Seperempat Abad Marsinah & Perjuangan Buruh Perempuan Melawan Ketidakadilan

“Marsinah itu arloji sejati,  melingkar di pergelangan tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita, dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya setiap pergi dan pulang kerja, kita rasakan detak-detiknya dalam setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati,Melingkar di pergelangan kita ini.”

“Dongeng Marsinah”, Puisi Karya Sapardi Djoko Damono

“Marsinah”, nama yang kerap meletup pada hari-hari monumental perjuangan rakyat. Gambar wajahnya seringkali kita temui terpampang di kaos-kaos progresif, sticker, spanduk, serta baliho, yang dibuat oleh para aktivis kemanusiaan, LSM, serikat-serikat buruh dan penyintas kekerasan seksual. Nama Marsinah menjadi simbol perjuangan yang mampu membakar semangat kaum buruh, kaum perempuan, kelompok pro-demokrasi serta kaum-kaum yang tertindas lainnya. Namun, beberapa kalangan masyarakat masih ada yang belum mengetahui sejarah perjuangan di balik nama Marsinah. Nama yang terdengar biasa seperti nama perempuan dari Indonesia pada umumnya.

Meniti Garis Waktu Tragedi Kemanusian Atas Marsinah

Tidak bisa dipungkiri, dalam gerak sejarah, kaum buruh memiliki andil besar di setiap capaian-capain perubahan sosial. Salah satunya terjadi pada tanggal 3 & 4 Mei 1993 di PT. Catur Putra Surya (PT. CPS), Porong – Sidoarjo. Buruh di perusahaan tersebut melakukan aksi protes dan mogok kerja. Hal ini membuat proses produksi berhenti. Para buruh mengajukan 12 tuntutan kepada perusahaan, yakni kenaikkan upah sebesar 20% sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 50/1992[1]; tunjangan cuti haid; asuransi kesehatan; penyertaan buruh dalam ASTEK; THR satu bulan gaji; uang makan; kenaikan uang transport; bubarkan SPSI; tunjangan cuti hamil tepat waktu; upah karyawan baru disamakan dengan buruh yang sudah 1 tahun bekerja; hak-hak buruh yang sudah ada tidak boleh dicabut; pengusaha dilarang melakukan mutasi intimidasi, PHK pada buruh yang menuntut haknya.

Aksi mogok kerja melibatkan sekitar 500 orang buruh yang separuhnya adalah perempuan. Salah satu buruh perempuan tersebut adalah Marsinah. Ia cukup vokal menyuarakan hak-hak buruh lewat tuntutan-tuntutan dalam aksi tersebut.

Tengah hari, 4 Mei 1993, perundingan pun selesai. Menjelang penutupannya, Depnaker berunding dengan pihak pengusaha. Dari 12 tuntutan buruh, dihasilkan 11 kesepakatan yang dituangkan dalam Surat Persetujuan Bersama. Akan tetapi, seiring selesainya perundingan tersebut, tidak serta merta menyelesaikan masalah. Pasca perundingan, 13 buruh (tanpa Marsinah) digiring ke Kodim Sidoarjo. Mereka dituduh melakukan rapat gelap dan mencegah buruh yang lainnya untuk masuk kerja. Di kantor Kodim tersebut mereka dipaksa untuk menandatangani pernyataan mengundurkan diri dari perusahaan dan juga menerima pesangon. Mendengar temannya dipecat, Marsinah tidak tinggal diam. Ia pun menuliskan surat kepada perusahaan – yang isinya kurang lebih tudingan kepada perusahaan yang telah mengingkari kesepakatan dengan melakukan pemecatan kepada teman-temannya. Bahkan ia pun mengancam akan melaporkan hal ini ke pengadilan di Surabaya.

8 Mei yang baru saja kita lewati, genap seperempat abad yang lalu, jasad Marsinah ditemukan tak bernyawa, di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk[2]. Ia ditemukan dengan tubuh penuh luka lebam, dagu memar, lengan dan paha lecet, dan hymen robek. Selain itu terdapat luka di kemaluannya sebesar 3 cm, yang menurut pakar forensik Mun’im Idries[3] bukan karena benda tumpul, melainkan peluru yang ditembakkan. Keberanian, keteguhan serta rasa solidaritasnya berujung pada meregang nyawa. Marsinah bahkan bukan pengurus organisasi serikat buruh di perusahaan tempatnya bekerja. Marsinah demi mencukupi kebutuhan hidupnya, berusaha untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Hal ini dilakukannya dengan cara mengkreditkan daster, seprai, dompet, buku tulis, dan barang lain di tempat kerjanya[4]. Dengan demikian, secara tersirat kita mampu menangkap bahwa kehidupan buruh tidaklah baik-baik saja, banyak yang harus berjuang menyambi untuk mencukupi kebutuhannya.

Kondisi Buruh Perempuan Pasca Seperempat Abad Marsinah

Dua dekade pasca Reformasi, kondisi perburuhan belum berjalan sesuai harapan. Berbagai permasalahan masih dialami oleh kaum buruh, kebijakan-kebijakan menyangkut perburuhan semakin bergerak ke arah disiplin pasar. Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah justru menunjukkan sikap negara yang tidak pro terhadap peningkatan kesejahteraan kelas buruh[5]. Upah murah yang semakin mencekik para buruh salah satunya melalui kebijakan Peraturan Pemerintah (PP) 78/ 2015. Poin utama dari PP 78/2015 yang sampai sekarang masih menuai protes dari kalangan buruh adalah kenaikan upah mengikuti mekanisme pasar. Tak hanya itu, sistem pasar tenaga kerja fleksibel melalui Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menjadikan kebebasan berserikat yang dijamin oleh UU No 21 Tahun 2000 menjadi “ilusi” belaka[6].

Kondisi buruh yang demikian mengingatkan bahwa perjuangan Marsinah belum berakhir. Beranjak selangkah dari tragedi Marsinah, menjadi hal penting untuk melihat kondisi perburuhan kini di Indonesia, terutama pada buruh perempuan. Masuknya perempuan dalam di sektor industri, sebagai buruh, tidak bisa dikatakan sebagai wujud dari semakin majunya peradaban pada perempuan. Meskipun akses perempuan terhadap kesempatan kerja mulai terbuka, namun tetap dianggap bukanlah emansipasi bagi perempuan. Menjadi buruh bagi perempuan, merupakan wujud dari ketidakberdayaannya terhadap himpitan ekonomi yang menggerogotinya. Tidak ada kewajiban bagi buruh untuk menjual jasa-jasanya pada kapitalis, akan tetapi mereka harus bekerja untuk memperoleh pendapatan demi menghidupi diri dan keluarga mereka[7].

Pada kenyataannya, buruh perempuan sebagai bagian dari kelas pekerja, mengalami beban kerja ganda, dalam relasi kerja di bawah sistem kapitalisme[8]. Selain harus bekerja (di luar rumah) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, buruh perempuan pun harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik, akibat peran atasnya sebagai istri dan ibu.

Di tempat kerja, buruh perempuan kerap mengalami berbagai ketidakadilan. Banyak dari buruh yang menerima upah yang sangat tidak layak, karena tidak sesuai dengan tingkat pengeluaran rata-rata buruh di wilayah dia bekerja. Buruh juga masih banyak yang tidak memiliki jaminan sosial dan perlindungan kerja. Demikian juga dengan cuti haid bagi buruh perempuan. Cuti haid bagi buruh perempuan menjadi hal yang sering dilanggar oleh pemilik modal. Di Indonesia, pelaksanaan aturan cuti haid di tempat kerja masih tergolong  sangat diskriminatif[9]. Hal ini berujung pada pandangan dimana cuti haid di negeri ini merupakan sesuatu yangntara ada dan tiada”, sebab prasyarat bagi buruh perempuan untuk memilikinya masih begitu sulit.

Selain itu, masih banyak ditemukan ketidakadilan dialami buruh perempuan yang tengah mengalami masa kehamilan. Pelanggaran terkait cuti hamil juga dialami buruh perempuan dengan motif pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi ini semakin ironis dengan adanya kebijakan fleksibilitas tenaga kerja; yang menyebabkan munculnya buruh dengan status buruh kontrak, outsourcing dan magang. Cuti hamil menjadi sangat problematis bagi buruh perempuan; terutama yang berstatus pekerja kontrak dan outsourcing. Buruh perempuan dengan status tersebut kerap mengalami pemutusan kontrak ketika mereka diketahui hamil. Contohnya seperti baru saja dialami buruh dengan status kontrak di salah satu perusahaan yang berlokasi di kawasan MM2100, Cibitung, Bekasi. Buruh perempuan yang berstatus sebagai buruh kontrak dan tengah hamil, di-PHK secara sepihak oleh perusahaan[10]. Buruh perempuan tersebut sedang memperjuangkan haknya agar posisinya menjadi buruh tetap di perusahaan tersebut. Namun sungguh malang kenyataan yang ia alami, perusahaan mem-PHK-nya ketika sedang berjuang untuk menaikkan status kerjanya dan rekannya di perusahaan tersebut.

Kondisi serupa juga dialami oleh buruh perempuan, dengan status kerja yang sama, di salah satu perusahaan di Jakarta Utara. Buruh perempuan yang tengah hamil ini di-PHK secara sepihak tanpa prosedur oleh perusahaan[11]. Kondisi buruh perempuan yang berbeda dari buruh laki-laki; dimana mengalami fase hamil dan melahirkan, seringkali menjadi alasan bagi perusahaan untuk memutuskan hubungan kerja dengan buruh tersebut (terutama pada buruh dengan status kerja kontrak atau outsourcing). Bagi pemilik modal, keberadaan buruh perempuan yang hamil dan melahirkan, dianggap sebagai ‘penghambat efektivitas dan efisiensi’ produksi perusahaan.

Pemutusan kontrak tersebut kerap dipandang perusahaan sebagai cara untuk menghindari kerugian dengan mempekerjakan perempuan hamil, yang dianggap cukup beresiko dan menghambat efektivitas dan efisiensi akumulasi modal. Hingga saat ini masih banyak perusahaan di Indonesia tidak mematuhi aturan pemberian hak cuti hamil bagi buruh perempuannya, baik pra maupun pasca melahirkan. Kondisi itu kerap tidak muncul di permukaan, dikarenakan rasa khawatir dan ketakutan dari buruh perempuan, terutama dengan status kontrak, outsourcing, dan magang. Mereka cenderung menyembunyikan kehamilan, dan juga mempersingkat cutinya agar tidak mendapatkan “surat PHK” dari perusahaan.

Jika dibandingkan kehidupan buruh terutama buruh perempuan di Indonesia dengan buruh perempuan di negara-negara lainnya, hingga hari ini kondisi buruh perempuan di Indonesia masih jauh tertinggal. Denmark misalnya; negara ini menerapkan kebijakan pemberian hak cuti melahirkan yang selama 52 minggu kepada buruh perempuannya, dan mereka pun berhak mengambil haknya tetap mendapatkan upah penuh. Selain upah yang diberikan penuh, mereka juga mendapatkan tunjangan keluarga dari negara, besarannya mencapai 4,2 persen dari total pendapatan negara. Untuk memudahkan pekerjaan buruh perempuan, —baru melahirkan, atau bayinya berusia enam bulan keatas, dapat dititipkan di baby daycare, tanpa dipungut biaya apapun[12].

Upah buruh perempuan juga masih didapati berada di bawah upah yang diperoleh buruh laki-laki. Hal ini tidak hanya akibat sistem kapitalisme yang mengkonstruksi pengaturan perburuhan yang memperlemah daya tawar buruh, namun dalam kasus buruh perempuan, posisinya yang berada di kelas proletar semakin ironis dengan peneguhan struktur patriarkal atasnya. Kondisi ini mempertahankan keberadaan buruh murah dan juga gratis, dengan membagi kelas pekerja berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Kondisi ini menyebabkan pembedaan upah, jenis kerja, kesempatan kerja yang didapati baik oleh buruh perempuan dan laki-laki.

Pelecehan seksual juga masih kerap kali terjadi di perusahaan-perusahaan yang buruhnya didominasi kaum perempuan. Dilakukan baik oleh atasan kepada buruh perempuan, dan juga dilakukan buruh laki-laki kepada rekannya buruh perempuan.

Di tataran serikat buruh pun, buruh perempuan juga masih kerap mengalami tindakan kekerasan dari elit serikatnya[13]. Seperti tindakan pelecehan secara fisik, maupun secara moral; seperti sexting, menanyakan dan meminta hal-hal privasi buruh perempuan. Serikat buruh yang seharusnya menjadi tempat bernaung, berjuang, dan belajar kaum buruh; terutama dalam hal ini buruh perempuan, malah menjadi tempat menakutkan bagi mereka.

Hingga hari ini pun masih banyak perusahaan di Indonesia tidak menyediakan alat keamanan selama bekerja bagi buruh perempuannya. Buruh harus membeli sendiri alat keamanan bagi dirinya (tidak disediakan perusahaan). Di banyak perusahaan, terutama yang mempekerjakan buruh perempuan, masih banyak yang tidak mencantumkan petunjuk penggunaan pada mesin-mesin prosuksi mereka. Hal ini seperti dialamai Nafita, buruh perempuan di PT. Nanbu Plastic Indonesia.

Akibat tidak adanya petunjuk penggunaan mesin dan minimnya pelatihan dalam perusahaan, mengakibatkan Nafita harus kehilangan setengah ruas jari tengah tangannya terpotong mesin press (26 September 2016).

Apa yang dialami oleh buruh perempuan di atas menjadi refleksi bagi kita, bahwa keberlangsungan sistem kapitalisme hingga saat ini, sangat merugikan kaum buruh terutama buruh perempuan. Perjuangan untuk mewujudkan kehidupan buruh perempuan masih sangat panjang. Kasus-kasus di atas menunjukkan betapa rentannya posisi perempuan dalam sistem kapitalisme

Memaknai Perjuangan Marsinah

Kehadiran perempuan terutama kaum buruh merupakan komponen penting dari kaum proletariat. Buruh perempuan menjadi potensi kekuatan dari kelas ini dalam perjuangan menghancurkan sistem kapitalisme. Sehingga, peran perempuan terutama buruh perempuan dalam hal ini, menjadi sangat penting. Partisipasi dan kesadaran utuh serta tindakan empirik dari perempuan menjadi hal yang mau tidak mau harus diwujudkan untuk menghapuskan segala bentuk hubungan yang penindasan- warisan masyarakat berkelas. Penindasan perempuan di bawah sistem ini, niscaya dibebaskan melalui perjuangan politik.

Lewat peringatan perjuangan dan kematian Marsinah ini, menjadi momentum untuk memperkuat gerakan diantara perempuan. Gerakan perempuan berarti gerakan oleh kaum perempuan untuk melawan ketertindasan atasnya; terutama dalam hal ini pada buruh perempuan. Gerakan yang meletakkan prioritas untuk memperjuangkan tidak hanya hak dan kepentingan kaumnya, tetapi juga kelasnya – kelas pekerja. Tragedi yang dialami Marsinah tidak boleh dimaknai hanya sebatas pelanggaran HAM atau tragedi kekerasan seksual semata. Karena akan membuat kita terjebak dan bermuara pada ‘pengenangan’ dan seremonial yang bersifat moralis. Seperti aksi bakar lilin, obor, memajang dan mengarak-arakkan foto Marsinah, dan cara-cara lainnya yang sebatas membangkitkan rasa belas kasihan.

Namun, lebih dari itu, pemaknaan akan Marsinah, akan lebih berharga apabila melanjutkan perjuangannya dengan bersatu membebaskan kelas pekerja, dan kaum perempuan, menuju kehidupan pada tataran tanpa penindasan. Kaum perempuan harus memiliki garis politik yang jelas, melibatkan diri dalam perjuangan kelas dan pengorganisasian rakyat tertindas. Membangun politik alternatif bersama, untuk menuju pembebasan sejati. Merebut ruang-ruang demokrasi dan mengambil alih kemudi kekuasaan bagi kelas pekerja. Bersatu, bersolidaritas sesama kaum tertindas, melawan sistem eksploitatif yang menggurita. Dengan demikian, Marsinah dan perjuangannya tidak akan mati.

Marsinah, dentuman pengingat, yang hidup, tumbuh dan mekar di jiwa-jiwa yang berjuang melawan penindasan!

Ditulis oleh Nolinia Zega & Alih Aji Nugroho (MAP Corner-Klub MKP FISIPOL UGM)

[1] Upah tersebut hingga Mei 1993, kenaikan upah sebagaimana telah ditetapkan pemerintah tak kunjung dipenuhi.

[2] Tempo, No. 3 Tahun XXIV – 19 Maret 1994. Banyak Versi Menyambut Vonis, hal. 16-20.

[3] https://nasional.tempo.co/read/517165/munim-idries-dan-kasus-kontroversial. Diakses pada 27 April 2018.

[4] Tempo, No. 35 Tahun XXIII – 30 Oktober 1993. Banyak Versi Menyambut Vonis, hal. 25.

[5] Zega, Nolinia. (2017). Kebijakan Pengupahan: Keberpihakkan Negara Terhadap Pemilik Modal. (http://mapcorner.wg.ugm.ac.id, diakses 26 April 2018).

[6] Nugroho, Alih. (2017). Relasi Industrial pada Pasar Tenaga Kerja Fleksibel dan Perjuangan Buruh Menuntut Upah Layak serta Jaminan Kerja di Kawasan Industri Bekasi. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

[7] Nope, Marselina. (2005). Jerat Kapitalisme Atas Perempuan. Yogyakarta: Resist Book.

[8] Selengkapnya bisa diliat di: http://mapcorner.wg.ugm.ac.id/2018/04/beban-ganda-dan-komodifikasi-perempuan-dalam-kapitalisme/, di akses pada 12 Mei 2018

[9] majalahsedane.org. Kamis, 8/3/2018. Eksploitasi Buruh Perempuan Melalui Perampasan Cuti Haid. Diakses pada 7 Mei 2018.

[10] Fsedar.org. Rabu, 11/04/2018. Buruh Hamil Kena PHK, Ratusan Buruh Geruduk Toyota dan Kedubes Jepang. Diakses 7 Mei 2018.

[11] Buruh.co. Senin, 09/04/2018. Perempuan Hamil yang Tengah Berjuang Lawan PHK. Diakses pada 27 April 2018.

[12] Kompas.com. Senin, 28/10/2013. 10 Negara dengan Fasilitas Cuti Melahirkan Terbaik. Diakses pada 15 Maret 2018.

[13] Disadur dari diskusi penulis dengan aktivis serikat buruh di Kabupaten Bekasi dan teman-teman buruh perempuan (2017-2018).

Leave a Reply