Indonesia Bergerak II: Persoalan Kebangsaan, Kebebasan Dunia Akademik, & Pencarian Oase Perbaikan Indonesia

Minggu lalu, 17 September 2016, Komunitas Sekip MAP Corner – Klub MKP merilis buku teranyarnya “Indonesia Bergerak II: Mozaik Kebijakan Publik di Indonesia 2016” sekaligus membedahnya di Magister Administrasi Publik (MAP) Fisipol UGM. Prosesi launching buku ini secara singkat disampaikan oleh Wahyudi Kumorotomo (Direktur MAP Fisipol UGM). Setelah prosesi launching selesai, kemudian dilanjutkan acara bedah buku dengan melibatkan tiga pembedah utama, yakni; Erwan Agus Purwanto (Dekan Fisipol UGM), Arie Sujito (Dosen Fisipol UGM), dan Irwansyah (Dosen Fisipol UI). Pada acara bedah buku ini dimoderatori oleh Yuyun Purbokusumo (Direktur IGPA) untuk memimpin jalannya diskusi, yang dihadiri kurang lebih ratusan orang dari berbagai elemen masyarakat terlibat didalamnya, antara lain; Persma dari PTN/PTS Se-DIY, LSM, praktisi, akademisi, maupun dari warga.

Buku teranyar “Indonesia Bergerak II: Mozaik Kebijakan Publik di Indonesia 2016” ini merupakan buku ketiga Komunitas Sekip MAP Corner-Klub MKP sebagai kelanjutan buku terdahulunya, yakni “Indonesia Begerak” terbit Tahun 2012, dan “Mozaik Kebijakan Publik di Indonesia” terbit Tahun 2015, yang kini telah beredar. Buku-buku yang telah diterbitkan ini merupakan hasil dokumentasi dari diskusi rutin yang telah dilaksanakan setiap hari Selasa sore di pojok lobby MAP Fisipol UGM.

Komunitas Sekip MAP Corner – Klub MKP UGM, terbentuk sejak tahun 2011 dan bernaung dibawah program kerja IGPA, MAP Fisipol UGM. Agus Erwan Purwanto dan Agus Pramusintho menjadi pengagas ide komunitas diskusi kecil ini agar dapat menjadi jembatan para anak muda/mahasiswa dan mendorong energi kreatif mereka. Melalui kegiatan mendiskusikan persoalan komplek yang dihadapi bangsa, diharapkan akan muncul gerakan mahasiswa dan mampu melakukan perubahan berkualitas.. Komunitas diskusi ini mengusung idealisme membangun iklim berfikir kritis bagi para mahasiswa. Hingga September 2016, lebih dari 200 kali diskusi rutin telah dijalankan dan menghasilkan tiga buku, seperti yang diungkapkan di atas.

MAP Corner-Klub MKP UGM ini menekankan pada pendiskusian isu-isu sensitif dan dianggap tabu dimasyarakat. Itu terjadi karena adanya konglomerasi media yang atas kepentingan kelompok tertentu, telah sengaja menutupi, membelokkan fakta, bukti, dan kebenaran suatu informasi. Juga terkait persoalan ketimpangan, seperti pada aspek; sosial, hukum, budaya, ekonomi, dan politik. Begitu pula, berbagai kebijakan ditetapkan namun yang dilaksanakan justru kian bias dan belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Terlebih, Negara yang harusnya hadir untuk memberikan, menjamin pelayanan publik berkualitas, serta melindungi hak warga negara, justru acap kali Pemerintah lalai dan sengaja absen disetiap sendinya. Dilatarbelakangi persoalan tersebutlah, komunitas Sekip MAP Corner – Klub MKP Fisipol UGM mencoba mengulas, mengungkap, membahas secara lebih kritis, cermat, dan mendalam terhadap isu-isu sensitif tersebut.

Sebelum memulai bedah buku, Agus Erwan P terlebih dahulu juga menjelaskan bahwa Perguruan Tinggi sebagai lingkungan akademik merupakan tempat dimana produksi pengetahuan wajib dilakukan. Selama komunitas diskusi kecil ini dilaksanakan, tidak sedikit berbagai tekanan dari oknum-oknum tertentu untuk membubarkan jalannya diskusi menjadi keprihatinan yang mendalam bagi dunia akademik.

“Kalau masa Orde Baru, diskusi semacam ini dibubarkan ya wajar, tapi di kalau zaman reformasi dan demokrasi sekarang ini kalau masih ada tindakan-tindakan semacam itu, kalau kita pikir justru menjadi fenomena keanehan yang perlu dipertanyakan kembali, mengapa segitunya ingin membubarkan dan kepentingan apa yang dibawanya?” ungkap Erwan Agus.

Lantas, ditegaskan bahwa 5 tahun ini baru awal, karena diskusi ini akan tetap ada dan harapannya akan terus hidup ratusan bahkan ribuan tahun kedepan. Pernyataan tersebut disambut riuh tawa serta tepuk tangan dari para peserta dan sekaligus membuka lebih dalam jalannya bedah buku.

Kemudian, Agus Erwan memulai dengan berargumen bahwa Pasca 1998 merupakan zaman reformasi dimana zaman otoriter ditumbangkan dan menjadi zamannya berdemokrasi. Selain itu dia juga mempertanyakan tentang apakah demokrasi yang berjalan selama ini telah berjalan dengan baik dan mampu membawa masyarakat Indonesia lebih sejahtera?. Sementara, realitas persoalan-persoalan yang muncul disekitar kita telah direkam dan dipaparkan secara gamblang pada isi buku ini. Dari membicarakan; premanisme politik, komersialisasi pendidikan, militer dinilai belum mampu mendukung demokrasi, dan topik lainnya menjadi kasuistik menarik didalamnya. Problem yang dipaparkan jelas menjadi PR kita bersama, demokrasi butuh prasyarat seperti kebebasan berpendapat, tanpa diskriminasi, dan akses-akses yang lainnya. Maka, jelas kita perlu terus kawal jalannya demokrasi ini untuk mencapainya, memikirkan detail sebuah cara agar menjadi lebih demokratis merupakan penekanan pentingnya.

Sedangkan Arie Sujito memulai bedah buku dengan mengutarakan keprihatinannya terhadap dunia akademis sekarang ini. Dia mengatakan bahwa “saat ini terjadi pendangkalan nalar, demokrasi telah dinilai secara subversif, meanstream, dan elitis, bahkan termonopoli untuk dicoba merepresentatifkan kepentingan banyak orang, namun sejujurnya narasi-narasi yang selema ini kalian dengar hanyalah untuk kepentingan sekelompok tertentu. Demokrasi sesungguhnya tidak bisa kelihatan, namun intelektual itu harus tetap berpikir sehat dan kritis lalu mampu menyuarakan dan menegaskan kebenarannya”. Lebih lanjut Arie mengungkapkan bahwa “Media dipolitisasi, dimonopoli yang kemudian dimanfaatkan hanya untuk mengisi demokrasi meanstream. Isu penting yang dibahas melalui topik-topik dalam buku ini sebenarnya penting tapi tidak banyak dibicarakan. Ironisnya, malah yang dibahas gosip-gosip artis yang seolah-oleh itu urusan publik. Lha podo do ngeroso ora yen negene iki?,” celetuknya membuat para peserta diskusi ketawa lepas dan memberikan tepuk tangannya.

Serius namun tetap santai begitu jalannya acara bedah dan launching buku ‘Indonesia Begerak II”. Arie Sujito kemudian menjelaskan topik-topik yang menarik dalam pembahasan buku ini. Dia menilai bahwa buku ini sangat jelas semangatnya meskipun ditengah beberapa kekurangan yang lumrah. Meskipun demikian, buku ini akan dapat memberikan wawasan baru bagi para pembacanya, mendorong mereka untuk berpikir jauh lebih kritis dan mampu merefleksikan diri mereka dengan apa yang selama ini mereka anggap baik-baik saja. Penjelasan dan pemaparan yang dituangkan disetiap topiknya adalah persoalan inti yang belum banyak dibahas dan dilakukan kebanyakan orang.


Terlebih, mahasiswa sekarang ini telah kehilangan sensitivitas untuk melihat realitas-realitas yang sedang terjadi begitu parah disekitarnya. Namun, topik-topik penting semacam ini tidak dibicarakan oleh mereka, padahal problem itu sejatinya merupakan problem publik yang harus mereka selesaikan. Pertumbuhan ekonomi bagus, tapi justru ketimpangan dan ketidakadilan banyak terjadi ditengah masyarakat kita. Pendekatan kritis jelas sangat dibutuhkan dalam demokrasi yang telah dimeanstreamingkan, subversif, dan yang sebenarnya telah dimonopoli kelompok tertentu.
Buku ini membicarakan hal yang sangat sensitif atau yang selama ini tidak banyakan orang mau membicarakan dan membahas karena dianggap tabu. Demokrasi ini semakin dirasa tidak sehat ketika diskusi-diskusi yang dilaksanakan di dunia akademis/kampus masih banyak mengalami tekanan-tekanan dan intimidasi dari kelompok-kelompok tertentu. Dunia kampus jelas bebas dari tekan-tekan semacam itu. Kalau diskusi-diskusi penting seperti ini tidak ada, padahal harusnya setiap kampus harus ada yang seperti ini. Coba, siapa yang akan menyuarakan petani-petani yang terpinggirkan?, peduli dengan persoalan mereka. Menurut Arie Sudjito dunia pengetahuan memiliki tanggungjawab besar untuk itu dan Komunitas Sekip MAP Corner – Klub MKP ternyata mampu mengisi kekosongan yang selama ini dibutuhkan. Sebab, sesuatu yang selama ini tidak nampak dan sebenarnya menjadi inti persoalan, aspek ini telah berhasil diungkapkannya.

Pelbagai persoalan muncul seperti ketidakadilan, diskriminasi, ketimpangan sosial, yang mestinya dibahas namun tidak banyak dibahas. Ranah publik semakin disamarkan, kepentingan publik dicoba untuk diprivatisasikan, terlebih masalah privat dicoba untuk direpresentatifkan kepentingan publik menjadi titik penekatanan penting dari Irwansyah. Sebab, dia menilai bahwa oligarki kini telah menjelma dalam sebuah aliansi masyarakat entah itu baik atau buruk, mereka telah beraliansi sosial dan mencoba menjarah ruang publik. Kapitalisme populer semakin berkembang, sedang terjadi-mengoperasionalkan kebijakan publik. Maka, jika anda membacanya, berbagai realitas dan persoalan muncul seperti yang coba diungkap dan dijelaskan disetiap topik dalam buku ini.

Irwansyah lebih lanjut mengungkapkan bahwa Komunitas Sekip MAP Corner – Klub MKP ini mampu memproduksi pengetahuan yang akan mengingatkan kita untuk selalu bersuara kritis, terhadap problem yang telah dikondisikan oleh kelompok kepentingan tertentu yang jelas-jelas merugiakan masyarakat banyak. Pelajaran yang tidak kalah penting bagi kampus-kampus di Indonesia adalah komunitas yang produktif dan konsisten terhadap idealisme seperti ini masih sangat jarang jumlahnya, apalagi pasca 1988. Bayangkan jika setiap kampus ada komunitas seperti ini, dokumentasi-dokumentasi yang berharga diproduksi dari diskusi, gerakan mahasiswa akan lahir dan membawa perubahan demokrasi yang lebih baik menjadi seruan bermaknanya. Hal ini sekaligus menjadi penutup sesi bedah buku “Indonesia Bergerak II: Mozaik Kebijakan Publik di Indonesia 2016”.

Leave a Reply