Segregasi Pendidikan dan Pusaran Intelektual Dalam Kapitalisme-Neoliberal

Perkembangan pendidikan di Indonesia pada era reformasi telah mengalami perubahan. Jika sebelumnya terkerangkeng oleh birokratisasi pendidikan yang dikontrol penuh oleh rezim Suharto, kini aktivitas pendidikan berada dalam pusaran liberalisasi pendidikan. Pada era orde baru proses penelitian dan pengajaran tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ditentukan oleh penguasa. Kini aktivitas akademik lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar dan kepentingan-kepentingan para donor.

Sebelumnya beberapa kalangan menginginkan adanya otonomi dan kebebasan akademik dalam universitas. Tujuannya untuk menjauhkan aktivitas akademik dari intervensi penguasa dan meningkatkan kreativitas, penelitian dan pengabdian. Namun sampai saat ini, kita dihadapkan dengan puluhan ribu lulusan dari berbagai universitas setiap tahunnya akan tetapi permasalahan bangsa semakin banyak dan kompleks. Sementara disisi lain kita dipertontonkan dengan para intelektual yang justru mengabdi pada proyek- proyek yang mengancam kehidupan rakyat.

Melihat problem tersebut, MAP Corner-Klub MKP pada 08 Mei 2017 menyelenggarakan diskusi dengan tema “ Pusaran Liberalisasi Pendidikan dan Peran Intelektual”. Diskusi yang diadakan di Lobby MAP UGM dipantik oleh P.M. Laksono, salah satu guru besar di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Diskusi ini mencoba membedah bagaimana kondisi pendidikan Indonesia dengan adanya liberalisasi pendidikan dan kecenderungan keberpihakan intelektual.

Saat ini pendidikan menjadi barang mewah yang harus dibeli dengan harga yang mahal. Hanya orang-orang kaya yang bisa menikmati pendidikan di perguruan tinggi. Pendidikan juga menjadi perwujudan manifestasi segregasi kelas di masyarakat. Kaum miskin yang beruntung bisa mengakses pendidikan, alih-alih berjuang untuk pendidikan yang murah, setara, dan bervisi kerakyatan, mereka cenderung bercita-cita menjadi orang kaya dengan segala keistimewaan yang ada. Pendidikan formal selain sebagai ruang idiologisasi, juga sebagai arena upaya naik kelas dari masyarakat kelas bawah.

Kapitalisme-neoliberalistik menjadi akar dari bangunan pendidikan di Indonesia saat ini. Proses liberalisasi pendidikan, telah membuat semua perguruan tinggi harus mampu membiayai dirinya sendiri. Dengan adanya kebijakan seperti itu membuat birokrat pendidikan semakin aktif dalam mengumpulkan dana untuk keberlanjutan sekolahnya masing-masing. Peserta didik dibagi dalam kelas-kelas berdasarkan tingkat isi dompetnya. Sehingga tidak mengherankan di pendidikan menengah ke bawah, muncul segregasi antara sekolah bertaraf internasional yang diisi orang-orang kaya, bertaraf nasional yang diisi kelas menangah, dan bertaraf asal-asalan di mana orang-orang kelas bawah mencari ilmu di dalamnya.

Proses di atas menghasilkan kaum intelektual yang mengabdi pada siapa yang membayar. Itu karena pendidikan tidak lagi mengajarkan manusia untuk merdeka, namun mengarahkannya menjadi sekrup-sekrup sistem kapitalisme-neoliberalistik sekarang. Istilah melacurkan keilmuan pada korporasi, jamak kita saksikan terutama kampus-kampus yang sekarang berlomba membangun gedung-gedung mewah. Dosen-dosen cenderung melakukan penelitian atas permintaan para cukong dan hasil penelitiannya diarahkan untuk kepentingan pemberi dana. Para intelektual jebolah universitas ternama menjadi bagian dari sistem korup nan manipulatif di urat nadi pemerintahan. Akan tetapi tidak semua intelektual seperti itu, mereka yang keluar dari arena kemapanan dan melawan sistem yang tidak adil ini juga semakin terus membesar.

Diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM pada 08 Mei 2017 dengan Tema “Pusaran Liberalisasi Pendidikan dan Peran Intelektual”

Dalam diskusi yang dilaksanakan oleh MAP Corner-Klub MKP tanggal 8 Mei 2017 itu, Guru Besar Fakalutas Ilmu Budaya PM. Laksono membenarkan bahwa saat ini kita berada dalam pusaran liberalisasi pendidikan. Akan tetapi P.M. Laksono lebih memaknai liberalisasi sebagai kebebasan untuk bertanya dan kebebasan untuk membangun argument yang disampaikan melalui retorika yang baik.

Dalam diskusi itu PM. Laksono juga mengkritisi tentang model pendidikan kita saat ini. Pendidikan kita sejak awal diformat untuk terspesialisasi sehingga para pembelajar sulit untuk belajar secara holistik. Pemikiran mereka terkerangkeng didalam perspektif ilmunya masing-masing. Mereka tidak melakukan diskusi lintas pengetahuan dan ilmu, sehingga suatu permasalahan jarang yang diselesaikan dengan mempertimbangkan analisis dari segala aspek keilmuan yang berbeda. Kekurangan yang lain dalam dunia pendidikan kita hari ini adalah kemampuan peserta didik dalam membangun pertanyaan masih rendah dan juga masih lemah dalam kemampuan membangun issue.

Saat ini dunia pendidikan kita berada dalam pusaran pendidikan yang latah. Semua yang dianggap baik harus berasal dari luar negeri atau berbau-bau asing. Dalam membuat sebuah rujukan ketika menulis pastilah selalu merujuk pada peneliti-peneliti asing yang konteks mereka jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Dengan mengutip peneliti indonesianis tersebut dinilai lebih membuat tulisan menjadi “wah”, dibanding dengan para peneliti lokal.

Dalam UU No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Namun apa yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah dengan mengeluarkan UU pendidikan tinggi yang mengatur tentang otonomi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) seakan lepas tangan terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dengan melakukan liberalisasi dunia pendidikan. Dengan adanya otonomi yang seluas-luasnya yang diberikan pada perguruan tinggi maka PT akan secara mandiri dapat mengatur tentang finansial dan akademisnya. Dari sisi finansial PT diperbolehkan menghimpun dana untuk kepentingan operasional dan pemenuhan kebutuhan infrastruktur kampus.

Bahkan yang lebih parah lagi dunia pendidikan kita saat ini telah menjadi pasar. Para akademisi kampus justru banyak yang menggadaikan ilmunya untuk kepentinga-kepentingan korporasi. Hal ini jelas hanya menguntungkan korporasi dan menjustifiksi proses akumulasi keuntungan secara besar-besaran. Beberapa kasus yang dapat di jadikan contoh bahwa begitu rentannya para akademisi dibeli oleh korporasi. Seperti kasus pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, pembangunan bandara NYIA, dan upaya penambangan pasir besi di Kulonprogo . Mungkin masih melekat diingatan kita ketika dua akademisi UGM digrudug oleh para petani Pegungungan Kendeng karena memberi keterangan tanpa berdasarkan penelitian yang jelas di PTUN Semarang yang cenderung mendukung ekspansi PT Semen Indonesia di Rembang.

Lalu bagaimana cara menyelesaikan masalah pendidikan kita hari ini. Menurut P.M Laksono salah satunya dengan mengembalikan marwah pendidikan menjadi sebagaimana menurut Ki Hajar Dewantara yaitu menerapkan pendidikan atas dasar nilai kemerdekaan. Itu mengapa Ki Hajar menamakan pendidikan yang digagasnya sebagai “taman siswa” dibanding menamainya sebagai “sekolah”. Taman menunjukan tempat orang mencari kedamaian, ketenteraman, hakikat, dan tidak jarang untuk arena bermain. Pendidikan harus menjadi nilai yang membawa masyarakat mengerti tentang hidup dan jalan terbaik yang akan ditempuhnya. Dan itu tidak akan pernah terjadi selama kerangkeng kapitalisme-neoliberalistik masih memenjara pendidikan kita.

Leave a Reply