John Kei, Premanisme, dan Shadow State
Jika kita amati di media beberapa waktu belakangan ini, muncul sebuah nama yang menjadi perhatian kita yaitu John Kei. Menariknya bukan karena ia adalah preman dan kemudian juga sebagai tertuduh pembunuh bos Alnex. Tetapi karena ternyata ia adalah ketua gerombolan preman. Lebih menarik lagi, kelompok John Kei hanyalah satu diantara sekian banyak gerombolan preman yang saling bersaing untuk memperebutkan lahan ekonomi yang terdiri dari usaha parkir, jasa pengamanan dan “jasa pengacara” (supaya diklaim sebagai sesuatu yang legal). Kasus John Kei seakan mengingatkan public betapa kelompok-kelompok di bawah permukaan, yang seringkali tidak terlihat, sangat menentukan pembagian sumberdaya ekonomi politik yang tersedia. Lalu apakah aktivitas ‘bawah tanah’ ini tidak tercium institusi resmi yang berdiri di atas permukaan, dalam hal ini negara? Secara lebih spesifik, apakah aktivitas premanisme tidak terjangkau oleh aparat negara (kepolisian)? Yang lebih bernada sinis, apakah sebenarnya negara melalui aparat-aparatnya justru sengaja membiarkan aktivitas bawah tanah berjalan dan bahkan terlibat baik langsung maupun tidak langsung di dalamnya? Terlepas dari jawaban terhadap pertanyaaan penting ini, yang jelas ada aktivitas ekonomi politik yang sangat besar disana, yang akan menggiring kita pada isu besar, yaitu shadow state (negara bayangan). Selasa, (28/2/2012) MAP Corner-Klub MKP mengundang Nur Azizah, pengajar di Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM sebagai pemantik diskusi yang akan menguraikan fenomena John Kei yang akan dikaitkan dengan pembahasan premanisme dan shadow state.
Ketika melihat fenomena John Kei, awalnya yang terlintas mungkin hanya sebatas ia sebagai preman biasa. Namun setelah menelusuri siapa John Kei dan bagaimana gurita bisnisnya, kita mungkin cukup terkejut karena ternyata asset yang dia kawal dan pendapatan yang dia miliki sangat fantastis. Mulai dari asset uang yang ratusan milyar, klaim bahwa anggotanya mencapai 10.000 orang, dan tunggakan minimal yang akan dilayani langsung oleh John Kei adalah 500 juta. Kalau tunggakannya dibawah 500 juta akan ia berikan ke kelompok lain yang lebih kecil. Dan yang menarik lagi, bahwa kelompok John Kei adalah kelompok preman yang berbasis etnis yang ada di Jakarta. Dan tentu saja tidak hanya yang dari Maluku Utara, karena setelah tertangkapnya John Kei betapa kemudian banyak kelompok lain yang bersuka cita karena dengan tertangkapnya John Kei terbukalah kesempatan bagi kelompok lain untuk memegang roda perekonomian informal yang ada di perkotaan. Dalam kasus Jakarta, mungkin tidak sekedar kelompok John Kei, tapi juga ada kelompok Hercules, Anton Medan, Forum Betawi Rembug maupun FPI.
John Kei dan Preman Perkotaaan
Mengapa aktivitas ‘premanisme’ khususnya yang berbasis etnisitas marak di perkotaan? Azizah melihat kembali sejarah pertumbuhan perkotaan di Indonesia, salah satunya dari buku JM Nash, sejarah kota-kota modern di Indonesia. Dari situ akan terlihat bahwa kota di Indonesia tumbuh karena pengaruh dari luar. Seperti misalnya Jakarta yang tumbuh karena adanya kolonialisme Belanda dan menjadikan Jakarta atau Batavia sebagai pusat pemerintahan dan juga sebagai salah satu pelabuhan utama, untuk eksport impor barang. Dalam konteks John Kei, ada kaitan yang kuat antara Jakarta dengan Ambon atau Maluku Utara, daerah asal John Kei. Ikatan kuat itu merupakan warisan masa colonial. Kita tentu masih ingat bagaimana kekayaan rempah-rempah yang ada di Maluku, kemudian itu akan melewati Jakarta dan seterusnya ke Eropa. Maka ketika kita sekarang berkunjung ke Belanda akan mudah menemukan wajah-wajah orang Ambon. Dengan demikian, pertumbuhan kota pertama ditentukan oleh pengaruh dari luar.
Penyebab lain bagi pertumbuhan kota terjadi ketika ada pergulatan antara berbagai kelompok etnis dan religi. Mengapa demikian? Salah satu teori tentang kota mengatakan bahwa kota adalah mesin pertumbuhan ekonomi. Dan itulah yang menarik banyak orang untuk datang ke kota dengan beragam etnis maupun religi. Ada sebuah teori tentang bagaimana memahami urbanisasi, yang disampaikan oleh Giddens dalam buku Sosiology. Dia mengatakan bahwa ketika ada proses urbanisasi terjadi, ia pindah ke kota, ia sendirian disana, maka kemudian dia akan mengambil yang dalam teorinya disebut “urbanism is a wildlife”. Bagaimana kehidupan di kota itu akan membentuk dirinya. Ketika ia datang sendiri, ia tidak punya teman, dan kemudian ada orang yang datang lagi dari dari daerah yang sama, butuh teman, dan akhirnya sentiment-sentimen akan lebih mudah dibangun atas dasar ikatan-ikatan etnis dan religi. Karena kota menarik banyak orang, karena disana adalah pertumbuhan ekonomi, maka selanjutnya sejarah pertumbuhan kota itu pertandanya bukanlah batas-batas yang sifatnya spasial. Ini bukan masalah Jakarta Utara, Jakarta Selatan ataupun Jakarta barat, tapi ini masalah bagaimana menguasai hubungan-hubungan social. Hal tersebut yang terjadi dalam sejarah perkembangan kota. Dengan cara inilah maka kemudian kelompok etnis menguat, dan pada saat yang sama kalau basisnya hanya etnisitas saja tentu tidak bisa berjalan. Butuh sumberdaya dan sumberdaya terbesar adalah sumberdaya ekonomi, yang akan lebih mudah didapatkan di wilayah perkotaan. Di titik inilah, apa yang disebut premanisme, mungkin muncul. Dengan demikian, sejarah pertumbuhan kota juga ditentukan heterogenitas berbasis etnis, berbasis agama yang kemudian menjadi penanda dari tumbuhnya kota yang dimulai dengan hadirnya hubungan-hubungan yang sifatnya social.
“..sejarah pertumbuhan kota itu pertandanya bukanlah batas-batas yang sifatnya spasial…tapi ini masalah bagaimana menguasai hubungan-hubungan social. Dengan cara inilah maka kemudian kelompok etnis menguat, dan pada saat yang sama kalau basisnya hanya etnisitas saja tentu tidak bisa berjalan. Butuh sumberdaya dan sumberdaya terbesar adalah sumberdaya ekonomi, yang akan lebih mudah didapatkan di wilayah perkotaan. Di titik inilah, apa yang disebut premanisme, mungkin muncul.”
Tidak hanya di Indonesia, persoalan premanisme perkotaan juga terjadi di kota-kota lain di dunia. Jika kita pernah melihat film The Real Gangster of New York, kota New York yang sekarang kita lihat sangat megah tersebut dibangun oleh kelompok-kelompok preman. Kelompok preman dari Irlandia Utara dan Inggris, dan beberapa dari Amerika Latin itu yang pada awalnya tumbuh di New York, dan pada saat itu New York belum sebesar sekarang, sekitar tahun 40 atau 50 an. Belum ada otoritas formal yang cukup besar, dan mereka tumbuh dan cara mereka bertahan untuk menghadapi heterogenitas yang ada adalah mereka berkumpul dan membentuk identitas kelompok. Identitas kelompok berbasis latar belakang Negara, kalau yang ada di New York dan bisnis mereka antara lain pemadam kebakaran. Karena pada masa itu belum ada otoritas formal yang bertugas sebagai pemadaman kebakaran di New York, sementara infrastrusktur pemadam kebakarannya juga belum terbangun dengan bagus, tata ruang kotanya juga tidak terlalu bagus sehingga mudah sekali terjadi kebakaran yang cepat meluas.
Itu seperti potret yang ada di pemukiman kumuh yang ada di Jakarta. Dan salah satu bisnis terbesar mereka adalah pemadam kebakaran. Yang menarik adalah dalam usaha untuk mendapatkan sumberdaya financial dari usaha mereka di bidang pemadam kebakaran, mereka juga menjalankan hal-hal lain yang terkait dengan usaha membakar. Agar mereka mendapatkan job, harus ada kejadian. Dan kejadian kebakaran tersebut boleh jadi itu disengaja dan itu digunakan untuk mempertegas siapa mereka. Mereka kemudian akan dating, cepat-cepatan dahulu, dan kalau dahulu memadamkan mereka bisa dapat uang, dan dengan uang itu mereka akan bisa bertahan. Kurang lebih di Indonesia pun kasusnya seperti itu, meskipun kemudian medianya bukan pemadam kebakaran, tapi hal yang lain. Pernahkah dibayangkan fotokopi di Jogja, pedagang burjo di Jogja, itu sentiment ke daerahannya luar biasa kuat.
Tentu saja hubungan seperti itu tidak harus hanya dilihat sebagai premanisme, tapi di dalamnya terdapat pembentukan identitas yang sangat kuat, yang tumbuh seiring dengan tumbuhnya sebuah kota. Dalam derajat tertentu itu dibutuhkan oleh para pelaku usaha, karena mereka butuh suatu tempat untuk bersandar. Mereka jauh dengan tempat asal mereka, maka ikatan etnis tumbuh menjadi sangat kuat. Maka dari itu, JM Nash mengatakan bahwa pertumbuhan kota di Indonesia tidak ditandai oleh batas-batas yang sifatnya spasial tetapi ditandai dengan penandaan kekuasaan yang ditandai berdasarkan hubungan-hubungan social. Contoh struktur yang paling lengkap, meskipun tidak bisa kita katakana premanisme, adalah pola gerak pedagang sate yang berada di kota Jogja dan kota lain di Indonesia. Ada big bos, tapi big bosnya ini bukannya dagang sate, tapi dagang penyetan. Tapi dialah bigbos yang mengendalikan perdagangan sate di kota Yogyakarta. Jadi mereka punya aturan disitu, siapa yang berdagang sate dalam suatu daerah (yang biasanya mereka kapling), ada sate yang disunggi, ada sate yang didorong, dan ada sate yang mangkal. Kalau sudah ada satu pedagang sate ditempat itu, pengusaha yang akan masuk harus masuk ke area yang berbeda. Mereka sudah punya penanda seperti itu. Dan jangan coba-coba main harga, karena mereka sudah punya kesepakatan-kesepakatan, untuk sate yang disunggi harga paling murah 500, sate yang didorong paling murah 1000. Jika berani main harga, maka hari berikutnya Anda akan digropyok oleh pedagang sate dan bigbos akan menghentikan perdagangan sate Anda.
Premanisme dan Shadow State
Premanisme, yang bekerja di luar mekanisme formal ternyata memiliki peran yang tidak bias diremehkan begitu saja. Banyak keputusan publik yang berhasil ditentukan oleh aktivitas ‘bawah tanah’ premanisme. Pentingnya peran premanisme ini bahkan membuat banyak pihak menyebut mereka sebagai kelompok bayangan dari institusi formal. Dalam konteks lebih luas, premanisme tidak bisa lepas dari apa yang kemudian disebut sebagai shadow state. Fenomena shadow state tentu bukan sebuah fenomena yang baru. ia sudah muncul di tahun 1930an. Film-film tentang mafia, film tentang gangster sebenarnya adalah film tentang shadow state. Dalam kasus John Kei atau juga sosok Jawara di banten, ada sosok di belakang otoritas formal, yang bekerja dan kemudian memberikan pengaruh yang luar biasa pada keputusan-keputusan publik. Itu fenomena yang disebut shadow state. Ada sebuah negara, tapi di belakangnya ada sebuah institusi atau kalau belum bisa disebut institusi bisa disebut sekelompok orang yang mengatur jalannya pemerintahan dan mengatur pembuatan kebijakan publik.
“…ada sosok di belakang otoritas formal, yang bekerja dan kemudian memberikan pengaruh yang luar biasa pada keputusan-keputusan publik. Itu fenomena yang disebut shadow state. Ada sebuah negara, tapi di belakangnya ada sebuah institusi atau kalau belum bisa disebut institusi bisa disebut sekelompok orang yang mengatur jalannya pemerintahan dan mengatur pembuatan kebijakan publik”
Dalam kasus Banten, yang menarik adalah penguasaan para Jawara terhadap kebijakan tentang pembangunan dan penguasaan infrastruktur. Mengapa demikian? Karena kita pernah tahu bahwa jawara TB (Tubagus), ia punya banyak jabatan, mulai dari Ketua Pencak Silat, Ketua Kadin, mantan Ketua Golkar dan kebetulan ia adalah orang yang mempunyai andil yang sangat besar dalam upaya pemekaran provinsi Banten pada tahun 2000an. Sehingga ada cerita bahwa Sekdanya diganti karena merupakan lawan politik dari awal, dan kemudian anak dari almarhum ini kemudian menjadi wakil Gubernur dan kini menjadi Gubernur untuk yang kedua kalinya. Yang menarik adalah bahwa pasca provinsi Banten berdiri, apalagi dengan adanya anaknya yang menjadi wakil gubernur, keputusan-keputusan yang terkait dengan pembangunan dan pengadaan infrastruktur sepenuhnya ada ditangan TB. Untuk pekerjaan nilai tertentu harus masuk ke perusahaan miliknya atau ke perusahaan rekan-rekannya. Kalau masuk ke rekan-rekannya maka ada presentase kalau harganya sekian, maka sekian persen harus komisinya TB. Hal tersebut memang benar-benar terjadi dan merupakan fenomena yang menggejala selama proses desentralisasi yang terjadi beberapa tahun terakhir ini yang ada di Indonesia.
Kasus shadow state lain di Indonesia terjadi di provinsi Gorontalo. Terdapat kelompok bayangan yang cukup kuat di sana, yang menentukan arah kebijakan publik di Gorontalo. Anehnya, kekuatan itu tidak berada di Kantor pemerintah provinsi, tetapi berada di Kantor DPD Golkar Provinsi Gorontalo. Ini merupakan bentuk shadow state yang pelayanannya bukan yang negative-illegal, tapi disana mereka menggodok kebijakan-kebijakan tertentu yang akan dikeluarkan oleh Gubernur yang berasal dari Partai Golkar. Jadi sekarang ada perluasan arena shadow state, tapi prinsip awal kalau kita berbicara mengenai shadow state adalah dinamika penyelesaian urusan-urusan publik yang berada di luar institusi formal Negara. Yang keduanya bisa berjalan beiring bersama, dan pada saat yang sama bisa saling menegasikan satu sama lain. Kalau ingin mengkaji mendalam bagaimana shadow state ini bisa bekerja bersama-sama dengan institusi formal, dapat ditelusuri dalam artikel Levitsky tentang informal institution, yang menemukan bahwa dalam beberapa titik shadow state itu bisa komplementer dengan peran-peran Negara, bisa subtitutif, bisa konflik, dan bisa sinergi.
Secara teoritis, shadow state memang terjadi di banyak Negara, terutama di Negara-negara dunia ketiga. Di Filipina misalnya juga terjadi. Dalam sebuah kasus Pilkada Gubernur disana, satu calon gubernur beserta pengikut dan keluarganya ditembak mati. Banyak pihak menyebut peristiwa itu sebagai premanisme politik yang luar biasa di Filipina. Di Filipina konstelasi politik yang ada tidak terlalu stabil, karena terdapat oposisi, koalisi, dan sebagainya yang sangat rapuh dan dapat berubah dengan sangat cepat dan pada saat yang sama masyarakatnya terfragmentasi. Kalau dalam teori, shadow state ini selalu dikaitkan dengan lapuknya atau lemahnya fungsi Negara. Jadi ada fungsi-fungsi tertentu yang tidak bisa dijalankan oleh Negara, dan kemudian ini diambil alih oleh kelompok bayangan ini. Kalau dalam kasus John Kei, karena dia bisnisnya debt collector, Nampak bahwa ada ruang-ruang yang Negara tidak bisa masuk, tetapi kemudian karena pasar meminta, maka lahirlah jasa-jasa seperti itu. Ada supply, ada demand, itu yang terjadi.
Meskipun pada umumnya shadow state lahir ketika negara rapuh, studi lain yang dilakukan oleh John Sidle menemukan bahwa premanisme yang ada di Indonesia ini justru terjadi pada saat negara kuat. Kalau kita melihat kembali, sebenarnya premanisme dan politik lokal di Indonesia tidak hanya terjadi setelah desentralisasi, tetapi jauh sebelum itu. Kalau dikatakan bahwa kita telah mengalami sentralisasi yang luar biasa dari tahun 1965 sampai 1998, pada saat tersebut terjadi sentralisasi namun pada saat yang sama politik local tidak pernah mati. Patron klien di level lokal tidak pernah hilang. Sehingga kemudian setelah dibawa arus kebebasan oleh adanya desentralisasi, yang dulunya ada tapi tidak kelihatan kemudian muncul pada era sentralisasi. Sehingga kalau di Banten punya Jawara, di tempat lain juga punya yang kurang lebih sama. Dan repotnya adalah konstruksi masyarakat di Indonesia sebenarnya tidak cukup terfragmentasi. Tetapi lebih pada terkooptasi karena ada struktur politik local yang bekerja yang tidak terlihat dalam konstelasi politik nasional. Yang selalu kemudian dikatakan bahwa Indonesia sentralistis, tidak ada dinamika politik local, tapi sebenarnya itu ada. Salah satu buktinya adalah metode patron klien, itu tetap lestari dan itu merupakan mekanisme yang paling kuat untuk membangun posisi antara para elit dengan masyarakatnya di level local dan itu tidak pernah tersentuh oleh sentralisasi. Pola patron klien bukannya makin menurun saat desentralisasi dilaksanakan melalui Undang-Undang 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang 32 Tahun 2004, namun pola patron klkien justru semakin kuat.
Ekonomi Informal dan Shadow State
Ada alasan yang kuat ketika membicarakan shadow state, kita juga perlu melihat ekonomi informal. Tumbuhnya sector ekonomi informal tanpa kemampuan memadai dari negara untuk melayani kebutuhan kelompok-kelompok ini menjadi lahan subur bagi tumbuhnya shadow state. Terdapat definisi yang cukup luas ketika kita berbicara tentang ekonomi informal. Pada salah satu sisi, ekonomi informal bisa berbicara tentang sesuatu kegiatan ekonomi yang dari sisi produknya itu bermanfaat tapi dari sisi prosesnya itu yang tidak legal atau tidak dikenali oleh negara. Pada sisi lain, ekonomi informal juga bisa berarti dalam proses maupun produknya. Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan contoh informal ekonomi, namun produknya bagus. Namun ada juga informal ekonomi yang menjadi illegal karena produknya tidak diperkenankan oleh hukum. Narkotika, senjata api, perdagangan manusia termasuk informal ekonomi dalam sebaran yang berbeda. Namun secara umum dalam konteks premanisme dan shadow state, informal ekonomi terkait dengan berbagai macam kegiatan ekonomi yang berada di luar jangkauan negara. Baik dari sisi regulasinya maupun dari sisi proses distribusinya berada di luar jangkauan negara. Dia berfungsi di luar hukum negara, dan ada yang menambahkan bahwa ketika kita berbicara mengenai informal ekonomi adalah sesuatu yang tidak ada perlindungan kontraknya. Relasi antara pemilik modal dan pekerja bersifat langsung tanpa kontrak kerja yang pasti. Hubungan semacam ini biasanya rentan disalahgunakan mengingat tidak ada perlindungan bagi pekerja. Selain itu, relasi juga berlangsung dengan modus operandi sangat fleksibel. Kaitannya dengan shadow state, informal ekonomi yang dibicarakan adalah adanya pelayanan jasa yang diberikan oleh kelompok-kelompok tertentu yang tumbuh seiring dengan perkembangan proses kota itu tadi dan pada saat yang sama struktur negara tidak cukup mampu untuk menjawab kebutuhan kelompok-kelompok itu. Baik kebutuhan akan pekerjaan maupun kebutuhan akan lapangan kerja, dan kebutuhan-kebutuhan tertentu untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang idealnya dibutuhkan, namun negara tidak mampu menyediakan.
“Kaitannya dengan shadow state, informal ekonomi yang dibicarakan adalah adanya pelayanan jasa yang diberikan oleh kelompok-kelompok tertentu yang tumbuh seiring dengan perkembangan proses kota itu tadi dan pada saat yang sama struktur negara tidak cukup mampu untuk menjawab kebutuhan kelompok-kelompok itu”
Salah satu contoh teraktual adalah kebutuhan akan debt collector. Mengapa permintaan terhadap profesi ini ada? Salah satu alasannya mungkin karena di Indonesia aturan kredit sangat mudah sehingga orang yang punya kredit di bank A namun belum dibayar itu dengan mudah dapat mengambil kredit di bank lain dan kemudian kredit di tempat lain lagi, meskipun tidak kunjung mampu membayar. Kondisi demikian menjadi insentif bagi orang yang meminjam untuk ngemplang. Pada saat yang sama, regulasi negara tidak sampai mengatur hingga ke persoalan ini. Akibatnya, bank kemudian mengambil langkah untuk menggunakan jasa preman. Karena butuh pekerjaan, preman tanpa pikir panjang mau melakukan pekerjaan apa saja yang diperintahkan padanya. Mereka juga tidak akan begitu peduli apakah pekerjaan itu melanggar hukum atau tidak. Semua dilakukan demi status social dan status ekonomi. Kalau mereka pulang ke daerah membawa uang maka nanti status social dia dan keluarganya akan meningkat. Supply dan demand bertemu dan ini menjadi lingkaran yang sulit dicari mana ujung dan pangkalnya.
Ada orang datang ke kota dan tertarik akan pertumbuhan ekonomi yang ada di kota, tapi kemudian yang ada di kota itu tidak bisa memberikan semua kebutuhan yang diperlukan oleh semua orang yang datang. Lapangan pekerjaan formal tidak tersedia cukup banyak untuk semua orang sementara kebutuhan untuk bertahan hidup terus mendesak. Dalam kondisi ini, negara mengalami apa yang dalam bahasa William Reno disebut “lapuk”. Dari penjelasan ini, menjadi cukup masuk akal jika kemudian dalam kasus John Kei yang dituding bersalah adalah ketidakmampuan polisi dalam menyelenggarakan pelayanan keamanan. Dalam konteks negara Indonesia, tugas pelayanan keamanan tentu berada di tangan kepolisian. Ketika sampai ada premanisme yang menyediakan jasa keamanan, ini menjadi sinyal bahwa penyedia pelayanan formal, tidak bekerja sebagaimana mestinya. Itu merupakan fenomena yang terjadi di Negara kita, dan tarikannya secara teoritis ada pada isu shadow state dan informal ekonomi.
Kasus Yogyakarta
Bagaimana dengan yang terjadi di kota Yogyakarta? Kota Yogyakarta ini terlihat adem ayem, tidak ada preman. Dengan mudah bisa dikatakan bahwa di Kota Yogyakarta premannya banyak. Pada saat yang sama premannya ada, namun kebetulan pemerintah Kota Yogyakarta ini relatif cukup kuat. Sehingga kemudian bisa meredam efek negatif dari informal ekonomi yang dilakukan oleh preman. Contohnya bukan rahasia lagi jika lahan parkir Malioboro telah memiliki kapling-kapling yanhg dikuasai kelompok tertentu. Lahan parker di depan gedung DPR sampai Malioboro Mall, maupun depan Ramayanan bisa jadi dikuasai oleh kelompok yang berbeda.
Fenomena ini tentu saja nyata, hanya saja uniknya, mereka biasanya menghindari untuk bertabrakan langsung dengan pemegang kekuasaan formal, dalam hal ini pemerintah daerah. Memang, untuk lebih mengetahui alasannya tentunya diperlukan riset lebih lanjut. Tetapi salah satu dugaan yang Azizah sampaikan adalah di Kota Jogja, pemerintah daerahnya cukup kuat. Di tahun 2005-2007 di Kota Yogya ada relokasi pedagang pasar Klithikan. Dulu di Jalan Mangkubumi ke selatan dan oleh Pemkot Jogja berencana merelokasi ke Kuncen. Awalnya alot dan di media menjadi berita yang cukup hangat, akan tetapi kemudian tiba-tiba sudah pindahan. Mungkin jika terjadi di Surabaya atau Jakarta, mungkin sudah terjadi bentrok antara pemerintah dengan pedagang. Kenapa itu tidak terjadi? Menurut pelaku langsung dari proses relokasi tersebut, ia sekarang menjabat sebagai Kepala Dinas Pasar di Kota Jogja. Bukti bahwa pemerintah Kota Yogyakarta cukup kuat adalah dia punya strategi dan filosofi tertentu ketika melakukan relokasi pasar. Kota Yogyakarta dan Kota Solo ini mempunyai tradisi tertentu yang barangkali unik, beberapa kali melakukan relokasi, tapi tidak menimbulkan konflik yang serius. Mereka mempunyai filosofi yang dalam bahasa jawa “mincing, keno iwake ojo nganti buthek banyune”. Kalau orang memancing, dapat ikannya tapi jangan sampai airnya keruh. Filosofi kedua, harus tahu waktu yang tepat. Kalau mau melakukan relokasi, pertama, jangan di bulan Puasa, karena rejeki mereka sedang banyak. Kedua, jangan melakukan relokasi di musim-musim liburan, bulan Juli-Agustus. Jika di kedua waktu tersebut pasti akan ditentang. Tapi carilah waktu-waktu sepi. Filosofi ketiga, kalau relokasi semangatnya jangan sekedar memindah, tetapi menata. Implikasinya kalau menata maka infrastruktur pendukung harus disiapkan.
Kalau dalam konteks Jogja, memindahkan PKL ke Kuncen beserta ada jalur trans Jogja yang disiapkan. Aman dari sisi tersebut dan kemudian relokasi bisa berjalan. Satu hal lagi yang menarik adalah bahwa yang sangat kontra atas pemindahan PKL itu ternyata bukanlah pedagang, tapi komunitas parkir, kelompok masyarakat di sekitar lokasi yang usahanya menjaga parkir. Itu merupakan salah satu sumber daya yang sangat besar. Caranya seperti apa? Kalau pedagang kan mereka jelas mendapatkan tempat dan berbagai fasilitas dan insentif yang disediakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta sehingga mereka cukup tertarik untuk pindah. Lantas bagaimana dengan tukang parkir? Jelas kalau pindah ke Kuncen, orang-orang di sekitar Kuncen itulah yang jaga parkir. Caranya bagaimana? Ternyata idenya cerdas, dari yang awalnya tukang parkir motor, jadi tukang parkir pantat. Jadi programnya adalah membuat satu WC untuk satu tukang parkir. Di Kuncen sana disiapkan toilet-toilet umum, dan satu tukang parkir dapat satu atau dua WC. Itu cerita formalnya, good story and good practices dari relokasi. Namun ternyata di dalamnya pun memakai mekanisme informal. Istilahnya bahwa informal ekonomi akan lebih efektif jika ditangani dengan cara-cara informal.
“Itu cerita formalnya, good story and good practices dari relokasi. Namun ternyata di dalamnya pun memakai mekanisme informal. Istilahnya bahwa informal ekonomi akan lebih efektif jika ditangani dengan cara-cara informal”
Cara informal ini biasanya dilakukan dengan cara lunak. Sebelum menjadi Kepala Dinas Pasar, pejabat yang menjadi camat di daerah Kuncen ini setiap sore membaur bersama warga untuk nongkrong, ngobrol, nongkrong dengan para pedagang, tukang parker dan lain-lainnya. Ia berusaha memetakan apa yang warga Kuncen bayangkan, apa yang mereka inginkan dan seterusnya. Ini bias disebut sebagai good story. Tapi mungkin bad story-nya adalah ia ini sudah lama tinggal di Jogja, tapi ia asli Madura. Sehingga jaringannya dengan preman Madura cukup kuat. Akibatnya, mudah saja kalau ada satu atau dua kelompok yang ngeyel nggak mau pindah, didatangi secara informal dan memberi pertanyaan langsung: “kamu punya anggota berapa?”. Selanjutnya, dengan lugas ia akan mengatakan “Anggotaku sekian ribu, kalau kamu terus-terusan nentang awas ya”. Nampaknya cara ini berhasil. Artinya, shadow state merupakan sesuatu yang dilakukan oleh actor-aktor di luar pemerintahan, yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang tidak bisa dilakukan oleh Negara. Tetapi ternyata fenomena ini telah meluas dan actor-aktor di dalam Negara pun ikut bermain dalam area yang berada di bawah bayang-bayang Negara. Dan sekali lagi itu bukanlah fenomena yang khas Indonesia, di Filipina ada yang istilahnya chao pao, labelnya bosisme, ada yang mengatakan local strong man, tetapi itulah shadow state yang riil ada.
Kemiskinan sebagai Akar Masalah?
Salah satu penyebab terbesar premanisme muncul adalah adanya ‘share of poverty’ sehingga muncullah jasa-jasa keamanan, jasa-jasa parker yang berada di luar kemampuan pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan tersebut. Sebagaimana yang disampaikan Azizah, preman (preman sebenarnya, bukan dalam arti preman politik) sebagian besar muncul dari kalangan menengah ke bawah, karena alasan terbesar menjadi preman adalah kebutuhan akan materi. Dan jika kita merupakan bagian dari orang yang percaya dengan teori konspirasi, mereka tetap hidup dengan back up aparat, entah itu dari TNI, Polisi atau Kepala-kepala Daerah. Bagaimana dulunya organisasi semacam Pemuda Pancasila, FPI itu dulunya awal terbentuknya memang dibentuk oleh Negara, dan dipakai untuk saat-saat tertentu. Bukan rahasia pula jika untuk sukses menjadi Kepala Daerah, kuasai premannya. Karena di situ potensi akses untuk mendapatkan suara besar sekali.
Dalam studinya, Sidle menyebutkan bahwa ‘local strong man’ yang muncul di Indonesia itu kuat pada saat kekuasaan Orde Baru kuat. Caranya adalah kalau bukan berasal dari militer akan sulit untuk menjadi kepada daerah. Dan kepala daerah akan dipilih lagi di periode berikutnya kalau salah satu indicator keberhasilannya adalah dia berhasil mempertahankan angka KB. Dan agar misinya berhasil ia harus membangun relasi yang kuat dengan orang-orang kuat di level local. Bisa jawara bentuknya, bisa pemuka agama dan bisa siapapun. Dan relasi antara kepala daerah dengan orang kuat local tersebut semakin intim. Ditambah lagi kita punya mekanisme patron klien. Ada mekanisme tertentu yang memastikan bahwa elite di dukung dan kemudian dukungan itu dijawab dengan memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap kliennya. Dengan cara ini, ‘Local strong man’ menjadi kuat. Ketika era desentralisasi, mereka yang masih bisa bertahan pasca reformasi 1998, akhirnya berupaya maju menjadi kepala daerah.
Oleh karena itu persoalan yang harus dijawab terlebih dahulu adalah persoalan kemiskinan dan bisakah kita mengembangkan system politik yang mengenali dan mengidentifikasi keragaman yang ada di tingkat local. Bukan berarti kita bersepakat dengan premanisme politik, akan tetapi bagaimana kita bisa membuat suatu mekanisme Pilkada yang di satu sisi tidak memboroskan uang, tapi pada saat yang sama mekanisme atau rambu-rambu itu bisa membuat semacam aturan yang dalam bahasa Azizah: “okey kamu boleh preman, boleh punya orientasi ekonomi, akan tetapi dampaknya harus seminimal mungkin tidak boleh menggerogoti anggaran publik”. Atau dalam bahasa lain, preman mungkin ditolerir, asal tidak menggunakan atau memakan anggaran publik. Prasyarat lain yang diperlukan guna memberantas premanisme sepertinya adalah penggerusan pola patron klien. Selama patron klien tetap lestari di Indonesia, akan semakin tidak mungkin bagi kita memberantas premanisme.
Masa Depan Shadow State
Tidak bisa dielakkan bahwa ada hubungan yang jelas dan tidak terpisahkan antara premanisme, ekonomi informal, dan shadow state. Akar dari ini semua dapat ditunjuk pada sebuah fenomena klasik: kemiskinan. Kemiskinan, terutama di pedesaan telah mendorong orang untuk lari ke perkotaan mencari penghidupan lebih baik. Kehidupan liar di perkotaan membuat orang-orang yang berasal dari daerah asal sama, bekerjasama membentuk jaringan guna bertahan hidup. Basis kedaerahan maupun etnis dinilai sebagai basis yang paling bisa dipercaya dalam alam kota yang kejam. Dari jaringan ini mulai tumbuhlah ekonomi informal yang kadang tidak tersentuh negara. Kealpaan maupun ketidakmampuan negara melayani pertumbuhan sector ekonomi informal (keamanan, ketertiban, dst) menimbulkan permintaan pelayanan pada institusi informal lainnya, yang kemudian dikenal sebagai premanisme. Perkembangan kekuatan mereka membuat perannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Tidak hanya mempengaruhi ekonomi informal, institusi informal (preman) akhirnya juga bisa menyentuh dan mempengaruhi institusi formal. Kuatnya pengaruh mereka terhadap institusi formal (Negara) membuat banyak orang menyebut preman sebagai bagian dari shadow state. Parahnya, bukan rahasia lagi jika institusi formal bukannya berupaya membendung pengaruh shadow state yang terus menguat, melainkan justru banyak aparat Negara yang di belakang layar bekerjasama dan memanfaatkan keberadaan shadow state sebagai sumber ekonomi politik yang penting. Dengan demikian, adalah ambigu jika kita meminta negara (formal) memukul shadow state, karena justru adanya negara nampak tidak bisa lepas dari keberadaan shadow state. Jika demikian, jangan-jangan ” (hanya) Negara dengan shadow state, maka Negara itu ada!”. Maka, yang bisa dilakukan nampaknya hanya terus-menerus memaksa aktor-aktor negara maupun shadow state itu untuk mempertanggungjawabkan setiap tindakan mereka, baik yang di permukaan maupun di bawah tanah, kepada publik.
Oleh: Rima Ranintya Yusuf