Konflik Agraria dan Kasus Mesuji
Baru-baru ini kita dikejutkan oleh konflik berdarah di Mesuji Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Lampung. Bentrokan ini menewaskan tujuh orang. Masyarakat Mesuji tidak tinggal diam dan melaporkan kejadian ini ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka diterima oleh anggota DPR untuk hearing guna membicarakan masalah tersebut. Ketika masyarakat Mesuji memperlihatkan rekaman video pembantaian di lokasi konflik, sontak membuat anggota DPR terkejut karena ngeri. Bangsa Indonesia terkaget-kaget. Euforia massa terkonsentrasi membicarakan masalah ini. Media massa baik cetak maupun elektronik berduyun-duyun mengheadline-kan berita mengenai Mesuji.
Kita pasti tidak percaya, di tengah alam demokrasi seperti ini, masih terjadi vandalisme di republik ini. Tentu kita bertanya-tanya, ada apa gerangan? Mengapa ini bisa terjadi? Apakah negara masih ada, atau barangkali sudah lama jadi fosil di negeri ini? Siapa aktor yang bermain di belakang masalah ini? Bagaimana peranan negara? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang ingin dijawab oleh diskusi MAP Corner-MKP Club pada. Berikut ini adalah snapshot singkat dari hasil diskusi yang telah memantik emosi dan kemarahan menyaksikan kekejian-kekejian di tanah Sumatera.
Deskripsi Wilayah Konflik
Konflik pecah di dua provinsi yang berbeda, yaitu pertama di Desa Sodong Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan. Kedua, Desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung dan Nipah Kuning Kecamatan Mesuji Kabupaten Lampung Utara, dan di Kampung Talang Batu, Talang Gunung dan Labuhan Batin Kecamatan Way Serdang Kabupaten Mesuji, Lampung, Provinsi Lampung. Dalam kasus pertama, warga bentrok dengan PT Sumber Wangi Alam terkait masalah tanah. Sedangkan, untuk kasus yang kedua, warga bertikai dengan PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dan PT Silva Inhutani, juga masalah tanah.
Wilayah konflik dulunya adalah tanah ulayat masyarakat yang dikembangkan oleh masyarakat setempat sebagai perkebunan rakyat. Kemudian, pemerintah dan perusahaan mengusir mereka dari tanahnya sendiri karena pemerintah telah mengeluarkan izin pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di tanah masyarakat kepada perusahaan-perusahan tersebut. Masyarakat yang tidak terima tanahnya diambil begitu saja, kemudian berontak dan melawan. Pemerintah dan perusahaan mencoba meredam aksi kolektif masyarakat dengan melakukan beragam tindakan mulai dari yang soft touch, hingga yang represif dan di luar batas perikemanusiaan. Mula-mula, masyarakat tidak diberikan identitas (KTP), listrik tidak diberikan, jalan desa tidak diaspal dan lain-lain.
Puncaknya, masyarakat marah karena mengetahui anggota masyarakat yang lain dibunuh oleh Pengamanan Swakarsa (Pamswakarsa) perusahaan. Mereka mendatangi perusahaan sehingga pecah insiden berdarah yang menimbulkan korban jiwa. Korban yang meninggal tersebut terdiri tiga orang warga dan empat orang satpam perusahaan. Korban yang tewas itu Syafei (18) leher putus dan terkena luka tembak serta Matchan bin Sulaiman (21) kena tujah dengan telinga kiri nyaris putus. Sedangkan satu warga lainnya belum diketahui identitasnya. Sedangkan pihak satpam perusahaan pun hingga kini belum diketahui identitas korban yang tewas. Kondisi korban dari pihak perusahaan sangat menggenaskan. Asisten kebun Hambali, misalnya. Kondisi kepalanya nyaris putus. Ia menderita luka bacok di punggung membelah hingga ke pinggang. Kemudian luka tusuk di bagian pinggang kiri dan bagian perut. Korban Hambali adalah adik bungsu dari H Fansyuri, sekretaris Dinas Peternakan Kabupaten OKI. Pembantaian terhadap karyawan PT SWA, asisten kebun Haris Fadillah (23) tak kalah sadis. Kepalanya putus, telapak tangan kanannya dipotong tetapi tidak sampai putus dan dia digantung pada tiang listrik. Kemudian semua identitasnya diambil. Namun petugas kepolisian (Brimob) menemukan sebuah dompet yang diperkirakan milik korban berisi KTP, SIM serta kartu-kartu lain atas nama Haris Fadillah (23) beralamat di Desa Mulya Guna, Kecamatan Teluk Gelam.
Kebijakan Agraria: Sebab Muasabab dari Semuanya
Bentrokan dipicu karena masalah tanah. Masalah ini dipicu oleh kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat. Sebenarnya, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menjamin kepemilikan masyarakat terhadap tanah ulayatnya. Namun, aturan turunannya banyak yang menyimpang dari aturan normatifnya. Hal ini disebabkan karena rezim ingin mendapat keuntungan besar tanpa harus berkeringat. Lalu, dikeluarkanlah izin-izin lokasi dan pengusahaan hutan kepada perusahaan-perusahaan raksasa. Sayangnya, pemberian izin tersebut tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat yang telah lebih dulu bermukim dan memiliki tanah itu. Inilah yang memicu terjadinya konflik yang akut antara masyarakat sekitar dan perusahaan
Sebagai contoh, dari hasil investigasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), diketahui bahwa PT BSMI mendapatkan izin lokasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 1994 untuk tanah seluas 10.000 hektar untuk kebun inti dan 5.000 hektar untuk kebun plasma. PT BSMI lalu memperluas areal kebun sawitnya menjadi 2.455 hektar di luar izin yang dikeluarkan BPN. Izin pengusahaan hutan juga dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan untuk PT Silva Inhutani pada tahun 1991 di atas tanah seluas 32.600 hektar. Sementara, PT SWA diduga mengambil-alih tanah masyarakat Desa Sungai Sodong seluas 1.533 hektar untuk perkebunan sawit (Mary dan Rachman, 2011).
“Negara telah menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya dengan memberikan konsesi pengusahaan hutan dan tanah kepada perusahaan-perusahaan raksasa”
Negara telah menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya dengan memberikan konsesi pengusahaan hutan dan tanah kepada perusahaan-perusahaan raksasa. Patut dicurigai, pemberian konsesi tersebut dilakukan dengan cara yang sarat KKN. Kasus Mesuji adalah contoh negara gagal dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Kekuatan korporasi perkebunan begitu kuat mencengkram ranah pengambilan keputusan sehingga merugikan kepentingan umum. Di waktu yang akan datang, izin-izin penguasaan tanah harus lebih diperketat dan mengedepankan hak-hak masyarakat setempat agar konflik yang sama tidak terulang kembali.
Kapitalis Rakus Sektor Perkebunan
Sektor perkebunan adalah komoditas yang sangat strategis di Indonesia. Pemerintah mendapatkan penerimaan yang cukup besar dari sektor ini. Tapi tahukah anda, bahwa umumnya pemain utama di sektor perkebunan adalah investor asing, terutama dari Malaysia. Kapitalis-kapitalis asing ini merajai pengusahaan perkebunan di Indonesia. Taipan-taipan Malaysia mendominasi dalam urusan ini. Mereka memiliki beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Perkebunan-perkebunan sawit di Mesuji, termasuk salah satu perusahaan yang dimiliki oleh pengusaha Malaysia.
Langkah ekspansif pengusaha Malaysia selain di dorong oleh keinginan untuk memperluas jejaring usaha perkebunan, juga dilatarbelakangi oleh berkurangnya wilayah perkebunan di negeri jiran itu. Kelapa sawit adalah tanaman monokultur yang tidak bisa bisa ditanam terus-menerus karena tanahnya harus di recharge dengan tanaman lain, setelah ditanami beberapa waktu lamanya. Inilah yang menyebabkan tanah untuk perkebunan kelapa sawit di Malaysia semakin lama, semakin berkurang karena dulu mereka sangat jor-joran membuka kebun kelapa sawit. Sekarang, hampir semuanya kebun itu harus direcharge.
“Kapitalis sektor perkebunan adalah kapitalis yang rakus, serakus kelapa sawitnya karena tidak peduli dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Kebun kelapa sawit membutuhkan lahan yang luas agar bisa tumbuh subur dan berbuah lebat. Tanaman ini tidak bisa disatukan dengan tanaman lain, sehingga yang lain harus disingkirkan, termasuk penduduk sekitar”
Kapitalis sektor perkebunan adalah kapitalis yang rakus, serakus kelapa sawitnya karena tidak peduli dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Kebun kelapa sawit membutuhkan lahan yang luas agar bisa tumbuh subur dan berbuah lebat. Tanaman ini tidak bisa disatukan dengan tanaman lain, sehingga yang lain harus disingkirkan, termasuk penduduk sekitar. Kapitalis ini tidak akan segan-segan membayar aparat kemanan untuk menumpas penduduk yang merusak investasinya. Selain itu, dari sisi kelestarian lingkungan, perkebunan kelapa sawit dalam skala yang luas dan masif sebenarnya dapat merusak ekosistem dan lingkungan karena sifatnya monokultur. Akibatnya, tingkat kesuburan tanah semakin lama semakin berkurang. Oleh karena itu, banyak daerah bekas perkebunan kelapa sawit menjadi gersang dan mati.
Peranan Aparat Keamanan: Negara Gagal?
Sudah menjadi rahasia umum jika selama ini aparat keamanan, baik TNI maupun polisi menjadi alat pengamanan bayaran perusahaan. Dalam kasus Mesuji, berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Komnas HAM terbukti bahwa anggota kepolisian terlibat dalam konflik di Kabupaten Mesuji. Keterlibatan aparat terjadi di kawasan Register 45 dan di kawasan PT BSMI Desa Sri Tanjung. Aparat melakukan penembakan secara membabi-buta kepada masyarakat, sehingga menyebabkan tewasnya dua orang warga dan tujuh orang lainnya mengalami luka cacat permanen.
Fakta ini menunjukkan bahwa aparat keamanan telah menjadi alat pemilik modal untuk menghabisi musuh-musuhnya. Polisi sebagai alat kemanan dan ketertiban masyarakat sudah jauh melenceng dari tugasnya sebagaimana yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Hal ini menunjukkan bahwa institusi kepolisian mudah sekali dipreteli untuk alat kepentingan kerakusan investor. Kiranya, slogan polisi sebagai “Mitra Masyarakat yang Bertugas Melindungi dan Mengayomi Masyarakat” sudah tidak relevan lagi dan seharusnya diganti menjadi “Maju Tak Gentar Membela yang Bayar” karena kenyataan menunjukkan bahwa polisi adalah tukang pukul perusahaan (body guard) yang siap menembaki siapa saja yang macam-macam terhadap perusahaan.
“Fakta ini menunjukkan bahwa aparat keamanan telah menjadi alat pemilik modal untuk menghabisi musuh-musuhnya. Polisi sebagai alat kemanan dan ketertiban masyarakat sudah jauh melenceng dari tugasnya sebagaimana yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian”
Terlibatnya polisi dalam serangkaian aksi kekerasan di beberapa lokasi perusahaan menunjukkan betapa lemahnya negara dalam melakukan kontrol terhadap aparaturnya dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Negara tidak bisa mengendalikan aparatnya yang memegang senjata, agar senjata tersebut tidak digunakan untuk menembak masyarakatnya sendiri. Padahal, notabene senjata dan amunisinya itu dibeli dari uang rakyat. Inilah paradoks yang terjadi di Indonesia, nafsu ingin memburu pendapatan negara meninggalkan esensi yang paling penting dari dibuatnya negara itu, yakni melindungi dan menyejahterakan warganya. Oleh karena itu, tepat kiranya kita meminjam istilah Noam Comsky (2006) tentang negara gagal (failed state). Namun, apakah negara akan selamanya gagal? Masih pantaskah kita berharap pada negara? Wallahualam bishawab.
Oleh: Wahyu Eko Yudiatmaja