Kebijakan Ekonomi Politik Indonesia Pasca Gestok 1965
Sampai saat ini, gerakan satu oktober (GESTOK) 1965 masih menyimpan banyak misteri. Peristiwa itu tidak hanya meninggalkan bercak sejarah hitam tetapi menyisahkan banyak pertanyaan besar termasuk siapa dalang dibalik kejadian tersebut. Oleh Soeharto dan petinggi militer saat itu, mengkambing Hitamkan PKI sebagai pelaku atas meninggalnya 6 Jenderal dan satu perwira tinggi. Atas dasar itu, sebanyak sekitar lima ribu sampai dua juta manusia yang di curigai berafiliasi dengan PKI dibunuh tanpa pengadilan dan sebagian lagi mengalami siksaan sebagi eks-tapol. Dengan hilangnya PKI dan dihancurkannya kapasitas rakyat untuk bergerak, peta politik di Indonesia menjadi berubah. Itu berimplikasi pada munculnya berbagai persoalan yang lebih kompleks dalam tataran kebijakan pemerintah Indonesia.
Gestok ‘65 adalah peristiwa krusial yang menandai titik balik lanskap ekonomi dan politik di Indonesia. Gagasan ini disampaikan Budiawan pada diskusi MAP Corner edisi Selasa, 3 Oktober 2016 dengan tema “Ekonomi Politik Indonesia Pasca Gestok 1965”. Setidaknya ada dua cara pandang yang ikut serta dalam perdebatan akademik pasca peristiwa Gestok 1965. Pandangan pertama adalah pendekatan yang banyak dipengaruhi oleh cara berfikir kultural seperti Clifford Gertz yang memandang perubahaan ekonomi dan politik dengan analisis pada budaya seperti Abangan, Priyai, dan Santri. Sedangkan pandangan kedua adalah pendekatan struktural seperti yang digunakan oleh Richard Robinson, Vedy R Hadiz, dan Arief Budiman. Pada dasarnya, perdebatan antara kedua kubuh ini mempersoalkan perubahaan lanskap ekonomi politik yang terjadi paca peristiwa Gestok 1965.
Bagi Budiawan pasca Gestok ‘65, corak kebijakan ekonomi politik indonesia berikblat pada kapitalisme Barat, yang lebih banyak di pengaruhi oleh faktor struktural. Diawali dari kebijakan Pemerintah Orde Baru yang mengesahkan Undang-undang penanaman modal asing pada tahun 1967. Produk hukum ini yang selanjutnya mengundang kembali modal asing ke Indonesia (seperti modal asing dari AS dan Jepang) setelah sebelumnya ditentang oleh pemerintahan Soekarno.
Selanjutnya pada tahun 1970-an pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan Impor berbahan mentah. Kebijakan ini beriringan dengan situasi ekonomi dunia yang sedang mengalami oil boom. Harga minyak yang tinggi dipasar dunia menjadi salah satu keuntungan bagi pemerintah orde baru, karena dengan itu anggaran yang diterima dari hasil penjualan minyak semakin besar. Tetapi disaat bersamaan kondisi itu menjadi titik awal terkonsolidasinya kekuatan oligarki Soeharto yang hendak memonopoli ekonomi dan politik di Indonesia. Itu ditandai dengan maraknya kemunculan kapitalisme rente yaitu kapitalisme yang banyak mendapat lisensi dari negara.
Kemudian pada tahun 1980-an haluan kebijakan ekonomi yang tadinya impor di ubah menjadi ekspor. Kebijakan ini karena harga minyak dunia jatuh dan memaksa negara mencari sumber serapan anggaran lain. Fase 1980-an ditandai dengan munculnya kapitalisme pasar yaitu corak pasar yang lebih mengedepankan efisiensi, efektifitas dan inovasi. Situasi ini mendorong oligarki Soeharto yang mulai dibentuk pada tahun 1970-an untuk membangun kerjasama dengan pelaku pasar. Tetapi, tetap saja Oligarki Soeharto mendapat lisensi dengan menggandeng kapitalisme pasar. Karena serapan anggaran mulai kecil, pemerintah orde baru kemudian menerapkan liberalisasi ekonomi seperti pada bidang pertanian dengan mencabut subsidi untuk petani.
Di bidang politik, pemerintah orde baru melakukan kontrol yang ketat. Kontrol ketat dilakukan melalui korporatisme yaitu pelembagaan secara tunggal dan di monopoli oleh negara. Tujuannya adalah menciptakan stabilitas politik demi untuk pertumbuhaan ekonomi yang lebih baik. Praktek korporatisme misalnya terjadi pada buruh, dimana pemerintah Orde Baru melarang berdirinya organisasi buruh seperti SOBSI kemudian disaat bersamaan pemerintah mensponsori berdirinya organisasi buruh yaitu FBSI pada 20 Februari 1973, yang kemudian menjadi SPSI pada tahun 1985. Dampak dari praktek korporatisme adalah deidiologisasi, restrukturisasi dan reorganisasi.
Adanya perubahaan peta ekonomi dan politik di Indonesia pasca Gestok 1965 tidak terlepas dari berbagai faktor, seperti tekanan Internasional. Kuatnya pengaruh Seokarno sebagai tokoh yang sangat nasionalis yang punya kedekatan dengan PKI dianggap sebagai ancaman oleh oligarki Internasional. Soekarno dan PKI sebagai penghalang sirkulasi modal global untuk masuk ke Indonesia. Untuk itu, kehadiran Soekarno ataupun PKI harus di digulingkan untuk membuka arus modal asing kembali beroperasi di Indonesia.
Selain itu, pasca peristiwa Gestok bersamaan dengan kembalinya sekelompok teknokrat ke tanah air yang telah mengenyam pendidikan di Barkley, seperti Emil Salim dkk. Meskipun kelompok Mafia Barkley sempat menekan inflasi dan membuat ekonomi meningkat, tetapi ditangan para teknokrat ini gagasan liberalisasi ekonomi kembali digulirkan. Peran yang dimainkan cukup strategis seperti membuat naskah untuk undang-undang penanaman modal asing dan gagasan tentang revolusi hijau.
Aspek lain adalah pembataian sekitar lima ribu sampai dua juta simpatisan PKI dan orang kiri telah menggeser kekuatan politik domestik di Indonesia. Jika sebelumnya kekuatan politik lebih imbang dengan adanya kontrol yang dilakukan oleh PKI tetapi pasca persitiwa Gestok 1965, kekuatan politik menjadi pincang. Bukan hanya itu, gerakan masyarakat juga di kebiri pasca Gestok 1965 seperti gerakan perempuan maupun gerakan petani. Sehingga produk kebijakan yang dikeluarkan pasca pertistiwa gestok lebih fleksibel dan tanpa kontrol masyarakat. Ironisnya, produk kebijakan lebih banyak didorong untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, disisi yang lain mengesampingkan aspek pemerataan dan kesejahteraan masyarakat.
Mencari Keadilan
Hampir senada dengan Budiawan, Badri (Yayaysan Penelitian Korban Pembunuhan 1965) pada diskusi MAP Corner-klub MKP UGM edisi Selasa, 3 Oktober 2016 juga menyampaikan gagasannya tentang narasi sejarah yang selama ini banyak di monopoli oleh kekuasaan. Meskipun berada di tengah tekanan dari ormas, Badri tetap menyampaikan gagasannya secara terbuka. Menurutnya, apa yang diterimanya sebagai ekstapol adalah bentuk diskriminasi terhadap warga negara. Yang sejauh ini belum mendapatkan keadilan.
Badri juga membenarkan bahwa adanya pembataian hampir 2 juta manusia pada peristiwa pasca gestok 1965. Peristiwa kejahatan kemanusiaan tersebut telah mengubah peta ekonomi politik di Indonesia dan disaat bersamaan narasi-narasi sejarah versi Orde Baru diproduksi dan direproduksi bahkan sampai sekarang.
Peristiwa gestok tidak hanya penting sebagai titik krusial yang menandakan titik balik sejarah di Indonesia, tetapi peristiwa ini juga menyimpan banyak noda hitam yang sampai saat ini belum terselesaikan. Upaya pelurusan sejarah dan penyelesaian kasus kejahatan kemanusiaan paska Gestok ’65 ini menjadi penting untuk dilakukan. Itu semua demi membawa perbaikan bagi kehidupan ekonomi politik Indonesia untuk kedepannya.