Drama Reshuffle KIB Jilid II : Dilema Sistem Presidensial dalam Sistem Multi Partai
Layaknya sebuah serial drama TV, proses reshuffle kabinet oleh Presiden SBY pada pertengahan Oktober diiringi dengan rupa-rupa dramatisasi. Sejak isu reshuffle kabinet dimunculkan, wacana tanggal pengumuman, nama-nama yang (sengaja) diedarkan, hingga akhirnya benar-benar secara resmi diumumkan, proses reshuffle benar-benar bak tontonan kolosal yang nampak disengaja diperpanjang (agar selalu) ditunggu kelanjutannya oleh banyak pihak. Lihat saja pemanggilan para calon menteri dan calon wakil menteri yang harus menghadapi semacam tes kesaktian dari sang Presiden. Panggung sudah ditata rapi. Podium pidato para calon pembantu setelah menghadap Presiden, ruangan khusus bagi para kuli tinta, sedikit komentar dari para pemuka partai, dan tentu saja informasi pelit dari juru bicara Presiden untuk sekedar membocorkan sedikit kelanjutan seri berikutnya. Hal serupa diulang ketika tes kesehatan dan memuncak pada pengumuman resmi selasa malam. Semuanya seperti dikemas dalam satu tujuan: menjadi tontonan nomor satu bagi rakyat.
Tetapi apa makna tontonan semacam itu bagi rakyat? Di tengah himpitan kebutuhan ekonomi yang terus menekan, korupsi yang tidak menunjukkan gejala penurunan, akses pendidikan dan kesehatan yang masih belum merata, banyak orang sebenarnya berharap bahwa reshuffle kabinet akan sedikit memperbaiki keadaan. Pengamat pun mengamini pola pikir ini. Reshuffle kabinet diyakini mampu meningkatkan efektivitas pemerintahan untuk mengatasi berbagai persoalan publik. Mereka kebanyakan berujar, jika saja semakin banyak orang ‘profesional’ yang menduduki posisi kementrian, maka pemerintahan akan berjalan lebih efektif, dibanding jika dipimpin oleh seorang ‘politisi’. ‘Politisi’ dianggap biang keladi inefektivitas pemerintahan karena perhitungan politis mereka demi mengamankan kepentingan kelompok masing-masing, telah mencegah sebuah kebijakan yang pro secara universal bagi rakyat. Maka tanpa ragu, mereka pun ramai-ramai mendesak Presiden SBY agar proses pergantian menteri hanya memperhitungkan keahlian daripada pertimbangan politik. Para pengamat itu berlindung di balik baju keramat ‘Sistem Presidensial’ yang secara formal dianut dalam konstitusi. Logika sederhana, jika pengangkatan menteri adalah hak prerogatif Presiden, sebagaimana diamanatkan sistem presidensial, maka tidak ada alasan bagi SBY untuk tidak memilih menteri yang memang ‘benar-benar ahli’ di dibidangnya. Pemilihan menteri dengan pertimbangan politis karenanya menurut pengamat, dianggap cacat dan secara picik dicurigai hanya mementingkan kepentingan politik sendiri. Tetapi apakah memang hanya sesederhana itu? Apakah langkah reshuffle yang akhirnya masih penuh dengan pertimbangan politis yang diambil SBY semata-mata hanya mencerminkan syahwat zoon-politicon-nya? Atau pilihan SBY itu merupakan implikasi lebih jauh dari dilema sistem presidensial yang dianut dalam sebuah negara dengan sistem multi partai? Pertanyaan-pertanyaan itu lah yang coba dijawab dalam diskusi MAP Corner-MKP Club di Lobby MAP UGM Selasa Sore (25/10/2011).
Bahaya Presidensialisme
Mas Mada Sumadjakti (Dosen JPP Fisipol UGM) sebagai pemantik diskusi sore itu mengawali pembicaraan dengan mengutip Juan J. Linz dalam “The Perils of Presidentialism”, yang menegaskan berbagai macam bahaya yang terkandung dalam demokrasi dengan sistem presidensial. Sistem presidensial memiliki lubang-lubang yang dapat mengancam stabilitas pemerintahan. Linz (1990) mengungkapkan bahwa sistem presidensialisme bukanlah sistem yang fixed dan tanpa cela. Sistem presidensialisme perlu dipikirkan lagi karena sudah tidak sehat. Menurut Linz sistem presidensial sangat rentan terhadap kehancuran demokrasi (breakdown of democracy) karena tidak ada insentif bagi aktor-aktor yang ada untuk menciptakan koalisi bersama. Sistem presidensial tidak memungkinkan mosi tidak percaya yang kemudian bisa memberhentikan presiden dan mengadakan pemilu ulang. Sistem presidensial menggunakan periodeisasi yang sangat jelas periode waktunya. Meskipun sistem presidensial menganut impeachment, tetapi itu sangat sulit dilakukan. Hal ini semakin diperparah dengan sistem multi partai dan rendahnya disiplin partai dalam sistem presidensial. Orang sangat mudah berganti-ganti partai sehingga menimbulkan instabilitas atau kekacauan politik.
Pendapat Linz dibantah oleh bebeapa ahli yang mengatakan bahwa sistem presidensial masih layak dipertahankan. Sistem presidensial tidak berhasil diterapkan terutama disebabkan karena faktor demografis (kependudukan), rezim mileteristik-despotik yang berkuasa, pluralitas masyarakat dan faktor geografis. Faktor-faktor inilah yang lupa dipertimbangkan oleh Linz dan pengikut-pengikutnya dalam menyusun argumen tentang bahaya sistem presidensial. Menurut penentang Linz ini sistem presidensialisme lebih cocok diterapkan pada masyarakat yang homogen dengan tingkat atau jumlah penduduk yang tidak terlalu besar dan tidak dipimpin oleh rezim militer.
Reshuffle Sarat Negosiasi
Selasa malam 18 Oktober 2011, sebagaimana diketahui Presiden SBY melakukan reshuffle cabinet pertama pada periode kedua masa jabatannya. Menteri Hukum dan HAM: Amir Syamsuddin menggantikan Patrialis Akbar, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi: Azwar Abukabar menggantikan EE Mangindaan, Kepala BIN: Letjen Marciano Norman menggantikan Sutanto, Menteri Perdagangan: Gita Wiryawan menggantkan Mari Elka Pengestu, Menteri ESDM: Jero Wacik menggantikan Darwin Z. Saleh, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Mari Elka Pengestu menggantikan Jero Wacik, Menteri BUMN: Dahlan Iskan menggantikan Mustafa Abubakar, Menteri Perhubungan: EE Mangindaan menggantikan Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan: Syarif Tjitjip Sutarjo menggantikan Fadel Muhammad, Menristek: Gusti Muhammad Hatta menggantikan Suharna, Menteri Perumahan Rakyat: Djan Farid menggantikan Suharso Monoarfa, Menteri Lingkungan Hidup: Bert Kambuaya menggantikan Gusti Muhammad Hatta. Dua kementerian mengalami perubahan nama. Yakni Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Kementerian Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Banyak pihak yang mengatakan bahwa reshuffle kabinet kali ini hanya trik politik untuk transaksi politik. Namun, dalam konstruksi sistem presedensial-multipartai yang dianut oleh Indonesia, presiden memang tidak punya pilihan lain, selain mengakomodasi semua partai politik pendukung pemerintah dalam kabinet. Kabinet tidak lain merupakan ajang negosiasi politik SBY dengan partai politik koalisi pendukung pemerintah. SBY tidak akan bisa keluar dari platform koalisi dalam melakukan reshuffle karena dapat membahayakan stabilitas koalisi. Kerjasama politik terancam jika salah satu partai anggota koalisi keluar dari koalisi.
Mengangkat dan memberhentikan menteri memang menjadi hak prerogatif presiden sebagaimana diatur dalam konstitusi. Namun, peta politik dan besarnya komposisi partai politik yang ada di pemerintahan membuat pekerjaan ini menjadi tidak mudah. SBY tersandera oleh sistem multipartai karena ia harus memenuhi semua kepentingan partai politik yang dulu pernah mendukungnya. Konsensus menjadi penting dalam mengangkat menteri. Oleh karena itu, pilihan yang paling masuk akal yang harus dilakukan oleh SBY adalah bekerjasama dengan semua partai, walaupun di tengah jalan tidak tertutup kemungkinan ada partai politik yang nanti akan membelot.
Jabatan menteri adalah jabatan politis dan sangat tergantung dengan kebijakan politik presiden. Dalam teorinya, meskipun jabatan menteri adalah jabatan politis, dalam mengangkat wakil menteri, presiden tetap harus mempertimbangkan kapabilitas menteri yang akan diangkat. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa pertimbangan politis lebih mengemuka daripada pertimbangan kapabilitas. Jabatan menteri sangat dipengaruhi oleh kedekatan dengan ketua umum partai. Seseorang dapat bertahan dan dicopot dari jabatannya sebagai menteri, tidak dipengaruhi oleh kinerjanya, tetapi sangat dipengaruhi oleh kedekatannya dengan ketua umum partai.
Wakil Menteri Sebagai Jalan Tengah?
SBY sendiri sebenarnya sudah menerapkan kolaborasi logika politis-teknokratis dalam pemerintahannya dengan mengangkat beberapa wakil menteri. Wakil menteri adalah jabatan karier yang diisi oleh kalangan profesional. SBY berharap dengan wakil menteri tersebut dapat membantu tugas dan fungsi menteri. Pendekatan politik dan pendekatan teknokratis berkolaborasi dalam wajah KIB. Politisi menjadi menteri dan teknokrat menjadi wakil menteri. Hal ini terjadi karena dilema sistem presidensial. Dilema inilah yang dihadapi oleh SBY. Di satu sisi, SBY harus mengakomodasi kekuatan politik yang ada, di sisi lain adanya keinginan untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif. Dilema ini termanifestasi dalam jabatan wakil menteri.
Wakil menteri memiliki peranan penting untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, tetapi tidak akan menjadi instrumen yang cocok untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif. Politisi dan teknokrat memiliki karakter yang berbeda sehingga komposisi ini bukanlah bentuk ideal dalam kabinet. Politisi menggunakan logika politis-populis, sedangkan teknokrat menggunakan pola birokratis-mekanis, sehingga sering terjadi dispute diantara mereka. Misalnya, menteri lebih cenderung mengeluarkan kebijakan populis dengan menghambur-hamburkan anggaran, yang bagi teknokrat bisa saja menabrak sistem yang berlaku.
Akan nampak bagi kita bahwa hak prerogatif Presiden dalam sistem presidensial terbatasi dalam sebuah sistem multi-partai. Tidak ada yang namanya ‘pilihan bebas’ dalam konteks ini. Presiden demi bertahan dalam posisinya sendiri, mau tidak mau harus mencapai konsensus dengan partai-partai lain. Konsensus yang didasari perimbangan politik ini memang sering dicaci-maki sebagai biang inefektivitas pemerintahan. Konon kata para pengamat, konsensus semacam itu tidak lebih dari bagi-bagi kekuasaan, yang ujung-ujungnya rakyat tidak kebagian barang sedikit pun. Tetapi nampaknya ini bukan semata-mata kesalahan konsensus itu sendiri. Jika saja partai-partai koalisi memiliki visi yang jelas terhadap konsensus yang dibangun dan mendasarkan seluruh bangunan kabinet pada visi itu, kiranya kecurigaan para pengamat terhadap konsensus dapat dikurangi. Langkah lebih jauh, nampaknya kita perlu memikirkan kembali desain sistem presidensial dalam sistem multi-partai untuk mengurangi antagonisme antara kepentingan konsensus vs efektivitas pemerintahan. Tanpa membincangkan lagi hal itu, rakyat di masa datang hanya akan terus disuguhi tontonan dramatis buatan penguasa sekedar untuk menjadi hiburan sesaat, mengalihkan perhatian dari persoalan sehari-hari yang mereka alami. Memberi candu untuk semua kesulitan, itulah buah imaji pencitraan!
Oleh: Wayu Eko Yudiatmaja