Hegemoni Orde Baru dan Kontestasi Politik Melalui Film

Pada pertengahan Bulan September 2017 , isu komunisme dan PKI kembali menyeruak melalui aksi pemutaran film “Pengkhianatan Gerakan 30 September” (selanjutnya disebut sebagai “G30S”) karya Arifin C. Noer. Pemutaran ini diinisiasi oleh Gatot Nurmantyo, seorang panglima TNI AD, yang menganjurkan masyarakat untuk menonton film itu agar mereka kembali mengingat peristiwa 30 September 1965. Tidak hanya itu, presiden Joko Widodo pun ikut menimpali dengan memberikan usulan agar dibuat versi “milenial” dari film tersebut supaya anak-anak muda tertarik untuk menontonnya. Seakan mendapat legitimasi politik, terdapat mobilisasi besar-besaran oleh berbagai macam organisasi kemasyarakatan, partai politik, stasiun televisi, hingga sekolahan untuk mengadakan acara nobar (nongkrong bareng) film G30S.

Pemutaran ulang film G30S tersebut pun menuai polemik yang keras. Banyak yang menentang pemutaran film tersebut dengan alasan bahwa film itu tidak cocok untuk ditonton anak di bawah umur dan/atau narasi yang diceritakan bertolak-belakang dengan fakta sejarah yang ada. Meskipun begitu, tidak banyak yang memberikan perhatian pada kekuatan politik yang bersikeras mendorong pemutaran ulang film ini. Seperti yang diketahui, banyak pemutaran film G30S yang diadakan di sekolahan dan instansi pemerintahan justru diprakarsa oleh markas TNI AD setempat. Pertanyaannya, kenapa mereka gencar sekali mengajak masyarakat untuk menonton film G30S? Apa makna dari film tersebut?

Film G30S & Hegemoni Orde Baru

Pemutaran ulang film G30S tidak bisa dilepaskan dari sisa-sisa kekuatan Orde Baru yang masih berkuasa hingga sekarang. Kekuatan politik ini yang telah berjasa dalam mempertahankan hegemoni Orde Baru yang seharusnya dimusnahkan sejak Reformasi 1998. Salah satu bentuk hegemoni tersebut adalah narasi tentang peristiwa 30 September yang diceritakan melalui film G30S. Yoseph Yapi Taum, peneliti dari Universitas Sanata Dharma, memulai diskusi MAP Corner-Klub MKP tanggal 3 September 2017 yang lalu dengan mengatakan bahwa menonton film G30S sudah merupakan sebuah national habitus. National habitus ini merupakan elemen budaya atau keseharian yang berfungsi sebagai penanda identitas kebangsaan. Bagi mereka yang hidup di bawah Orde Baru sebelumnya, identitas kebangsaan ini diwujudkan dengan menonton film G30S yang selalu diputar ulang oleh negara tiap tanggal 30 September.

Sayangnya, national habitus yang diciptakan Orde Baru dibangun di atas kebencian dan permusuhan. Peristiwa 30 September menjadi dalih untuk perebutan kekuasaan dan kekerasan (baik struktural maupun budaya) terhadap mereka yang dituduh kiri atau komunis. Seperti yang diketahui, hal yang terjadi pada 30 September-1 Oktober 1965, berakhir pada pembantaian massal dan pemusnahan gerakan kiri di tahun 1965-1966. Kekerasan tersebut dilanjutkan dengan melakukan stigmatisasi bagi mereka yang dicap komunis atau PKI dan dijadikan pembenaran bagi Orde Baru untuk melakukan apa yang disebut sebagai terorisme negara.[1]

Namun, kurang tepat dibilang bahwa hegemoni Orde Baru selalu memiliki kekuatan yang besar dan tetap sepanjang umurnya. Menurut Yoseph, tingkat hegemoni Orde Baru dapat dibagi menjadi tiga fase dengan tingkat kekuatan yang berbeda. Fase pertama dimulai sejak naiknya Orde Baru di tahun 1965 sampai tahun 1970. Fase ini menunjukkan tingkat hegemoni yang masih lemah sebab Orde Baru masih melakukan konsolidasi kekuasaan sehingga muncul beberapa perlawanan terhadap rezim yang baru berdiri.[2] Hegemoni total baru dicapai di fase kedua (tahun 1971-1980). Di fase tersebut, Orde Baru menerapkan kontrol dan konformitas politik yang sangat ketat dan represif melalui penunggalan Pancasila, penataran P4, dan aparatur represif negara seperti Kopkamtib. Konformitas politik pada periode ini sangat kuat sehingga tidak ada satupun karya seni yang muncul untuk menentang hegemoni Orde Baru. Menariknya, Yoseph menganggap bahwa fase ketiga (tahun 1981-1998) merupakan periode merosotnya hegemoni Orde Baru di masyarakat sebab perlawanan terhadap hegemoni pemerintah mulai bermunculan.[3] Namun, justru dalam periode ini hegemoni dan propaganda anti-komunis Orde Baru mulai diperkuat kembali. Selain menerbitkan buku putih yang menunggalkan versi peristiwa 30 September, pemerintah juga memberi sokongan yang sangat besar, baik secara finansial maupun secara politis, untuk produksi film G30S yang disutradarai oleh Arifin Noer. Setelah tayang, pemerintah mewajibkan semua anak sekolahan untuk menontonnya di bioskop di dan film itu terus diputar di stasiun televisi negara tiap tanggal 30 September.

Film G30S karya Arifin Noer merupakan sebuah master narrative yang menjadi penopang dari kekuasaan Orde Baru.[4] Selain karena menontonnya diwajibkan oleh negara, dampak dari narasi yang diceritakan sangat melekat bagi masyarakat karena bagi Yoseph, film tersebut berfungsi sebagai sumber dan agen sejarah. Sumber sejarah karena bagi kebanyakan masyarakat Indonesia pada masa itu, film tersebut merupakan sumber utama dan satu-satunya mengenai peristiwa 30 September 1965. Sementara itu, film G30S juga berfungsi sebagai agen sejarah karena menciptakan sebuah narasi sejarah baru. Film tersebut menceritakan versi sejarah tunggal yang dikonstruksi oleh Orde Baru mengenai peristiwa 30 September yang secara sepihak menuduh PKI sebagai dalang dibelakangnya. Tuduhan ini pun dijadikan dalih untuk menghanguskan PKI dan elemen kiri-progresif di Indonesia dalam pembantaian 1965-1966. Menurut Yoseph, alasan kenapa narasi yang diceritakan dalam film mengenai peristiwa 30 September sangat melekat pada masyarakat karena periode di tahun 1965 sampai 1967 itu sendiri merupakan “ill-understood period” dalam sejarah Indonesia. Oleh karena itu, narasi mengenai peristiwa G30S bisa sangat meresap kedalam masyarakat karena keterbatasan akses dan sumber yang komprehensif untuk masyarakat mengenai periode yang “tidak diketahui” tersebut.

Selain itu, Suluh Pamuji menjelaskan alasan yang dapat menjadikan film tersebut (dan film-film lainnya) menjadi alat propaganda negara. Sebagai pegiat perfilman, dia menilik dua faktor indutri film yang diantaranya faktor distribusi atau luasnya akses terhadap film tersebut, dan faktor eksibisi atau bagaimana film itu ditampilkan. Dari sisi distribusi, film itu mendapatkan legitimasi dan akses pengedaran yang luas. Sedangkan di sisi eksibisi, film itu dapat tayang di tiap-tiap bioskop di Indonesia dan diputar tiap tahunnya di stasiun televisi negara agar makin banyak masyarakat yang dapat menontonnya.

Sebenarnya bisa ditambahkan lagi satu faktor yang sebenarnya sangat penting bagi film ini yaitu faktor produksi. Tidak dipungkiri bahwa negara turut campur tangan dalam proses produksi film G30S, mulai dari naskah film yang harus berdasarkan versi pemerintah, sokongan dana yang besar, hingga menyuplai ratusan tentara sebagai pemain pendukung. Namun, Suluh berpendapat bahwa Arifin Noer sebagai sutradara tidak memiliki niatan politis apapun ketika menggarap film G30S dan hanya fokus untuk menciptakan karya film yang berkualitas. Meskipun begitu, faktor produksi, distribusi, hingga eksibisi dari film tersebut menjadikannya sebagai alat propaganda dan master narrative untuk melanggengkan hegemoni Orde Baru.

Keluguan Generasi Pasca-Orde Baru

Jatuhnya Soeharto di tahun 1998 memberikan perubahan yang cukup luas dan ruang demokrasi yang cukup terbuka di Indonesia. Budaya untuk menonton film G30S tiap tanggal 30 September di televisi dihentikan oleh negara. Lembaga-lembaga yang sebelumnya digunakan untuk mensensor dan mengontrol apa yang bisa tayang dalam film akhirnya dibubarkan seperti Departemen Penerangan. Bahkan, Lembaga Sensor Film yang sebelumnya sangat berkuasa akhirnya dilucuti wewenangnya dan melakukan apa yang Suluh sebut sebagai “bunuh diri secara perlahan” karena hanya sebatas untuk memberikan rating batasan umur. Periode awal Reformasi juga ditandai dengan berkembangnya media televisi dan perfilman di Indonesia. Industri perfilman di Indonesia sudah berkembang sangat pesat dan dapat meraup jutaan lebih penonton. Lebih dari itu, hal ini memberikan peluang bagi generasi baru sutradara film layar lebar untuk mengembangkan keterampilan mereka sekaligus menampilkan wacana atau tema yang sebelumnya dilarang oleh Orde Baru.

Tidak hanya dalam lingkup arus utama, di era pasca-Reformasi ini pun memunculkan pegiat film dan dokumenter indie (independen) yang menghasilkan karya-karya dengan muatan estetis dan politis yang beragam dan tidak terikat pada arah komersil atau pasar. Selaku koordinator dan kurator dari komunitas “Klub DIY Menonton”, Suluh menjelaskan bahwa terlepas dari berbagai masalah, lingkungan perfilman alternatif di Indonesia “sangat baik-baik saja.” Beberapa dari film-film tersebut bahkan sampai menembus festival film internasional. Komunitas Klub DIY Menonton pun sering menyelenggarakan film-film alternatif dengan tema yang beragam, termasuk yang mengangkat tragedi 1965.

Bagi Suluh, narasi dan hegemoni Orde Baru soal komunisme atau PKI mulai merosot di mata generasi “milenial” yang tidak pernah merasakan hidup di bawah Orde Baru secara langsung. Pasalnya, banyak dari mereka yang “lugu” dan tidak tahu menahu soal peristiwa G30S maupun soal PKI. Suluh bercerita bahwa ketika dia mengadakan pemutaran film-film yang mengangkat tragedi 1965, ada seorang pemuda yang tidak tahu tentang organisasi Lekra yang ditampilkan dalam film. Tidak hanya itu, ketika film G30S karya Arifin Noer diputar, tidak sedikit yang gagap dalam membaca narasi yang ditampilkan dan malah mengira bahwa peristiwa 30 September merupakan pertikaian antara tentara dan bukan karena ulah PKI seperti yang dituduh Orde Baru.

Kontestasi Politik dalam Pemutaran Ulang Film G30S

Meskipun ruang demokrasi sudah cukup terbuka, Reformasi gagal membuahkan perubahan yang signifikan dalam tatanan politik di Indonesia. Hegemoni Orde Baru yang seharusnya lenyap mengikuti jatuhnya Soeharto masih bertahan hingga sekarang. Tidak hanya itu, para oligarki yang dulunya menjalin hubungan dengan rezim Orde Baru dapat menyesuaikan diri dengan perubahan di era Reformasi dan tetap mendominasi politik di Indonesia.[5] Alih-alih menciptakan gerakan demokrasi di tataran akar rumput untuk mendorong perubahan politik, ruang demokrasi yang ada malah menjadi arena kontestasi politik antar sesama elit-elit di tataran atas.

Aksi pemutaran ulang film G30S dapat dilihat sebagai bagian dari kontestasi antara oligarki di Indonesia. Elit-elit politik yang tersisihkan dari kekuasaan memainkan isu komunisme dan PKI untuk menyerang legitimasi pemerintah beserta elit-elit yang berdiri dibelakangnya. Isu komunisme mudah dimainkan karena hanya memanfaatkan kerangka hegemoni anti-komunisme Orde Baru yang sudah ada. Tidak hanya itu, melihat berkembangnya artikulasi identitas ke-Islam-an dalam masyarakat sejak jatuhnya Orde Baru, para elit yang tersisihkan juga mulai mengadopsi wacana identitas Islam sebagai alat politik untuk merebut kekuasaan.[6] Ketika digabungkan, isu komunisme dan Islam menjadi senjata yang ampuh dalam mendongkrak dukungan massa dan menjatuhkan lawan politik yang dituduh sebagai “komunis” atau “anti-Islam”. Kedua isu tersebut kerap digunakan untuk mengguncang legitimasi pemerintah Joko Widodo dan kekuasaan oligarki yang diuntungkannya.

Demi mempertahankan diri, pemerintah dan elit yang saat ini di posisi kekuasaan mencoba mengikuti arus serangan dan mengedepankan sikap hypernationalism (nasionalisme yang berlebihan). Walaupun wacana pemutaran ulang film G30S timbul dari pihak oposisi, pemerintah mempertahankan diri dengan mengikuti arah wacana dan menyetujui acara pemutaran ulang film tersebut semata untuk meredakan agitasi dari pihak oposisi. Selain itu, kekuasaan saat ini juga menegaskan sikap hypernasionalisme ala Orde Baru yang menentangkan nasionalisme dengan komunisme hanya untuk menepis tuduhan “komunisme” yang dilontarkan lawan.

Penutup

Yoseph mengakhiri sesi diskusi dengan nada yang lebih optimis akan arah laju generasi muda Indonesia. Dia mengambil contoh film dokumenter “Banda” yang tayang di bioskop beberapa bulan yang lalu. Film itu menceritakan sejarah pulau Banda di Maluku yang panjang dan kelam, dimulai dari genosida terhadap penduduk asli oleh VOC demi memonopoli perdagangan hingga pertikaian etnis/agama yang yang terjadi ketika Indonesia baru saja memasuki era Reformasi. Film ini menceritakan bagaimana penduduk pulau Banda berusaha berdamai dengan sejarah kelam mereka dan melakukan rekonsiliasi terhadap korban-korban permusuhan etnis/agama yang terjadi sebelumnya. Bagi Pak Yoseph, film itu menandakan bahwa generasi sekarang lebih tertarik dengan isu-isu kemanusiaan dan perdamaian dan tidak ingin mewarisi rasa kebencian dan permusuhan yang dari Orde Baru.

Walaupun optimisme kadang dibutuhkan, pandangan Yoseph mengabaikan betapa kuatnya hegemoni Orde Baru yang masih bertahan hingga sekarang. Rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun itu berhasil membuat hegemoni politik dan budayanya mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia. Generasi “milenial” sekarang masih menjadi “massa mengambang” seperti yang diinginkan oleh Ali Moertopo, terombang-ambing mengikuti arus politik yang disajikan penguasa. Selama tidak adanya gerakan politik alternatif yang kuat, generasi “milenial” ini hanya akan mengikuti orang tua mereka menjadi perebutan dukungan elektoral dalam kontestasi politik antara oligarki.

Catatan

[1] Heryanto, Ariel (2006) “State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging.” Routledge.

[2] Dalam lingkup sastra, terjadi tiga jenis perlawanan: yaitu (1) Perlawanan Keras (Ki Panjikusmin, Gerson Poyk, Usamah, Ugati); (2) Perlawanan Pasif (Satyagraha Hoerip, Martin Aleida, Moehammad Sjoekoer); (3) Perlawanan Humanistik (Umar Kayam).

[3] Perlawanan yang gencar terjadi kembali dalam ranah sastra. Pertama, perlawanan keras, seperti yang ditunjukkan oleh Ahmad Tohari melalui trilogi Ronggeng Dukuh Paruknya, Ajib Rosidi melalui novel Anak Tanah Air Secercah Kisah, dan Nh. Dini melalui novel Jalan Bandungan. Kedua, perlawanan humanistik, yang  ditunjukkan oleh novel Durga Umayi karya Y.B. Mangunwijaya. Sebagaimana ciri perlawanan humanistik, selalu ada alternatif-alternatif dan pilihan-pilihan bagi subjek tanpa adanya pemaksaan kehendak dari kekuasaan. Ketiga, kompromi dengan kekuasaan, yang ditunjukkan oleh tokoh Harimurti dan Gadis Pari dalam novel Para Priyayi dan tokoh Muryati dalam Jalan Bandungan.

[4] Heryanto, State Terrorism, hal. 5-10

[5] Richard, Robison, and Hadiz Vedi (2005) “Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets.” New York: Routledge Curzon.
[6] http://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/indonesian-oligarchys-islamic-turn/

Leave a Reply