Menentang Marginalisasi: Politik Kewarganegaraan dan Perjuangan Penghayat Kepercayaan

Sebuah pengumuman yang menyakitkan bagi kaum Penghayat dan Aliran Kepercayaan keluar dari pemerintah pada tahun 1986: tidak boleh dan tidak ada perkawinan kaum Penghayat dan Aliran Kepercayaan. Istilah kumpul kebo dan anak haram negara pun muncul bagi mereka yang menikah tidak sesuai dengan tata cara agama resmi yang diakui negara (Kurniawan, 2015: 01). Stigma negatif terjadi terhadap penghayat kepercayaan dalam 3 tahap: stigma identitas, stigma sosial, dan stigma hukum. Stigma tersebut cenderung mensubordinasi dan mendiskriminasi penghayat kepercayaan. Sebagaimana dalam perspektif Gramscian, mereka berada di posisi subaltern yaitu kelompok inferior yang menjadi subjek hegemoni kelas berkuasa dan rentan mengalami persekusi.

Berdasarkan data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, pada tahun 2009 ada 245 organisasi penghayat di tingkat pusat dan 954 organisasi di 25 provinsi di Indonesia. Namun data tersebut pada tahun 2017 mengalami penurunan, data Kemendikbud menunjukan ada 187 organisasi penghayat kepercayaan yang terdaftar di Pemerintah. Ratusan organisasi penghayat kepercayaan tersebut berada di 13 provinsi dan tercatat sekitar 160 di antaranya masih aktif hingga saat ini. Dari data tersebut, warga yang tercatat sebagai penghayat kepercayaan sebanyak 138.791 orang (Tirto, 19/01/2018).

Diskriminasi dan marginalisasi yang telah mereka alami, membuat hak dasar sebagai warga negara menjadi tercerabut. Jika kita menengok kebelakang, para penghayat kepercayaan telah hadir sebelum Indonesia sebagai bangsa terbentuk, begitupula dengan enam agama yang sekarang diakui secara resmi oleh negara.

Politik Kewarganegaraan: Antara Diskriminasi dan Marginalisasi

Dikotomi agama dan kepercayaan menjadi isu yang terus mengalami pasang surut dalam dinamika politik di Indonesia. Secara etimologi kita bisa berbeda pendapat dalam mendefinisikan agama dengan kepercayaan[1]. Akan tetapi secara historis, kita akan dapat melihat tentang bagaimana masing-masing kelompok mengartikulasikan identitasnya, untuk kemudian memperjuangkan pengakuan dan hak mereka sebagai warga negara.

Artikulasi ini merupakan ekspresi dari identitas kolektif atau kepentingan bersama yang memiliki ikatan historis. Menurut Stuart Hall (1990: 225), artikulasi hadir dan memiliki sejarah tertentu, yang merupakan titik atau jahitan antara identitas dan politik, untuk memperjuangkan kepentingan tertentu. Penghayat kepercayaan dalam perjuangannya, menempatkan artikulasi tersebut sebagai alat untuk mendapatkan kesetaraan dalam hal pengakuan dan akses kewarganegaraan.

Penghayat kepercayaan dalam perjuangannya, menempatkan artikulasi tersebut sebagai alat untuk mendapatkan kesetaraan dalam hal pengakuan dan akses kewarganegaraan.

Pengakuan negara atas adanya kepercayaan lokal menjadi perjuangan yang panjang dan berliku. Catatan sejarah mengenai perjuangan tersebut dimulai dari masa awal kemerdekaan Indonesia. Clifford Geertz dalam bukunya Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa  (2013) memperlihatkan sekat antara agama ortodox (yang direpresentasikan oleh Santri) dengan kaum abangan (direpresentasikan oleh aliran kepercayaan lokal) pada masa awal kemerdekaan. Geertz menunjukan bahwa sejak hadirnya Kementerian Agama pada tahun 1946, maka kontradiksi antara pengikut agama dengan aliran kepercayaan semakin menguat.

Pada tahun 1951, Departemen Agama berupaya mendefinisikan bahwa agama adalah kepercayaan yang memiliki kitab suci, tuhan, komunitas internasional, dan doktrin yang jelas. Walaupun definisi tersebut tidak disahkan, akan tetapi cukup efektif meminggirkan kelompok abangan atau penganut kepercayaan lokal. Mereka menjadi seperti anak haram negara, karena kewarganegaraannya dipertanyakan.

Para penghayat kepercayan merespon kondisi itu dengan melakukan berbagai konsolidasi dan perjuangan. Mereka menempatkan pasal 29 UUD 1945 bahwa, “…Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” sebagai dominator untuk memperjuangkan pengakuan dan hak mereka. Hingga akhirnya mereka mendapatkan naungan di bawah Departemen Pendidikan dan kebudayaan.

Perselisihan semakin menguat, ketika kontestasi politik aliran antara partai yang berbasis Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (sesuai gagasan NASAKOM dari Soekarno) mengalami puncak ketegangan. Politik kelas yang juga berbalut aliran identitas, mendorong kalangan agamis berhimpun di dalam Partai Masyumi (moderat) dan Partai NU (tradisional), sementara penghayat kepercayaan banyak yang terhimpun ke dalam PKI (Partai Komunis Indonesia).

Ketegangan memuncak, ketika terjadi pergolakan politik pada tahun 1965. Di tahun itu lahir Penetapan Presiden (yang nantinya menjadi UU PNPS 1/1965 tentang Penodaan Agama) yang ingin melindungi agama dari penodaan oleh aliran kepercayaan. Setelah peristiwa 30 September 1965, aliran kepercayaan mendapat tekanan besar: mereka dicurigai sebagai bagian dari PKI yang oleh regim Orde Baru di cap sebagai pemberontak[2] (CRCS, 02/05/2017).

Pada tahun 1970an, Samsul Ma’arif (Dosen di Center for Religious & Cross-Cultural Studies UGM) dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM mengungkapkan bahwa regim Soeharto bermain dua kaki. “Orde Baru saat itu menjalankan kebijakan kembar yang berdiri dua kaki, kepercayaan ditetapkan sebagai bukan agama, di sisi yang lain warga negara diharuskan beragama… Namun melalui Golkar, kelompok kepercayaan difasilitasi agar menjadi konstituen Golkar” ungkap Samsul Ma’arif dalam diskusi yang bertema “Agama Lokal dan Politik Kewarganegaraan” yang diselenggarakan pada 14 November 2017.

Hal krusial yang semakin mendiskriminasi dan memarginalisasi penghayat kepercayaan terjadi pada tahun 1978 dengan lahirnya TAP MPR Nomor 4 Tahun 1978. TAP MPR ini menyatakan bahwa kepercayaan lokal bukan agama, akan tetapi merupakan kebudayaan. Selain itu melalui TAP MPR No 4 Tahun 1978 ini mengharuskan adanya kolom agama (yang wajib diisi dengan salah satu dari 5 agama) dalam formulir pencatatan sipil. Mulai tahun ini kolom agama wajib tercantum dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk) (ibid).

Kewajiban pencantuman kolom agama dalam KTP, semakin mendiskreditkan penghayat kepercayaan, karena pencantuman tersebut hanya diperbolehkan untuk 5 agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha –paska reformasi Konghucu turut diakui sebagai agama). Pencatatan dalam administrasi publik tersebut turut mempengaruhi pengakuan dan diskriminasi terhadap hak-hak kewarganegaraan dari penghayat kepercayaan lokal. Padahal, KTP merupakan bentuk catatan administratif kependudukan yang sangat penting bagi penduduk Indonesia. Dengan hanya menuliskan enam agama pada kolom KTP, dan melarang penulisan jenis kepercayaan lain membuat para pemeluk kepercayaan menjadi sulit untuk mewujudkan hak-haknya sebagai warga negara, misalnya perijinan usaha, pernikahan, sekolah, dan mencari pekerjaan.

Posisi penghayat kepercayaan, berada dalam posisi biner terhadap relasi kekuasaan yang lebih superior. Tiadanya pengakuan sebagai warga negara, menjadikannya seolah tanpa perlindungan sosial dan jaminan untuk hidup aman.

Proses diskriminasi dan marginalisasi tersebut salah satunya dialami oleh masyarakat Samin (sikep) di daerah Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Pada tahun 1980an mereka dipaksa untuk mengisi kolom agama dalam KTP dan mendaftarkan diri ke departemen agama ketika melakukan pernikahan melalui agenda pernikahan massal (Widodo, 1997: 262). Padahal mereka mempercayai “agama adam” (agama lokal). Jika mereka menolak, oleh pemerintah diancam akan ditransmigrasikan massal ke luar Jawa.

Posisi penghayat kepercayaan dalam konteks ini, berada dalam posisi biner terhadap relasi kekuasaan yang lebih superior. Mereka berada dalam posisi tersubordinat. Tiadanya pengakuan sebagai warga negara, menjadikannya seolah tanpa perlindungan sosial dan jaminan untuk hidup aman. Proses diskriminasi dan marginalisasi tidak hanya dilakukan secara horizontal, namun juga secara vertikal. Pemerintah atas nama kehendak memperbaiki, melakukan intervensi (kadang bersifat koersif) dengan misi agar mereka beradab walaupun langkah-langkah tidak beradab yang justru dipertontonkan.

Gambar: Dewi Kanti Setianingsih menunjukkan KTP-nya yang kolom agamanya dikosongkan karena dia seorang penghayat kepercayaan (sumber: Republika)

Artikuasi dan Perjuangan Politik

Proses pembelahan antara agama dan kepercayaan lokal, dalam sejarahnya sering digunakan sebagai alat kepentingan dari kelas penguasa. Menurut Samsul Ma’arif dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM pada 14 November 2017, pembelahan serta upaya mendulang dukungan dengan cara menjadikan sisi yang berseberangan sebagai musuh, sudah dilakukan sejak masa kolonialisme. Dia membaginya dalam empat era.

Pertama, pada masa kolonial Belanda yang membedakan atara nasionalis agama dan kaum adat atau penganut kepercayaan lokal. Pada saat itu terdapat depolitisasi dari Belanda yang mengaliansi kelompok adat untuk melawan kaum penganut agama (terutama Islam). Sejak saat itulah ada sekat antara agama dan kepercayaan lokal.

Kedua, pada masa pendudukan Jepang ada pembeda antara ulama yang mewakili agama dan ada pula kaum adat. Jepang mengaliansi para santri untuk membantu melawan Belanda yang berati bahwa juga melawan kelompok adat atau abangan yang digunakan Belanda untuk alat perlawanan.

Ketiga, masa orde baru pada tahun 1980an kembali merebak pembedaan agama dan kepercayan. Pada masa itu, seluruh catatan administrasi negara tidak memperbolehkan warga mengkosongkan kolom agama yang implikasinya adalah penghayat  kepercayaan harus memilih keyakinan yang tidak mereka yakini.

Kemudian keempat, pada masa reformasi, seiring terjadinya proses demokratisasi, politik identitas terhadap agama dan kepercayaan lokal dalam beberapa kasus dipolarisasi untuk tujuan mendulang suara dalam Pemilu.

Perjuangan untuk mendapatkan hak setara di mata hukum dan pengakuan sebagai warga negara terus dilakukan oleh para penghayat kepercayaan bersama berbagai jaringan aktivis. Seiring diratifikasinya dasar Hak Asasi Manusia (HAM, walaupun dalam perspektif liberal), perjuangan untuk membuat kesetaraan politik menjadi meningkat. Para aktivis HAM memandang diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan merupakan simbol dari pelanggaran HAM.

Capaian awal didapat ketika pada UU Administrasi Kependudukan tahun 2006 memperbolehkan penghayat kepercayaan untuk tidak mengisi kolom agama di luar 6 agama resmi (dikosongkan dengan tanda “-“ strip). Ini merupakan progres pertama yang dicapai oleh kelompok penghayat kepercayaan. Namun diskriminasi masih ada, yaitu dengan adanya Pasal 61 UU Adminduk 2006: identitas kepercayaan tidak dicatatkan dalam kolom agama (CRCS, 02/05/2017).

Perjuangan hak-hak para penghayat kepercayaan untuk mendapatkan pengakuan kewarganegaraan terus berupaya dilakukan. Mereka mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan pengosongan kolom agama pada Kartu Keluarga (KK) dan KTP. Puncaknya pada 7 November 2017 tuntutan tersebut dikabulkan oleh MK. Atas pengabulan tuntutan tersebut maka menjadi kemajuan baru bagi para penghayat kepercayaan bahwa mereka dapat mengisikan nama aliran kepercayaannya dalam kolom agama di KTP (tidak lagi dikosongkan). Dengan dikabulkannya uji materi tersebut maka secara otomatis muncul tantangan-tantangan baru.

Tantangan awal adalah dalam hal mengawal agar keputusan MK tersebut benar-benar dijalankan oleh para Aparatus Sipil Negara (ASN). Artinya ketika ASN melarang penghayat kepercayaan mengisi kepercayaan mereka di KTP, maka itu jelas akan melanggar hukum dan dapat ditindak pidana.

Tantangan berikutnya adalah tentang bagaimana agar nilai kepercayaan lokal ini dapat tercakup dalam kurikulum pendidikan. Itu karena selama ini, kurikulum pendidikan cenderung mengajarkan pelajaran agama yang diakui oleh pemerintah saja. Jika itu masih tetap terjadi, maka dunia pendidikan formal hanya akan melahirkan proses diskriminasi secara terstruktur dan menjadi sumber pembangunan stigma negatif.

Terakhir, tantangan yang lebih besar adalah bagaimana perjuangan kesetaraan yang dilakukan tidak hanya menyasar pada kesetaraan politik di aras hak-hak kewarganegaan semata. Namun juga perjuangan emansipatif dan redistributif untuk mencapai kesetaraan ekonomi. Kondisi itu yang memungkinkan untuk tercapainya relasi sosial yang setara dan mewujudkan cita-cita besar bangsa: “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. **** ********

[1] Juga sering disebut sebagai agama lokal, agama leluhur, akan tetapi istilah yang sekarang sering digunakan adalah “penghayat kepercayaan”.

[2] Merujuk dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh John Roosa (2008) atau Harold Crouch (1978), menunjukan tentang keganjilan argument dari regim Orde Baru bahwa pemberontakan 1965 dilakukan oleh PKI. Penelitian tersebut menunjukan bahwa pemberontakan 65 merupakan bagian dari kudeta merangkak yang dilakukan salah satu faksi di Militer (termasuk Soeharto).

2 Replies to “Menentang Marginalisasi: Politik Kewarganegaraan dan Perjuangan Penghayat Kepercayaan”

Leave a Reply to Eliza Tyas Cancel reply