas REDD ini sama halnya dengan memelihara hutan agar tetap dapat menampung gas buang (CO2) dari produksi negara tersebut…ada motif lain yang hendak dicapai, yakni tetap berjalannya perdagangan karbon”
Masuknya REDD ke Indonesia adalah hasil perjuangan konvensi perubahan iklim (climate change) di Bali tahun 2007. Tetapi diterimanya REDD tidak semata-mata karena alasan lingkungan. Besarnya kompensasi menjadi salah satu faktor pendorong kehadirannya. Makanya, REDD juga mendapat penolakan dari berbagai CSO lokal dan kelompok masyarakat di daerah otonom. Tetapi negara cukup sadar akan ketertinggalannnya dalam hal teknologi, rendahnya kemampuan mendanai serta miskinnya strategi dalam pemanfaatan/pengelolaan lingkungan dan sumber daya sendiri. Sehingga keputusan yang rasional adalah tetap menerima program tersebut. Di sini nampak jelas, kesenjangan (gap) yang ada menjadi celah yang dimanfaatkan oleh negara maju untuk menciptakan ketergantungan sebagai bagian dari kerja kapitalisme baru.
Aktivitas kapitalisme memang tidak mudah dikendalikan, terlebih turut ditunjang oleh rendahnya pemahaman masyarakat pun pemerintah sendiri. Dalam sebuah anekdot versi Bang Robby diceritakan :
“suatu ketika seorang pejabat publik, mantan atase perdagangan Indonesia di Kanada berkunjung ke Jerman. Sebagai tamu yang membawa misi perlindungan hutan, pejabat tersebut dibawa berjalan-jalan dari utara ke selatan, dari Hamburg ke Braunschweig. Di tengah perjalanan, sang pejabat melihat ada rumah kaca di sebuah areal pertanian. Lantas dengan lantang kemudian berkata, ‘gara-gara ini lingkungan kita rusak’. Argumen ini lalu dibantah oleh salah seorang dari rombongan Jerman bahwa itu hanyalah sebuah metafora dari global warming. Tetapi Sang pejabat publik dari Indonesia tetap ‘sok tahu’ mengatakan bahwa fakta itulah salah satu penyebab kerusakan bumi ini. Sudah bisa disimpulkan disini bahwa pejabat tersebut tidak memahami secara ilmiah isu tersebut. Dapat dibayangkan ketika dia adalah negosiator green policy di front terdepan Indonesia-Kanada, keputusannya pasti akan akan sangat fatal”
Gambaran ini cukup menggelikan sekaligus meresahkan. Pasalnya, ketidaktahuan pejabat publik akan lebih memudahkan kepentingan asing terakomodasi dalam kebijakan publik. Sudah tiga dekade kebijakan lingkungan terus diperbaharui, tetapi belum ada implikasi yang berarti pada masa depan alam Indonesia. Dalam kurun 1982 hingga 2009, telah lahir tiga kebijakan lingkungan yang substansinya secara dinamis telah mencakup ketentuan pokok hingga menegaskan perlindungannya (UU No.4/1982, UU No.23/1997 dan UU No.32/2009). Akan tetapi perubahan ‘konteks’ yang terjadi, membuat relevansi kebijakan menjadi blur. Konteks yang dimaksud dapat berupa perubahan lingkungan maupun ke arah mana strategi dan isu diigiring oleh aktor internasional. Malangnya, kebijakan Indonesia selalu terombang ambing oleh mekanisme global yang selalu tunduk pada skema pasar. Ditambah adanya rent-seeking behaviour politisi yang turut andil dalam penentuan kebijakan tersebut.
Mengawal dengan Kedaulatan
Bagaimanapun konteks perlindungan lingkungan tercipta, by design, saat ini penyelamatan lingkungan dan bumi memang mendesak untuk segera dimulai. Berbagai alternatif seperti moratorium dan rehabilitasi, konservasi, dan berbagai strategi lainnya harus segera dijalankan. Meski keterlibatan asing masih sangat besar, pemerintah harus mampu memegang peran utama sebagai aktor dalam perlindungan dan pelestarian lingkungan. Disini, penguatan peran negara harus bersandar pada sebuah konteks kedaulatan, tegas pemantik diskusi ini.
Secara sederhana, kedaulatan dalam konteks ini mencakup tiga pilar, yakni: tata kelola, tata kuasa dan tata manfaat. Pilar-pilar ini menjadi tonggak kuat yang perlu dikompilasikan secara nasional untuk mendapat posisi tawar pada mekanisme global. Setiap elemen harus digerakkan melalui integrasi dan sinergi antar sektoral. Dengan kata lain problem lingkungan tidak boleh lagi diserahkan kepada skema pasar untuk menyelesaikannya. Kita perlu meyakini bahwa kedaulatan dapat menjadi basis yang kuat untuk mengawal pembangunan yang ramah lingkungan. Tentunya juga perlu ditunjang oleh kesadaran bahwa lingkungan memiliki makna yang besar bagi kelangsungan hidup bangsa. Jika ini dapat terinternalisasi pada semua elemen dalam negara, maka apapun konsepnya (green economy) kelestarian lingkungan tetap akan terjaga. Bukan atas andil asing tetapi oleh komitmen kita bersama.
Oleh: Masni