Kenaikan Gaji Hakim dan Upaya Pemberantasan Korupsi
Dunia hukum-peradilan Indonesia sebulan terakhir kembali menyita perhatian besar. Bukan dikarenakan koruptor yang sedang disidang menuntun penyidik semakin dekat ke pusat kekuasaan, tapi justru karena aparat penegak hukum itu sendiri. Para hakim kompak-sepakat menuntut peningkatan kesejahteraan. Gaji, tunjangan, dan fasilitas lain yang selama ini diberikan negara dirasa kurang mencukupi kebutuhan. Jika tak dituruti, para hakim mengancam akan mogok nasional. Dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi seandainya semua kasus peradilan untuk sementara waktu terhenti.
Perdebatan wacana kenaikan gaji hakim tergambar jelas di media massa. Dibermulai dengan kedatangan puluhan hakim yang mewakili hakim peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha ke MA dan KY guna menuntut kenaikan gaji, adu argumentasi pun berlangsung. Menurut para hakim, pengelolaan kepegawaian hakim yang sama seperti PNS adalah bentuk nyata usaha pemerintah dalam mengendalikan para hakim. Mengutip pernyataan para hakim, sebuah media massa menulis headline, “Hakim: Kami Harimau yang Dipaksa Menjadi Kucing”. Gaji dan tunjangan yang kecil membuat para hakim bergantung kepada kebaikan hati pemerintah. Sejumlah media massa pendukung gerakan ini menyahut cepat. Beberapa diantaranya menulis berita dengan judul yang cukup provokatif, “Keadilan Hukum Dibermulai dari Gaji Hakim”. Sedangkan beberapa yang kontra dengan gerakan ini terlihat berpikir kontras, jikalau betul bahwa hakim adalah wakil tuhan di bumi untuk mewujudkan keadilan, kenapa masih juga memikirkan hal-hal yang bersifat duniawi.
Mengkaji Kenaikan Gaji Hakim
Ditengah panasnya perdebatan isu di atas, MAP CORNER-MKP CLUB menyelenggarakan diskusi pekanan bertajuk “Kenaikan Gaji Hakim dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia” pada 17 April 2012. Hasrul Halili, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, yang pada saat itu tampil sebagai pemantik diskusi menyuguhkan perspektif berbeda dalam menilik isu tersebut. Bukan soal pantas ataukah tidak andaikata gaji hakim naik, melainkan pada bagaimana implikasi peningkatan gaji hakim tersebut kepada kapasitas, profesionalitas, dan akuntabilitas para hakim. Ketiga hal ini pada akhirnya akan mempengaruhi laju pemberantasan korupsi.
Terkait kepantasan naiknya gaji hakim, merupakan perkara jelas menurut pendapat Hasrul. Terlepas dari tidak semua hakim hidup melarat sebagaimana yang didramatisir media, gaji hakim memang pantas untuk naik. Berdasar hukum perundangan, hakim didefinisikan sebagai pejabat negara, bukan PNS. Perbedaan status ini membuat hak yang dimiliki juga berbeda dengan PNS. Ada keistimewaan perlakuan yang didapat hakim, baik dari segi gaji-tunjangan, atapun faslitas lainnya. Disamping itu, riset yang dilakukan KY menyebutkan bahwa kenaikan gaji hakim dibutuhkan serta cukup rasional untuk dilaksanakan. Jika merujuk penyataan KY di media massa, total pendapatan hakim seharusnya diantara Rp. 4 juta hingga Rp. 10 jutaan/ bulan. Dengan gaji sebesar itu, KY mengklaim, negara tidak akan bangkrut. Artinya, aspek hukum dan ilmiah ditemukan Hasrul seirama. Keduanya mendukung adanya kenaikan gaji hakim.
Namun dalam pada itu, hal ini tidak berarti bahwa kenaikan gaji hakim sudah selesai dan tidak perlu lagi untuk dicermati, terlebih jika dihubungkan dengan pemberantasan korupsi. Pengalaman Hasrul selama ini dalam mengamati pemberantasan korupsi membuatnya berkeyakinan bahwa “… korupsi sebuah masalah yang menyesatkan.. semakin dalam mengkaji korupsi, semakin jelas jalan buntu korupsi..”. Keyakinan tersebut tidak lantas membuat Hasrul pesimis. Karena keyakinan ini sesungguhnya hendak mengingatkan agar selalu cermat dalam membahas permasalahan korupsi.
Realita yang ada saat ini bagi Hasrul adalah linear dengan keyakinannya. Ada ketidak cermatan dalam menghubungkan kenaikan gaji hakim dan pemberantasan korupsi. Semua menyimpulkan secara tergesa bahwa kenaikan gaji dan pemberantasan korupsi memiliki korelasi positif yang amat kuat. Tidak perlu diuji lagi, asalkan gaji naik, maka korupsi dengan sendirinya menurun, “… sama seperti tadi. Gaji naik, kesejahteraan (hakim, pen) meningkat, (maka, pen) korupsi berkurang…”. Bagi Hasrul, peningkatan gaji hakim dan laju pemberantasan korupsi sejatinya tidak memiliki hubungan yang niscaya. Perlu pencermatan lebih detail agar kedua hal tersebut berkorelasi positif.
“Ada ketidakcermatan dalam menghubungkan kenaikan gaji hakim dan pemberantasan korupsi. Semua menyimpulkan secara tergesa bahwa kenaikan gaji dan pemberantasan korupsi memiliki korelasi positif yang amat kuat…ada persoalan kapasitas dan profesionalitas yang harus diperhatikan agar peningkatan gaji dan laju pemberantasan korupsi berkorelasi positif”
Hasrul memandang, ada persoalan kapasitas dan profesionalitas yang harus diperhatikan agar peningkatan gaji dan laju pemberantasan korupsi berkorelasi positif. Sebuah kejanggalan yang terjadi selama ini. Banyak pihak merasa senang manakala ada banyak putusan MA yang membatalkan vonis bebas koruptor oleh Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri memiliki intensitas yang tinggi. Ada anggapan bahwa para koruptor yang semula berhasil berkelit pada akhirnya berhasil dijerat. Di satu sisi, harus diakui bahwa hal tersebut menjadi sebuah berita gembira tersendiri yang datang dari bidang pemberantasan korupsi. Tetapi di sisi lain, hal ini sebetulnya memberikan indikasi tertentu. Seringnya Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri memvonis bebas koruptor menjadi pertanda bahwa kapasitas hakim pada Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri ialah rendah. Ada ketidakmampuan dalam menangkap semangat anti korupsi.
Rendahnya kemampuan para hakim dalam menyerap semangat pemberantasan korupsi harus menjadi refleksi tersendiri untuk para hakim. Gaji yang naik artinya ialah hakim betul-betul diletakkan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU, sebagai pejabat negara. Dan sudah seharusnya bila setiap pejabat negara memiliki kapasitas yang sangat tinggi dalam memberantas korupsi. Singkatnya, naiknya gaji hakim harus mampu menjamin meningkatnya kapasitas hakim dalam memberantas korupsi. Kasus dimana koruptor divonis bebas pada Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri harus menurun drastis.
Selanjutnya, kenaikan gaji harus berimplikasi pada meningkatnya profesionalitas hakim. Para hakim harus mampu mengakkan hukum kepada dirinya sendiri. Tidak ada perbedaan antara aparat dan masyarakat. Ini sudah seharusnya terjadi karena di satu sisi para hakim mendapat fasilitas sebagai pejabat negara, namun di sisi lain masyarakat menuntut penindakan tegas terhadap hakim yang melanggar hukum. Selama ini, jika seorang hakim melanggar hukum, utamanya korupsi, maka vonis yang dijatuhkan tidak maksimal. Hakim Syarifudin sebagai misal. Setelah menjalani proses sidang, Syarifudin hanya dijatuhi hukuman 4 tahun, meski sebenarnya dapat mencapai 15 tahun. Ini sudah menjadi kebiasaan di lingkungan kehakiman. Pasal yang digunakan ketika menuntut seorang hakim tidak maksimal, sehingga hukuman yang dijatuhkan juga tidak maksimal. Padahal, bila yang tersangkut hukum adalah masyarakat biasa, maka pasal yang digunakan untuk menuntut adalah maksimal. Artinya, jika gaji naik, diharapkan adanya tindakan tegas terhadap para hakim yang tersangkut kasus korupsi.
Independensi dan Akuntabilitas Hakim
Sesi tanya jawab antara Hasrul dan peserta diskusi memunculkan isu lain yang juga penting diperhatikan terkait kenaikan gaji hakim, yaitu menyangkut independensi dan akuntabilitas hakim. Selama ini MA merasa risih jika KY mensupervisi para hakim. MA merasa independensi yang dimiliki hakim terusik atas kehadiran KY. Hal ini pula yang selalu menjadi penyulut perdebatan antara MA dan KY.
Bagi Hasrul, independensi hendaknya dilihat dari sisi sebagaimana semestinya. Independensi wajib diletakkan berdampingan dengan akuntabilitas. Independensi membuat para hakim merdeka dalam memutus suatu kasus. Tapi, kemerdekaan tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, ilmu pengetahuan, dan pihak lainnya. Setiap orang berhak mengetahui hasil putusan hakim, dan karena itu, seorang hakim harus mampu memberi pertanggungjawaban atas putusan tersebut.
Tiadanya akuntabilitas di sisi independensi membuat hakim terlibat korupsi di bidang hukum, biasa diistilahkan mafia peradilan. Hal ini terindikasi dari putusan hakim yang “… aneh-aneh…”. Karena masifnya para hakim terlibat dalam mafia peradilan, ada anekdot menarik yang disampaikan Hasrul. “…di akhirat, para hakim dipanggil tuhan.. mereka ditanya, ‘kalian tahu kenapa saya marah?’, dijawab para hakim, ‘tahu, karena kami sering berbuat curang, menerima suap..’. Tuhan berkata, ‘salah, bukan karena itu.. tetapi karena kalian selalu menerima suap ketika membuat keputusan yang memakai namaku, namun uangnya tidak pernah sampai pada ku..’…”. Sebuah anekdot yang tajam. Seolah sebuah retoris, apakah para hakim yang merupakan wakil tuhan tetapi ternyata kerap korupsi sebetulnya disebabkan tuhan itu sendiri korupsi.
“Independensi membuat para hakim merdeka dalam memutus suatu kasus. Tapi, kemerdekaan tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, ilmu pengetahuan, dan pihak lainnya…Tiadanya akuntabilitas di sisi independensi membuat hakim terlibat korupsi di bidang hukum, biasa diistilahkan mafia peradilan”
Tidak hanya maraknya korupsi, dalam hal yang lebih luas, tiadanya akuntabilitas dalam menyertai independensi membuat adanya ketidakadilan di tubuh per-hakiman. Seorang hakim yang tersangkut perkara dapat dengan mudah ‘memutihkan’ diri atau mendapat hukuman yang sama sekali diluar logika hukum itu sendiri. Sebagai misal, hakim yang tersangkut permintaan penari telanjang di Yogyakarta. Ketika diwawancarai, dengan mudah berucap, “..ya..kalau besok tidak jadi hakim, ya jadi advokat saja..”. Artinya, bagi seorang hakim adalah mudah untuk bertransformasi diri dalam bentuk baru dan terjauh dari catatan kriminal sebelumnya. Di Aceh, seorang hakim syariah yang kesehariannya mengadili pelanggar syariat tertangkap mesum di sebuah hotel. Tetapi, hukuman yang diterimanya hanya berupa sangsi administratif. Padahal, hukuman yang dijatuhkan si hakim pembuat mesum bagi pelanggar syariah jauh lebih berat dari yang diterimanya. Tentunya ini jauh dari kepantasan.
Terakhir, Hasrul menggaris bawahi betapa penting memperhatikan persoalan hakim, khususnya kenaikan gaji dalam konteks pemberantasan korupsi. Jikalau polisi dan jaksa dalam keadaan buruk, namun bertemu dengan hakim yang bagus, maka putusan yang dihasilkan berpeluang besar bagus, karena hakim yang dinobatkan sebagai wakil tuhan yang bertugas menyampaikan keadilan dibumi memiliki wewenang dalam membuat putusan setiap perkara. Putusan persidangan dengan kondisi demikian akan sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi. Atas alasan inilah, penting untuk memastikan bahwa semua persoalan mengenai hakim berjalan dengan baik. Karena dengan begitu, sama artinya dengan mendukung pemberantasan korupsi.
Secara keseluruhan, dapatlah dimengerti kesimpulan besar yang muncul dari diskusi pekanan MAP CORNER-MKP CLUB. Kenaikan gaji hakim pada dasarnya sebuah keniscayaan. Hukum-perundangan yang ada ditambah riset ilmiah yang pernah dilakukan mendukung peningkatan gaji hakim. Meski begitu halnya, peningkatan gaji hakim hendaknya tetap dicermati agar sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi. Kenaikan gaji harus mampu meningkatkan kapasitas hakim dalam memberantas korupsi, profesional dalam menerapkan hukuman kepada hakim yang tersangkut perkara, dan mampu menyerap semangat akuntabilitas. Pasca kenaikan gaji, angka vonis bebas bagi koruptor oleh hakim di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri menurun drastis. Selain itu, vonis yang dijatuhkan kepada hakim yang tersangkut perkara adalah sama seperti yang diterima masyarakat pada umumnya, tidak ada perlakuan istimewa. Dan setelah itu, para hakim harus benar-benar mampu mempertanggungjawabkan setiap putusan yang dibuatnya. Jika ke depan hal-hal ini dapat diwujudkan, maka kenaikan gaji hakim sejatinya menjadi pendukung utama upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Oleh: Yuli Isnadi