Gerakan Politik Kolektif Untuk Menuntut Oligarki Bisnis Kehutanan
Meskipun beberapa bulan terakhir sempat menjadi topik perbincangan media elektronik, media massa maupun media sosial, isu kabut asap di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, akibat pembakaran hutan mulai meredup semenjak beberapa daerah yang terkena dampak mulai diguyur hujan. Tetapi barangkali tidak ada yang tidak setuju bahwa pelaku pembakaran hutan perlu dituntut bertanggungjawab. Kementerian Kehutanan memperkirakan areal hutan dan lahan yang terbakar hingga mencapai 40.000 Hektare atau yang terbesar sepanjang sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Kerugian material masyarakat begitu besar. Banyak sumber daya Negara yang juga harus dikerahkan untuk pemadaman api, termasuk TNI yang ikut “beralih profesi” menjadi pemadam kebakaran. Kita belum menghitung kerugian non materil yang tidak dapat diperkirakan bagi mereka yang kehilangan anggota keluarga akibat infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Pemerintah nampak tidak pernah belajar dari sejarah panjang sejak 1967 dan pembakaran hutan serupa sejak 1997-2015 (18 Tahun). Mengapa pemerintah dengan mudah memberikan ijin konsesi hutan kepada koorporasi besar? Bagaimana relasi antara pemegang konsesi dengan elit politik dan elit birokrasi di pusat hingga dearah? Apa mekanisme kontrol yang bisa digunakan dalam pengendalian bisnis ektra aktif yang merusak lingkungan ini? Beberapa pertanyaan diatas ialah pemantik diskusi MAP Korner-ClubMKP UGM dalam diskusi tanggal 3 November 2015.
Dalam catatan WALHI, Suparlan sebagai pemantik diskusi mengingatkan bahwa ada “Jejak Api Investasi” yang dilakukan oleh korporasi-korporasi besar yang sangat monopolistik yang menguasai hutan dan lahan hingga 57 juta hektar dengan ijin legal oleh Industri ekstra aktif. Dari titik pijak demikian, bencana asap bukanlah bencana ekologis. Berbeda dengan letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami yang jelas sangat kecil disebabkan oleh intervensi manusia, bencana asap dilahan konsesi industri ekstra aktif adalah murni dibuat manusia sendiri. Tidak ada proses alam yang menjadi pemicu kebakaran hutan. Jangan salahkan alam dengan mengatakan sebagai bencana kebakaran. Fenomena asap lebih disebabkan oleh pembakaran yang secara bersama-sama dilakukan oleh “Mafia Land Clearing”. Suparlan menambahkan, bahwa ada temuan dilapangan tentang orderan pembakaran hutan yang kisaran biayanya diantara Rp. 700 ribu hingga Rp. 3 juta. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam Rapat dengar perndapat bersama komisi VIII DPR, sebagaiman dikutip (Kompas 3/10/15) BNPB menjelaskan bahwa “99 persen kebakaran hutan adalah disengaja—Kalau bukan untuk membuka lahan, lalu untuk apa membakar hutan?”
Maharini Hapsari (Dosen Fisipol UGM) yang berkonsentrasi pada Studi Politik Lingkungan, sependapat dengan pandangan Suparlan tentang bencana asap sebagai bencana yang disebabkan oleh ulah manusia. Fenomena kabut asap oleh pembakaran hutan termasuk polusi oleh kendaraan dan industri merupakan persoalan politik. Sayangnya masyarakat masih belum sadar dan menggap normal, bahkan ada upaya beradaptasi dengan keadaan tersebut. Keleluasaan sepak terjang mafia land clearing dengan cara membakar bukan tanpa sebab. Negara secara nyata memberikan keleluasaan kepada pelaku bisnis untuk melakukan pembakaran yang secara tersirat dituangkan dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal 69 ayat (1) “setiap orang dilarang, a,b,c s/d h. Melakukan pembukaan hutan dengan cara membakar”. Selanjutnya pada ayat (2) “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal didaerah masing-masing”. Dalam penjelasan ayat ini, UU memberikan keleluasaan untuk pelestarian kearifan lokal untuk melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman dengan varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Berdasarkan observasi WALHI di daerah kebakaran, Pemerintah Daerah dengan dalih kearifan lokal, justru membuat aturan main yang melampaui batas ketentuan yaitu 50 hingga 100 herktar. Secara logika, jika setiap kepala keluarga dapat membakar 2 hektar, apabila dilakukan oleh 10 kepala keluarga secara bersamaan diakumulasikan menjadi 20 hektar lahan yang terbakar. Jika mengikuti ketentuan didaerah, dapat kita bayangkan berapa hektar lahan yang akan terbakar dan memproduksi pollutant. Suparlan menambahkan, bahwa ketentuan pembukaan lahan dengan cara membakar yang diatur didaerah “sarat kepentingan”. Kepentingan perluasan areal konsesi untuk akumulasi kapital secara efisien dijamin dalam ketentuan perundang-undangan. Artinya bahwa negara ikut berperan terhadap upaya akumulasi kapital korporasi yang melakukan pembakaran.
Maharini Hapsari dari perspektif politik lingkungan menilai ada kebergantungan sistem politik terhadap ekstraksi sumber daya alam. Pemerintah dengan kepentingan politik terhadap pengembangan komoditas primer mengeluarkan ijin penebangan hutan hujan dan dialih fungsi menjadi hutan produksi, dapat dikatakan sebagai monokulturisasi komoditas, khususnya disektor produksi hasil hutan. Alih fungsi lain adalah pengembangan palm oil sebagai sektor unggulan yang berorientasi ekspor. Artinya telah terjadi politik komoditas yang mengkonsentrasikan komoditas disektor tertentu.
Terkait oligarki, Maharani menilai oligarki elit yang berkuasa atas konsesi mangalami transformasi dari yang dahulunya dijaman orde baru hanya dipegang oleh pusat, namun dengan adanya otonomi daerah, oligarki elit mengalami pembelahan ke daerah dan mengklaim space masing-masing. Oligarki dimasa saat sekarang sulit teridentifikasi karena tidak terstruktur dan sistematis, justru menjadi semacam jaringan yang terbangun dipusat hingga di daerah. Struktur oligarki menjadi abstrak, karena melibatkan mutli aktor hingga masyarakat biasa yang terlibat sebagaimana yang disebutkan Suparlan sebagai “Mafia Land Clearing” yang hanya dibayar Rp. 700 ribu hingga Rp. 3 juta.
Temuan Maharani berdasarkan observasi di Sekadau Kalimantan Barat, bahwa pelibatan masyarakat secara tidak langsung dalam oligarki yang mengikuti skema Plasma dan Inti yang memungkinkan masyarakat ikut dalam pengelolaan kebun sawit dengan perjanjian tertentu, suatu saat lahan yang diserahkan kepada koorporasi akan dikembalikan pada masyarakat, namun kenyataanya tidak dikembalikan. Sehingga petani tetap menjadi buruh pada koorporasi tempat dimana tanahnya diserahkan. Atau dengan kata lain, menjadi buruh ditanah milik sendiri.
Menutup diskusi, Suparlan menyarankan perlunya dilakukan “pengawalan” terhadap proses hukum bagi korporasi agar dapat dijatuhi hukuman secara adil. Maharani di sisi lain menegaskan bahwa fenomena pencemaran lingkugan yang terjadi secara masif, baik masalah kabut asap karena pembakaran hutan, polusi udara karena kendaraan dan industri, maupun pencemaran lingkungan lainnya, tidak lepas kaitannya dengan kebijakan negara yang berkolaborasi dengan koorporasi. Dalam kata lain, fenomena lingkungan selalu merupakan persoalan politik. Upaya apapun untuk menjaga kelestarian lingkungan, karenanya juga membutuhkan langkah politik. Di tengah kian trengginasnya jaringan oligarki yang merentang dari pusat-Jakarta hingga bercabang ke berbagai daerah, sekedar himbauan agar para oligarki punya ‘niat baik’ untuk mematuhi aturan bisnis kiranya tidak memadai lagi. Suatu inisiatif kontrol politik kolektif terhadap kompleks elit pemodal, elit politik dan elit birokrasi kiranya dibutuhkan untuk memastikan pembakaran hutan yang telah membunuh banyak anak-anak kita, tidak pernah terulang lagi.