Ari Sudjito Soal ‘Bela Negara’: Yang Diperlukan Bukan Patriotisme Fisik, Tapi Karakter Revolusioner Melawan Kapitalisme

Baru-baru ini, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengeluarkan ide tentang “Bela Negara”. Kementerian Pertahanan mencanangkan program bela negara bagi 100 juta warga negara Indonesia yang berusia di bawah 50 tahun. Rekrutmen uji coba pemerintah dalam latihan bela negara pada Oktober ini adalah 4.500 peserta, berasaldari 45 kabupaten dengan 100 peserta dari masing-masing kabupaten. Program Bela Negara ini diusung dengan dalih bahwa keberadaan kader bela negara sangat penting dan mendesak mengingat adanya kecenderungan lunturnya wawasan kebangsaan belakangan ini. Bahkan Menhan RI Ryamizard Ryacudu mengeluarkan statement yang arogan yang intinya bagi warga Negara Indonesia yang tidak mau membela Negara silahkan hengkang dari NKRI.

Apabila menilik sejarah berkembangnya militer di Indonesia, fenomena bela Negara bisa merupakan upaya untuk mengembalikan militerisasi di Indonesia. Pada masa Orba Militer ( Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ) memiliki fungsi ganda yaitu pertahanan dan keamanan, yang lebih dikenal dengan dwifungsi ABRI. Peraturan perundangan di zaman Orba yang menyangkut langsung dwifungsi ABRI adalah ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 yang kemudian disusul Undang-Undang Nomor 15 tahun 1969 dan UU no 16 th 1969 ( La Ode, 2006 : 51-52 ). UU No. 20 th. 1980 menegaskan dalam pasal 26 : Angkatan Bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan Negara dan sebagai kekuatansosial.1 Pada masa Orba ABRI disebut sebagai “dinamisator” dan “stabilisator”. Militer mendominasi hubungan antara sipil-militer, dan militer digunakan sebagai alat untuk mengamankan kekuasaan elit politik saat itu.

Kondisi hubungan sipil-militer berubah signifikan paska reformasi 1998. Salah satu tuntutan reformasi 98 adalah menghapuskan dwifungsi ABRI. Tuntutan ini merupakan akibat dari intervensi militeristik yang sangat besar pada masa Orba. Pada tanggal 1 april 1999 dwifungsi ABRI dihapuskan, terjadi pemisahan Polri dengan TNI. Polri bertugas dalam bidang keamanan dan TNI bertugas pada bidang pertahanan. Penarikan tentara dari politik adalah upaya demiliterisasi. Apabila mengacu kepada teori Huntington tentang konsep hubungan sipil-militer yang diistilahkan sebagai “objective civilian control”, maka di dalam negara demokrasi yang sudah maju dan mapan (dan ini ditafsirkan sebagai Demokrasi Liberal / Barat), hubungan militer dan sipil digambarkan sebagai berikut: tercapainya tingkat profesionalisme militer yang handal namun juga mengetahui batasan kemampuan profesional yang dimilikinya, tunduknya militer pada pimpinan sipil sebagai pembuat keputusan khususnya dalam kebijakan luar negeri dan militer (pertahanan), mengakui dan menerima kepemimpinan (sipil) dalam bidang kemampuan profesionalnya, namun dalam hal ini militer juga mempunyai otonomi, oleh karenanya, campur tangan militer menjadi minimal dalam politik namun juga militer tidak dicampuri oleh politik (Huntington, 1993 : 17). Proses demiliterisasi pada implementasi belum berhasil, bisa dilihat dari berbagai konflik yang melibatkan militer dengan sipil. Militer masih berperan menjadi pengaman dari pemerintah maupun pemilik modal.

Arie Sudjito (Dosen Sosiologi UGM) dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP ,Selasa 20 Oktober 2015 mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena ada diskoneksi pemikiran antara elit pemerintahdenganmasyarakat. Terjadi perbedaan persepsi dalam menentukan ancaman kedaulatan Negara. Elit pemerintah dalam hal ini Menhan, masih menganggap ancaman yang urgent untuk diperhatikan adalah soal kedaulatan Negara dari ancaman serangan fisik dari luar negeri. Padahal yang terancam dewasa ini adalah kedaulatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Serangan dari luar sudah bukan dalam bentuk perang secara fisik akan tetapi lebih pada perang pasar, ekonomi, sosial, maupun budaya. Konsep bela Negara yang dibawa oleh Menhan menitikberatkan pada Patriotisme yang berarti jiwa kepahlawanan seperti dulu (pejuang fisik). Arie Sudjito menyatakan bahwa yang diperlukan saat ini bukan jiwa perjuangan fisik akan tetapi sifat revolusioner yang merupakan sikap cinta tanah air gaya baru memerangi kapitalis medan “penindasan” terhadap rakyat. Cinta tanah air dengan berjuang menjaga kedaulatan ekonomi, demokrasi, sosial, danbudaya yang diserang oleh kaum capital/global lebih urgent daripada sifat patriotism secara fisik. Permasalahan yang mendasari sikap Elit menurut Arie Sudjito ada 3, yaitu :krisis legitimasi, disorientasi elit-sipil, dan detoksifikasi militerisasi. Ketiganya sesuai dengan penjelasan di atas tentang militerisasi dan kegagalan demiliterisasi.

Terdapat beberapa pertanyaan yang wajib menjadi pikiran bersama mengenai bela Negara :
1. Masih relevankah Bela Negara menggunakan cara dan konsep pelatihan militeristik?
2. Apakah program bela Negara merupakan alat kapitalis untuk melakukan “serangan balik” terhadap perlawanan rakyat?
3. Apakah Bela Negara efektif untuk membentuk karakter pemuda Indonesia untuk cinta tanah air sesuai tantangan sekarang?
4. Agenda apa yang ada dibalik Program Bela Negara dengan memobilisasi target 100 Juta masyarakat Indonesia ?

Krisis kedaulatan yang terjadi adalah mengenai kedaulatan ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum. Apabila aspek tersebut dipenuhi oleh pemerintah (konsep dasar dibentuknya Negara adalah untuk melayani masyarakat/warganya), ekonomi diperbaiki, hukum ditegakkan, demokrasi dan politik dijamin, tanpa ada program bela Negara pun masyarakat Indonesia sudah otomatis mencintai tanah air Indonesia dan bangga menjadi bagian dari Negara ini. Kalaupun program bela Negara (pemahaman tentang cinta tanah air) dijalankan, yang lebih pantas dimasukkan dan dididik pengetahuan tentang bela Negara adalah para elit politis dan birokrat itu sendiri.

Note:
1) Lebih jelasnya baca La Ode.2006. Peran Militer dalam Ketahanan Nasional. Pustaka SinarHarapan

Bakrie, Connie. 2007. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Chrouch, Harold. 1999. Militer dan Politik di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Muhaimin, Yahya. 2005. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. UGM Press. Yogyakarta

Shaw, Martin. 2001. Bebas dari Militer. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Leave a Reply