Janji Kesejahteraan Tambang Untuk Siapa?: Menguak Mitos Tambang & Kegagalan Trickle Down Effect
Apakah janji kesejahteraan yang terlontar selama ini hanya menjadi mitos pertambangan semata? Pertanyaan ini yang menjadi pembuka diskusi MAP Corner – Klub MKP UGM pada 14 Februari 2017. Diskusi mingguan yang diadakan di Lobby MAP kali ini membahas pertambangan yang sering kali dikaitkan dengan janji-janji kesejahteraan bagi masyarakat. Janji kesejahteraan itu dibangun dengan berbagai diskursus dan wacana bahwa adanya pertambangan akan mengurangi kemiskinan, membuka lapangan pekerjaan, hingga meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Atas diskursus dan wacana serupa, maka pemerintah seringkali memberi karpet merah bagi setiap perusahaan pertambangan. Akibatnya banyak daerah yang dikonversi menjadi area tambang, salah satunya upaya pembangunan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah. Akan tetapi kehendak tersebut mendapat perlawanan dari masyarakat bersama jaringan aktivis dan pegiat sosial.
Perjuangan warga dalam menolak pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Rembang telah dilakukan dengan berbagai langkah. Dari aksi jalanan, aksi kesenian – kebudayaan, hingga melalui jalur hukum. Pergerakan melalui jalur hukum membuahkan hasil setelah MA mengabulkan gugatan masyarakat atas izin lingkungan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Namun Putusan MA Nomor 99 PK/TUN/2016 tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh Pemprov Jateng. Setelah Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng) bersilat lidah terkait perubahan adendum, tidak berselang lama izin lingkungan PT Semen Indonesia (dulu bernama PT Semen Gresik) dicabut. Akan tetapi Pemprov Jateng masih memberikan kesempatan kepada PT Semen Indonesia untuk mengajukan kembali izin lingkungan melalui pembuatan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) baru pembangunan pabrik.
Pembangkangan Dari Putusan MA
“Kebijakan Pemerintah ini merupakan kebijakan yang membangkang dari putusan MA”, ujar Ricardo Simarmata yang menjadi pemantik pada sore hari itu. Dosen Fakultas Hukum UGM ini menilai bahwa Pemprov Jateng tidak patuh pada putusan MA karena berbelit-belit dengan berbagai dalih adendum. Selain itu disisi yang lain setelah Izin Lingkungan PT SI terpaksa dicabut, mereka masih memberi kesempatan kepada PT. SI untuk memperbarui izinnya. Seharusnya ketika MA memutuskan izin amdal tersebut batal, Pemerintah tidak seharusnya membuka ruang untuk memperbaruinya.
Menurut Ricardo, kasus yang terjadi di Rembang ini sangat berbahaya bagi negara hukum seperti Indonesia. Pasalnya ketidakpatuhan Pemprov terhadap putusan MA direspon masyarakat dengan penyegelan terhadap Pabrik Semen PT. SI yang telah dibangun. Peristiwa itu mengindikasikan adanya penegakan hukum negara yang dilakukan rakyat dengan melaksanakan putusan MA. Padahal penegakan hukum seharusnya menjadi domain pemerintah. Tidak banyak kejadian rakyat dengan justifikasi hukum menengakkan hukum negara. Pelaksana negara yang lalai akan tugasnya sangat berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat. Terbukti belum lama ini terjadi pembakaran tenda dan mushola yang dilakukan sekelompok orang di area penyegelan.
Tambang dan Mitos Kesejahteraan
Kasus Rembang menjadi salah satu contoh yang membuktikan susahnya mengaitkan tambang dengan peningkatan kesejahteraan rakyat disekitar area tambang. Setidaknya ada beberapa alasan yang mendukung klaim tersebut ujar Rikardo. Yang pertama yaitu pertambangan hanya memfasilitasi pelaku besar. Industri pertambangan yang membutuhkan modal besar membuat keterbatasan pelaku pasar yang bisa terjun didalamnya. Hanya pelaku dengan modal besar yang dapat memasuki industri tambang. Yang kedua tidak berjalannya trickle down effect pada industri pertambangan. Pelaku besar yang mendapat keuntungan awalnya diharapkan memberikan dampak kesejahteraan kepada masyarakat sekitar. Namun masyarakat tidak diberikan akses untuk ikut berperan dalam pertambangan. Mereka hanya diberikan janji jika nanti ada pemain besar yang turun, mereka akan terkena dampaknya.
Alasan yang ketiga yaitu baik kebijakan maupun korporasi yang mengelola pabrik tidak mengakomodasi adanya penyertaan saham dari masyarakat sekitar. Salah satu prasyarat pendirian tambang dengan izin yang diberikan masyarakat sekitar. Namun izin tersebut berujung pada ganti rugi yang diarahkan ke uang. Padahal berdasar peraturan agraria mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum, penyertaan saham sebagai ganti rugi dimungkinkan. Tapi tidak ada cerita penyertaan saham bagi masyarakat di sektor pertambangan.
Pengelolaan tambang memerlukan keahlian teknologi tinggi menjadi alasan yang terakhir. Masyarakat sekitar yang mayoritas belum mengenyam pendidikan di perguruan tinggi hanya akan dipekerjakan pada posisi rendah. “Saya jarang sekali menjumpai masyarakat sekitar yang menduduki posisi tinggi, “asisten manajer saja tidak ada”, ujar Rikardo. Rekrutmen masyarakat sekitar bukan secara serius ingin mensejahterakan namun hanya sebagai prasyarat.
Pendapat yang tidak jauh berbeda dikemukakan Hendra Try Ardianto menanggapi korelasi antara tambang dan kesejahteraan. Penulis buku “Mitos Tambang Untuk Kesejahteraan” ini menunjukkan bahwa kriteria kesejahteraan yang dianut Pemerintah tidak sesuai dengan sejahtera yang ada di masyarakat. Sejahtera tidak harus melulu dikaitkan dengan pekerjaan yang mapan, gaji yang besar, ataupun bentuk materiil lainnya. Kehidupan masyarakat desa pada awalnya sudah sejahtera karena bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Namun konstruksi sejahtera yang dibawa Pemerintah mengubah pola hidup mereka. Salah satunya dengan tuntutan PAD yang tinggi, Pemerintah membuka izin tambang. Pembukaan area tambang berdampak pada kehidupan petani, mereka kehilangan pekerjaan karena konversi lahan hingga sumber air yang hilang.
Untuk membuktikan kesejahteraan hanya mitos semata, Hendra juga menunjukkan data terkait pabrik PT. SI di Tuban. Pendapatan tambang yang diterima Pemerintah disana hanya kurang lebih 50 M. Masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan pendapatan dari bidang kesehatan sebesar 160 M. Kasus lain terjadi di Bojonegoro yang juga pendapatan dari sektor kesehatannya lebih besar dari tambang migasnya. Mitos lain yaitu dengan adanya penyerapan tenaga kerja yang besar jika tambang beroprasi. PT. SI menyebutkan bahwa akan ada penyerapan hingga 3000 orang ketika pabrik sudah mulai berjalan. Namun pada kenyataannya hanya sekitar 300an yang nantinya akan benar-benar bekerja. Diantara 300 itu pun hanya akan dipilih dengan kualifikasi tertentu seperti lulusan sarjana teknik. Padahal rerata pendidikan di desa-desa masih rendah, hanya SMP hingga SMA.
Terakhir, Corporate Social Responsibility (CSR) yang digembar-gemborkan mampu memberikan kesejahteraan juga tidak terjadi. “CSR adalah gratifikasi yang dilegalkan”, ujar Hendra. CSR yang ada hanya digunakan untuk membiaya demo pro pembangunan pabrik semen, pembangunan mushola, hingga beasiswa bagi mahasiswa agar daya kritisnya hilang. PT.SI di Tuban pada tahun 2016 pun kosong dana CSR-nya karena menurut Hendra dananya digunakan untuk memadamkan penolakan pembangunan pabrik semen di Rembang. Alasan-alasan inilah yang dapat mengukuhkan klaim bahwa tambang tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
Diakhir diskusi, kedua pemantik sepakat bahwa adanya aksi perlawanan yang disertai kreativitas sangat penting. Rikardo menjelaskan bahwa muncul aksi perlawanan ini dilandasi adanya identitas bersama yang kuat. Seperti yang terjadi pada komunitas masyarakat Samin yang ada di Kendeng. Disisi lain Hendra menganalogikan gerakan sosial bukan seperti pertandingan tinju namun seperti lomba maraton. Artinya perlawanan harus mempersiapkan untuk aksi jangka panjang bukan hanya bentrokan kekerasan semata. Gerakan perlawanan ini juga bisa dianggap sebagai jihad. Namun yang perlu digarisbawahi adalah jangan hanya memahami gerakan yang sukses karena tidak semua gerakan akan berhasil. Tidak jarang gerakan yang kita lakukan akan dipanen hasilnya oleh anak cucu kita. Karena itu bagi teman-teman jangan menyerah dan tetap konsisten dalam melakukan perjuangan.