Kegagalan Mogok Nasional Menolak PP Pengupahan: Antara Kontrol Represif & Aristokrasi Serikat Buruh
PP No.78/2015 tentang Pengupahan dirasa merugikan buruh dan inkonstitusional. Akibatnya, PP yang merupakan paket kebijakan ekonomi jilid IV dari pemerintah Jokowi-JK mendapatkan penolakan keras dari kaum buruh. Selama rentang waktu empat hari dari tanggal 24 November – 27 November 2015 gerakan buruh melakukan “Mogok Nasional” sebagai aksi mendesak pemerintah untuk mencabut PP Pengupahan tersebut. Aksi Mogok Nasional 2015 ini berdasarkan data KAU-GBI (Komite Aksi Upah Gerakan Buruh Indonesia) diikuti jutaan buruh di 20 provinsi dan 200 kabupaten/kota se-Indonesia.
Bagi gerakan buruh, hadirnya PP No.78/2015 merupakan perwujudan baru dari rezim upah murah. Terlebih buruh merasa tidak dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan penentuan upah layak didalam PP Pengupahan ini. Mengapa PP Pengupahan ditolak oleh buruh? Mengapa mogok yang dipilih untuk menolak PP? Bagaimana dinamika gerakan buruh mengorganisir mogok yang berlangsung beberapa hari? Bagaimana buruh merespon reaksi kelompok lain (kelas menengah, pengusaha, pemerintah) yang mencemooh aksi mereka? Pada hari Selasa, 1 Desember 2015 MAP Corner-klub MKP UGM mencoba mendiskusikannya bersama pemantik diskusi Abu Mufakhir (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane).
Menurut Abu, penyebab utama pemogokan kerja yang dilakukan serentak adalah karena PP no.78/2015memiliki beberapa masalah. Masalah pertama adalah sejarah pembentukan PP pengupahan yang bersifat tertutup dan manipulatif. Kronologi pembuatan PP dijelaskan oleh Abu sebagai berikut: PP pengupahan ditetapkan tanggal 23 September 2015. Pada tanggal 12-13-14 September,Dewan Pengupahan Nasional diundang oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), padahal mulai Maret 2015 Dewan Pengupahan vakum. Undangan tersebut dimaksudkan mengajak Dewan Pengupahan untuk setuju dibuatnya PP pengupahan. Hal yang ganjil menurut Abu ialah pada saat itu draf RPP belum keluar. Ini dilihat sebagai upaya Menakertans mendapatkan legitimasi dari serikat buruh melalui Dewan Pengupahan yang telah hadir. Peserta yang hadir-pun sudah disetting. Pada tanggal 16 September, draf RPP Pengupahan akhirnya keluar. Serikat Buruh merasa ditipu karena menganggap pertemuan Menakertrans dengan Dewan Pengupahan tersebut bersifat manipulatif. Tanggal 19 September mulai ada aksi-aksi penolakan serikat buruh di berbagai daerah. Faktor kedua adalah pembentukan hukum yang tidak partisipatif. Tidak ada perwakilan resmi dari serikat buruh yang diajak secara terbuka membahas tentang perumusan PP pengupahan.
Sejalan dengan yang dinyatakan Abu, menurut Ari Hermawan (guru besar Hukum UGM), apabila dilihat dari sudut pandang hokum, PP no.78/2015 tentang pengupahan adalah inkonstitusional. Pernyataan Ari disampaikan pada diskusi MAP Corner-Klub MKP selasa 27 Oktober 2015. Ari menilai, substansi PP Pengupahan tidak mencerminkan semangat dan roh dari amanat konstitusi yaitu kesejahteraan dan kehidupan yang layak bagi seluruh masyarakat. Hal yang paling krusial ialah reduksi konsep upah layak ke dalam dua indikator yang diamanatkan PP Pengupahan: sebatas pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Kebijakan ini mengabaikan sama sekali variabel KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang diamanatkan oleh UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu, PP Pengupahan juga punya kecenderungan melanggar peraturan diatasnya. Di dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa upah ditinjau setiap tahun. Ini artinya, pihak terkait: buruh, pengusaha dan pemerintah wajib meninjau dan menegosiasikan ulang upah tiap tahunnya dengan mempertimbangkan perkembangan KHL. Tetapi dengan ketentuan PP Pengupahan, peninjauan KHL hanya tiap 5 tahun sekali, sesuatu yang bertentangan dengan amanat UU ketenagakerjaan. Ari menegaskan:
“Di Indonesia, semua ruh tentang peraturan harus bersumber dari undang-undang dasar 1945. Dalam konteks PP No.78/2015, ini sangat menyimpang dari roh konstitusi dimana nilai keadilan dan kesejahteraan bersama terkait dengan penghidupan layak bagi buruh tidak terwadahi dalam peraturan. Dari kacamata hukum, PP ini inkonstitusional, karena bertentangan dengan peraturan sebelumnya”.
Selanjutnya Abu menyatakan dampak negatif dari PP No.78/2015 ada beberapa poin. Poin yang pertama adalah dengan adanya formula baku penetapan kenaikan upah, yang dihitung berdasarkan Upah Tahun sekarang + (( Upah tahun sekarang x (pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) + persentase inflasi)), menghilangkan peran serikat buruh dalam menentukan penetapan upah. Mekanisme tripartite tidak berlaku lagi. Yang kedua, tidak dilibatkannya Serikat buruh dalam menentukan upah (yang biasanya lewat Dewan Pengupahan), menurut Abu pemerintah menahan radikalisasi gerakan buruh pada kenaikan upah. Maksudnya, pada mekanisme tripartite yang melibatkan Dewan Pengupahan massa serikat buruh bisa menekan Dewan Pengupahan dari bawah melalui aksi. Sebagai contoh, pada masa Orde Baru kenaikan upah tidak pernah lebih dari 10%. Baru pada tahun 2009 upah mengalami kenaikan tertinggi pertama kalinya yaitu 40%. Kenaikan 40% itu bisa terjadi karena dewan pengupahan ditekan oleh kaum buruh dari bawah melalui aksi massa. PP No.78/2015 menutup radikaliasi tekanan dari bawah karena menghilangkan peran Dewan Pengupahan dalam penetapan upah.
Selanjutnya, dampak negatif yang ketiga menurut Abu adalah banyaknya perusahaan yang memanfaatkan upah murah. Perusahaan memanfaatkan letak geografis yang membedakan besarnya upah yang signifikan. Misalnya, karena upah di daerah Sragen masih murah, banyak perusahaan yang mengembangkan sayap perusahaan ke daerah tersebut. Padahal perusahaan tersebut menjual hasil produksinya dengan menghitung biaya upah dengan jumlah UMR daerah Bekasi misalnya. Apabila diperhatikan, banyak perusahaan padat karya tidak memakai bangunan permanen agar mudah memindahkan lokasi produksi dari satu daerah kedaerah lain yang memungkinkan biaya produksi rendah. Selain itu, kesenjangan UMR di daerah kawasan industri dan daerah lain tinggi. Ini mengakibatkan relokasi pekerja dari perusahaan yang ada di kawasan industrike tempat lain diluar kawasan industri yang upahnya masih rendah.
Mogok Nasional tanggal 24 – 27 November 2015 kemarin merupakan mogok nasional yang ketiga, setelah mogok nasional pertama pada tahun 2012 dan yang kedua pada tahun 2013. Mogok nasional ketiga ini dinilai kurang berhasil. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan mogok nasional kemarin kurang berhasil. Alfian dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane menjelaskan kronologi pemogokan di daerah Bekasi khususnya di kawasan East Jakarta Industrial Park ( EJIP). Daerah EJIP merupakan wilayah strategis untuk mengoordinasi mogok nasional karena menurut Alfian daerah EJIP dekat dengan ‘Omah Buruh’, suatu tempat berkumpul dan konsolidasi buruh. Dekatnya pabrik dengan ‘Omah Buruh’ memudahkan dalam pengorganisiran massa dan penginstruksian. Pada hari pertama mogok kawasan (diluar pabrik) pada jam 8-10 pagi masih kelihatan sepi belum banyak buruh yang mogok dan keluar pabrik. Alfian mengira bahwa mogok tidak dilakukan, ternyata sejak pagi buruh sudah mogok menghentikan proses produksinya. Akan tetapi massa buruh tidak bisa langsung keluar pabrik karena dilarang dan dijaga oleh pihak pabrik melalui serikat tertentu. Pada hari kedua, mulai pagi hari jam 8 dilokasi sudah terjadi pemogokan total dan buruh bisa keluar pabrik. Akan tetapi pihak polisi juga lebih siap dengan menjaga jalan akses ke pabrik agar tidak di blockade oleh massa aksi. Massa aksi tidak mengindahkan larangan dari kepolisian dan berusaha memblokade jalan, tetapi polisi semakin represif dan berakhir dengan penangkapan salah satu koodinator aksi Nurdin beserta 5 kawannya. Selepas penangkapan itu massa aksi dibubarkan paksa oleh polisi. Dua hari selanjutnya menurut Alfian aksi berubah menjadi aksi normatif yaitu demo di kantor-kantor pemerintahan.
Selain dari yang diceritakan Alfian diatas, Abu menambahkan kurang berhasilnya mogok nasional tahun ini karena beberapa kondisi lain. Yang pertama adalah adanya sabotase di serikat buruh tingkat bawah. Ini terkait adanya lobi politik yang dilakukan pihak perusahaan kepada elit serikat pada tingkat bawah. Praktik aristokrasi serikat, suatu kecenderungan dominasi dan hegemoni elit serikat terhadap anggota buruh biasa tetapi sekaligus kompromis terhadap pengusaha, terjadi meluas terutama di serikat buruh konservatif warisan era Suharto. Ini yang membuat suatu ancaman dari perusahaan kepada elit SPSI-LEM untuk mencabut sistem iuran khas serikat dari buruh yang dipotong langsung oleh perusahaan (sistem COS), bila elit serikat tidak mengendalikan massa serikatnya, sudah membuat ciut nyali para elit itu. Para elit berdalih kalau itu dilakukan maka elit SPSI akan akan kesulitan dalam menarik iuran. Tapi tentu saja ini lebih merupakan suatu alasan yang membenarkan aksi pengusaha, dibanding suatu posisi yang membela nasib anggota buruh biasa. Yang kedua, tingginya intervensi dari preman maupun serikat buruh yang dimanfaatkan oleh perusahaan. Ketiga, struktur instruksi GBI dari pusat kebawah tidak berjalan lancar. Padahal diperlukan komite pemogokan agar penginstruksian dan pengorganisiran massa menjadi lebih terstruktur dan sistematis. Keempat, aliansi serikat buruh bersifat lokal sehingga pengorganisiran secara nasional menjadi sulit. Kelima, pecahnya serikat buruh. Ada pihak serikat buruh yang pro terhadap PP N0.78/2015 sehingga gerakan buruh secara nasional sedikit melemah.
Ada pertanyaan yang menarik dari peserta diskusi, Mengapa mogok nasional yang sudah dilakukan 3 kali ini kurang mengakomodasi hak buruh perempuan? Hak buruh perempuan kurang disuarakan dengan keras. Hal ini menurut Abu karena banyak elit-elit serikat buruh itu laki-laki. Bahkan pada pabrik padat karya yang 90% buruh dan anggota serikat buruhnya perempuan, pimpinan serikat tetap laki-laki. Sehingga elit serikat kurang peka dalam mengakomodasi kepentingan dan hak buruh perempuan. Selain itu, serikat buruh menganggap kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh buruh perempuan tidak menjadi urusan dari serikat.
Terlepas dari dinamika yang ada, aksi mogok nasional tetap memberikan kontribusi positif bagi buruh. Buruh yang memiliki kesadaran politik rendah menjadi lebih sadar pentingnya memperjuangkan hak-hak mereka dan mulai ikut aktif dalam serikat buruh.Keterlibatan mereka dalam perjuangan serikat buruh membuka mata pemerintah, pengusaha, kelas menengah maupun buruh sendiri akan potensi kekuatan perjuangan yang dimiliki oleh gerakan buruh. Menurut Lenin (1980) mogok nasional bisa menjadi semacam School of war, pembelajaran langsung pentingnya perjuangan kelas dalam kapitalisme. Tanpa aksi kolektif yang membentuk pengalaman kelas mereka seperti dalam kegiatan mogok, massa buruh barangkali mesti menanggung derita lebih lama di bawah kendali kekuatan kapital dan aparatus pendukungnya, seperti elit serikat buruh konservatif yang turut menikmati remah-remah dari buah akumulasi kapital.