Bank BRICS: Penantang Baru Bank Dunia?
Tahun belakangan ini mengalami dinamika yang cukup cepat. Isu aktual dan konseptual terus bermunculan. Disertai pula dengan kemunculan aktor baru yang memiliki peranan penting dalam politik global. Salah satu aktor yang kini ramai diperbincangkan adalah kelompok Brazil, Rusia, India, Cina, dan South Africa (Afrika Selatan) atau yang biasa disebut BRICS.
Kekuatan ekonomi negara BRICS yang terus mengalami pertumbuhan telah memberi dampak yang cukup besar bagi perekonomian dunia. Ketika terjadi krisis finansial 2008 dan hampir seluruh negara dunia mengalami defisit ekonomi nasional, dua anggota BRICS, India dan Cina masih mampu mencetak pertumbuhan ekonomi nasional. Indonesia juga merupakan satu dari tiga negara yang tetap mampu tumbuh di tengah krisis global. Walaupun dalam daftar yang dirilis World Bank, Indonesia masuk dalam BRICS, tetapi dalam agenda kontemporer BRICS, Indonesia tak terlibat.
BRICS Bank
BRICS semakin menyita perhatian publik internasional tatkala menyelenggarakan BRICS Summit di New Delhi, India, pada tanggal 29 Maret 2012. Forum ini dipergunakan untuk mempererat kerjasama di antara negara BRICS sekaligus merancang agenda kerjasama di masa depan. Salah satu poin penting dari BRICS summit adalah kajian pendirian Bank Pembangunan Selatan – Selatan yang dikelola oleh BRICS dan negara berkembang.
Oleh media, agenda tersebut ditulis sebagai rencana pendirian BRICS Bank. Konsepnya tak jauh berbeda dengan World Bank, Asian Development Bank (ADB), maupun Islamic Development Bank (IDB). Rencana pendirian BRICS Bank ini jelas bukan hanya usulan tanpa perencanaan. Kondisi dunia saat ini bisa mendukung rencana pendirian bank tersebut. Seperti yang pernah disampaikan oleh Sri Mulyani Indrawati, managing director World Bank, bahwa saat ini dan di masa mendatang pertumbuhan ekonomi akan sangat dipengaruhi pertumbuhan negara berkembang dan pembangunan tak lagi utara – selatan, tetapi cenderung melibatkan kerjasama south to south.
Menjadi menarik kemudian untuk menelaah rencana pendirian BRICS Bank ini dari berbagai sisi dan kemungkinan implikasinya di masa mendatang. Bersama bapak Muhadi Sugiono, MAP Corner-Klub MKP 10 April 2012 menyelenggarakan diskusi mengenai Bank Brics dengan mengangkat topik “Bank Brics: Penantang Baru Bank Dunia ?”.
BRICS dan Pertumbuhan Ekonomi Global
Muhadi Sugiono memulai dengan potensi yang dimiliki oleh BRICS sehingga mereka mampu untuk mendirikan BRICS Bank dan memiliki peranan penting dalam perekonomian dunia. Negara yang tergabung dalam BRICS merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat di dunia. BRICS ini berkontribusi lebih dari 1/3 pertumbuhan GDP dunia dalam 10 tahun terakhir. Diperkirakan, akan terjadi peningkatan kontribusi BRICS hingga menyentuh angka 2/3 dari ekonomi global dan berkontribusi terhadap 49% pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) dunia. Jika tetap mencetak pertumbuhan seperti yang telah diperkirakan, BRICS akan mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan pertumbuhan G3 (Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang) yang selama ini memimpin pertumbuhan ekonomi global. “Mereka akan menentukan ekonomi dunia di masa depan,” terang Muhadi Sugiono.
Pertumbuhan ekonomi BRICS ini tak hanya didukung oleh produksi tetapi juga oleh konsumsi dalam negeri. Konsumsi nasional dari kelas menengah di negara – negara BRICS ini terhitung memiliki pola konsumsi yang sangat tinggi. Populasi penduduk BRICS yang setara dengan 45% populasi dunia turut mempengaruhi penyerapan produk yang diproduksi oleh BRICS. Faktor ini jelas memiliki pengaruh yang besar pada perekonomian makro, di negara maju seperti G3 dan negara Eropa lainnya sedang terjadi penghematan anggaran sehingga mempengaruhi menurunnya tingkat konsumsi. Jika konsumsi menurun, maka dengan sendirinya produksi pun dikurangi. Hal ini berpengaruh pada penurunan pertumbuhan ekonomi, di sisi lain kondisi yang terjadi di BRICS menyebabkan pertumbuhan ekonomi semakin cepat.
Dengan kekuatan ekonomi yang begitu besar, apakah BRICS Bank nantinya bisa berhasil dan benar – benar memberikan manfaat besar bagi banyak negara berkembang di dunia ? Jika hanya melihat pada faktor ekonomi jelas BRICS Bank bisa mewujudkannya, tetapi untuk menjamin kelangsungan atau sustainability dan mencapai tujuan yang diharapkan, tak hanya kemampuan ekonomi yang dibutuhkan.
Kemampuan dan Strategi BRICS Bank Sebagai Alternatif Bank Pembangunan
Menganalisis BRICS Bank berarti juga perlu untuk melihat ke belakang mengenai bank pembangunan serupa. “BRICS Bank ini akan membuat Bank Dunia memperoleh tandingan. Bank Dunia itu sudah cukup lama tak lagi menjadi pemain tunggal dalam hal bank pembangunan. Kita mengenal Asian Development Bank (ADB) dan Islamic Development Bank (IDB). Kedua bank ini sama sekali tidak bisa berkembang. Kenapa ?” terang Muhadi Sugiono.
Jika membicarakan mengenai bank pembangunan internasional maka tak bisa dipisahkan antara faktor ekonomi dan politik yang mempengaruhinya. Ketika Bank Dunia didirikan, dia merupakan salah satu institusi sistem ekonomi pasca Perang Dunia II. Sistem ekonomi yang dimaksud adalah sistem yang dibangun oleh para pemenang perang, yang didirikan atas hegemoni ideologi liberal serta ditopang oleh (dan memberikan privilege kepada) kekuatan ekonomi, militer, dan politik AS. Sistem Bretton Woods ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, apalagi ketika komunisme tak bisa berbuat banyak saat melawan hegemoni liberal. Kehadiran institusi internasional ini ke berbagai negara berkembang yang umumnya baru merdeka setelah Perang Dunia II ini menyebabkan hegemoni negara pendirinya semakin kuat. Bahkan hegemoni AS dan institusi internasional ini bisa mempengaruhi banyak aspek dalam suatu negara, mulai dari sosial, ekonomi, maupun kebijakan politik suatu negara yang memperoleh bantuan dari Bank Dunia.
“Ketika Bank Dunia didirikan, dia merupakan salah satu institusi sistem ekonomi pasca Perang Dunia II. Sistem ekonomi yang dimaksud adalah sistem yang dibangun oleh para pemenang perang, yang didirikan atas hegemoni ideologi liberal serta ditopang oleh (dan memberikan privilege kepada) kekuatan ekonomi, militer, dan politik AS. Sistem Bretton Woods ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, apalagi ketika komunisme tak bisa berbuat banyak saat melawan hegemoni liberal. Kehadiran institusi internasional ini ke berbagai negara berkembang yang umumnya baru merdeka setelah Perang Dunia II ini menyebabkan hegemoni negara pendirinya semakin kuat”.
Dilihat dari sisi ini, alternatif terhadap sistem ekonomi yang coba ditawarkan oleh pengusung alternatif tidak hendak mengancam eksistensi sistem ekonomi pasca Perang Dunia II tersebut karena kelemahan dalam salah satu atau semua aspek tersebut. Ini berkaitan mengenai faktor militer, hegemoni, ataupun politik. ADB dan IDB gagal karena tidak memiliki hegemon. ADB tidak bisa mewakili negara berkembang, sementara IDB gagal mengakomodasi negara Islam.
Negara – negara BRICS memiliki potensi yang tidak dimiliki oleh negara pengusung alternatif terhadap sistem Bretton Woods sebelumnya. Dari sisi kekuatan ekonomi, BRICS jelas mampu baik secara kolektif sebagai BRICS maupun ketika berdiri sebagai individu negara yang terpisah. Selain yang sudah disebutkan sebelumnya, negara BRICS bisa menginternasionalisasikan mata uang mereka. Hal ini karena mereka memiliki cadangan devisa dalam jumlah besar, Cina dan Brazil merupakan negara dengan cadangan devisa terbesar.
Cadangan devisa yang dimiliki oleh BRICS memungkinkan mereka untuk menggunakan uang di luar negeri, devisa mereka mampu membackup, sedangkan mata uang dollar kini mulai tidak sehat karena dikhawatirkan uang dollar yang beredar di luar negeri tak lagi dibackup. Fakta ini kemudian mendorong mereka untuk mengusulkan kalau bantuan asing, pinjaman luar negeri dan perdagangannya dengan negara lain dinominasi dengan mata uang negara mereka.
Catatan penting mengenai perekonomian BRICS adalah kondisi nasional India. Seperti yang sudah diketahui secara global, India mengalami kesenjangan ekonomi nasional yang sangat tinggi. Jika ada orang kaya maka dia kaya sekali, tetapi jika miskin juga merupakan orang yang sangat miskin. Ini bisa jadi bom waktu yang bisa berpengaruh melemahnya perekonomian karena bisa memunculkan pergerakan sosial yang bisa mengganggu kestabilan politik dan ekonomi.
Rusia, India, dan Cina memiliki kekuatan militer yang besar di dunia, Rusia dan Cina termasuk diantara lima negara yang masuk dalam Dewan Keamanan Tetap Perserikatan Bangsa – Bangsa (DK PBB). Brazil dan India yang juga cukup memiliki kekuatan militer, kini mulai kembali mendengungkan perlunya reformasi DK PBB yang dianggap tak bisa netral dan cenderung mewakili kepentingan negara pemenang Perang Dunia II.
Secara ideologi, Brazil dan Afrika Selatan memiliki kekuatan ideologi nasional yang mengakar kuat dan mulai mempengaruhi negara lain sehingga diprediksi mampu menandingi ideologi liberal. Tetapi, perlu diingat bahwa jika pengusung sistem Bretton Woods memiliki ideologi yang sama, maka BRICS memiliki ideologi yang berbeda – beda.
Persoalan ideologi semacam ini bisa saja mengganggu ritme kerja dari BRICS. Publik internasional jelas bertanya apakah mungkin Cina bisa bertahan jika tetap sentralistik dan otoriter. Atau anggapan bahwa Cina dan Rusia yang tak lagi konsisten dengan ideologi mereka tatkala merubah sistem ekonomi yang semakin liberal tetapi tidak terjadi perubahan apapun di ranah politik. Mengenai ideologi ini, BRICS mesti bersepakat bahwa perbedaan ideologi diantara mereka tidak akan menjadi sandungan dalam kerjasama.Ada dua pilihan untuk menyikapi persoalan ideologi ini. Pertama, mereka akan menyamakan ideologi namun sepertinya tidak mungkin. Langkah yang mungkin dipilih adalah bersepakat untuk tetap memilihara perbedaan ideologi di antara mereka dengan catatan tidak akan mengganggu proses kerjasama.
“Secara ideologi, Brazil dan Afrika Selatan memiliki kekuatan ideologi nasional yang mengakar kuat dan mulai mempengaruhi negara lain sehingga diprediksi mampu menandingi ideologi liberal. Tetapi, perlu diingat bahwa jika pengusung sistem Bretton Woods memiliki ideologi yang sama, maka BRICS memiliki ideologi yang berbeda – beda… Persoalan ideologi semacam ini bisa saja mengganggu ritme kerja dari BRICS. Walaupun perlu mencermati perihal ideologi ini, BRICS bisa saja tak perlu berlarut – larut dengan ini karena pada awalnya BRICS dibentuk dari semangat pragmatisme bukan pada persoalan hegemoni dan ideologi”.
Persoalan ideologi semacam ini bisa saja mengganggu ritme kerja dari BRICS. Walaupun perlu mencermati perihal ideologi ini, BRICS bisa saja tak perlu berlarut – larut dengan ini karena pada awalnya BRICS dibentuk dari semangat pragmatisme bukan pada persoalan hegemoni dan ideologi. Kepentingan strategis dan pragmatis inilah yang bisa menghilangkan prasangka pada persoalan ideologi. Ini juga didukung oleh kondisi internasional yang semakin menaruh kepentingan pada sektor ekonomi, tak lagi politik ideologi saat baru selesai perang dunia II dan perang dingin yang melibatkan AS dengan Uni Soviet. Lagipula BRICS tidak ada niatan untuk menginternasionalisasi ideologi mereka.
Implikasi BRICS Bank
Keinginan menginternasionalisasi mata uang negara – negara BRICS jelas menunjukkan bahwa ada penurunan kepercayaan posisi dollar sebagai mata uang global. Selama ini posisi AS sebagai pemegang mata uang global melalui dollar membuat mereka memiliki privilege besar untuk memiliki defisit yang sangat besar. Tetapi dengan kehadiran BRICS ini akan memunculkan alternatif mata uang yang bisa digunakan sebagai alat transaksi internasional. Terlebih peranan mereka bagi perekonomian global semakin besar.
Kehadiran BRICS Bank jelas akan menjadi alternatif bagi banyak negara berkembang atau bahkan negara maju untuk meminta hutang dan bantuan pembangunan. Selama ini pemberian dana dari World Bank selalu disertai dengan kondisional negara yang akan menerima bantuan pendanaan, seperti masalah lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM).
“Kehadiran BRICS Bank jelas akan menjadi alternatif bagi banyak negara berkembang atau bahkan negara maju untuk meminta hutang dan bantuan pembangunan. Selama ini pemberian dana dari World Bank selalu disertai dengan kondisional negara yang akan menerima bantuan pendanaan, seperti masalah lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM)….menjadikan BRICS sebagai alternatif pilihan yang masuk akal. Sebuah sistem alternatif yang mungkin lebih “ramah” terhadap negara berkembang baik secara ekonomis maupun ideologis, seperti tidak menonjolnya dimensi “kondisionalitas” seperti yang sudah dibahas sebelumnya”.
Ada standar yang harus dipenuhi agar mereka ini bisa memperoleh aliran dana dari Bank Dunia. Jika ada kerusakan lingkungan atau pelanggaran HAM berat bisa saja dana tak jadi diberikan. Atau dalam kasus lain, suatu negara harus membenahi lingkungan dan HAM sesuai apa yang diperintahkan oleh otoritas Bank Dunia. Hal seperti ini sering terjadi. Jika tak dilakukan maka tak beroleh pinjaman, tetapi jika menerima berarti harus siap untuk menjalankan perintah World Bank dan ini sering dianggap sebagai “intervensi kepentingan nasional”.
Jika di masa mendatang sudah ada BRICS Bank dilemma seperti itu mungkin minimal. Apabila mengalami kesulitan mendapatkan dana dari World Bank, negara tersebut bisa berubah haluan ke BRICS. Tetapi, perlu diingat bahwa “BRICS bukan rival World Bank tetapi alternatif bagi negara berkembang untuk mengakses bantuan,” seperti yang diutarakan Muhadi Sugiono.
Tak hanya ekonomi, peranan BRICS akan meluas ke berbagai sektor lainnya. BRICS akan mengambil posisi yang sama dengan apa yang dilakukan AS ketika membangun sistem ekonomi dan keamanan global pasca Perang Dunia II. BRICS akan mengambil posisi kaitannya dengan isu keamanan kontemporer, seperti yang sedang terjadi di Suriah dan Afganistan. Perihal reformasi DK PBB juga menjadi salah satu bukti bahwa negara – negara BRICS mulai bermain di ranah selain ekonomi.
Sementara implikasinya bagi Indonesia (dan juga negara berkembang lainnya), keberadaan BRICS ini membuat sistem ekonomi lebih stabil. sebelumnya keberadaan eurozone dianggap bisa memberikan kestabilan global tetapi belakangan krisis yang menerpa mereka menjadikan BRICS sebagai alternatif pilihan yang masuk akal. Sebuah sistem alternatif yang mungkin lebih “ramah” terhadap negara berkembang baik secara ekonomis maupun ideologis, seperti tidak menonjolnya dimensi “kondisionalitas” seperti yang sudah dibahas sebelumnya.
Secara khusus mengenai Indonesia menarik jika menyimak komentar dari Dr. Nunuk Dwi Retnandari, MS “Teman – teman saya biasanya pesimis tetapi sore ini saya simpan dan ingin optimis, bahwa BRICS mestinya menjadi penampar bagi pemerintah Indonesia agar bangun dan paham dan sadar bahwa kita selama ini diperhitungkan tetapi hanya sebagai konteks sebagai konsumen, tak lebih dari itu. 200 juta penduduk kita. Ini tamparan lain supaya pemerintah menjadi bangun karena jika kita ulang yang lainnya, BRICS akan berjalan masuk dengan mekanisme kapitalis global, tidak ada kata lain selain mereka punya satu visi uang tidak punya kewarganegaraan. Yang mereka miliki hanya satu keuntungan, laba, that’s all. Selama mereka punya itu mereka akan datang dan akan mengambilnya.” Pemerintah Indonesia layak mempertimbangkan pernyataan ini dan dengan segera mengambil langkah strategis untuk mempersiapkan diri sekaligus mengambil posisi bagi Indonesia dalam sistem perekonomian global.
Tantangan BRICS Bank
Untuk mengatur ekonomi global, jelas butuh kemampuan dan kemauan. BRICS memiliki kemampuan, baik dari ekonomi maupun politik. Kemauan juga telah ditunjukkan oleh BRICS. Tetapi, BRICS tidak akan membuat mata uang bersama seperti eurozone. Terlalu riskan bagi BRICS untuk menerapkan mata uang tunggal karena resiko dan bebannya terlalu besar bagi mereka.
Di internal BRICS sendiri masih perlu ada penyamaan visi dan misi karena hubungan berdasarkan pragmatisme ini memiliki potensi yang besar untuk terpecah. Apalagi diperkirakan kalau BRICS Bank sebagai sarana untuk memperoleh kepentingan / keuntungan yang lebih besar bagi negara BRICS yang memiliki potensi besar. Bisa saja berkat adanya BRICS ini Cina bisa tumbuh besar tetapi Afrika Selatan tak terlalu memiliki manfaat.
BRICS Bank sebagai salah satu upaya untuk mendorong munculnya perubahan dalam global governance, baik karena terlalu dominannya negara – negara Barat dan liberalisme ataupun karena dominannya negara maju atas negara berkembang. Cina dan Rusia adalah negara anggota DK PBB yang cenderung beroposisi dengan AS dan negara sekutunya, sementara India dan Brazil adalah negara yang bermaksud untuk merombak sistem keamanan internasional yang ada dengan menuntut posisi dalam DK PBB.
Kohesi internal BRICS ini juga perlu dipahami bahwa bukan negara tunggal tetapi kelompok negara yang memiliki dinamikanya masing – masing. Masing – masing memiliki kepentingan strategis bersama, seperti rivalitas India dan Cina, rivalitas antara status quo dan revolusioner / Rusia dan Brazil tentang reformasi DK PBB.
“Sustainabilitas BRICS juga akan diuji persoalan politik masing – masing negara. Selain karena perbedaan ideologi antar negara juga karena Cina dan Rusia merupakan negara yang memiliki potensi instabilitas politik yang sangat tinggi. India yang mengalami kesenjangan ekonomi tinggi juga terancam pergerakan sosial sewaktu – waktu yang bisa mengguncang kestabilan politik nasional. Hal seperti yang dipaparkan inilah yang bisa menjadi tantangan bagi BRICS Bank, jika bisa menghadapinya jelas akan membuat BRICS semakin menancapkan hegemoninya dalam percaturan politik internasional”.
Sustainabilitas BRICS juga akan diuji persoalan politik masing – masing negara. Selain karena perbedaan ideologi antar negara juga karena Cina dan Rusia merupakan negara yang memiliki potensi instabilitas politik yang sangat tinggi. India yang mengalami kesenjangan ekonomi tinggi juga terancam pergerakan sosial sewaktu – waktu yang bisa mengguncang kestabilan politik nasional. Hal seperti yang dipaparkan inilah yang bisa menjadi tantangan bagi BRICS Bank, jika bisa menghadapinya jelas akan membuat BRICS semakin menancapkan hegemoninya dalam percaturan politik internasional.
Sementara bagi Indonesia, apa pelajaran penting yang bisa diambil oleh negara ini ? Indonesia harus segera siap dengan dinamika politik internasional yang pada beberapa tahun belakangan ini semakin cepat. Indonesia harus segera berbenah. Ada dua faktor penting bagi Indonesia untuk bisa lebih baik, yaitu kepemimpinan dan keberanian mengubah sistem. Jika mampu membenahi kekurangan, kita akan dilihat orang karena kita memiliki sesuatu yang bisa kita tawarkan. Menarik untuk merenungkan closing statement dari Muhadi Sugiono mengenai Indonesia ini “bagaimana kita bisa tampil, tetapi sebelum kita ke sana, tentu kita perlu membenahi rumah kita sendiri, kita harus bersihkan rumah, kita harus siapkan apa yang kita miliki, kita punya potensi supaya kita bisa dilihat orang.” Pekerjaan rumah Indonesia tentulah sangat banyak dan sebaiknya mulai dibenahi sedari sekarang.
Oleh: Sirajudin Hasbi