Kekerasan Terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Masa Depan RUU Perlindungan
Diskusi yang diselenggarakan oleh MAP Corner-Klub MKP pada tanggal 23 Februari 2016 yang bertema “Kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Masa Depan RUU Perlindungan”, diadakan untuk menyikapi permasalahan PRT dan RUU perlindungannya yang sampai saat ini belum menemui titik temu. Sayangnya, Lita Anggraini, salah satu pembicara dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), tidak dapat hadir sehingga yang menjadi pemantik hanya dari akademisi, Muhadjir Darwin, Guru Besar FISIPOL UGM.
Masalah yang dialami para PRT sangat kompleks dan dapat mengancam kehidupan mereka. Kenyataan ini dapat dilihat dari jumlah dan efek dari kasus kekerasan yang menimpa PRT. Menurut JALA PRT sebanyak 65 persen adalah multikasus, mulai dari pemukulan dengan benda tumpul atau tajam, penganiayaan, disiram dengan air panas, disetrika, pelecehan seksual, penyekapan, dan tidak diberi upah. Sementara 35 persennya lagi adalah kasus perdagangan manusia (human trafficking) di mana pelakunya adalah majikan dan agen penyalur PRT. Lebih parah lagi ada yang dipaksa untuk makan kotoran hewan seperti yang terjadi pada Ani (20) pekan lalu. Bahkan ada juga kekerasan terhadap PRT yang berujung pada kematian seperti yang terjadi pada Sunarsih. Selain itu, juga terkait dengan proses penegakan hukum terhadap para pelaku kekerasan. Menurut data dari JALA PRT, hanya sekitar 15 hingga 20 persen kasus PRT yang diproses secara hukum sampai selesai, dan sisanya sekitar 80 hingga 85 persen berhenti di penegak hukum itu sendiri.
Kompleksitas permasalahan PRT di atas, menurut Muhadjir Darwin, terjadi karena persoalan PRT merupakan persoalan yang kontroversial di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa hal, sebagai berikut: Pertama, istilah PRT itu sendiri. Dimana dalam istilah Pekerja Rumah Tangga ada kata “rumah tangga”. Dari kata tersebut muncul pertanyaan apakah masalah PRT masuk dalam masalah publik atau masalah domestik. Selama ini pandangan umum menyatakan bahwa permasalahan PRT adalah permasalahan domestik bukan permasalahan publik karena terjadi di lingkup rumah tangga, yang notabene “orang luar” tidak dapat ikut campur bahkan negara sekalipun. Di sini terkesan bahwa nasib para PRT seperti berada di tangan majikannya. Jika mereka mendapatkan majikan yang baik maka akan diperlakukan dengan baik, dan sebaliknya jika mendapatkan majikan yang buruk maka akan diperlakukan dengan cara buruk. Hal tersebut terjadi karena dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak mengatur atau memasukan kekerasan terhadap PRT sebagai pelanggaran KDRT.
Kedua, status PRT sebagai pekerja (dalam hal ini bagian dari buruh) atau bukan. Jika PRT adalah bagian dari pekerja/buruh maka UU nomor 23 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah cukup untuk mengatur hak-hak bagi PRT, namun yang kita ketahui PRT masih dianggap bukan bagian dari kelas pekerja/buruh sehingga tidak masuk dalam UU tersebut atau dengan kata lain status PRT masih belum jelas.
Ketiga, apakah kekerasan terhadap PRT adalah kekerasan berbasis gender. Menurut Prof. Muhadjir Darwin, kekerasan terhadap PRT bukan kekerasan yang berbasis gender, karena kekerasan yang berbasis gender itu terjadi antara perempuan dan laki-laki sedangkan kekerasan yang menimpa PRT kebanyakan adalah antara perempuan (majikan) dengan perempuan (PRT) sehingga tidak dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender.
Keempat, relasi kekuasan antara PRT dengan majikan sangat timpang. Relasi ini menyebabkan muncul dua pihak yang bersifat antagonis yaitu pihak yang dieksploitasi dan pihak yang mengeksploitasi. Di mana yang mengeksploitasi adalah pihak yang superior dalam hal ini majikan PRT, sedangkan yang menjadi korban eksploitasi adalah pihak yang tidak superior yakni PRT itu sendiri.
Dengan melihat fakta-fakta di atas, maka Muhadjir Darwin menyatakan bahwa profesi sebagai PRT harus diatur dalam undang-undang agar PRT dapat terlindungi dari tindakan kekerasan. Sebab ketidakadaan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan PRT menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap PRT. Apalagi sekarang ini masih banyak masyarakat menganggap permasalahan PRT sebagai masalah minor bukan permasalahan yang penting di tengah masyarakat. Padahal, jika dilihat dari sisi Hak Asasi Manusia (HAM) PRT mengalami masalah HAM yang sangat serius dan cukup berat karena kekerasan yang menimpanya berasal dari pihak eksternal. Sehingga permasalahan PRT termasuk dalam kategori permasalahan sosial.
Meskipun di beberapa daerah sudah ada peraturan tentang perlindungan PRT, misalnya di Yogyakarta. Namun, menurut Muhadjir Darwin peraturan yang ada ditingkat daerah tersebut, baik berupa Peraturan Daerah (Perda) maupun peraturan dari kepala daerah (Peraturan Gubernur dan Peraturan Wali Kota Yogyakarta) tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat jika dibandingkan dengan peraturan yang berbentuk undang-undang. Berangkat dari fakta inilah maka beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergabung dalam JALA PRT berinisiatif mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) kepada legislatif. Tetapi RUU yang diajukan kepada legislatif sejak tahun 2004 itu tak kunjung disahkan menjadi undang-undang. Hal tersebut terjadi menurut Prof. Muhadjir Darwin karena jika RUU ini disahkan maka akan mengancam eksistensi para majikan mereka, salah satunya adalah para legislator. Sebab para legislator juga menggunakan tenaga PRT untuk membantu urusan kerumahtanggaan mereka sehingga jika diatur dalam suatu undang-undang maka mereka harus memenuhi hak-hak bagi PRT sebagaimana hak-hak yang melekat pada pekerja/buruh, misalnya jam kerja, beban kerja, jaminan asuransi kesehatan, upah minimum, dan sebagainya.
Walaupun pembentukan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan PRT dapat mengancam eksistensi para majikannya, namun hal tersebut sangat penting dan akan berdampak positif bagi aktifitas para PRT. Di sini ada dua pilihan yang perlu dilakukan, yaitu pertama, melakukan revisi terhadap UU ketenagakerjaan dan memasukkan PRT sebagai bagian dari kelas pekerja/buruh. Dan Kedua, membentuk undang-undang khusus tentang perlindungan PRT. Hal tersebut dapat berhasil jika orientasi keberpihakan para penguasa berubah, di mana lebih berpihak pada rakyat kecil yang terpinggirkan ketimbang diri sendiri maupun kroni-kroninya. Untuk mencapai itu, tentunya dibutuhkan solidaritas yang kuat dari kelompok-kelompok yang konsen pada PRT agar gerakan yang dilakukan dapat terorganisir dengan memadai sehingga mampu mempengaruhi pembuatan kebijakan.