Dibalik Panama Papers: Ekonomi-Politik Uni Eropa, AS & Upaya Menghindari Jeratan Pajak

Panama Papers berhasil mendetonasi sebagian besar masyarakat dunia. Setelah Süddeutsche Zeitung (SZ), sebuah surat kabar Jerman yang berkedudukan di Munich menerima kebocoran dokumen finansial dari sebuah Firma Hukum asal Panama Mossack Fonseca. Mossack Fonseca dikenal sebagai kreator Perusahaan Cangkang (Shell Company) paling top, yang juga memiliki cabang disejumlah kota didunia, diantaranya; London, Beijing, Miami, Zurich dan lebih dari 35 tempat lain diseluruh dunia. Tanggal 4 April 2016, Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) dan Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) bersama 100 kantor berita diseluruh dunia secara serentak mengumumkan hasil investigasi yang berlangsung sejak awal 2015. Penelusuran yang melibatkan lebih dari 370 wartawan dari hampir 80 negara, membeberkan sejumlah nama-nama tersohor dari kalangan pegusaha, hingga mafia. Begitu juga dengan Pemimpin negara-negara besar, salah satunya Presiden Rusia Vladimir Vladimirovich Putin.

Sudah setahun lalu Süddeutsche Zeitung menerima encrypted internal document dari Mossack Fonseca. Selama keberlansungan kebocoran dokumen, semakin hari semakin lancar melampaui kebocoran aslinya. Sejauh ini belum ada yang bisa memastikan siapa yang membocorkan. Meskipun demikian, Süddeutsche Zeitung menyampaikan bahwa sumber pemberi informasi menolak kompensasi finansial dan jaminan keamanan. Hasilnya, SZ memperoleh data sekitar 2,6 terabyte. Kebocoran dokumen elektronik terbesar sepanjang sejarah jurnalis. Lewat relasi sistematis dengan menerapkan Optical Character Recognition (OCR) yang mengubah data menjadi dokumen, memungkinkan data tersebut mudah terbaca oleh mensin pencari seperti google. Tak ayal jika pengolahan digital menghasilkan 11,5 juta dokumen yang terpublikasikan menyeret sejumlah kepala pemerintahan ditimpa krisis politik. Salah satu bukti guncangan panama papers terhadap kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri Islandia yang terpaksa Mundur akibat tekanan publik.

Resonansi Panama Papers di Indonesia dirasa sebagai isu menarik. Terjadi praktek bisnis offshore dan transaksi terlarang yang melibatkan para pebisnis Indonesia terkenal seperti Sandiaga Uno, Rachmat Gobel, Chairul Tanjung, Anindya N. Bakrie, Erick Thohir dan masih banyak lainnya, kurang lebih 2.961 nama. Mereka sengaja mendirikan perusahaan bayangan dan meimbun kekayaan di negara tax heaven seperti Panama dan Virgin Island untuk menghindari pajak didalam negeri.

Amerika dan Eropa Dibawah Tekanan Krisis

Meski demikian, Revrisond Baswir, dalam Diskusi MAP Corner-MKP Klub UGM (12/4/2016) menyampaikan bahwa sebenarnya tidak terlalu penting menelisik siapa nama-nama pelaku bisnis yang menghiasi panama papers. Yang lebih penting ialah mencari tahu siapa pembocor dokumen Mossack Fonseca, dan apa motif dabalik pembocoran dokumen dimaksud. Baswir memaparkan skema moneter internasional yang ditelusuri dari sejarahnya sejak 1876-1913, dalam masa ini sistem moneter dunia menggunakan standar emas sebaga jaminan uang. Selama Periode antar perang berlangsung dari 1914-1944, hingga sistem Bretton Wood 1944-1973, atau kita kenal dengan masa pendirian International Moetary Fund (IMF) dan World Bank. Sejak itu (1973) standar emas sebagai jaminan uang tidak lagi berlaku. Sistem moneter berubah kedalam nilai tukar mengambang. Artinya nilai mata uang tidak lagi berdasarkan jaminan logam mulia. Negara tidak lagi berhak mematok nilai mata uang negaranya. Pada rejim ini, nilai tukar mata uang sebuah negara ditentukan oleh angka-angka yang dibentuk oleh pasar. Misalkan krisis politik, nilai mata uang akan jatuh. Sebaliknya jika seorang pemimpin negara disenangi pasar, bisa mendongkar nilai mata uang negara yang bersangkutan.

Rejim nilai tukar mengambang yang berlangsung sejak 1973 dan sistem pasar, menjadikan negara-negara di benua Amerika dan Eropa sebagai kawasan terkaya didunia. Forbes Billionaires (2013) dalam pemetaannya, kekayaan negara-negara di Benua Amerika mencapai $ 2.44 Trilyun. Sedang kekayaan bersih AS $1,872.5 Milyar. Sementara Eropa diangka $ 1.55 Trilyun. Untuk Jerman sendiri mencapai $ 296.25 Milyar. Selain dari pada itu Rusia sebagai sebuah negara, lebih diatas Jerman yang tergabung dalam Uni Eropa. Kekayaan Rusia $ 427.1 Milyar. Artinya jika dibuat vis-a-vis antara Rusia dan Jerman, maka Rusia lebih kuat secara finansial.

Amerika adalah negara terkaya dengan hutang negara tertinggi. Pada tahun 2014 external debt Amerika mencapai US$ 19,136,052,433,969.- atau sekitar 103% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Di posisi kedua ada United Kingdom sekitar 9 Trilyun US$, perbandingan dengan PDB 569% disusul Prancis berada di kisaran 5 Trilyun. Selanjutnya Jerman, negara yang menginisiasi Panama Papers termasuk yang tertinggi diposisi ke-4 Dunia, dengan external debt US$ 5,546,369,000,000.- atau sekitar 145% dari PDB. Sebagai pembanding, Rusia dengan kekayaan negara diatas Jerman, memiliki hutang pemerintah relatif lebih rendah dibawah Amerika dan Jerman, yaitu US$ 599,819,000,000.- atau hanya 23% dari BDB.

Angka-angka diatas merupakan angka makro hutang negara secara keseluruhan. Namun jika dilihat jumlah hutang hanya dari sektor publik (hutang Pemerintah) Amerika masih berada diposisi pertama 71,3 % dari PDB, sedang penerimaan pajak hanya 26,9 % terhadap PDB. Jerman dan Anggota The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) lainnya juga mengalami hal yang sama, yaitu memiliki hutang pemerintah yang besar tapi kontribusi pajaknya terhadap PDB terlampau rendah. Ini berbeda dengan China misalnya, yang memiliki hutang pemerintah 22,9 % dari PDB dan memperoleh penerimaan pajak 22,0% untuk PDB. Hal ini menunjukan adanya keseimbangan antara hutang dan penerimaan pajak. Terlebih lagi dengan Rusia, hanya 7,9 % hutang pemerintah terhadap PDB, dengan total penerimaan pajak dalam PDB bahkan hingga mencapai 19,5%. Artinya Rusia menjadi negara dengan Penerimaan pajak yang melebihi hutang pemerintah. Baswir mengungkapkan, bahwa ada sesuatu yang salah dari manajemen fiskal negara-negara Eropa dan Amerika. Memiliki penduduk yang kaya, tapi hutang negaranya besar dan penerimaan pajaknya rendah. Tahun 2008 krisis melanda Amerika dan hampir berdampak keseluruh dunia. Baswir mencontohkan pelemahan harga saham Dow Jones Industrial Average (DJIA).

Upaya Keluar Dari Krisis

Belajar dari krisis finansial 2008, Amerika meniti langkah recovery untuk pulih dari krisis. Salah satu yang dipikirkan adalah mencari peneriman negara bersumber dari sumber pajak. Dikatakan Baswir, bahwa upaya yang dilakukan negara-negara Eropa dan Amerika adalah memburu pajak offshore di negara tax haven. Pada tahun 2009 Amerika Serikat menginisiasi Foreign Account Tax Complience Act (FATCA). Kebijakan FATCA memungkinkan negara-negara diseluru dunia melaporkan rekening warga negaranya kepada Amerika. Setelah resmi berlaku tahun 2010, Amerika dengan kehebatan diplomasinya berhasil “memaksa” Inggris, Prancis, Italia, dan Jerman untuk menyepakati FATCA. Pasalnya, jika ada negara yang tidak mau menyepakati FATCA, maka lewat kebijakan tersebut memungkinkan pemotongan 30% setiap transaksi/transfer dari dan ke Amerika Serikat.

Menurut Revrisond Baswir, legitimasi Amerika memaksakan kehendaknya dalam kebijakan FATCA menuai sentimen negara OECD. Jika dilihat dari struktur moneter dan kebijakan fiskal sebagaimana paparkan beberapa negara OECD diatas, sekiranya tidak adil jika hanya Amerika yang memperoleh keuntungan dari FATCA. Oleh karena itu, negara-negara OECD menggagas Automatic Exchange of Tax Information (AEIO) pada tahun 2012. Masing-masing negara anggota melaporkan, atau saling bertukar informasi tentang keberadaan kekayaan warga negaranya. Untuk menindaklanjuti kebijakan AEIO, negara G-20 mengusulkan kepada OECD untuk memformulasikan kebijakan semacam FATCA yang menghasilkan output kebijakan berupa Common Reporting Standards (CRS) dan berlaku global untuk anggota G-20.

Aplikasi CRS lebih sulit dibanding FATCA. Meski banyak kalangan menolak pemberlakukan FATCA, sebagaimana data Federal Register USA, bahwa lebih dari 14,951 warga negara Amerika telah menanggalkan kewarga-negaraan sejak pemberlakuan FATCA. Sungguhpun demikian, CRS tidak berhasil menarik Amerika yang sudah lebih dulu punya FATCA. Setidak-tidaknya jika raksasa ekonomi dunia telah menyepakati kebijakan tersebut, baik itu FACTA atau CRS, tentu tidak ada alasan bagi Indonesia untuk menolak ikut serta dalam keduanya.

Mencari Dukungan Publik & Motif Lain Dalam Panama Papers

Lonjakan angka menanggalkan kewarganegaraan Amerika secara tidak langsung menggambarkan penolakan masif terhadp kebijakan FATCA. Begitu juga dengan CRS butuh dukungan kelas menengah untuk melegitimasi kenginan pemerintah. Pemerintah butuh kekuatan untuk memerangi pebisnis, mafia, dan koruptor yang sengaja melarikan kekayaan ke negara surga pajak. Banyak pihak turun lapangan mengambil bagian dalam menyiasati permasalahan tersebut. Salah satunya dengan terbentuknya tim investigasi dari konsorsium jurnalis internasional, berhasil mempublikasikan dokumen rahasia milik Firma Hukum Mossack Foncesa yang kemudian dikenal dengan Panama Papers.

Ada motif lain dibalik mencari dukungan publik dan kepentingan geopolitik Amerika serikat dan Uni Eropa terhadap rivalnya. Rervrisond Baswir tidak menyebut secara spesifik tentang apa yang menjadi motif pembeberan Panama Papers yang dengan jelas menyebut Vladimir Putin. Banyak pengamat kemudian mempertanyakan mengapa dari ratusan nama yang disebarluaskan, nama warga Amerika yang paling sedikit? Eoin Higgins, seorang penulis asal Massachusetts dalam New York Worker (5/4/2016) mengungkapkan ada sejumlah kemungkinan nama-nama Amerika tidak banyak muncul dalam Panama Papers. Salah satu kemungkinan menurut Higgins adalah hubungan diplomatik AS dan Panama yang pernah bersepakat menandatangani Trade-Promotion Agreement. Seperti halnya FATCA, Panama akan memberikan nama-nama warga negara Amerika yang akan mendirikan perusahaan di Panama. Jadi sulit untuk menyatakan banyak pengusaha Amerika tersangkut skandal Panama Papers.

Dalam laman berita yang sama, Craigh Murray seorang mantan diplomat Inggris, menyatakan tekananan wartawan dalam membocorkan dokumen Mossack Fonseca lebih pada tokoh non-Barat seperti Putin dan Assad. Murray menantang “What if they did Mossack Fonseca searches on every listed company in the western stock exchanges, and on every western millionaire they could trace?” dikutip dari ungakapan Murray dalam sebuah postingan di blognya “That would be much more interesting. I know Russia and China are corrupt, you don’t have to tell me that.” Menanggapi spekulasi tentang kelangkaan nama Amerika, Süddeutsche Zeitung (SZ) kemudian membalasnya dengan peryataan tanpa rasa takut bahwa akan ada nama-nama berikut yang menggemparkan dunia. Meskipun demikian, tentu kita mesti sedikit skeptik dengan tujuan dibalik Panama Papers, sebagaimana ungkapan Baswir bahwa kemungkinan terjadi filterisasi nama-nama yang akan di publikasikan, yang bertujuan untuk melemahkan pejabat publik dalam arti luas. Artinya adalah, bahwa “pendukung” publikasi Panama Papers berupaya melemahkan aktor negara, agar mudah mempenetrasi kepentingan dalam kebijakan FATCA dan CRS ke seluruh dunia.

Tentu kita belum bisa mengambil kesimpulan tentang motif dibalik panama paper. Namun kembali kita berspekulasi tentang sentimen Amerika dan Uni Eropa terhadap Putin dan negara-negara Rival Amerika lainnya. Baswir memamparkan sejumlah kemungkinan organisasi yang mendukung pengungkapan Panama Papers. Salah satunya adalah Open Society Institute and Soros Foundation Networks. Pendiri lembaga ini adalah George Soros, seorang Miliarder kelahiran Hungaria berkebangsaan Amerika Serikat yang secara aktif mendukung Panama Papers. Dalam Diskusi MAP Corner-MKP Club, Baswir mengajak audiens untuk menghubung-hubungkan peristiwa peperangan yang melibatkan Rusia dan Suriah. Sebagaimana Putin telah melancarkan serangan terhadap terorisme, dengan tidak membendung Pengungsi Timur Tengah memasuki Eropa. Menurut Soros dalam rt(dot)com (16/2/2016) Soros menyalahkan Putin sebagai dalang krisis Pengungsi di Uni Eropa. Soros menilai Putin sengaja merambatkan panetrasi Islam kedalam UE untuk mempercepat disintegrasi Uni Eropa. Dengan demikian, Putin akan memperoleh manfaat dari kerja sama negara-negara anti Eropa. Disisi lain, Media Rusia Insider (19/2/2016) menyatakan Soros adalah salah satu dalang di balik serangan Georgia di Ossetia Selatan yang menewaskan penjaga perdamaian Rusia (bersama dengan banyak warga sipil tak berdosa). Soros juga disebut sebagai orang dibalik kudeta Maidan di Ukraina, yang memicu perang saudara yang meyababkan kematian ribuan warga Rusia. Lewat seorang dalang yang pernah membuat krisis global tahun 2008, setidak-tidaknya bisa menjadi perhitungan bahwa sentimen Soros terhadap Putin dan musuh-musuhnya bisa menjadi pra anggapan derasnya arus upaya penggulingan kepemimpinan yang anti kebijakan ekonomi-politik Amerika dan Uni Eropa.

Relevansi Panama Papers Bagi Indonesia

Baswir menilai, Panama Paper adalah agenda besar kebijakan Ekonomi Politik Neo Liberal. Skandal ini sengaja diledakkan untuk memobilisasi dukungan terhadap pelaksanaan FATCA dan/atau CRS ke seluruh dunia. Posisi Indonesia untuk mewujudkan tujuannya seperti Amerika membentuk FATCA diibaratkan seperti seekor pelanduk yang “siap mati terpijak ditengah-tengah”. Seperti yang disebutkan diawal bahwa Indonesia sudah pasti ikut FATCA dan CRS. Baswir yang juga sebagai Komisaris Salah salah satu Bank Persero menyatakan bahwa Penandatanganan Inter Government Agreement Indonesia-AS terkait FATCA telah dilakukan pada tanggal 4 Mei 2014. Dan terkait CRS, Menteri Keuangan Republik Indonesia telah menandatangani Multitelateral Competent Authority Agreement (MCAA) di kantor pusat OECD di Paris, Prancis, pada 3 Juni 2015.

Baswir menambahkan, bahwa peryataan kesepahaman Indonesia atas FACTA dan CRS akan menghasilkan insiatif penyusunan Rancangan Undang-undang Pengampunan Pajak. Besar kemungkinan bahwa inisiatif ini bukan murni dari pemerintah, melainkan digerakkan oleh pemilik rekening offshore untuk menyelamatkan dana besar mereka dari jebakan FACTA dan CRS, yang akan efektif berlaku pada 2017 dan 2018. Baswir menegaskan kembali, bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, Indonesia dipastikan merevisi UU Perpajakan dan UU Perbankan. Hal ini tentu saja patut dipertanyakan mengingat selama ini, kebijakan moneter dan fiskal yang dilakukan pemerintah belum mengarah pada upaya redistribusi kekayaan yang kian terkonsentrasi ke segilintir elit ekonomi. Bukan hanya itu, upaya apapun untuk meredistribusi kekayaan tidak bisa hanya dilakukan melalui mekanisme penarikan pajak. Tidak lain mengingat pajak yang ditarik negara dari kekayaan pemilik modal meski beralih ke rekening negara, tapi selanjutnya akan diberikan lagi ke kelas atas melalui pengerjaan proyek-proyek pemerintah. Dalam situasi ini, yang terjadi ialah reproduksi kelas atas (membuat mereka tetap kaya), bukan redistribusi kekayaan yang sejati. Menutup diskusi, Baswir menegaskan; Negara harus berperan aktif membentuk sebuah kebijakan moneter dan fiskal yang pro terhadap agenda redistribusi kekayaan, agar terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Leave a Reply