Seabad Revolusi Rusia dan Pelajaran Bagi Indonesia

Memahami revolusi Rusia tahun 1917, perlu didasari dengan pemahaman historis tentang Rusia. Negara otoritarian yang lahir dari sistem feodalisme dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan raja, membawa konsekuensi bagi praktek kesewenang-wenangan. Keadaan itu memiliki potensi besar dalam memicu penderitaan dan penindasan bagi masyarakat kelas bawah. Raja atau Kaisar (dalam konteks Rusia) memiliki kekuatan besar yang tanpa kontrol atau dari tidak adanya mekanisme pertanggungjawaban kepada rakyat.

Pemerintahan kekaisaran Tsar Rusia sudah represif kepada rakyat sejak awal berdiri, begitu ungkap Ignatius Mahendra atau yang akrab dipanggil Mahe ketika memantik diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM. Sifat represif itu salah satunya lahir dari upaya Rusia untuk mempertahankan kekuasaan dari serangan negara sekitar seperti Jerman dan Turki. Rusia berupaya membangun pemerintahan yang kuat untuk mengantisipasi serangan dari luar. Namun muncul efek samping yang dominan berupa sifat represif kepada rakyatnya. Hal ini yang kemudian memicu munculnya berbagai perlawanan bahkan pemberontakan. Sebab Negara represif cenderung akan merampas hak–hak sosial rakyatnya. (Dapat dibaca dalam buku Why Man Rebel?)

Momentum awal revolusi sebenarnya dimulai saat pemberontakan 1905. Pada masa itu muncul apa yang dinamakan “Soviet”(dewan), sebagai embrio revolusi. Embrio yang berasal dari komite pemogokan di pabrik ini kemudian mulai memikirkan bagaimana “cara menjalankan pemerintahan di kota–kota besar Rusia”. Namun, pemberontakan ini gagal. Pada tahun 1905 hingga 1912 menjadi periode dimana gerakan kiri di Rusia mengalami penurunan karena mendapat represi besar-besaran dari Tsar Nicholas II. Pasca 1912 gerakan kiri mulai kembali mengemuka, salah satu tandanya adalah adanya demonstrasi yang dilakukan oleh para buruh tambang. Namun gerakan buruh kembali terhenti akibat meletusnya Perang Dunia 1 (PD) dimana orientasi perlawanan yang semula kepada Tsar dialihkan terhadap Jerman.

Pada PD I pun diikuti perpecahan aliansi gerakan kiri di Eropa karena perbedaan pandangan menyikapi terjadinya perang. Partasi Sosialis Demokrat Jerman mendukung partai kiri lain untuk mendorong negaranya ikut perang, sedangkan Bolshevik dan Lenin ingin merubah semangat perang antar negara menjadi perang melawan kaum borjuasi dan feodal yang berkuasa di masing-masing negara.

PD I kemudian menciptakan kondisi krisis di Rusia, seperti krisis pangan, upah buruh yang rendah, dan mahalnya harga kebutuhan pokok. Kondisi ini kemudian meletuskan revolusi pertama yang terjadi di bulan Februari (bertepatan dengan Internasional Womens Day sesuai penanggalan sekarang), dimana buruh perempuan turun ke jalan menuntut pangan, perdamaian, dan kebebasan. Tsar kemudian melakukan represi besar–besaran terhadap mereka yang menggelar unjuk rasa. Namun ternyata kekuasaanya dalam kondisi yang goyah karena krisis berkepanjangan, Sehingga tentara yang diutus melakukan represi justru bergabung dengan massa melakukan aksi. Perjuangan ini kemudian memperoleh hasil dengan tumbangnya kekuasaan Tsar dihari ke-enam. Pasca tumbangnya Tsar, kemudian munculah pemerintahan sementara dan dibarengi dengan “Soviet” embrio dari pemberontakan 1905. Kondisi ini kemudian disebut sebagai kekuasaan ganda. Terdapat 4 partai dalam pemerintahan sementara dan soviet, Kadet (Constitusional Democratic Party) partai kaum borjuis, SR (Socialist Revolusioner) mengklaim mewakili kepentingan kaum tani, Menshevik dan Bholshevik yang mengklaim mewakili kepentingan kaum buruh. Perbedaan dari Menshevik dengan Bholsevik adalah strategi untuk mencapai revolusi demokratik.

Kadet, SR dan Menshevik memegang kekuasaan dengan masuk dalam pemerintahan sementara dan soviet, sedangkan Bolshevik sendiri yang berada di luar kekuasaan. Ternyata pemerintahan sementara masih melanjutkan perang sehingga bulan April 1917 kembali lagi terjadi demo. Cara untuk meredam demo itu adalah dengan meletakan orang–orang dari SR dan Menshevik dalam posisi menteri yang langsung berhubungan dengan rakyat. Seperti Alexander Kerensky yang berasal dari partai kiri Menshelvik, menjadi  menteri peperangan. Strategi ini kemudian menghadapkan orang kiri yang ada di pemerintahan langsung dengan tuntutan rakyat, padahal rakyat menginginkan berhenti perang dan redistribusi tanah. Namun, hal tersebut ternyata juga tidak diakomodasi oleh orang kiri seperti Kerensky yang ada di pemerintahan. Hal ini kemudian memunculkan penilaian dari rakyat, apakah perwakilan mereka dari SR dan Menhevik benar–benar mewakili kepentingan mereka. Periode Februari hingga Oktober tahun 1917 menjadi waktu belajar bagi rakyat untuk menentukan partai mana yang benar–benar dapat dipercaya dan Bholshevik menjadi jawaban dari kondisi ini, ungkap Mahe. Sehingga pada bulan Oktober mampu memimpin rakyat untuk melakukan revolusi kedua.

Menurut Mahe yang merupakan aktivis Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO PRP) sebagai pemantik pertama, yang perlu diingat dari revolusi ini adalah terakomodasinya kepentingan rakyat. Diantaranya adalah perempuan mendapatkan hak pilih, hak demokrasi bagi setiap bangsa di Rusia untuk menentukan sendiri nasibnya. Poin paling penting adalah terealisasinya jaminan sosial berupa pendidikan dan kesehatan gratis bagi rakyat.

Menterjemahkan Thesis Marx

Terdapat perdebatan menarik dalam revolusi Rusia ini mengenai kaitanya dengan tesis marx tentang tahapan mencapai masyarakat tanpa kelas. Hal ini diungkapkan penanya pertama Adi dari Makasar bahwa apakah revolusi Bolshevik ini sesuai dengan tahapan impian Marx.  Budi Winarno yang merupakan Guru Besar Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (HI UGM) sebabagi pemantik kedua menyampaikan bahwa Vladimir Lenin merupakan sosok pemikir dan ahli strategis yang memahami bahwa kondisi Rusia berbeda dengan kondisi Jerman. Tahapan yang diciptakan Marx mengacu pada kondisi Jerman yang sudah menjadi negara Industri matang, sehingga berbeda dengan Rusia yang masih jauh tertinggal. Menurut Budi, kemampuan Lenin membaca kondisi dan menterjemahkan teori Marx mendorongnya membuat keputusan untuk melakukan lompatan melewati tahap kapitalisme, dari tahap feodalisme menuju revolusi sosialis.

Namun, hal ini tidak sepenuhnya dapat dianggap sebagai lompatan, Mahe menitik beratkan pada revolusi demokratik. Dimana Revolusi demokratik ini sebenarnya telah menyelesaikan tugas–tugas revolusi borjuasi yang terjadi pada tahap kapitalisme.  Sehingga revolusi Rusia bukan sekedar lompatan akan tetapi menjadi sebuah rangkaian revolusi demokratik menuju revolusi sosialis tanpa terinterupsi. Hal ini karena kita dapat melihat pada politik riil bahwa ketika kekuasaan harus diserahkan kepada kelas borjuasi untuk menciptakan kapitalisme yang matang dulu baru sosilisme, yang terjadi justru pembantaian. “Tidak perlu jauh–jauh kita dapat mempelajarinya dari peristiwa 1965, dimana ketika sebuah kekuatan politk kelas borjuasi berkuasa, yang terjadi adalah pembantaian masal terhadap kekuatan politik lain dalam hal ini Partai Komunis Indonesia yang berasal dari kelas proletar” ungkap Mahe.

Seabad Revolusi Rusia dan Pembelajaran Bagi Indonesia

Belajar dari revolusi di Rusia kemudian bagaimana kita mengaplikasikanya di Indonesia?, hal ini kemudian menjadi bahasan menarik yang diatanyakan oleh salah satu peserta dari Magister Administrasi Publik. Menyambung bahasan sebelumnya bahwa gerakan kiri di Indonesia masih terbilang muda, setelah kurang lebih 32 tahun dicoba lenyapkan di bawah kekuasaan Soeharto melalui cara tidak manusiawi. Pasca reformasi mulai ada kembali ruang terbuka untuk tradisi kiri seperti gerakan massa, pengorganisasian, dan berpolitik, tapi tidak dengan ideologinya yang masih dibelenggu dengan TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Sehingga tugas bagi gerakan kiri di Indonesia saat ini adalah berbicara mengenai Ideologinya, karena perubahan besar berawal dari gerakan massa yang besar dan cita – cita besar yang segalanya berasal dari idologi ini.

Indonesia kini berada di tengah arus besar idiologi mainstream neoliberalisme menurut Budi. Sehingga apa yang bisa dilakukan adalah tetap survive, karena ideologi manstream ini merupakan predator bagi yang lemah. Fakta empirisnya bahwa 49% kekayaan di Indoenesia dapat dikuasai 1% orang terkaya[1]. Mahe membenarkan bahwa fakta ini juga terjadi di ranah internasional di mana 89% kekayaan di dunia hanya dikuasai oleh segelintir orang[2]. Apakah bagi kita yang masih dapat berpikir jernih dan memiliki rasa kemanusiaan, kondisi ini menjadi fakta yang baik-baik saja? apakah wajar bila ada yang menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk makan satu hari sedangkan di tempat lain masih banyak orang yang mengais-ngais sampah untuk mencari makanan? dan apakah tidak pernah timbul pertanyaan apakah yang menyebabkan kondisi ini?.

Jawaban utamanya adalah struktur ekonomi politik kapitalisme. Struktur juga ada di Indonesia ini dapat diibaratkan sebagai Tsar yang harus ditumbangkan melalui sebuah revolusi. Kondisi ketimpangan ekstrim, seperti pesan yang sampaikan oleh pak Budi di akhir diskusi, bahwa “politik redistribusi dapat dicapai dengan kekuatan dari bawah. Artinya gerakan masyarakat bawah ini menjadi penting dalam iklim demokrasi, bahkan di negara dengan sistem sosialis sekalipun”.

 

[1] http://bisnis.liputan6.com/read/2665820/49-persen-kekayaan-indonesia-hanya-dikuasai-segelintir-orang

[2] http://bisnis.liputan6.com/read/2659532/89-persen-kekayaan-dunia-hanya-dikuasai-segelintir-orang

Leave a Reply