Kontestasi Relasi Desa-Negara Dalam RUU Desa

Rangkaian diskusi seri identitas desa nusantara akhirnya ditutup pada tanggal 29 November 2011 dengan membahas kontestasi relasi desa vis a vis Negara dalam RUU Desa. Setelah dua seri sebelumnya mendiskusikan asal-usul desa dan isu otonomi vs intervensi dalam tata pemerintahan desa, seri ketiga sekaligus penutup mencoba memahami permasalahan pengelolaan desa kontemporer yang tertuang dalam RUU Desa. RUU Desa baru—yang sudah masuk dalam program legislasi nasional untuk tahun 2009-2014 memang menjadi ajang pertarungan terbaru desa – Negara.

Sejak awal, kelompok-kelompok kepentingan telah mulai melakukan gerakan untuk mencapai tujuan masing-masing. Salah satu yang menonjol adalah Persatuan Rakyat Desa (Parade) Nusantara. Sepanjang tahun 2010 hingga saat ini, sudah tercatat Parade Nusantara melakukan unjuk rasa yang melibatkan ratusan hingga ribuan massa baik di daerah maupun di pusat. Salah satunya unjuk rasa pada tanggal 22 Februari 2010. Parade Nusantara menuntut pengesahan RUU Desa yang pada tahun 2010 hingga kini pun ternyata belum menjadi prioritas legislatif. Tak hanya kegiatan unjuk rasa namun juga kegiatan advokasi hingga hearing dengan komisi II DPR pun dilakukan demi tersahkannya RUU Desa ini. Lantas apa sesungguhnya yang dipertarungkan dalam pembahasan RUU Desa? Isu apa saja yang akan menjadi lahan perdebatan? Inilah pertanyaan yang menjadi pangkal diskusi MAP Corner – Klub MKP UGM edisi penutup seri identitas desa nusantara.

Menurut Krisdyatmiko, dosen PSDK UGM yang menjadi pemantik diskusi kali ini, terdapat beberapa isu-isu kritis dalam RUU Desa. Ada tiga isu yang perlu dicermati dan menjadi akan medan pertarungan. Pertama berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan desa. Sementara isu kedua berkenaan dengan tata kelola pemerintahan desa dan isu ketiga adalah perencanaan pembangunan dan keuangan desa. Isu pertama menjadi sangat penting, sementara isu kedua dan ketiga dipengaruhi oleh isu kedudukan dan kewenangan desa.

Desa Gado-gado

Mengulang apa yang telah dibahas seri desa II sebelumnya, Krisdyatmiko menjelaskan tiga azas untuk mengatur desa. Asas pertama ialah rekognisi yang berlaku untuk komunitas adat. Jika kita mengelola desa ala masyarakat adat, maka asa rekognisi berlaku. Bahasa lainnya adalah otonomi asli atau self governing community sehingga untuk memperkuat desa, pengakuan dan dukungan dan perkuat aset dan institusi yang sudah ada sangat diperlukan tanpa membentuk lembaga-lembaga baru. Kedua, desentralisasi; desa ditempatkan sebagai daerah tingkat tiga. Kedudukan daerah tingkat tiga diperoleh dari otonomi pemerintah pusat sehingga disebut juga local self government. Sedangkan asas ketiga adalah asas delegasi dimana desa menjadi unit administrative atau local state government. Kondisi asas ketiga ini dapat dilihat dalam bentuk kelurahan-kelurahan yang ada sekarang.

Berdasarkan konteks tiga asas yang melingkupi kedudukan dan kewenangan desa di indonesia, maka desa-desa nusantara kita dapat disebut gado-gado. Bagaimana tidak? Desa-desa di jawa misalnya, mempunyai tanah bengkok dan desa mempunyai kewenangan asli untuk mengolah tanah bengkok dan sejenisnya. Sementara asas desentralisasi dilihat dari selain desa berwenang mengolah tanah bengkok, ternyata desa juga berwenang mengelola aset local, seperti pasar desa. Bahkan desa mendapat porsi anggaran dari Negara. Sedangkan asas delegasi dilihat dari kenyataan bahwa desa juga melaksanakan tugas pembantuan yaitu desa sebagai unit administratif pemerintahan atau kepanjangan tangan negara (local state government).

Isu kritis untuk UU Desa Baru

Rencana pemerintah memperbarui desa secara legal formal, memunculkan banyak pertanyaan yang merujuk pada ketegasan Negara dalam menempatkan desa dalam posisi seperti apa? Pertanyaan seperti ini menjadi penting karena akan terdapat banyak konsekuensi dari pemilihan bentuk desa nantinya. Seharusnya perlu perencanaan matang untuk penetapan desa, namun selama banyak tahun yang telah dilalui sebagai masa transisi ini belum juga menunjukkan hasil terbaiknya.

Kecenderungan perspektif “desa jawa” dan desa “luar jawa” pun turut mewarnai perancangan UU Desa: pertama, desa ditawarkan sebagai daerah tingkat tiga atau desa dikelola dengan model otonomi asli—seperti nagari di sumatera barat—dengan tidak menjalankan fungsi pemerintahan yang selama ini dilakukan desa-desa di Jawa. Kedua, kedudukan dan kewenangan desa yang diberdebatkan ini masih ditambah dengan masalah masa jabatan pejabat desa. Wacana jabatan sekretaris desa—dan/atau perangkat desa lainnya—yang ingin dijadikan jabatan PNS masih menjadi polemik. Seperti yang diperjuangkan oleh persatuan perangkat desa Indonesia (PPDI) selama ini. Jika hal tersebut benar, maka bukankah bentuk desa mengarah pada bentuk desentralisasi? Masalah ini masih belum terang, karena kalangan parade nusantara sendiri menentang wacana mem-PNS-kan perangkat desa. Pun, jika dikaitkan dengan wacana bentuk desa desentralisasi, Parade nusantara lebih cenderung memprioritaskan wacana alokasi dana desa sebagai tuntutannya. Tuntutan ini berkembang dari dana desa selama ini berasal dari sisa dana perimbangan Negara (pusat-daerah) versi PP Nomor 72 tahun 2005 sebesar 10 persen. Tuntutan dalam RUU Desa adalah 10 persen dari anggaran APBN dengan mekanisme transfer dana langsung dari pusat ke desa, seperti transfer dana anggaran pusat ke kabupaten/kota (dana alokasi umum).

Ketiga, aspek perencanaan pembangunan dan keuangan desa. Sejak diatur dalam UU NO. 25 Tahun 2004 hingga saat ini, memang desa mendapat ruang untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan baik di tingkat local maupun regional. Namun pada tataran implementasi, partisipasi desa untuk terlibat dalam perencanaan pembangunan sering kali terpangkas di tingkat kabupaten/kota. Pemangkasan aspirasi desa ini sering terjadi karena adanya konflik kepentingan yang ironisnya adalah aspirasi desa versus aspirasi Satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Biasa yang terjadi adalah aspirasi SKPD yang dimenangkan, kecuali jika aspirasi desa nyambung dengan aspirasi SKPD. Bahkan tak hanya itu, kepentingan anggota dewan pun memperkeruh keadaan, karena anggota dewan mempertahankan prioritas anggaran untuk membayar janji konstituen-konstituennya. Hal ini kemudian menjadikan semangat masyarakat desa melakukan perencanaan berkurang.

Lebih lanjut, terkait keuangan desa, selama ini berdasarkan implementasi PP Nomor 72 tahun 2005 menunjukkan alokasi dana desa bervariasi. Terdapat daerah yang menjalankan alokasi dana desa sepenuh hati dengan mekanisme block grant namun banyak juga yang separuh hati, artinya daerah (kabupaten, red) mengalokasikan dana desa tersebut secara bertahap, bahkan relative sulit untuk pencairannya. Bahkan tak jarang baru cair pada akhir tahun.

Beberapa Versi RUU Desa

Sejak digelontornya aturan desa untuk diperbaharui, banyak pihak membuat kajian Desa untuk menjadi masukan bagi RUU Desa. Setidaknya oleh Krisdyatmiko identifikasi kajian RUU Desa berasal dari Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa Departemen Dalam Negeri (Ditjen PMD) dan RUU dari Dewan Perwakilan Daerah. Sementara IRE pun juga turut berperan dalam kajian RUU Desa, Krisdyatmiko menyatakan IRE beraspirasi bahwa tiga tipe desa seperti yang telah dibahas di atas masuk dalam muatan substansi RUU. Namun desa swapraja yang dicita-citakan tersebut dimentahkan dalam perdebatan RUU Desa. Ini diakui tidak mudah diputuskan—setidaknya membutuhkan waktu 10 tahun untuk masa transisi. Menurut Krisdyatmiko, RUU Desa versi DPD lah yang paling maju karena mengakomodasi tuntutan local yang selama ini didengungkan. RUU Desa tidak dibuat dengan pengaturan seragam tentang komunitas adat (terutama) yang berada di luar Jawa. Krisdyatmiko juga menyinggung polisi desa dalam klausul RUU Desa. Yang dikuatirkan adalah dengan adanya komponen polisi masyarakat (untuk tidak menyama-artikan dengan pertahanan sipil atau HANSIP, red), maka militerisasi era orde baru terulang kembali. Mestinya kelembagaan polisi desa (jika memang benar) seharusnya diatur dalam UU Kepolisian.

Versi RUU Desa terbaru adalah RUU Desa yang dikawal oleh Parade Nusantara. Versi RUU Desa Parade Nusantara pun oleh Krisdyatmiko masih dikategorikan hampir sama dengan RUU Desa versi PMD. Bahkan, Parade Nusantara dianggap sebagai alat PMD departemen dalam negeri. Hal ini dikarenakan setiap kali Parade Nusantara berdemo, maka sebelumnya mereka (parade nusantara, red) akan berkonsultasi terlebih dahulu kepada PMD Depdagri. Ini menjadi pertanyaan tersendiri nantinya.

Lebih lanjut, Krisdyatmiko sempat menyinggung RUU Pembangunan Pedesaan (RUU Desa,red) sempat diutak-atik mengenai hal terintegrasinya atau terparsialnya pembangunan pedesaan ini. Rencana “parsial” ini mengacu pada seolah hanya “pembangunan” saja dengan alokasi dana sekian persen dari APBN yang pencairannya melalui kementerian/departemen. Persoalan ini mengerucut pada rencana pemerintah yang hanya mengalokasikan 5 % anggaran APBN untuk desa. Pertentangan pun muncul dari kementerian keuangan. Menteri keuangan sejatinya kekeh menggunakan aturan PP Nomor 72 Tahun 2005 untuk alokasi desa.

RUU Desa Belum Berujung

Semester pertama tahun 2011, angka 5 % anggaran APBN dihapus dalam draft RUU Desa (dalam hal ini, Krisdyatmiko kurang jelas memaparkan keberlanjutan anggaran desa dari APBN). Kemudian draft RUU tersebut juga sudah ditandatangani oleh dua kementerian, yaitu Kementerian dalam negeri dan kementerian hukum dan ham, kemudian diserahkan kepada sekretaris Negara untuk diproses ampres-nya (amanat presiden, red). Ironisnya September 2011 menteri dalam negeri Gamawan Fauzi tiba-tiba merevisi substansinya, seperti musyawarah desa, pengawasan BPD dan alokasi dana desa dihapus. Menurut Krisdyatmiko, menteri dalam negeri ini menginginkan desa diatur seperti bentuk nagari atau jorong. Pilihan bentuk self governing community ini membuat pertarungan RUU Desa menjadi panas kembali. Sebagai bagian dari pegiat masyarakat sipil, Krisdyatmiko mengaku belum mendapat draft resmi RUU Desa ter-update (pada saat diskusi berlangsung, red).

Terakhir, terlepas dari peliknya pertarungan untuk menggolkan versi RUU Desa mana yang akhirnya diadopsi menjadi UU, penting untuk mengakomodasi bentuk dan kewengan Desa (jawa), Lembur (Sunda) banjar (Bali), nagari (Minangkabau), Nggolok (Rote), Kuan (Timor), Wanua (Sulawesi), Huria (Mandailing), Huta ( Batak), dusun (Palembang), Gampong dan maunasah (Aceh), dan banyak lagi penyebutan desa lainnya. Pada akhirnya, apapun bentuk perundang-undangan nantinya, yang terpenting adalah bagaimana menempatkan posisi relasi desa – Negara dalam cara yang memungkinkan terwujudnya pertumbuhan masyarakat di desa bersama-sama dengan negara secara sehat dan saling mengukuhkan, bukannya saling menghancurkan.

Leave a Reply