Buruh Migran Tanpa Perlindungan: Menelusuri Kegagalan Peran Negara
Persoalan mengenai buruh migran senantiasa mencuat seiring dengan mencuatnya kasus penganiayaan yang dialami mereka. Topik ini menjadi perbincangan yang menarik dalam forum diskusi mingguan MAP Corner – Klub MKP, Selasa 1 November 2011. Pada kesempatan kali ini Magister Administrasi Publik (MAP) UGM dan Program S2 Manajemen Kebijakan Publik (MKP) UGM menghadirkan Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Jamaludin, yang akrab dipanggil Mas Jamal, sebagai pemantik diskusi. Mengawali diskusinya, Mas Jamal mengungkapkan bahwa berbicara mengenai persoalan buruh migran harus dimulai dari hulu ke hilir. Akar permasalahan yang muncul hampir 70% berada di dalam negeri. Mulai dari sumber informasi yang kurang valid, tidak transparansinya biaya penempatan, pendidikan untuk buruh migran yang tidak memadai, serta merebaknyanya calo-calo perekrut para pekerja migran yang semakin hari semakin tumbuh subur saja akibat dari lemahnya regulasi pemerintah.
Berkaitan dengan sumber informasi yang diperoleh oleh buruh migran, hasil penelitian SBMI menunjukkan bahwa penyebab sebagian besar buruh migran bermasalah salah satunya adalah karena sumber informasi yang dijadikan acuan tidak memadai. Informasi yang didapatkan para buruh migran untuk bisa bekerja di luar negeri umumnya berasal dari calo, yaitu sekitar 53%. Selanjutnya, 30 % buruh migran mendapatkan informasi dari teman-teman mereka yang sebelumnya sudah mempunya pengalaman sebagai pekerja migran dan kemudian pulang ke kampung halaman. Sedangkan buruh migran yang mendapatkan informasi dari pemerintah hanya sekitar 2 %. Calo-calo perekrut ketika memberikan informasi pada buruh migran, umumnya hanya menyampaikan sisi bagus bekerja di luar negeri saja bahkan cenderung dilebih-lebihkan, tapi aspek resiko yang mungkin terjadi disana tidak diinformasikan. Dari data yang ada menunjukkan bahwa peran pemerintah dalam penyampaian informasi kepada pekerja migran masih sangatlah kurang. Peran pemerintah pun dipertanyakan, kenapa kemudian minim melakukan sosialisasi. Padahal informasi mengenai gambaran bekerja di luar negeri sangatlah penting. Dimana iklim, budaya, dan aturan yang berlaku berbeda jauh dari Indonesia dan sangat asing bagi para buruh migran. Terlebih kebanyakan buruh migran berasal dari daerah pelosok yang mungkin masih belum terbiasa dengan modernitas.
Undang-undang No 39 tahun 2004 mengatur dengan jelas bahwa pemerintah dan PJTKI ketika akan melakukan perekrutan, wajib memberikan informasi melalui dinas-dinas. Ataupun pemerintah daerah wajib memberikan informasi kepada calon-calon TKI secara langsung. Akan tetapi selama ini banyak bermunculan informasi-informasi yang tidak jelas terutama dari para calo ataupun PJTKI ilegal yang justru menjerumuskan para buruh migran tersebut, dan akhirnya lebih mengarah pada perdagangan manusia. Para calo hanya memikirkan keuntungan yang bisa diraih tanpa memikirkan nasib para buruh migran yang bekerja di luar negeri dan memberikan aliran keuntungan bagi mereka. Pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak untuk memberantas calo-calo, dikarenakan Undang-undang No 39 Tahun 2004 bersifat sentralistik, sehingga kewenangan ada di pemerintah pusat yang membatasi kewenangan pemerintah daerah.
Pada saat ini jumlah buruh migran terbanyak berasal dari Provinsi Jawa Timur. Terbanyak kedua berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Barat dan yang ketiga berasal dari Provinsi Jawa Barat. Untuk negara penempatannya, buruh migran/TKI yang berasal dari Jawa Timur kebanyakan ditempatkan di Negara-negara Asia Pasifik, seperti Hongkong, Singapura, dan Malaysia. Sehingga wajar jika di Surabaya –sebagai pusat penyalur buruh migran di Jawa Timur – banyak ditemui PJTKI yang berbasiskan negara Asia Pasifik. Buruh migran yang berasal dari Provinsi Jawa Barat umumnya memilih Arab Saudi sebagai negara tujuannya. Hal ini dilandasi faktor pendidikan mereka yang rendah dan keinginan untuk bisa sekalian menunaikan ibadah haji. Sebagian besar dari mereka kesulitan untuk memenuhi syarat bahasa, salah satunya Bahasa Inggris, yang misalnya harus dipenuhi para pekerja migran untuk bisa mengadu nasib di Singapura. Sedangkan di Arab Saudi tidak terlalu mensyaratkan untuk bisa fasih berbahasa asing. Buruh migran dengan daerah asal Provinsi Nusa Tenggara Barat ataupun Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih condong mengadu nasib sebagai pekerja migran di Negara Malaysia. Adanya persebaran mengenai penempatan buruh migran Indonesia di luar negeri ini secara tidak langsung memberikan gambaran nasib ataupun kehidupan mereka di negara tempat mereka disalurkan. Hal ini dikarenakan budaya dan regulasi ataupun peraturan yang berlaku bagi buruh migran Indonesia di satu Negara berbeda dengan Negara penempatan lainnya. Umumnya buruh migran yang bekerja di Negara Asia Pasifik terutama Hongkong, kehidupan mereka lebih maju ketimbang buruh migran yang bekerja Asia Timur. Bisa demikian karena peraturan yang berlaku di Hongkong begitu melindungi hak-hak para pekerja migran termasuk Indonesia. Berbeda dengan Negara di Asia Timur yang aturannya masih sangat lemah untuk melindungi para pekerja migran selain pada sisi kultur yang mungkin sangat berbeda dan sudah mengakar begitu kuat disana. Sehingga tak jarang banyak buruh migran yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan disana seperti pelecehan, kekerasan, dan sampai pada ketidakadilan.
Adanya migrasi terutama pekerja migran di sector industry dan rumah tangga sudah berlangsung lama meskipun secara tradisional, tanpa regulasi atau aturan yang mengikat. Akan tetapi sejak tahun 1970-an, pemerintah kemudian mengatur melalui berbagai kebijakan dan sampai pada akhirnya saat ini dibentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI. Adanya persebaran Negara tujuan tersebut juga sedikit banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang memberlakukan pembuatan paspor buruh migran / TKI untuk Negara tujuan Timur Tengah terpusat/hanya ada di kota Tangerang. Para calon pekerja yang berasal dari Provinsi Jawa Timur yang ingin mengadu nasib di Negara Timur Tengah, harus berangkat ke Jakarta terlebih dahulu untuk mengurus paspor tersebut. Sehingga mau tidak mau, para pekerja migran dari Jawa Baratlah yang mendominasi untuk Negara tujuan Timur Tengah, karena dirasa jarak kampung halaman dengan tempat pembuatan passport di Tangerang yang begitu dekat dibanding dengan daerah d luar Jawa Barat.
Selanjutnya, selain masalah kurang memadainya penyampaian informasi atau sosialisasi, juga disebabkan masalah tidak transparansinya cost structure (biaya penempatan). Cost Structure ini diatur oleh Dirjen Bina Penta, isinya mengenai pengaturan biaya yang harus dikeluarkan TKI untuk bisa bekerja di luar negeri. Padahal, jika dikaji lagi, biaya yang harus dikeluarkan oleh para calon buruh migran tentunya berbeda-beda, antara satu Negara tujuan dengan neagra tujuan yang lainnya. Akan tetapi peraturan yang ada memberlakukan nilai cost structure yang sama antara Negara satu dengan lainnya. Pemerintahan SBY mengeluarkan kebijakan KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk menyokong biaya tersebut. Akan tetapi kebijakan ini justru dimanfaatkan oleh calo-calo ataupun PJTKI. Misal seorang TKI mendapatkan fasilitas peminjaman di bank senilai Rp 16 juta untuk biaya keberangkatan, oleh perusahaan PJTKI diberlakukan aturan bahwa setelah sesampainya di Negara tujuan dan bekerja disana, maka akan dipotong gaji 7 bulan. Padahal gaji satu bulan dengan penempatan hongkong misalnya, sebesar 3,5-4 juta. Hal ini menyebabkan buruh migran harus mengembalikan cost structure yang begitu banyak, hampir 21 juta, melebihi cost structure yang ditetapkan pemerintah. Sehingga bisa dikatakan bahwa para buruh migran tersebut hanya dijadikan sapi perah saja oleh perusahaan-perusahaan penyalur. Selain itu, berdasarkan temuan mantan buruh migran Hongkong, menyatakan bahwa banyak perusahaan-perusahaan PJTKI yang mengambil dana di Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Pendidikan Informal untuk biaya pelatihan-pelatihan para calon buruh migran di lembaga-lembaga pelatihan PRT. Satu orang buruh migran mendapatkan jatah Rp 5 juta. Hal ini memperlihatkan bahwa keuntungan yang diperoleh PJTKIS bertambah dan menjadi begitu besar. Padahal di dalam cost structure sudah ditetapkan bahwa alokasi biaya untuk pendidikan sebesar 7 juta. Maka jika dijumlahkan biaya pelatihan atau pendidikan yang menjadi hak buruh migran mencapai Rp 12 juta. Di dalam cost structure sendiri fee untuk PJTKI sudah dialokasikan sebesar Rp 3-4 juta. Sisanya untuk membeli tiket, mengurus paspor, cek kesehatan dan lain-lain.
Sehingga wajar jika jumlah PJTKI setiap tahunnya selalu bertambah. Bahkan sekarang sudah mencapai 575 PJTKI. Keuntungan yang didapat bisa mencapai trilyunan rupiah. Untuk Arab Saudi sendiri, per orang buruh migrannya dihargai 2000 US dollar. Sedangkan di Negara-negara yang dilarang pemerintah seperti Irak, Yordania, dll, per orangnya bisa dihargai mencapai 3000 US Dollar. Oleh karenanya wajar jika pemerintah memberlakukan moratorium atau penghentian sementara penempatan buruh migran khususnya di Yordania. Karena sebenarnya kondisi Yordania sendiri termasuk tidak layak, dalam artian mereka tidak mampu untuk membayar buruh migran sebesar itu. Anehnya, sejak diberlakukan moratorium, masih ada penempatan buruh migran di Yordania sekitar 30.000. Pemerintah kurang bisa belajar, masih banyak pintu-pintu ataupun celah-celah dari moratorium tersebut yang justru terbuka. Misalnya agen-agen travel yang memberikan visa-visa umroh dan menjadi jalan bagi para TKI untuk bisa bekerja di luar negeri dengan status illegal. Ini dikarenakan tidak adanya ketegasan pemerintah.
Persoalan buruh migran lainnya adalah penegakan hukum di dalam negeri sendiri yang masih lemah. Pemerintah daerah tidak pernah serius untuk memberantas calo. Meskipun kebijakan mengenai TKI bersifat sentralistik, seharusnya ini tidak menutup kemungkinan bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan Perda yang mengatur bagaimana tata cara penempatan buruh migran di daerah asalnya. Pada Undang-undang no 39 tahun 2004, ternyata tergambar bahwa peran PJTKI ini lebih besar daripada peran pemerintah khususnya dalam penempatan buruh migran tersebut. Hanya 8 pasal yang mengatur tentang perlindungan, sisanya berkaitan dengan penempatan. Ketika berbicara tentang penempatan, jelas orientasinya adalah bisnis. Sementara yang dijual ini adalah manusia bukan barang. Disini menyiratkan peran pemerintah itu lebih rendah daripada PPTKIS. Padahal seharusnya peran pemerintah itu yang utama, PPTKIS hanya sebagai mitra. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, PPTKIS tetap mendominasi dalam hal penempatan dan pendidikan buruh migran.
Kemudian permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya adalah terkait dengan pendidikan ataupun pelatihan para buruh migran. Selama ini pelatihan ataupun pendidikan buruh migran sepenuhnya diserahkan kepada swasta. Kasus Sumiyati ataupun Kikim Komala yang mengalami penganiayaan majikannya, mereka hanya menjalani pendidikan selama dua minggu saja kemudian diberangkatkan. Bahkan selama ini pendidikan yang diberikan oleh PPTKIS-PPTKIS selama ini terkesan sekadarnya. Misal. Pemerintah menetapkan masa pendidikan selama 200 jam, akan tetapi fakta yang terjadi di lapangan, tidak seperti itu. Dua minggu saja, paran calon-calon buruh migran tersebut sudah bisa berangkat. Hal ini dikarenakan sertifikasi yang bisa dipalsukan. Banyak diantara mereka yang tidak lulus, tapi justru diluluskan, akhirnya sesampainya di Negara tujuan, kemudian buruh-buruh tersebut bermasalah. Padahal seperti diketahui, bahwa kultur budaya di Arab Saudi sendiri misalnya, sangat temperamental, seperti mudah sekali memukul, marah-marah, memaki, dll. Salah satu contoh kasus adalah buruh migran yang dipulangkan dari Arab Saudi dikarenakan pada factor lemahnya penguasaan bahasa. Kurangnya penguasaan bahasa ini disebabkan pendidikan yang mereka tempuh masih sangat kurang, tidak lebih dari dua minggu dan kemudian langsung diberangkatkan menuju Negara tujuan. Lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam hal pendidikan yang kemudian diserahkan kepada pihak swasta, sedikit banyak merugikan para buruh migran. Pendidikan yang didapatkan oleh para buruh migran terkesan asal-asalan , sehingga bekal pengetahuan yang mereka bawa ke Negara tujuan menjadi tidak cukup dan cenderung merugikan diri mereka sendiri, padahal pendidikan merupakan yang utama. Solusi saat ini adalah bagaimana merevitalisasi BLK-BLK yang ada di kabupaten yang selama ini tidak terpakai, sehingga bisa dioptimalkan untuk pendidikan buruh migran. Jadi pendidikan tidak perlu harus ke daerah lain ataupun kota-kota besar yang notabene jauh dari tempat tinggal. Selama ini banyak buruh migran yang mengalami kekerasan karena masalah pendidikan.
Selain itu, nasib buruh migran juga tergantung kebijakan di Negara-negara penempatan. Misalnya di Hongkong, kebijakan disana cukup bagus. Hampir 70% TKI di Hongkong bekerja pada sector domestic worker. Buruh migran yang bekerja di sector rumah tangga di Hongkong masuk dalam kategori perlindungan undang-undang ketenagakerjaan Hongkong. Perlindungan hukum terhadap para pekerja pun berjalan cukup bagus. Pemerintah Hongkong menganggap bahwa buruh migran juga termasuk kelompok yang harus dilindungi dalam undang-undang tersebut. Penegakan hukumnya pun jelas. Bahkan jika terjadi kekerasan, dan kemudian terjadi pelaporan pada polisi ataupun departemen-departemen yang melindungi tenaga kerja disana, para majikan yang melakukan kekerasan tersebut menajdi takut. Hal ini karena penegakan hokum disana cukup ketat. Para buruh migran meskipun hanya sebagai pekerja rumah tangga, tapi juga memiliki hak sebagai pekerja yang harus dilindugi hak-haknya. Berbeda halnya dengan di Arab Saudi atau Negara-negara penempatan lainnya. Di Indonesia saja, desakan untuk membuat undang-undang perlindungan Pekerja Rumah Tangga masih susah, apalagi untuk melindungi mereka. Upaya diplomasi dengan Negara lain tempat para buruh migran disalurkan pun cenderung susah dilakukan, karena ada anggapan bahwa bagaimana mungkin mendesak Negara lain untuk membuat kebijakan melindungi pekerja Indonesia, sedangkan di Indonesia saja belum punya payung hukum untuk melindungi hak-hak pekerja rumah tangga. Di dalam negeri, Pemerintah Indonesia terkesan tidak melindungi pekerjanya sendiri.
Di Hongkong tumbuh organisasi-organisasi buruh migran karena kebebasan berserikat diberi ruang dan diatur dalam undang-undang perlindungan PRT Hongkong. Hak libur juga terjamin. Berbeda dengan nasib buruh migran di Arab Saudi, nasib mereka bukan karena dilindungi Undang-undang atau aturan yang ada tapi justru bergantung pada sikap majikannya. Hal ini dikarenakan pemerintah Indonesia mensubkontrakkan perlindungan nya pada swasta. Sama halnya dengan Pemerintah Arab Saudi yang mensubkontrakkan perlindungan pekerja Indonesia pada agency-nya.
Mas Jamal juga mengungkapkan bahwa masalah gaji juga menjadi sorotan. Negara-negara seperti Bangladesh, Srilangka, Filipina berani menerapkan standar gaji bagi pekerjanya yang bekerja di luar negeri, sehingga secara ekonomi, pekerja mereka terjamin. Berbeda halnya dengan Indonesia yang lebih condong diserahkan pada pasar. Pemerintah tidak mempunyai aturan untuk mengatur nilai gaji tersebut.
Permasalahan lain yang dihadapi oleh buruh migran adalah pada saat mereka pulang pulang kembali ke Indonesia. Para buruh migran yang pulang harus melalui terminal 4 Bandara Soekarno Hatta. Terminal 4 ini dikhususkan sebagai jalur pemulangan buruh migran yang kembali ke tanah air setelah merasakan lelah bekerja di luar negeri. Sekembalinya ke Indonesia, seharusnya para buruh migran merasakan kegembiraan karena melepas lelah bekerja selama bertahun-tahun di luar negeri dan juga melepas kerinduan bertemua dengan keluarga, akan tetapi perasaan itu sedikit terkotori dengan tindakan oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mereka temui saat perjalanan pulang. Mereka masih saja diperah seperti sapi perahan. Turun di terminal 2, mereka harus menghadapi porter. Bagi TKI awam, mereka akan menghadapi pemerasan oleh para porter di sekitar tempat tersebut di tengah kebingungan mereka. Termasuk para penjaja jasa penukaran uang asing yang berbaris begitu banyak dengan mengambil keuntungan yang sangat besar. Selain itu, terkadang pelecehan juga dilakukan oleh para oknum travel yang membawa mereka pulang sampai ke kampung halaman. Belum lagi uang pungutan di luar biaya resmi yang harus mereka bayarkan pada pihak travel tersebut. Sepertinya penderitaan mereka tidak pernah putus dari mereka berangkat, bermukim di Negara tujuan, bahkan sampai sekembalinya di Indonesia.
Sebenarnya, buruh migran di luar negeri terbagi menjadi dua, yang bermasalah dan tidak bermasalah. Di terminal 4 sendiri terdapat posko pengaduan. Dari data yang di dapat, tiap tahunnya terjadi peningkatan pengaduan. Tahun 2008-2009 buruh migran yang melakukan pengaduan sekitar 45.000. Pengaduan yang dilaporkan terbesar berasal dari Negara tujuan Arab Saudi. Sedangkan tahun 2010 naik menjadi 60.000. Data ini baru yang didapatkan dari terminal 4 Soekarno Hatta. Belum jika ditambah dengan deportasi massal yang tiap tahun terjadi. Di pelabuhan Tanjung Priok bahkan hampir 20.000 pengaduan yang diterima. Belum jika yang melakukan penerbangan pulang langsung ke daerahnya masing-masing. Jika dihitung rata-rata tiap tahunnya ada sekitar 100.000 lebih buruh migran yang bermasalah dari keseluruhan Buruh migran yang berjumlah 500.000 – 600.000 per tahun. Banyak juga diantara buruh migran yang bermasalah tapi tidak melakukan pengaduan.
Berbagai permasalahan buruh migran di atas sangat perlu dicarikan solusinya. Sangat ironis sekali buruh migran sebagai salah satu penyumbang besar devisa Negara, bahkan sering disebut sebagai pahlawan devisa, tapi justru nasib mereka terlunta-lunta di negeri orang bahkan di negeri sendiri juga mendapatkan kesusahan. Di Malaysia misalnya, dari ribuan yang akan dihukum mati, yang diekspos hanya sekitar 180-an saja. Dalam hal ini pemerintah harus tegas untuk merevitalisasi peraturan yang ada. Moratorium bukanlah solusi yang terbaik karena banyak celah yang justru muncul dari moratorium itu. Selain itu pendidikan sebagai bekal para buruh migran untuk bisa berpenghidupan diluar negeri harus diutamakan dan diupayakan sebaik mungkin. Pemerintah harus mengambil alih sector pendidikan untuk buruh migran ini. Salah satunya dengan mengaktifkan dan mengoptimalkan Balai-balai latihan di daerah. Pendidikan harus diupayakan dengan cara yang professional. Selain itu permasalahan yang menimpa buruh migran tidak hanya mencakup masalah regulasi akan tetapi juga kultur dan hubungan yang terjalin antara buruh sendiri dengan majikan. Selain itu juga pemerintah perlu memikirkan nasib keluarga yang ditinggalkan di daerah masing-masing. Karena umumnya, para buruh migran yang bekerja di luar negeri adalah tulang punggung keluarga. Sehingga ketika mereka mendapatkan masalah maka keluarga mereka pun juga terkena dampaknya. Regulasi ataupun aturan perundangan yang ada harus diratifikasi, sehingga perlindungan terhadap buruh menjadi hal yang utama dan mendesak. Pemerintah perlu menyusun solusi kebijakan yang komprehensif meliputi berbagai sektor. Dengan cara ini, Indonesia dapat memiliki posisi tawar terhadap negara lain untuk saling membuat kesepakatan melindungi nasib para pekerja migran.
Oleh: Yuni Murwani