Mengurai Konflik Tambang Pasir Besi Kulon Progo

Pada 9 Juli, ribuan petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) berdemonstrasi di depan gedung DPRD Provinsi DIY. Dalam aksi tersebut, massa yang berasal dari Desa Banaran, Karang Sewu, Bugel, Pleret, Garongan dan Karangwuni menuntut dewan untuk mendesak pemerintah dalam mengeluarkan sertifikat lahan pertanian mereka.

Demonstrasi menuntut disertifikatinya lahan pertanian milik petani PPLP merupakan lanjutan dari konflik penambangan pasir besi di sepanjang pesisir Kabupaten Kulon Progo. Di satu pihak, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo bersama Kasultanan Ngayogyakarta, Kadipaten Paku Alam dan PT Jogja Magasa Iron (JMI) berniat melakukan penambangan di lokasi tersebut. Sedangkan di pihak lain, ribuan petani yang hidup dan bercocok tanam di sepanjang pesisir menentang rencana tersebut. Pertentangan pendapat lalu mengerucut, salah satunya pada isu kepemilikan lahan. Paku Alam bersama Kasultanan Ngayogyakarta mengklaim kepemilikannya atas dasar kultural, sedangkan masyarakat UU PA.

Konflik penambangan pasir besi di sepanjang pesisir Kabupaten Kulon Progo sampai saat ini belum menunjukkan titik terang meski sudah berjalan cukup lama dan menimbulkan kerugian cukup besar. Sejak tahun 2008, sudah berkali-kali petani PPLP berdemonstrasi di berbagai tempat, beberapa diantaranya Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo, Polres Kabupaten Kulon Progo, hingga UGM. Sepanjang itu pula, petani PPLP menerima intimidasi dari berbagai pihak, baik institusi formal ataupun informal. Sedangkan di sisi lain, perusakan aset PT JMI di lokasi proyek percontohan dan tindak kekerasan terhadap akademisi salah satu institusi perguruan tinggi di Yogyakarta pernah dilakukan petani PPLP. Bahkan, konflik yang semula vertikal kini berangsur melebar menjadi horizontal. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa semakin lama konflik tambang pasir besi Kulon Progo semakin banyak menimbulkan kerugian.

Isu di atas mendorong MAP Corner-MKP Club mendiskusikannya pada diskusi pekanan selasa sore. Dengan mengangkat judul “Mengurai Konflik Tambang Pasir Besi Kulon Progo”, MAP Corner-MKP Club mengundang Widodo dan A.N Luthfi sebagai pemantik. Disebabkan isu sudah lama bergulir dan dikenal oleh di kalangan aktivis, maka meski dalam masa libur kuliah, diskusi MAP Corner-MKP Club kali ini tetap dipadati peserta.

Muasal Penolakan PPLP

Widodo, petani cabe asal Desa Garongan yang kerap menjadi Korlap demonstrasi, menjelaskan muasal terjadinya konflik tambang pasir besi di pesisir Kabupaten Kulon Progo. Awalnya, pesisir merupakan wilayah gersang yang tidak bernilai ekonomi apapun. Menurutnya, “…dulu sudah digarap nenek moyang kami.. tapi masih bernilai ekonomi rendah… “. Awal tahun 1980an salah seorang pemuda mereka mulai mencoba bercocok tanam. Kegiatan mencoba bercocok tanam di atas lahan pasir berkembang pesat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas, perkembangan teknik pengairan dan pemupukan membuat hasil panen cabe, melon dan semangka semakin baik dan banyak. Bersamaan dengan itu pula, jumlah masyarakat yang ikut bercocok tanam bertambah pula. Puncaknya, awal tahun 2003 terjadi pertanian masif di pesisir Kabupaten Kulon Progo. Lahan pasir di pesisir Kabupaten Kulon Progo berubah menjadi lahan pertanian yang subur.

Pada tahun 2005, masyarakat mendengar adanya rencana penambangan pasir besi di pesisir oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo. Karena kejelasan informasi tersebut belum didapat, maka masyarakat tidak menanggapi serius isu tersebut. Isu penambangan kembali menguat pada tahun 2006. Bahkan, penambangan akan dilakukan segera oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo tanpa adanya transparansi dan partisipasi masyarakat terdampak. Karena itu, rencana penambangan tersebut segera mendapat penolakan.

Ada beberapa hal yang membuat PPLP menilai kebijakan penambangan pasir besi bermasalah. Dari segi legalitas, pembuatan kebijakan penambangan pasir besi di pesisir selatan Kulon Progo sudah menyalahi prosedur baku. Pada awalnya, dokumen RT/RW tidak menyebutkan adanya areal penambangan di wilayah pesisir Kabupaten Kulon Progo. Tetapi setelah pada tahun 2006 Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo dan PT JMI menandatangani kontrak karya, klausul bahwa “wilayah selatan pesisir Kulon Progo adalah areal penambangan” baru dicantumkan di dalam dokumen RT/RW. Kebijakan penambangan pasir besi semakin bermasalah ketika pihak Pemerintah Kabuaten Kulon Progo baru akan membuat dokumen AMDAL. Ini semua telah membalik prosedur baku kebijakan perundang-undangan. Seharusnya, pemerintah membuat dokumen AMDAL terlebih dahulu. Dokumen ini kemudian menjadi landasan dibuatnya klausul “wilayah pesisir selatan Kabupaten Kulon Progo merupakan areal penambangan”. Jika ini sudah dilakukan, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo baru mencari investor. Prosedur kebijakan yang bertentangan dengan kebakuan ini membuat produk kebijakan yang ada tidak legitimate.

“Dari segi legalitas, pembuatan kebijakan penambangan pasir besi di pesisir selatan Kulon Progo sudah menyalahi prosedur baku… Hal lain yang membuat PPLP menolak rencana penambangan pasir besi adalah aspek identitas. Petani pesisir yang tergabung di dalam PPLP menyadari bahwa dirinya ditakdirkan untuk menjadi seorang petani sehingga sangat menyintai pekerjaan bertani”.

Hal lain yang membuat PPLP menolak rencana penambangan pasir besi adalah aspek identitas. Petani pesisir yang tergabung di dalam PPLP menyadari bahwa dirinya ditakdirkan untuk menjadi seorang petani sehingga sangat menyintai pekerjaan bertani, “..dan kami tidak mau dibeli, kecintaan kami itu dengan kehidupan petani..”. Filosofi kehidupan sehari-hari yang dimiliki masyarakat PPLP cukup sederhana, “… bagaimana tanamanku bisa menghidupiku, dan aku bisa menghidupi tanamanku …”. Menjadikan wilayah pesisir sebagai areal penambangan sama artinya dengan menyiksa petani pesisir dengan memaksanya menjadi buruh.

Tidak diakomodasinya tuntutan yang ada membuat petani PPLP melakukan sejumlah perlawanan, satu diantaranya dengan menggugat kepemilikan lahan oleh Kadipaten Paku Alam. Petani mengklaim lahan pesisir sebagai tanah tidak bertuan. Berdasar pada UU PA, pihak yang sudah menggarap tanah tidak bertuan lebih dari 20 tahun akan memiliki hak khusus terhadap tanah garapannya tersebut, yaitu minimal hak garap dan maksimal hak milik. Atas dasar ini, lahan pasir yang sudah digarap lebih dari 20 tahun dapat diklaim sebagai milik petani. Kendati begitu, hingga saat ini argumen tersebut belum mampu memenangkan petani karena terganjal upaya sertifikasi tanah.

Konfigurasi Pasca RUUK DIY

A.N Luthfi, staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, memberi pandangan dari sisi yang berbeda. Pasca diselesaikannya ‘sengketa’ pusat-DIY terkait Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY, situasi pertarungan aras lokal mengalami perubahan. Untuk itu, strategi perjuangan menolak penambangan pasir besi hendaknya juga menyesuaikan.

Pasca pertemuan singkat dengan anggota DPR RI yang sedang berkunjung ke DIY, Luthfi menangkap ada relasi kuat antara RUUK DIY dan status kepemilikan tanah di pesisir oleh pihak Kadipaten Paku Alam. Dalam UUK DIY, Sultan dan Paku Alam otomatis menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY yang diangkat oleh Presiden setiap 5 tahun sekali. Hal ini diartikan ‘lebih’ oleh DPR RI dengan mengasumsikan semua aset di DIY secara otomatis pula berada dalam pengelolaan Kasultanan Ngayogyakarta dan Paku Alam, termasuk di dalamnya lahan di pesisir selatan Kulon Progo.

Bagi Luthfi, kondisi ini justru menguntungkan petani PPLP. Riset penerapan UU PA yang sejak lama dilakukannya bermuara pada sebuah kesimpulan: pengelolaan tanah di DIY diatur berdasarkan UU PA, bukan hukum perundangan Mataram. Ada sejumlah kliping surat kabar era HB IX yang memberitakan bahwa DIY pada masa itu tidak lagi mengacu pada perundang-undangan kerajaan Mataram dalam mengatur pengelolaan tanah. Artinya, klaim kepemilikan lahan pasir di pesisir selatan Kulon Progo oleh pihak Paku Alam dan Kasultanan Ngayogyakarta secara kultural saat ini terbantahkan.

“Riset penerapan UU PA yang sejak lama dilakukannya bermuara pada sebuah kesimpulan: pengelolaan tanah di DIY diatur berdasarkan UU PA, bukan hukum perundangan Mataram. Ada sejumlah kliping surat kabar era HB IX yang memberitakan bahwa DIY pada masa itu tidak lagi mengacu pada perundang-undangan kerajaan Mataram dalam mengatur pengelolaan tanah. Artinya, klaim kepemilikan lahan pasir di pesisir selatan Kulon Progo oleh pihak Paku Alam dan Kasultanan Ngayogyakarta secara kultural saat ini terbantahkan”.

Akan tetapi, arah isu pengelolaan aset tanah di DIY mengalami perubahan. Informasi terakhir yang didapat Luthfi justru menyatakan, tanah adalah aset yang pengelolaannya dikeluarkan dari UUK DIY dan akan diatur melalui peraturan tersendiri. Bagaimanapun bentuk peraturan tersebut, besar kemungkinan akan menguntungkan pihak Paku Alam dan Kasultanan Ngayogyakarta. Artinya, hambatan yang dihadapi dalam perjuangan menentang penambangan pasir besi di Kulon Progo semakin sulit.

Berhubung situasi ini, Lutfi mencoba membongkar dan menawarkan argumen baru bagi petani PPLP. Luthfi mengkritik argumen legalitas yang selama ini digunakan petani PPLP. Walau bagaimanapun, argumen kepemilikan sertifikat akan menyebabkan gesekan antara petani yang sudah memilik sertifikat dengan yang belum bersertifikat. Selain itu, Luthfi mendorong petani PPLP untuk menggunakan argumen terbalik. Jika selama ini petani dituntut untuk menunjukkan bukti kepemilikan lahan, maka sekarang petani yang menuntut Paku Alam dan Kasultanan Ngayogyakarta menunjukkan bukti tersebut. Luthfi memperkirakan, bukti kepemilikan Paku Alam dan Kasultanan bersifat kultural, yakni perjanjian Giyanti. Klaim kultural seperti itu sangat lemah di hadapan hukum formal. Terakhir, Luthfi mendorong petani PPLP untuk berani membuat kajian perbandingan antara pertanian dengan pertambangan. Berapa ribu jiwa yang bekerja sebagai petani, berapa ribu jiwa yang bekerja tidak langsung dari aktivitas pertanian, ke mana nilai ekonomi tersebut mengalir, berapa sumbangan yang diberikan untuk APBD, dan hal lainnya. Temuan tersebut kemudian dibandingkan dengan aktivitas pernambangan. Adanya data yang jelas dan valid akan mampu memperkuat perjuangan masyarakat petani PPLP.

Penguatan Perlawanan

Hadirnya beragam aktivis, baik dari gerakan mahasiswa maupun sosial, membuat sesi tanya jawab sedikit berbeda dibanding sebelumnya. Terdapat peserta yang berbagi pengalaman akan sebuah keanehan ketika mendampingi petani di wilayah Sumatera. Biasanya, para petani sangat tahan dengan kekerasan, namun lemah terhadap ekonomi. Ada banyak kasus dimana petani berhasil merebut lahannya meski diintimidasi. Namun setelah direbut, para petani tidak tahu akan berbuat apa terhadap lahan yang ada. Keterdesakan ekonomi lalu membuat surat kepemilikan lahan beralih pada bank. Bank kemudian menjual surat tanah tersebut pada pihak yang dulunya dikalahkan petani. Artinya, ketiadaan rencana pasca merebut lahan akan membuat kemenangan petani bersifat sementara.

Hal menarik terakhir adalah ketika Widodo menggugat akademisi, terutama mahasiswa, yang melakukan penelitian di pesisir. Menurut Widodo:

“… Aku kira, kalian yang meneliti di sini untuk apa..!? Pernah gak terpikir, setelah penelitian ini, yang dulu aku teliti itu nasibnya bagaimana ya..!? Pernah gak berkumpul, kemudian menyatakan: kami peneliti di Kulon Progo, menolak penambangan pasir besi..!? Coba, sekarang saya ingin mendengarnya.. Entah sudah berapa mahasiswa yang kami wisuda..”

Pertanyaan retoris Widodo mendinamisasi peserta diskusi. Atas jawaban yang diminta Widodo, peserta diskusi yang mayoritas akademisi coba menjelaskan arti penting mengangkat isu tambang di pesisir Kulon Progo menjadi sebuah kajian riset. Aktivitas penelitian memiliki corak gerakan yang berbeda dengan yang biasa dan diharapkan petani. Jika petani PPLP selama ini menggunakan aksi fisik, maka yang dilakukan akademisi adalah mencoba memahami kondisi intrinsik masyarakat untuk disebarkan ke berbagai pihak. Jika yang diharapkan oleh petani PPLP adalah tekanan langsung kepada pendukung penambangan, maka akademisi memiliki peran sebagai penyedia argumen guna menekan pihak yang dimaksud petani PPLP. Walau bagaimanapun, antara petani dan scholar activist memiliki satu kesamaan dan perbedaan. Keduanya sama-sama memiliki tujuan penyejahteraan rakyat, namun berbeda dalam hal jalan yang ditempuh.

Pada akhirnya, harus disadari bahwa perjuangan petani PPLP dalam membatalkan rencana penambangan pasir besi di pesisir Kabupaten Kulon Progo masih panjang dan semakin berat. Meski demikian, para aktivis gerakan maupun scholar activist memiliki energi besar yang bisa digunakan guna mendukung perjuangan tersebut.

Oleh: Yuli Isnadi

Leave a Reply