Guru Besar Hukum UGM: PP Pengupahan No.78/2015 Inkonstitusional
Beberapa waktu lalu pemerintah mengumumkan paket kebijakan ekonomi keempat yang salah satu pointnya berisi RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tentang Pengupahan. Beberapa hari lalu, RPP ini akhirnya disahkan oleh Pemerintah menjadi PP No.78/2015 tentang Pengupahan. Bagaimana respon buruh terhadap kebijakan ini? Apakah pengaturan ini sejalan dengan tujuan upah layak yang diamanatkan undang-undang ketenagakerjaan? Pertanyaan-pertanyaan ini yang menjadi pemantik diskusi MAP Corner-Klub MKP, selasa 27 Oktober.
Restu Baskara (Federasi Perjuangan Buruh Indonesia) dan Kinardi (Aliansi Buruh Yogjakarta) mengajukan penolakan terhadap kebijakan pengupahan yang dinilai tidak memihak buruh. Mereka juga mengecam PP pengupahan sebagai perwujudan rezim baru buruh murah. Terlebih buruh merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan. Paling tidak, ada beberapa hal yang menjadi keberatan utama buruh terhadap PP Pengupahan:
1. Terkait dengan formula penghitungan upah buruh yang tidak lagi melibatkan dewan buruh.
2. Peninjauan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang dilakukan tiap 5 tahun sekali.
3. Mekanisme pengupahan yang dilempar pada mekanisme pasar
4. Menutup ruang demokrasi buruh, karena menghilangkan posisi tawar buruh dalam keterlibatannya menentukan kenaikan upah.
Dari kecamata hukum, Guru Besar Hukum Perburuhan UGM, Ari Hermawan menilai bahwa PP No.78/2015 tentang Pengupahan telah menyimpang dari semangat undang-udang dasar 1945. Penyimpangan ini perlu dijelaskan dalam tiga variable yang saling berkaitan. Perlu ditekankan sejak awal bahwa produk hukum di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari politik hukum politik. Analisis terhadap produk hukum dari perspektif politik hukum yaitu meliputi:
1. Politik pembentukan hukum
2. Politik penentuan hukum
3. Politik penegakan hukum
Dengan menggunakan analisa politik pembentukan hukum, Ari melihat bahwa PP Pengupahan dibangun atas dasar logika pertumbuhan ekonomi, dimana Negara nampaknya ingin menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku pasar seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya. Demi pertumbuhan ekonomi, keberpihakan Negara tampak lebih condong kepada pelaku pasar. Hal ini dapat dilihat dari beberapa paket kebijakan yang telah diumumkan oleh pemerintahan Jokowi-JK, mulai dari paket kebijakan pertama sampai terakhir yang lebih mengakomodasi kepentingan pengusaha.
Ketika instrumen pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai kerangka tujuan pembangunan Negara, tidak perlu heran jika regulasi hukum yang dikeluarkan berpihak pada upaya mencapai pertumbuhan ekonomi dengan segala cara. Cara yang biasa diambil ialah menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor, terutama asing. Salah satu penopang iklim investasi yang baik ialah buruh yang secara ekonomi murah dan secara politik patuh. Ketersediaan buruh murah menjadi satu variable yang sangat penting untuk mendatangkan investor. Dalam kerangka ini, PP Pengupahan perlu dipahami sebagai kerangka besar kebijakan untuk menciptakan iklim kondusif bagi pengusaha demi mengatrol pertumbuhan ekonomi.
Logika politik pembentukan hukum ini berimplikasi pada kerangka politik penentuan hukum. Ari menilai, substansi PP Pengupahan tidak mencerminkan semangat dan roh dari amanat konstitusi yaitu kesejahteraan dan kehidupan yang layak bagi seluruh masyarakat. Hal yang paling krusial ialah reduksi konsep upah layak ke dalam dua indikator yang diamanatkan PP Pengupahan: sebatas pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Kebijakan ini mengabaikan sama sekali variabel KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang diamanatkan oleh UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu, PP Pengupahan juga punya kecenderungan melanggar peraturan diatasnya. Di dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa upah ditinjau setiap tahun. Ini artinya, pihak terkait: buruh, pengusaha dan pemerintah wajib meninjau dan menegosiasikan ulang upah tiap tahunnya dengan mempertimbangkan perkembangan KHL. Tetapi dengan ketentuan PP Pengupahan, peninjauan KHL hanya tiap 5 tahun sekali, sesuatu yang bertentangan dengan amanat UU ketenagakerjaan. Ari menegaskan:
“Di Indonesia, semua roh tentang peraturan harus bersumber dari undang-undang dasar 1945. Dalam konteks PP No. 78/201, ini sangat menyimpang dari roh konstitusi dimana nilai keadilan dan kesejahteraan bersama terkait dengan penghidupan layak bagi buruh tidak terwadahi dalam peraturan. Dari kacamata hukum, PP ini inkonstitusional, karena bertentangan dengan peraturan sebelumnya”.
Mengingat problem yang telah muncul sejak pembentukan dan penentuan isi hukum, Ari memprediksi bahwa pelaksanaan kebijakan pengupahan baru ini akan mengalami banyak hambatan. Inilah aspek politik penegakan hukum. Tanpa keterlibatan kelompok sasaran, dalam hal ini buruh, dalam proses pembentukan PP Pengupahan, nampaknya hukum tidak akan berjalan sebagaimana yang dinginkan.