Korupsi Kementerian dan Kartel Politik
Selasa sore, 20 September 2011, Magister Administrasi Publik (MAP) UGM kembali mengadakan diskusi mingguan MAP Corner. Kegiatan ini merupakan yang ketiga kalinya diselenggarakan oleh MAP UGM, bertempat di Lobby Lantai 1 Gedung MAP UGM. Sama halnya dengan diskusi-diskusi yang diadakan sebelumnya, sore itu sofa-sofa dan meja telah tersusun rapi membentuk lingkaran, dimana di setiap meja telah tersaji hidangan khas angkringan, dari mulai ketela, pisang, hingga kacang rebus. Suasana santai sengaja dihadirkan untuk menghindari kesan formal. Diskusi yang berjalan ringan dan dialogis namun tidak mengesampingkan sisi keseriusan merupakan tujuannya. Tema bahasan untuk diskusi kali ini bertajuk ‘Korupsi Kementerian dan Kartel Politik’ dengan menghadirkan pemantik diskusi Dr. Kuskridho Ambardi, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM yang juga sebagai penulis buku “Mengungkap Kartel Politik : Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi” dan Direktur Riset Lembaga Survey Indonesia.
Waktu telah menunjukkan pukul 15.30, ketika peserta semakin banyak berdatangan. Sebuah tanda antusiasme tinggi untuk mengikuti forum diskusi ini. Tidak tanggung-tanggung, panitia bahkan harus menambah tiga baris kursi untuk memenuhi antusiasme pegiat diskusi. Tidak jauh berbeda dengan putaran sebelumnya, MAP Corner kali ini juga diikuti oleh kalangan akademisi, mahasiswa, praktisi, dan juga pegiat LSM. Dalam kesempatan kali ini, turut hadir pula Pengelola MAP, diantaranya Pak Agus Pramusinto, Pak Erwan, dan Mas Ely. Pak Erwan bahkan bertindak sebagai moderator, memandu diskusi sang senior, Mas Dodi -panggilan akrab Kuskridho Ambardi-.
Setelah diperkenalkan secara singkat oleh Pak Erwan, Mas Dodi yang beberapa kali terlihat menikmati wedhang Secang, akhirnya membuka diskusi. Sebelum menjelaskan kartel politik yang terjadi di Kementerian, Mas Dodi mengawali dengan memaparkan bahwa di era reformasi ini, bukannya terbentuk sistem kepartaian yang kompetitif, tetapi justru sebaliknya, tercipta sistem kepartaian yang terkartelisasi. Hal ini ditandai dengan fenomena sering tidak konsistennya perilaku partai antara menjelang dan sesudah Pemilu berlangsung. Jika pada masa kampanye partai-partai saling bersaing sengit menonjolkan ideologinya untuk membedakan diri mereka dengan partai lain, namun ketika pemilu usai, persaingan tersebut seolah-olah menjadi tidak berbekas sama sekali. Persaingan sengit berganti dengan kerjasama mesra. Mereka mulai membangun koalisi yang terkesan aneh jika dilihat dari sudut pandang ideologis. Contoh paling jelas dari hal ini mungkin adalah kasus Hamzah Haz. PPP (partai Hamzah Haz) yang mengatasnamakan partai berbasiskan Islam, pada awalnya bersikeras menyatakan menolak calon perempuan menjadi Presiden Indonesia (Megawati). Namun terbukti, ini hanyalah lip service belaka. Buktinya, bukannya menolak, Hamzah Haz yang juga kader PPP, justru bersanding mendampingi Megawati Soekarno Putri sebagai Wakil Presiden, setelah lengsernya Gus Dur sebagai presiden. Ini makin mempertegas bahwa ideologi hanya untuk berjualan pada masa kampanye, selanjutnya: terserah kepentingan mana yang ingin diraih.
Pada masa kampanye, partai politik begitu gencar melakukan terobosan-terobosan, bersaing satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan popularitas. Popularitas yang ingin dicapai tersebut mengalami pergeseran makna, yaitu bukan lagi untuk mendapatkan banyaknya suara tetapi lebih kepada bagaimana menarik donatur yang diharapkan dapat memberikan suntikan dana. Dana tersebut terutama digunakan untuk membiayai proses kampanye guna memenangkan calon dari partai agar bisa menduduki posisi penting di pemerintahan. Setelah calon lolos menduduki pemerintahan diharapkan dapat menjadi mesin partai untuk menghimpun dana yang lebih besar lagi, terutama yang bersumber dari pemerintahan. Tak dapat dipungkiri bahwa uang memainkan peran begitu penting dalam kelangsungan hidup partai. Organisasi partai yang begitu besar dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia membutuhkan dana operasionalisasi yang besar pula. Oleh karenanya, organisasi partai mau tidak mau harus memutar otak untuk mendapatkan sumber keuangan demi eksistensi partai.
Sudah menjadi hal umum jika biaya politik di Indonesia dikatakan mahal. Sebut saja, untuk melakukan kampanye tiap partai setidaknya harus mengeluarkan dana sebesar 500 milyar. Dana sebesar itu tentunya mustahil jika hanya didapatkan dari iuran anggota saja. Lebih-lebih subsidi Pemerintah telah dihapus pada Pemilu 2009, partai yang tidak bisa mengandalkan iuran anggota akan tergantung pada donatur dan pengusaha. Selain itu juga terdapat perubahan cara berkampanye, yaitu dengan membangun pencitraan melalui media. Pencitraan terutama dilakukan melalui sarana iklan televisi. Penggunaan media dalam kampanye ditengarai merupakan cara yang paling efektif untuk menggaet massa. Ketika iklan yang ditampilkan diprediksi dapat meningkatkan perolehan suara banyak, maka donatur akan melihat ini sebagai potensi partai tersebut untuk dapat memperoleh kekuasaan yang lebih besar di tingkat pemerintahan. Sehingga para donatur pun berani menanamkan “modalnya” di partai tersebut. Akan tetapi, cara kampanye ini juga memerlukan dana yang begitu besar. Rasanya tidak mungkin jika partai mampu secara mandiri membiayai pengeluaran tersebut. Maka yang menjadi sumber pencarian dana tersebut adalah kursi-kursi di pemerintahan, terutama parlemen dan kementerian.
Setelah pemilu usai, partai-partai saling membentuk koalisi dengan tujuan untuk mendapatkan porsi dalam pemerintahan, terlebih kabinet (kementerian) dan parlemen. Di Kementerian, terjadi jual beli jabatan khususnya untuk pejabat eselon 2 & 3 dan juga jabatan staf khusus. Menteri memiliki kewenangan untuk mengangkat pejabat eselon 2 & 3. Disinilah celah terjadinya jual beli jabatan. Menteri tentunya akan memilih orang-orang kepercayaan menduduki jabatan tersebut, terutama yang dahulunya memberikan dukungan dalam pemilu. Sehingga terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Selain itu juga, posisi sebagai menteri tentunya akan dengan mudah mengatasnamakan kekuasaannya untuk meloloskan proyek-proyek para pengusaha dimana pada masa pemilu sebelumnya telah memberikan sokongan dana. Inilah hubungan timbal balik untuk menjamin kehidupan partai. Selain itu, di parlemen juga terdapat Badan Anggaran (Banggar). Banggar memiliki kewenangan untuk menentukan dan mengesahkan jumlah alokasi budget pemerintah. Keberadaan Banggar menjadi sasaran empuk politik kartel tersebut, dimana setiap fraksi saling berkoalisi untuk mendapatkan alokasi dana yang besar di setiap departemen yang merupakan representasi dari partainya.
Semakin lama diskusi berjalan semakin menarik. Mas Dodi berpendapat bahwa kepentingan finansial yang bersifat kolektif adalah alasan utama partai-partai melakukan koalisi dan hanya mengabdi pada kepentingan koalisi tersebut dan terkadang mengesampingkan ideologi yang menjadi dasar sejak awal. Kepentingan kelompok tersebut menjadikan partai-partai melihat jabatan menteri dan parlemen menjadi sasaran empuk untuk mendapatkan rente bukan untuk mencapai kepentingan ideologis. Kondisi politik saat ini memperlihatkan bagaimana lembaga eksekutif dan legislatif telah menjadi perburuan rente. Eksekutif, yakni menteri memiliki kekuasaan untuk meraup dana dari berbagai sumber. Legislatif, DPR dapat menarik dana dengan menjalankan berbagai jenis kekuasaan yang dimiliki, yang kemudian dibagi-bagi kepada partai yang merupakan koalisi. Jelas sudah, bahwa partai-partai membutuhkan rente untuk kelangsungan hidup mereka yang kemudian disatukan dalam kepentingan bersama. Kepentingan bersama inilah yang kemudian melunturkan komitmen ideologi partai sebagaimana telah diusung sebelumnya. Mas Dodi melihat ini sebagai kartelisasi partai politik.
Adapun ketika terjadi permasalahan di kemudian hari, masing-masing partai tidak bisa saling menyerang satu sama lain. Hal ini dikarenakan mereka berada dalam satu lingkaran kartel. Sehingga jika satu saja mencoba untuk bersuara menyerang yang lain maka semua pun akan bernasib sama dan mengancam kesolidan lingkaran kartel tadi. Jika demikian, apakah masih ada harapan bagi rakyat di luar kartel yang saling melindungi itu?
Ternyata Mas Dodi termasuk orang yang tidak pesimis dengan kondisi sekarang. Dia melihat KPK, dengan segala kekurangannya, masih dapat dan perlu diandalkan untuk memecah atau bahkan meruntuhkan kartel politik yang nampak sangat solid. Optimisme Mas Dodi didasari pada efek ketakutan, terutama di daerah, terhadap langkah pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Efek demikian menunjukkan, kata Mas Dodi, sinyalemen bahwa para calon koruptor makin hati-hati dan berpikir panjang sebelum akhirnya berani memutuskan untuk melakukan korupsi. Dengan demikian, KPK perlu terus didukung oleh elemen civil society. Termasuk yang juga perlu didukung adalah ICW yang dalam gambaran Mas Dodi masih punya semangat militansi yang tinggi dalam memberantas korupsi. Gaji yang kecil dan ancaman intimidasi terhadap aktivis ICW perlu direspon oleh public dengan memberikan bantuan baik material maupun immaterial kepada lembaga independen itu.
Selain memperkuat KPK dan elemen masyarakat sipil, Mas Dodi juga mengidentifikasi alternatif lain untuk mengatasi kartel politik yang berujung pada kasus korupsi tersebut. Menurutnya, ide untuk memberikan subsidi Negara kepada para parpol dapat menjadi salah cara yang efektif. Memang subsidi negara tersebut tidak bisa memberikan jaminan bahwa korupsi lantas akan terhenti. Lebih-lebih juga ada yang menyebut bahwa jika subsidi tersebut berbentuk kontan dan terbagi secara rata untuk semua partai, hal ini justru akan membuat akuntabilitas menjadi tidak jelas dan cenderung penuh dengan aroma manipulasi.
Meski demikian, Mas Dodi melihat subsidi Negara tetap penting. Namun bukan dalam bentuk uang kontan, melainkan dalam bentuk pembayaran biaya iklan kampanye partai oleh negara. Uang tidak dibayarkan ke kantong partai, tapi langsung ke pihak pembuat dan penyiar iklan kampanye partai. Negara memfasilitasi tiap parpol untuk berkampanye dan melakukan kegiatan operasional partai. Upaya fasilitasi tersebut bisa dalam bentuk program yang berlaku sama untuk semua partai. Sehingga masing-masing partai mempunyai porsi yang sama untuk menarik simpati publik. Selain itu, atmosfer demokrasi juga akan lebih tercipta, karena masing-masing partai saling berkompetisi dengan sumber yang sama. Jika biaya kampanye dapat ditekan, Mas Dodi berharap, kebutuhan partai untuk mencari dana tidak sekuat sebelumnya. Tentu saja harapan berikutnya adalah tuntutan bagi partai untuk mencari uang melalui cara-cara illegal dapat berkurang.
Alternatif lain yang juga disinggung Mas Dodi adalah wacana pemilu murah. Meski demikian, dia belum bias memberikan komentar lebih jauh tentang wacana ini karena gagasan yang dilontarkan oleh kolega di Jurusan Politik dan Pemerintahan nampak belum terlalu jelas. Yang jelas, alternatif apa pun yang dapat memperlemah atau bahkan meruntuhkan kartel politik perlu didukung.
Diskusi tengah berlangsung seru hingga tak terasa waktu sudah beranjak pada pukul 17.00. Pak Erwan selaku moderator pun akhirnya menutup diskusi sore itu. Sebelum acara benar-benar selesai, dilakukan penyerahan kenang-kenangan berupa lukisan karikatur kepada Mas Dodi oleh Ketua Program Magister Administer Publik (MAP) UGM, Pak Agus Pram. Namun antusiasme peserta diskusi tidak berhenti sampai disini. Meskipun acara telah usai, para peserta tetap membentuk kelompok-kelompok kecil diantara mereka untuk sekedar berbincang melanjutkan diskusi.