Disaster Risk Reduction in the Recovery of the Merapi Volcano
MAP Corner – Klub MKP kembali menggelar diskusi mingguan pada selasa 22 November lalu. Kegiatan tersebut menghadirkan pemantik yang berbeda dari biasanya. Carlijn Grinwis, seorang mahasiswi Master Groningen University- Belanda, mencoba mendinamisasi diskusi dengan memaparkan out line thesis yang sejak lima bulan lalu digeluti. Tema yang diperbincangan menarik, pengurangan resiko bencana pada proses recovery letusan merapi.
Carlijn memulai perbincangan dari konsep lingkaran bencana. Terdapat enam fase penanggulangan bencana yang membentuk sebuah siklus, yakni mulai dari prevention, mitigation, preparedness, relief/response, recovery, dan rebuilding. Tiga yang disebutkan awal dilakukan ketika bencana belum menghantam, sedangkan sisahnya adalah sebaliknya. Prevention dimengerti sebagai usaha untuk menghentikan dampak dari sebuah bencana. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk turut menghentikan bencana itu sendiri. Mitigasi serta kesiapsiagaan dipahami berbeda. Mitigasi bertujuan mengurangi kerentanan suatu daerah terhadap hantaman bencana, sedangkan yang kedua untuk mengurangi kehilangan dan kehancuran pasca bencana.
Setelah bencana menghantam, Carlijn menekankan bahwa ada tiga aktivitas yang harus segera dilakukan. Aktivitas pertama yang dilakukan adalah relief, yaitu menyelamatkan korban bencana. Relief kemudian disusul oleh pemulihan dan pembangunan kembali. Pemulihan kembali bertujuan mengembalikan infrastruktur hingga standar minimum kehidupan. Kemudian sebagai penutup, pembangunan kembali dilakukan untuk kesediaan masyarakat serta lingkungan menghadapi bencana dalam jangka panjang.
Siklus ini, seperti yang diungkap Carlijn pada diskusi, sudah terakomodasi dengan sangat baik di dalam bermacam regulasi. Di tingkat internasional, usaha pengurangan resiko bencana dipayungi oleh UN International Stategy For Disaster Reduction (UNISDR) dan Kerangka Kerja Hyogo (2005-2015). Di tingkat nasional, UU No 24 Tahun 2007 menjadi pegangan utama. UU tersebut dijadikan landasan pemerintah dalam mengeluarkan PP No 21 Tahun 2008 mengenai kegiatan manajemen bencana, PP No 22 Tahun 2008 mengenai bantuan dan manajemen bencana, PP No 23 Tahun 2008 mengenai partisipasi lembaga dan LSM internasional dalam manajemen bencana, PP No 26 Tahun 2008 mengenai rencana tataruan nasional, Perpres No 8 Tahun 2008 mengenai pendirian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Permendagri No 46 Tahun 2008 mengenai Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) beserta mekanisme kerja, serta Peraturan Kepala BNPB No 3 tahun 2008 mengenai pendirian BPBD.
Regulasi di tingkat nasional lantas diterjemahkan kedalam berbagai regulasi dan badan. Selain membentuk BNPB, pemerintah juga membuat rencana nasional pengurangan resiko bencana, serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN 2010-2014). Di dalam dokumen RPJMN, pengurangan resiko bencana menjadi prioritas kesembilan. Pemerintah juga berniat keras untuk mengikutsertakan masyarakat secara aktif dalam usaha pengurangan resiko bencana. Hal tersebut ditandai dengan diadosinya pendekatan berbasis masyarakat yang dituangkan ke dalam Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan Resiko Bencana 2010-2012. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan:
” … Pencegahan dan kesiapsiagaan jauh lebih baik dari pada reaksi dan berduka atas bencana. Pemerintah tidak mampu melakukannya sendiri. masyarakat harus dilibatkan”
Serangkaian peraturan yang ada cepat diadopsi oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal-hal yang telah dilakukan Provinsi DIY diantaranya adalah pendirian BPBD, pembuatan Rencana Manajemen Bencana Daerah (RPBD DIY) 2009-2014 yang kemudian diintegrasikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD DIY 2005-2025) dan Rencana Pembangunan Daerah Jangka Menengah Daerah (RPJMND 2009-2011), Rencana Aksi Daerah Pengurangan Resiko Bencana 2011-2013, serta pembentukan Forum Pengurangan Resiko Bencana.
Meski peraturan legal sudah tersedia dengan amat baik, Carlijn mencatat ada beberapa permasalahan yang masih meliputi usaha pengurangan bencana di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah rendahnya implementasi kebijakan, kapasitas BPBD, koordinasi antara BNPB dengan BPBD Provinsi DIY dan Kabupaten Sleman, rendahnya kuantitas dana bantuan, masih tersentralisasinya sebagian besar aktivitas, serta adanya perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat.
Berangkat dari beberapa permasalahan ini, Carlijn mencoba menawarkan seperangkat rekomendasi. Perlu kiranya untuk menjalankan tata kelola pemerintah ‘good governance’, meningkatkan kapasitas BPBD, meningkatkan komunikasi secara formal dan informal, memberikan insentif untuk usaha pengurangan resiko bencana, mendesentralisasikan kewenangan untuk peningkatan implementasi lintas sektor, melakukan kontrol terhadap kualitas rehabilitasi dan rekonstruksi, menyediakan seperangkat standar beserta ketersediaan dan aksesibilitas terhadap informasi pengurangan resiko bencana.
Carlijn juga menyediakan seperangkat rekomendasi yang bernuansa ‘governance’. Pengurangan resiko bencana penting untuk dijadikan mainstream di setiap rencana seluruh organisasi, meningkatkan aktivitas lokal dengan dilandasi inovasi kemitraan, rencana yang jelas terkait relokasi, melakukan analisis lanjutan tentang persepsi berbeda terkait resiko bencana, memaksimalkan pengetahuan masyarakat lokal, menjajaki kemungkinan pembuatan rencana pengurangan resiko bencana di level lokal, membangun kerjasama dengan LSM, dan terakhir, para pembuat kebijakan harus menyisihkan waktunya untuk bekerja di lapangan agar mampu memiliki sensitifitas bercirikan kearifan lokal.
Pada sore tersebut, Carlijn berterus terang kagum dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh Indonesia, khususnya DIY. Itu terlihat ketika Carlijn menceritakan kembali pengalamannya selama di lokasi erupsi merapi. Masyarakat di sekitar merapi sebetulnya sudah memiliki sistem akurat yang selalu diacu dalam permasalahan: kapan harus mengungsi dari lereng merapi. Meski merapi bergemuruh, namun jika burung dan hewan belum bermigrasi, maka masyarakat tidak akan mengungsi. Tetapi, jika burung dan hewan bermigrasi, maka masyarakat segera akan turut bermigrasi. Karena bagi masyarakat setempat, burung dan hewan sangat mengetahui kondisi merapi.
Sayangnya kearifan lokal seperti ini belum mampu terdeteksi di dalam kebijakan pemerintah. Pemerintah kerap kali mengacu pada perhitungan ilmiah dan memposisikan masyarakat sebagai pihak yang nir pengetahuan. Jikalau pemerintah mampu menyisihkan waktunya untuk bekerja di lapangan serta melibatkan masyarakat secara aktif, maka pengetahuan-pengetahuan seperti ini dapat membuat pengelolaan bencana, khususnya erupsi merapi, menjadi lebih baik. Carlijn secara pribadi merasa penelitian yang sedang dilakukannya belum sempurna. Sembari itu, Carlijn juga berharap agar kajiannya bermanfaat bagi pengelolaan bencana, khususnya bagi bencana erupsi merapi.
Oleh: Yuli Isnadi