Aksi Jahit Mulut di Gedung Dewan dan Gerakan Rakyat
Ketika masalah Mesuji dan Bima masih belum menunjukkan titik terang, pada saat yang sama kejadian aksi jahit mulut di depan gedung DPR oleh masyarakat Pulau Padang, Riau, seakan menambah keruh hubungan negara vis a vis rakyat. Sekitar 18 orang warga Pulau Padang menjahit mulut mereka dan bermukim di depan gedung anggota dewan yang terhormat. Berteduh di bawah tenda ‘kumuh’, mereka semua menuntut pencabutan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 327 Tahun 2009 tentang pemberian hak penguasaan hutan tanaman industri kepada PT Riau Andalan Pulp and Paper di Pulau Padang. Aksi jahit mulut warga Pulau Padang pun akhirnya memperoleh perhatian luas dari publik. Berdampingan dengan terjadinya kasus gerakan rakyat di Mesuji maupun Bima yang akhir-akhir ini marak, pertanyaan yang kiranya penting untuk dijelaskan ialah bagaimana memaknai aksi jahit mulut dalam konteks gerakan rakyat yang lebih luas? Darimana gerakan rakyat di Indonesia berakar? Apakah gerakan rakyat sekarang memiliki pola berbeda dengan masa sebelumnya? Bagaimana gerakan rakyat ke depan?
Senandung UU PA?
Gerakan rakyat di Indonesia dapat dirunut kemunculannya dari kasus agraria. Awang Trisnamuti, aktivis pergerakan senior yang kali ini menjadi pemantik diskusi MAP Corner – Klub MKP (10 Januari 2012), menyebut bahwa berbagai gejolak gerakan yang marak belakangan ini, dari mulai Mesuji, Bima, Pulau Padang, kasus tanah merah Jakarta, hingga kasus Pasir Besi Yogyakarta merupakan representasi atas geliat gerakan rakyat dalam merespon masalah agraria. Memang, sebagian besar kasus yang memunculkan massa (masyarakat awam) ini merujuk pada pergolakan kepemilikan lahan. Lebih jauh lagi, akar pergolakan dapat ditelusuri ketika lahirnya UU Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. UU PA diyakini menjadi cikal bakal gerakan rakyat di Indonesia setelah merdeka. UU yang dinilai banyak pengamat sebagai UU agraria yang paling pro rakyat ini nampaknya tidak lepas dari kontroversi. Penyebabnya, penggagas utama UU PA yang diketok palu tahun 1960 adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada saat itu PKI menjadi partai pemenang yang menjadikan UU PA sebagai tujuan untuk meraih simpati rakyat. Cita-cita PKI agar tanah untuk rakyat seperti tercermin dalam poin “warga negara setempat (penduduk) yang berhak memiliki tanah”, nampaknya tidak disukai kelas tertentu. Meski demikian, selama lima tahun berikutnya, beberapa reformasi agraria telah dilakukan. Saat itu, penolakan kelas tertentu tidak dapat melawan kerjasama PKI dengan Soekarno. Sayangnya, sejak pergantian kekuasaan ke tangan Soeharto, peraturan dalam UU PA dipinggirkan secara sistematis. Soeharto memang tidak menghapus UU PA. Dia lebih memilih membuat UU baru yang sesuai dengan kepentingan rejim tanpa perlu memikirkan kesesuaian dengan UU sebelumnya. Dengan cara yang cerdik, rejim Soeharto memproduksi wacana tentang bahaya PKI. Semua yang berbau reformasi agraria dan karenanya juga UU PA dianggap produk antek-antek PKI yang berbahaya bagi bangsa. UU progresif itu pun akhirnya layu sebelum berkembang.
Keadaan ini belum berubah pasca runtuhnya kekuasaan Soeharto. UU PA masih dibiarkan simpang siur, tanpa kejelasan implementasi. Yang ada justru “penyanderaan” terhadap hampir seluruh perundang-undangan yang bertalian dengan agraria terkesan dibuat tidak untuk rakyat. Mengapa UU PA dibiarkan begitu saja, sementara secara konstitusional UU itu masih berlaku? Mengapa tidak ada partai politik yang secara tegas menawarkan strategi implementasi UU PA? Awang menilai bahwa ketakutan partai politik akan cap PKI yang dapat melekat pada diri mereka merupakan penghalang utama. Meskipun sejarah PKI versi Orde Baru mulai mengabur, partai politik belum merasa percaya diri untuk menyuarakan isu pelaksanaan UU PA. Maka partai politik yang bertujuan memenangkan pemilu, memilih bersikap “hati-hati” sebelum memutuskan untuk mengawal UU PA atau tidak. Selain itu, kita juga dapat melihat ketiadaan kemauan partai politik lebih karena kerjasama erat mereka dengan kelas pemilik akses tanah yang kepentingannya dapat terganggu oleh pelaksanaan UU PA. Atau dalam bahasa yang sederhana adalah karena “land is at the heart of power” (Christoudoulo, 1990).
Akibat dari tidak dilaksanakannya UU PA sudah jelas. Di Batam misalnya, bagaimana sedemikian rupa ternyata banyak Warga Negara Asing yang memiliki sertifikat tanah di wilayah Indonesia ini. Tak hanya Batam, Awang juga menyebutkan beberapa tanah di wilayah Jepara juga dimiliki asing. Situasi seperti ini tentu saja rawan bagi terjadinya gejolak rakyat yang merasa tidak memiliki akses terhadap tanah yang sangat dekat dengan mereka sendiri. Tanah dalam pengertian ini dimaknai sebagai factor produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak. Tanpa akses terhadap tanah, rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dapat dengan mudah terlibat dalam pergolakan. Gerakan rakyat dalam konteks ini memang seputar pada perebutan lahan/tanah sebagai faktor produksi. Memang banyak penyebab yang bisa merangkaikan fenomena gerakan rakyat “because of land” terutama yang terjadi di daerah, namun seluruhnya merujuk pada ketidakpuasan (terutama rakyat) terhadap aturan agraria. Awang percaya jika UU PA dilaksanakan, maka kesenjangan kepemilikan tanah dapat dikurangi dan pada gilirannya konflik perebutan tanah juga dapat diminimalisir.
Dengan demikian, gerakan rakyat memang punya akar yang kuat dari problem agraria. Tentu saja memang tidak hanya kasus agraria yang belakangan ini memicu gerakan rakyat. Namun Awang menegaskan bahwa seluruh gerakan rakyat menjadi santer karena bertautan dengan masalah agraria. Kita dapat melihat dari contoh gerakan buruh. Gerakan buruh di Indonesia juga awalnya berasal dari kasus agraria. Sektor buruh yang diorganisir pun adalah sector buruh yang mempunyai ikatan langsung dengan desa—misalnya sejarah gerakan di Cilincing atau Sukoharjo—yaitu mulai dari wilayah tempat tinggal menuju daerah urban mereka.
“saya juga sepakat bukan hanya persoalan agraria tapi tolong diingat di indonesia, hampir semua gerakan itu berangkat dari kasus-kasus agraria…gerakan buruh sekalipun yang ada di Indonesia itu tidak tiba-tiba menjadi gerakan buruh… “
Gerakan rakyat itu di-setting!
Munculnya gerakan rakyat dari kasus agraria mendorong para aktivis pergerakan untuk bergerak ke desa. Pada era 1980an dan 1990an, seperti yang disampaikan Awang, tidak ada mahasiswa yang tidak masuk desa, seluruhnya belajar bersama petani. Aktivis mahasiswa sedemikian rupa melakukan apa yang disebut dengan pendidikan politik terlepas apakah kegiatan tersebut diorganisir ataupun tidak. Pendidikan politik yang dimaksud adalah aktivis (mahasiswa) didorong untuk mendiskusikan (salah satunya) bentuk perlawanan dan menarik minat rakyat. Berkaitan ini, tempo dulu Awang mengaku kebagian jatah mendidik politik kepada rakyat DIY – Jateng. Setelah itu dia ke daerah Sulawesi selatan, Lampung dan ke Jakarta. Bersama dengan teman-teman seperti Rizal Malarangeng, Awang berusaha memberikan pendidikan politik untuk memicu gerakan rakyat.
Perlawanan dalam gerakan rakyat sendiri dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, dari mulai yang paling sederhana hingga radikal. Contoh paling sederhana adalah membawa poster berisi tuntutan dan nongkrong di jalan selama dua hingga tiga jam lalu bubar. Ini seperti pawai, karena kegiatan tersebut juga dapat dilakukan sembari menyanyi dan berkeliling kota sebanyak satu putaran, esoknya diulang kembali. Ada juga gerakan rakyat yang setting-an memakai “pasukan khusus untuk bentrok”. Biasanya lima hingga tujuh orang dipilih dan dilatih untuk berhadapan dengan polisi. Kelompok ini bertugas membuat polisi sedemikian rupa hingga dapat meluapkan kemarahannya. Jika polisi marah, tak ayal polisi memukul juga kepada pasukan khusus. Situasi inilah yang justru menjadi tujuan. Dengan insiden “pemukulan”, maka bertalian pula isu yang dibawa dalam pawai tersebut akan “naik” dan tersebar ke publik. Cara ini dikerjakan secara terus menerus hingga kini.
Bentuk perlawanan lainnya adalah penanaman sepihak. Awang mengilustrasikan penanaman sepihak berdasarkan pengalamannya mendampingi petani Situbondo ketika militer mengklaim wilayah tersebut sebagai “wilayah pusat latihan tempur”. Bahkan ketika itu wilayah pertanian di Situbondo dijadikan latihan perang antara militer Indonesia dan Malaysia. Pilihan penanaman sepihak diambil karena setelah selama satu tahun sebelumnya bersama masyarakat melakukan bentuk sederhana (demonstrasi) ternyata gagal. Media masa yang diharapkan menjadi corong suara rakyat sepertinya berhasil ditekan oleh militer. Maka suatu malam, Awang bersama masyarakat melakukan penanaman sepihak di wilayah latihan tempur tersebut dengan tanaman jagung. Tujuannya, jika panser melewati areal tanah yang ditanami tersebut, maka peristiwa itu akan dilihat public sebagai tindakan kesewenang-wenangan militer terhadap petani. Proses penanaman sepihak Ini membuat pihak militer mengambil tindakan. Penangkapan kemudian pengintograsian dilakukan. Beberapa aktivis berhasil melarikan diri sementara yang lain tertangkap. Menariknya, bagi aktivis yang tertangkap bukanlah karena mereka tak bisa melarikan diri, namun justru memang berniat sengaja ingin ditangkap. Pilihan ditangkap bukan tanpa sebab, pilihan ini menjadi dasar kuat agar para pendamping masyarakat menjadi matang bekerja mendampingi masyarakat.
“Gerakan (rakyat) tidak ada yang berniat bunuh diri atau mati, tapi kalau memar-memar..iya!!”
Bentuk perlawanan yang lebih radikal dari gerakan rakyat adalah aksi jahit mulut atau mogok makan (hingga berhari-hari) seperti yang dilakukan warga Pulau Padang, Riau. Tidak terlalu berbeda dengan bentuk gerakan lainnya, ini adalah setting-an. Bayangan pertama dari bentuk radikal ini adalah para pelaku tidak makan hingga dapat menemui kematian. Kenyataannya, belum tentu demikian. Para pelaku ini tetap menerima asupan gizi dengan cara minum. Awang menekankan dari berbagai cara di atas pada dasarnya tidak pernah ada dalam pendidikan gerakan rakyat konsep “bunuh-bunuhan”. Isu “bunuh-bunuhan” oleh Awang dalam rangka merespon “self-immolation” yang dilakukan Sondang tempo lalu. Meski tak disinggung Awang, agaknya aksi yang dilakukan sondang pun hingga saat ini juga tidak mendapat respon seperti yang dilakukan oleh Mohammed Bouazizi yang menyebabkan Arab Spring. Justru Awang mencoba menarik aksi self-immolation ini laiknya terorisme yang diumpamakan “saya mati, tetapi saya juga menyebabkan kerusakan”.
Strategi Gerakan Rakyat
Salah satu kunci agar gerakan rakyat dapat memberikan manfaat lebih luas ialah memastikan bahwa gerakan semacam itu memberi pendidikan politik pada masyarakat. Tuntutan dari gerakan rakyat tertentu boleh saja tidak dipenuhi. Tuntutan mereka juga bisa saja gagal di tengah jalan. Tapi paling tidak, gerakan rakyat perlu diberi kerangka makna bahwa kita mempunyai masalah dan membutuhkan dukungan untuk perubahan yang lebih baik. Dengan cara ini, gerakan rakyat yang paling sporadis pun dapat menjadi ajang pendidikan politik bagi masyarakat luas.
“semua demo itu menjadi baik menjadi bagus menjadi berhasil ketika ia mampu memberikan pendidikan politik pada masyarakat secara luas”
Untuk mengupayakan gerakan rakyat dapat menjadi medan pendidikan politik rakyat, Awang menilai bahwa aktivis pergerakan perlu menghindari sifat elitism mereka. Aktivis era 1990an memang di dorong terjun ke desa sebagai salah satu cara pengajaran bahwa dalam aktivitas gerakan tidak bisa berangkat pada hal kognitif saja (membaca buku) dan baru mencoba menerjemahkannya menjadi gerakan. Tetapi aktivis juga harus mengetahui apa persoalan yang terjadi dalam masyarakat, paham betul kondisi tersebut baru setelahnya kita dapat bergerak. Gerakan elitis bisa jadi gagal. Ini merujuk pada persoalan para aktivisnya yang tidak mampu atau tidak bisa memahami persoalan rakyat (aktivis hanya bicara sesuai dengan kapasitas sendiri tanpa tahu masalah sebenarnya masyarakat). Solusi terbaik adalah penggabungan cara keduanya baik kognitif maupun terjun langsung ke masyarakat kemudian membuat perencanaan untuk gerakan bersama basisnya. Awang dalam hal ini akhirnya menyinggung kegagalan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalam melakukan gerakan rakyat, karena basisnya tidak riil. Pun ketika PRD waktu itu diakui berbentuk partai peserta, ternyata basisnya adalah basis elitis, tidak pada rakyat. Basis seharusnya diorganisir bukan dimobilisasi. Jika yang terjadi mobilisasi, maka dapat dipastikan gerakan gagal mewujudkan tujuannya
Mengambil Kepemimpinan Masa Depan?
Lantas, bagaimana gerakan rakyat di masa depan? Pasca 1998, negara menjadi gagal secara keseluruhan. Awang mengajak menengok kembali ke sejarah ketika pilihan Negara Kesatuan akhirnya diambil. Baginya, di negara yang multietnik seperti Indonesia akan lebih baik jika berbentuk federal. Pasca pemilu 1955 sebenarnya ada niatan untuk merumuskan kembali bentuk negara. Sayangnya, usulan ini lagi-lagi mental karena saat itu militer kuat sehingga dekrit presiden tak jadi diteruskan. Menjadi NKRI merupakan masalah pelik dan muncul kesadaran baru bahwa pasca 1998, pendekatan otonomi daerah ternyata justru makin memperparah keadaan. Desentralisasi menjadi kata lain dari proses bagi-bagi kuasa. Sementara peraturan perundang-undangan yang seharusnya consider pada payung perundang-undangan atau pusat, namun kenyataannya pemerintah daerah sering tidak matching dengan perundang-undangan diatasnya. Ini yang menjadikan negara menjadi semakin terpuruk sementara kita (warga Negara Indonesia) oleh Awang justru dianggap menjadi pihak yang membuat proses kegagalan tersebut semakin dalam. Penjelasannya adalah kita tidak melakukan apapun tapi justru turut larut dan ikut pada proses yang terjadi selama ini.
Maka jika proyek ‘Indonesia’ masih ingin diselamatkan, tidak ada alternative lain kecuali kita perlu melakukan sesuatu: perubahan. Tentu saja perubahan itu perlu dimulai dengan proses pematangan secara politik, social dan ideologis yang memadai sehingga kelak perubahan itu sendiri bisa dikelola. Pertanyaan yang kemudian timbul ialah, siapa yang akan mengambil kepemimpinan? Ini menjadi tantangan tersendiri mengingat kasus Mesir. Aktivis yang gagal mengambilalih kepemimpinan, akhirnya harus merelakan militer berkuasa pasca Mubarak. Gerakan progesif Mesir yang sudah matang nampak tidak menghasilkan apa pun. Pengalaman Mesir dapat menjadi cerminan bagi karakter progresif gerakan rakyat di Indonesia. Bagi Awang, saat ini gerakan progresif Indonesia dalam situasi tidak siap baik dalam tataran organisasional, teknologi maupun infrastruktur suprastruktur. Tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada pengorganisasian rakyat di desa sampai masyarakat matang secara politis. Proses kematangan ini tidak dapat ditengarai berdasarkan tenggat waktu tertentu karena kematangan harus mencakup Ideology, politik dan organisasi di masyarakat.
Selanjutnya, gerakan rakyat juga perlu terus menerus dilakukan bersama rakyat. Pasca 1998, tak hanya aktivis yang melakukan pendekatan kepada rakyat, tetapi juga pemerintah. Model bottom up dipraktekkan dalam proses pembangunan, walaupun bisa jadi itu masih secara simbolik. Ada kecenderungan telah terjadi perubahan dan terdapat kesadaran (terlepas dari substansinya) bahwa kini kita harus menangkap aspirasi dari bawah. Proses ini tentu saja harus tetap dikawal sehingga dapat memberikan imput bagi pembangunan kemudian hari. Awang juga menekankan untuk mewaspadai “stigma” yang berlaku di masyarakat awam, terutama bagi aktivis politik. Kepada aktivis yang beralih afiliasi politik berbeda dengan sebelumnya, maka jangan kemudian dibenci. Justru kita perlu mempertanyakan apakah yang selama ini cita-citanya masih diperjuangkan bersama kendaraan politik barunya? Jika yang bersangkutan tetap melanjutkan perjuangannya, maka itu selesai, bukannya memusuhi lantaran pilihan politik yang bersangkutan. Awang mencontohkan Budiman Sujatmiko, mantan PRD yang oleh orang-orang PRD sendiri disebut sebagai penjahat PRD. Dalam hal ini, mestinya Budiman tidak langsung dihakimi sebagai pengkhianat. Cita-cita Budiman ketika dulu bersama PRD ialah memperjuangkan tanah untuk rakyat. Ketika akhirnya menjadi anggota Dewan dengan kendaraan PDIP, Budiman membuktikan bahwa ia masih memegang cita-citanya dengan berhasil me-land reform 1000 hektar tanah perkebunan dan telah didistribusikan kepada rakyat.
“..bahwa kita tidak suka dia, tapi kalau dia sudah memilih seperti itu. Pertanyaan yang harus dijaga apakah dia tetep pada garis perjuangannya?”
Menurut Awang, apapun pilihan aktivis untuk masa depannya perlu kita hormati. Selama kita tetap bisa menjaga “IPO” mereka, maka pada suatu saat nanti ketika pergerakan rakyat matang, kita dapat memakai mereka yang telah duduk dalam suatu jabatan tersebut. IPO dengan tiga elemennya, yaitu organisasi berkaitan dengan cara mengendalikan, politik yang merupakan cara beraktivitas dan Ideologi yang berkenaan dengan hati/cara membaca situasi, perlu dijadikan alat untuk mengukur seseorang (aktivis).
Merebut kepemimpinan dengan demikian tidak selalu harus identik melalui partai politik. Tidak harus memaknai jalan akhir gerakan dengan membentuk partai politik atau bergabung dengan partai lama. Alih-alih produktif, menjadikan partai politik sebagai jalan satu-satunya justru dapat menjadi kendala tersndiri. Ini tidak lain karena generasi kita adalah generasi kemudian, sebaliknya partai politik yang sekarang adalah partai generasi lampau. Bahkan partai baru Nasdem (Nasional Demokrat) pun adalah partai dengan penggerak orang-orang generasi lama. Akhirnya, partai politik bukanlah prasyarat utama, karena kunci dari aktivitas pergerakan rakyat untuk merebut kepemimpinan adalah kolektivisme yang terbangun, dilanjutkan dengan bangunan ideologi yang dikontrol, dan akhirnya dilakukan oleh kita bersama kita sesama kita. Bisa?