Konflik Agraria, Reforma Agraria dan Diferensiasi Kelas Petani
Ratusan petani Jambi yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945 untuk Trisakti (GNP 33 UUD 1945 untuk Trisakti) melakukan aksi jalan kaki sejauh 1000 km dari Jambi menuju Jakarta. Petani yang tergabung dalam aksi tersebut menuntut kejelasan nasibnya setelah bertahun-tahun terjerat konflik agraria dengan beberapa perusahaan besar yang merampas tanah mereka.
Disampaikan Ahmadi Rifai, Ketua Umum Serikat Petani Nasional (STN) dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP (5 April 2016), aksi tersebut berkomposisikan tiga konflik agraria. Pertama, konflik yang melibatkan Suku Anak Dalam (SAD) 113 vs. PT. Asiatic Persada – dimana 3.550 ha tanah ulayat milik SAD 113 diserobot oleh PT. Asiatic Persada. Kedua, penyerobotan tanah oleh PT. PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) dan PT. Wanakasita Nusantara terhadap tanah petani di beberapa desa di Batang Hari dan Sorolangun. Dan ketiga, keberadaan Taman Nasional Berbak yang dirasa setiap tahun memperluas kawasan tersebut dengan merubah tapal batas, sehingga merampas tanah milik petani di sekitarnya.
Oleh karenanya, GNP 33 UUD 1945 dalam aksinya menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (LHK-RI) agar segera merealisasikan Surat Keputusan Pencadangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), sesuai dengan Surat Menteri Tertanggal 30 Januari 2013. Lalu menyerukan Kementerian LHK-RI untuk meninjau ulang Surat Penetapan Taman Nasional Berbak, dan mengembalikan tanah dan perkampungan mereka yang telah diserobot oleh Taman Nasional Berbak. Selain itu, para petani juga menuntut agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia untuk mengembalikan tanah ulayat milik Suku Anak Dalam (SAD) 113 Seluas 3.550 ha sesuai dengan Surat Insrtuksi Gubernur Jambi No: S.525.26/1403/SETDA.EKABANG-4.2/V/2013 tertanggal 7 Mei 2013. Dan yang tidak kalah penting, para petani juga bermaksud menagih janji Presiden Joko Widodo semasa kampanye yang berjanji akan menyelesaikan konflik dan ketimpangan agraria di Indonesia dengan mendesak dibentuknya Komite Nasional Penyelesaian Konflik Agraria yang mengacu pada Nawacita, UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960.
Pengambilalihan Tanah Rakyat dan Konflik Agraria
Pada kesempatan yang sama di diskusi MAP Corner-Klub MKP (5 April 2016), M. Nazir Salim, Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta – untuk meninjau skema konflik agraria, patut ditelisik terlebih dahulu bagaimana korporasi mampu melakukan penguasaan terhadap tanah rakyat. Dalam hal ini Negara dengan dalih pembangunan nasional membuka akses untuk korporasi agar melakukan kegiatan investasi di berbagai sektor strategis dengan jalan akuisisi lahan yang sebelumnya dimiliki petani yang justru berujung pada praktik penghilangan signifikansi masyarakat lokal dalam keterlibatan pembangunan nasional itu sendiri.
Tahun 1958, Presiden Soekarno mengeluarkan Undang-Undang No. 78 Tentang Penanaman Modal Asing. Dalam UU ini diatur bagaimana korporasi yang dianggap penting untuk Negara diberikan ruang untuk menggunakan lahan melalui skema pelimpahan hak atas tanah dan hak usaha (Bab IV UU No. 78/1958). Dari sini lah konflik agraria satu per satu muncul dalam bentuk tumpang tindih kememilikan lahan dan juga ketimpangan agraria, sehingga UUPA pada tahun 1960 ditetapkan untuk mengatasi konflik melalui skema redistribusi tanah kepada petani miskin.
Sebelum UUPA berhasil ditegakkan, gejala penyakit yang sama justru ditelurkan oleh aktor yang berbeda, kala Undang-Undang Penanaman Modal Asing ditetapkan pemerintahan Orde Baru. Mulai dari tahap ini berbagai kebijakan dan regulasi pembangunan sektoral dibuka selebar-lebarnya bagi pemodal – dengan dalih percepatan pembangunan ekonomi. Tetapi dalam kenyataan praktiknya hal tersebut justru digunakan oleh para elit politik dan ekonomi untuk menguasai sumber daya dan aset nasional. Dan anehnya, skema pembangunan serupa masih dilakukan hingga saat ini.
Implikasinya tentu saja konflik agraria di Indonesia bukannya terselesaikan, tetapi semakin meningkat. Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria, peningkatan jumlah konflik agraria di Indonesia pada tahun 2009-2014 adalah 430% dengan konflik terbanyak ada pada sektor perkebunan dan infrastruktur.
Reforma Agraria sebagai Solusi Konflik Agraria
Mengacu pada UUD 1945 (terutama pasal 33) dan UUPA No. 5 tahun 1960, reforma agraria dianggap sebagai solusi atas konflik agraria. Hanya saja jika melihat watak Negara saat ini, reforma agraria tidak hanya bicara soal redistribusi hak milik tanah karena Negara memfasilitasi pemodal untuk melakukan perampasan. Sehingga reforma agraria tidak serta merta dapat berdiri sendiri sebagai ujung tombak revolusi tanpa didahului kondisi material yang spesifik untuk menuju ke arah itu.
Menurut M. Nazir Salim, konflik agraria bisa diselesaikan melalui skema reforma agraria, asalkan ada partai politik revolusioner yang mengusung pemimpin bertangan besi yang mampu menjalankan mandat UUD 1945. Hal ini berkenaan dengan kesiapan moral dan mental rakyat Indonesia itu sendiri, sebab reforma agraria mensyaratkan penghapusan hak istimewa atas tanah, termasuk di dalamnya pengurangan luas aset kepemilikan tanah.
Sementara itu bagi Ahmad Rifai, reforma agraria setidaknya mensyaratkan tiga hal pokok. Pertama, reforma agraria harus dijalankan bersamaan dengan perombakan kondisi ekonomi politik nasional, sebab reforma agraria tidak mungkin bisa berjalan dalam ekonomi politik neoliberal seperti saat ini. Kedua, pemerintahan yang progressif mutlak diperlukan untuk melakukan reforma agraria, sebagaimana yang disinggung Soekarno mengenai retooling pejabat Negara. Dan yang ketiga, reforma agraria mensyaratkan dukungan dan bersatunya kekuatan sosial yang selama ini terpinggirkan dari proyeksi pembangunan nasional.Selanjutnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari pengorganisiran gerakan petani di Jambi. Ahmad Rifai menyerukan agar Presiden Joko Widodo untuk segera mengumumkan “darurat agraria” sekaligus membentuk Komite Nasional Penyelesaian Konflik Agraria sebagaimana yang tertera dalam Nawacita. Sebab di tengah kondisi saat ini dibutuhkan langkah penanaganan yang cepat disertai payung hukum yang tegas untuk menyelesaikan konflik agraria.
Menyoal Basis Gerakan Petani dan Perspektif Kelas
Aksi yang dilakukan oleh petani di Jambi menyiratkan diperlukannya kekuatan yang tidak hanya mampu menyelesaikan persoalan agraria, tetapi juga mencegah agar persoalan agraria tidak terulang kembali. Dalam sistem ekonomi kapitalistik seperti saat ini, konflik agraria mengurai petani sebagai lapisan sosial yang seringkali dilanggar haknya atas tanah dan akses terhadap kekayaan alam. Oleh karenanya diperlukan penyadaran dan pengorganisiran yang komprehensif di kalangan petani itu sendiri, bahwa mereka adalah bagian tak terpisahkan dari barisan perlawanan terhadap pengingkaran struktural atas mandat nasional tentang pengelolaan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Tetapi upaya pengorganisiran kaum tani selama ini juga bukannya tanpa masalah. Kaum tani umumnya masih dianggap sebagai satu lapisan kelas sosial yang sama. Diasumsikan dengan menolong petani yang punya lahan, juga akan dapat membantu kehidupan petani nir lahan. Melawan perampasan tanah oleh korporasi atau negara terhadap tanah petani tentu saja penting. Namun tidak kalah penting juga bagiamana mengurus nasib buruh tani tanpa tanah atau petani gurem yang mesti bergelut dengan pekerjaan lain untuk sekedar bertahan hidup. Pertanyaan krusial bagi aktivis pengorganisir barangkali ialah kelas lapisan petani mana yang perlu dibantu? Jawaban normatif tentu saja: bantu semuanya! Tapi realitas tidak sesederhana itu. Jika menyangkut program reforma agraria yang bercirikan redistribusi penguasaan tanah, kita bisa bertanya akankah petani yang punya lahan luas mau membagi tanahnya kepada tetangganya yang yang hanya punya secuil lahan atau bahkan tidak punya lahan sama sekali? Akankah aktivis masih perlu membantu petani yang punya lahan besar? Pertanyaan-pertanyaan ini memang sensitif di akar rumput dan bahkan mungkin dituduh sebagai biang fragmentasi gerakan tani. Tapi lagi-lagi kita bisa justru bertanya: siapakah kaum tani itu?
Pertanyaan ini bisa dibantu dijawab jika kita melihat petani tidak sebagai satu kelas sosial yang tunggal. Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa petani terdiferensiasi dalam bererapa kelas sosial yang memiliki kepentingan material yang berbeda dan bahkan bertentangan satu sama lain. Hanya dengan cara itu, kita bisa mengidentifikasi kelas mana yang akan cenderung pro atau kontra terhadap suatu agenda, katakanlah Reforma Agraria, dan dari situ bisa menyiapkan strategi politik yang tepat. Tanpa analisis kelas terkait proses diferensiasi sosial petani seperti ini, kita tidak bisa berharap banyak lahirnya organisasi tani yang kuat untuk menuntut agenda reforma agraria.