Menentang Dukungan terhadap Partai Borjuis: Bahaya Kolaborasi Kelas & Kooptasi Elite Serikat Buruh

Pada 1 Mei 2018 yang lalu, jutaan buruh tumpah ruah di jalan memperingati Hari Buruh Internasional (May Day). Seperti peringatan May Day sebelumnya, pelbagai tuntutan normatif dan demokratik buruh disuarakan. Namun, pada peringatan kali ini ada yang menarik, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan deklarasi mendukung Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, sebagai calon presiden (Capres) di Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Ada beberapa kontrak politik yang dibuat. Salah satunya yaitu mencalonkan Said Iqbal (Presiden KSPI) sebagai Menteri Tenaga Kerja jika Prabowo terpilih pada Pilpres mendatang.

Ketua harian KSPI Muhammad Rusdi mengatakan permintaan jatah menteri ketenagakerjaan bertujuan untuk menyuarakan kepentingan buruh.[1] Lebih lanjut Said Iqbal mengatakan dukungan tersebut didasari pertimbangan bahwa Prabowo memiliki komitmen untuk menjalankan 10 tuntutan buruh dan rakyat (Sepultura) yang diajukan oleh KSPI. Dilansir Tirto (30/04/18), KSPI tak hanya mendukung Prabowo, tetapi menyarankan agar sosok pendampingnya di pemilu adalah Rizal Ramli. Menurut Said, eks Menteri Koordinator Kemaritiman itu bisa mencarikan solusi atas persoalan ekonomi nasional.

Ini bukan kali pertama KSPI mendeklarasikan diri mendukung salah satu calon dalam perhelatan demokrasi prosedural. Empat tahun silam, Said Iqbal juga menyatakan KSPI mendeklarasikan diri mendukung Prabowo pada Pilpres 9 Juli 2014. Kontrak politik juga dilakukan saat peringatan Hari Buruh Sedunia 2014 di Gelora Bung Karno. Tidak hanya KSPI yang saat itu mendukung Prabowo, lainnya ada Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK), FSP BUMN, Serikat Pekerja Migran Indonesia dan Federasi Serikat Pekerja Perkebunan juga turut andil bagian.

Pada kubu Jokowi-JK juga mendapat dukungan dari berbagai serikat buruh. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSBSI), Serikat Pekerja Nasional (KSN), SPSI TSK dan Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia dengan tegas menyatakan dukungan terhadap pasangan Jokowi-JK. Sementara, di tingkat daerah, serikat buruh beberapa kali juga menyatakan dukungan pada salah satu calon pada pilkada. Dalam Pilkada DKI 2017 lalu, KSPI juga memberikan dukungan secara terbuka kepada pasangan Anies-Sandi.

Sikap politik praktis yang dilakukan oleh beberapa serikat buruh dengan mendukung salah satu calon dalam politik praktis, seperti yang dilakukan KSPI dan Said Iqbal, menjadi sebuah perdebatan dikalangan penggiat perburuhan. Ada yang menganggap sikap politik tersebut merupakan langkah maju gerakan buruh, yang selama 32 tahun mengalami depolitisasi. Namun, banyak juga yang tidak sepakat bahkan mengecam tindakan politik praktis yang dilakukan oleh KSPI. Kecaman datang dari pelbagai pihak karena menganggap apa yang dilakukan oleh serikat buruh yang mendukung salah satu oligark[2] dalam kontestasi politik prosedural merupakan kolaborasi kelas dan membahayakan gerakan buruh itu sendiri.

Kebangkitan Gerakan Buruh

Sejak jatuhnya rezim Otoritarian Soeharto, Indonesia telah menjalankan empat pemilu yaitu di tahun 1999, 2004, 2009 dan 2014. Sukses demokrasi prosedural itu, digadang-gadang sebagai tanda bahwa bayi demokrasi berjalan ke arah yang diharapkan (Juliawan, 2014). Namun optimisme dini ini dilemahkan oleh beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa masih banyak tantangan serius. Apabila masalah dan tantangan ini tidak diatasi, proses demokratisasi bisa keluar dari jalurnya. Terlebih partai-partai politik dan kompetisi perebutan jabatan publik masih dikuasai oleh oligark-oligark lama maupun baru (Hadiz, 2003; Robison and Hadiz, 2005; Winters, 2011; Aspinall, 2013; Juliawan, 2014). Artinya berbagai kelompok masyarakat sipil akar rumput tetap terpinggirkan dari ranah politik.

Beberapa tahun terakhir, sebenarnya gerakan buruh sudah memulai penetrasi masuk bertarung di ranah politik elektoral. Namun banyak sarjana yang menilai hal tersebut dengan penuh kecurigaan akan motif dari partisipasi politik tersebut (Tornquist, 2004; Ford, 2005, Juliawan, 2014). Kecurigaan pada motif sesungguhnya di balik ikutnya gerakan buruh dalam partisipasi politik elektoral adalah kekhawatiran akan adanya kepentingan pihak “luar” dan bahwa serikat buruh akan terjebak dalam kepentingan politik para pimpinannya (Juliawan, 2014: 54). Hal tersebut lebih disebabkan karena gerakan buruh yang ada belum mendasarkan perjuangan politik lewat jalur elektoral berdasarkan landasan ideologis yang jelas. Tanpa adanya kesadaran ideologis yang menjadi pegangan kelas buruh, maka perjuangan yang dilakukan mudah dikooptasi oleh elit serikat yang berkolaborasi dengan kelas kapitalis. Sejarah membuktikan bahwa partisipasi buruh pada pemilu dengan kolaborasi kelas tidak menghasilkan capaian positif apapun bagi kelas buruh. Alih-alih memajukan kepentingan kelas buruh, strategi tersebut justru membahayakan kelas buruh itu sendiri.

Perjuangan Kelas VS Kolaborasi Kelas

Sejarah dari perkembangan masyarakat yang ada sampai sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas”.

Kalimat dalam tulisan Marx dan Engels di atas merupakan kunci dari filsafat materialisme dialektika. Pun demikian secara ilmiah, dalam materialisme historis, perjuangan kelas merupakan hal yang sentral. Perkembangan masyarakat dari zaman perbudakan sampai pada corak produksi kapitalisme seperti sekarang ini selalu bertumpu pada kontradiksi kelas. Masyarakat borjuis modern yang timbul dari reruntuhan masyarakat feodal menyederhanakan pertentangan kelas dalam dua kubu besar yang langsung berhadapan: kelas borjuis dan proletar, kelas kapitalis dan kelas pekerja (Percy, 2016).

Dua kelas yang terpisah dan berhadapan secara langsung tersebut tidak bisa terdamaikan. Dengan tujuan yang berbeda menyebabkan kontradiksi kelas tidak bisa terhidarkan atau terdamaikan, hanya ada dua pilihan: “menjinakkan” kontradiksi yang terjadi, atau menundukkan salah satu kelas yang kalah.

Perjuangan kelas dalam teori maupun praktiknya masih menuai banyak perdebatan. Kelas dalam berhadapan dengan kapital ada yang menggambarkan posisinya (lihat lebih lanjut Cohen, 1980). Bagi Cohen, kelas menempel pada dirinya sendiri secara obyektif yang merupakan hasil dari relasi terhadap kepemilikan alat produksi (Cohen, 1980, hal.76 dalam Andrew, 1983: 578)  Ada yang menafsirkan posisi kelas tergantung pada kesadaran kelas yang terbentuk. Tulisan ini akan memandang kelas menggunakan pendekatan dari Tim Pringle (2016). Pringle menyatakan bahwa, sesuai dengan argumentasi Marx dalam Poverty of Philosophy, kelas merupakan gabungan kondisi seuatu kelompok masyarakat dalam struktur ekonomi dan kesadaran pada perjuangan kelas.

Economic conditions at first transformed the mass of the people of the country into workers. The combination of capital has created for this mass a common situation, common interests. This mass is thus already a class against capital, but not yet for itself. In the struggle…this mass becomes united, and constitutes a class for itself. (Marx and Engels, 1976, hal.211 dikutip oleh Pringle, hal.3)

Kelas buruh sesuai dengan kutipan Marx di atas bisa diartikan sebuah kelompok masyarakat yang yang bersatu berjuang berhadapan dengan kapital. Tanpa adanya kesadaran kolektif dan memperjuangkan kepentingan bersama maka belum bisa disebut memiliki kesadaran kelas buruh.

Berpijak pada teori materialisme historis, tidak ada perubahan kondisi kelas yang radikal (maupun transformatif) yang dihasilkan dari kolaborasi antar kelas yang sedang berkontradiksi. Dalam perkembangan kapitalisme modern, dengan boomingnya modal, kapitalis dapat menuruti tuntutan ekonomis dari kelas buruh. Pemenuhan tuntutan dan lunaknya perlakuan kapitalis terhadap kelas buruh tersebut merupakan upaya reformis untuk menunda krisis (yang imanen terdapat dalam sistem kapitalisme). Bentuk kerjasama antara kelas kapitalis dengan kelas buruh merupakan kolaborasi kelas yang berbahaya dan mengancam kesadaran kelas buruh.

Dalam konteks politik elektoral misalnya, kolaborasi kelas yang dilakukan oleh sebagian serikat buruh secara empiric tidak mengasilkan apapun. Malah menimbulkan efek merusak bagi kelas buruh itu sendiri. Terlebih pada kelas buruh yang masih dalam hegemoni kesadaran palsu (false consciousness). Engels pernah menulis surat kepada Trier dalam konteks menolak kolaborasi kelas yang intinya sebagai berikut:

“Namun itu bukan berarti bahwa  partai ini tidak boleh dalam momen-momen tertentu menggunakan partai-partai lainnya untuk tujuannya. Ini juga bukan berarti bahwa partai kita tidak diperbolehkan untuk memberikan dukungan sementara pada partai-partai lainnya selama dukungan ini  secara langsung menguntungkan kaum proletariat atau maju seiring perkembangan ekonomi ataupun kebebasan politik. Saya memberikan dukungan pada siapapun yang melaksanakan perjuangan nyata di Jerman  untuk penghapusan hak istimewa bagi anak sulung dan sisa-sisa tradisi feodal, birokrasi, tarif-tarif perlindungan, UU Anti Sosialis, ataupun pembatasan-pembatasan hak berkumpul dan berorganisasi. Bila Partai Progresif Jerman kami atau Venstre Denmark kalian itu adalah benar-benar partai borjuis kecil yang radikal dan bukan  sekedar terdiri dari pembual-pembual busuk yang melompat lari ke dalam semak  begitu diancam  Bismarck atau Estrup, Saya sama sekali akan dengan tanpa syarat (unconditionaly) menentang setiap dan segala kerjasama dengan mereka untuk tujuan tertentu. Adalah sebuah kolaborasi juga ketika beberapa wakil kita memberikan suara mereka, untuk mendukung proposal yang diajukan partai lain – dan mereka harus melaksanakannya lebih sering lagi. Namun bagiku ini hanya jika keuntungan yang kita dapat adalah langsung atau jika perkembangan historis dari negeri yang bersangkutan menuju revolusi ekonomi/politik tak terhindarkan lagi dan diuntungkan; atau setidaknya watak klas proletariat yang menjadi ciri Partai, tidak terancam karenanya. Bagiku inilah batasan mutlak yang tidak boleh dilanggar.” (dalam Kastayudha, 2016).

Belajar dari Pengalaman

Kolaborasi kelas dalam konteks politik elektoral sudah sering dilakukan oleh beberapa elit serikat buruh di Indonesia. Sebagai contoh yang sudah dijelaskan pada awal tulisan ini. Selain itu dari sejarah pemilu paska runtuhnya rezim Soeharto, baik di tingkat daerah maupun tingkat pusat kolaborasi antara elemen buruh dengan partai politik yang ada sudah sering terjadi. Juliawan (2014) dengan apik mendokumentasikan beberapa contoh kasus kolaborasi kelas tersebut. Pada pemilu 2004 misalnya, Ketua umum dewan pengurus pusat SPN mencalonkan diri sebagai caleg dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jawa Barat (Lembur, Maret 2004, dikutip dalam Juliawan, 2014: 57). Pimpinan DPD Tangerang SPN dicalonkan sebagai caleg di DPRD Banten oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Meskipun mereka belum ada yang berhasil memenangkan kursi namun menurut Juliawan (2014) hal tersebut menjadi contoh kasus dan merintis jalan selanjutnya bagi sebuah kemitraan yang lebih formal antar serikat buruh dengan partai politik oligark.

Pada pemilu 2009, sebuah perkembangan baru muncul, SPN dan FSPMI meskipun dalam tingkatan lebih longgar, mencapai kesepakatan dengan PKS untuk mengambil bagian dalam pemilu. Juliawan (2014) melihat perjanjian antara SPN dan PKS menarik untuk dibahas lebih dalam. Hasil penelitiannya, karena kolaborasi kelas yang dilakukan menihilkan landasan ideologis maka dalam berbagai konteks terjadi irisan tajam yang tidak terdamaikan. Misalnya pada cara berperilaku sopan dan sangat hati-hati pada kader PKS berseberangan dengan penggiat buruh yang biasa mogok (ibid: 73). Karena memiliki watak kelas yang berbeda maka bisa dilihat partai borjuis yang ada tidak akan sejalan tujuan dan program kerjanya dengan kepentingan kelas buruh. Sulit untuk mencapai kemenangan bersama, pun jika menang dalam politik elektoral, kolaborasi kelas tersebut tidak menjamin adanya peningkatan kesejahteraan kelas buruh. Jika Said Iqbal mengatakan dukungannya berdasarkan Prabowo menyepakati kontrak politik Sepultura (sepuluh tuntutan rakyat), pertanyaannya, konsekuensi apa yang Prabowo tanggung jika tidak melakukan kontrak politiknya? Tidak ada sama sekali. Masih membekas dalam ingatan ribuan buruh mendatangi Gedung Balai Kota DKI pada akhir November 2017 lalu untuk menagih janji Anies-Sandi. Deputi Presiden KSPI, dilansir tribunnews (10/11/17) mengatakan aksi yang dilakukan ribuan buruh tersebut untuk menagih janji-janji politik Anies-Sandi yang telah didukung KSPI dalam Pilkada DKI. Poin utama janji yang diingkari adalah janji penetapan UMP di atas ketentuan PP 78/2015. Dengan mudah pihak yang didukung buruh mengingkari janji politiknya.

Sebagai contoh lain apa yang terjadi di Bekasi. Berdasarkan hasil penelitiannya, Nugroho (2016) melihat bagaimana implikasi dari terpilihnya anggota DPRD dari elit serikat buruh yang diusung oleh partai borjuis. terdapat dua anggota DPRD Kabupaten Bekasi yang berhasil mendapatkan kursi dewan pada pemilu 2014. Kedua orang tersebut merupakan anggota dari FSPMI. Pertama yaitu Nyumarno yang “dititipkan” ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan yang kedua yaitu Nurdin “dititipkan” ke Partai Amanat Nasional (PAN). Kedua anggota legislatif tersebut berada di komisi IV DPRD Kabupaten Bekasi yang mengurusi bidang ketenagakerjaan. Keduanya diklaim sebagai kader terbaik yang terbentuk dalam serikat buruh. Berangkat dari pengalaman dilapangan berbagai hal tentang masalah perburuhan sudah dikuasi. Pengalaman praktik perjuangannya pun diakui oleh berbagai pihak. Sampai pada aksi massa 2015 yang menolak PP pengupahan di Bekasi Nyumarno masih terlibat didalamnya dan ikut dalam barisan aksi. Bahkan Nyumarno diamankan aparat karena dianggap sebagai provokator. Dengan dasar kedekatan Nyumarno dan Nurdin pada permasalahan perburuhan diharapkan keberhasilan menjadi wakil rakyat mampu untuk memperbaiki kesejahteraan buruh di kawasan Industri Bekasi.

Namun, harapan untuk melakukan perubahan ternyata sulit dijalankan. Penyebabnya, pertama: kalahnya suara dalam pengambilan keputusan dalam hal pembuatan kebijakan daerah. Walaupun dua yang menjadi wakil dari serikat buruh tergabung dalam satu bidang namun dalam pengambilan keputusan dalam forum kalah suara. Jangankan dalam rapat pleno pembahasan rancangan peraturan daerah, dalam fraksinya sendiri saja, misal Nyumarno di fraksi PDIP sering berbeda pandangan denga  suara mayoritas. Alasan tersebut yang menjadi dasar mengapa kebijakan daerah tentang ketenagakerjaan belum sesuai dengan yang diharapkan. Kedua: ada politik balas budi yang menyebabkan munculnya ego sektoral dari kalangan serikat buruh. Kasus atau masalah yang diadvokasi hanya masalah dari serikat FSPMI yang merupakan serikat mereka dulu.

Dampak negatif lain dari politik prosedural dan kolaborasi kelas yang dilakukan yaitu: Dengan adanya klaim perwakilan dari kaum buruh yang padahal menurut serikat merah mereka tidak mewakili kepentingan buruh, radikalisasi massa menjadi turun secara drastis. Buruh tidak lagi secara demokratis menyuarakan aspirasi mereka namun “dipaksa” mengadu pada DPRD. Nyumarno dan Nurdin dilegitimasi menjadi suara kaum buruh. Akibatnya terjadi eksklusi terhadap serikat atau kaum buruh yang lain. Kepentingan di luar yang disuarakan oleh mereka dianggap bukan suara dari kaum buruh karena kaum buruh sudah dianggap terwakili. Proses inklusi serta eksklusi kepentingan yang sebenarnya tidak bisa dijadikan klaim terhadap kelompok masyarakat sering dijadikan legitimasi kebijakan (Angelis, 2015).

Pembangunan Partai Alternatif

Deklarasi pendukungan Prabowo di Pilpres 2019 pada May Day kemarin oleh KSPI malah membahayakan kelas buruh sendiri. Prabowo mewakili militer yang merupakan salah satu musuh dari gerakan buruh (Hadiz, 1999). Dari pelbagai kejadian militer ikut serta dalam mengamankan kekuatan modal dan menghantam gerakan buruh (Robison and Hadiz, 2005). Prabowo juga diduga keras sebagai dalang dari pelanggaran HAM pada peristiwa 98. Secara ideologis tentu berseberangan dengan pandangan kelas buruh. Prabowo dan para pendukungnya juga menjadi aktor yang ikut mempertajam sentiment SARA (Suku, Agama, Ras, & Antar Golongan) demi kepentingan politisnya. Sentimen anti pekerja Asing menjadi salah satu senjata menghadapi lawan politik[3]. Dengan kesadaran buruh yang masih terhegemoni maka sentiment tersebut hanya akan memecah gerakan buruh secara horizontal. Pun demikian dengan kolaborasi serikat buruh dengan Jokowi-JK. Tidak ada capaian bagi kesejahteraan kaum buruh dengan mendukung Jokowi-JK. Justru mereka mengeluarkan berbagai kebijakan yang merugikan kelas buruh seperti PP 78/2015, UU Terorisme, UU Ormas dan UU MD3.

Sikap serikat buruh dalam bertarung di ranah politik masih berkolaborasi dengan partai politik borjuis yang ada. Sehingga tidak memotong kepentingan dari oligarki politik yang sudah ada (Hadiz, 2009). Logika atau cara yang dipakai juga mengikuti alur politik oligarki yang sudah ada. Artinya tidak ada gerakan alternatif yang dilakukan oleh kaum buruh seperti yang dilakukan kelas buruh pada massa revolusi Rusia pada tahun 1917 yang dikenal dengan revolusi Oktober misalnya.

Perjuangan dalam politik elektoral tanpa pembangunan politik alternatif yang didasarkan pada ideologi kelas buruh, hanya akan menguntungkan elit serikat dan para oligark yang berkuasa. Keadaan buruh tidak akan mengalami kemajuan kesejahteraan dengan hanya menggantungkan pada partai borjuis yang ada. Kombinasi demokrasi elitis dengan janji kesejahteraan materiil menciptakan pola politik buruh yang ditandai kompromi di kalangan elit dan kooptasi atas gerakan buruh (Buchanan dan Nicholls, 2003 dalam Juliawan, 2014). Kolaborasi kelas dalam berbagai tingkatan terbukti tidak memberikan dampak positif bagi kelas buruh. Dibutuhkan pembangunan politik alternatif yang benar-benar tumbuh dari kesadaran kelas buruh. Kerja-kerja propaganda serta pendidikan ekonomi-politik kritis bagi serikat buruh mutlak diperlukan.

 

Daftar Pustaka

Aspinall, E. 2013. “A Nation in Fragments,” Critical Asian Studies 45(1): 27-54.

Aspinall, E. dan M. Mietzner (ed.). 2010. Problem of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS.

Andrew, A. (1983). Class in itself and Class Against Capital: Karl Marx and his Classifiers. Canadian Journal of Political Science 16(3) 577-584.

Buchanan, P. G. dan K. Nicholls. 2003. “Labour Politics and Democratic Transition in South Korea and Taiwan,” Government and Opposition 38(2): 203-237.

Brewer. Anthony. 1984. “A Guide to Marx’s Capital,” Cambridge University Press.

Cohen, G. .1980. Karl Marx’s Theory of History: A Defence, Oxford: Clarendon Press.

Cole, N. and Chan, J. 2015. Despite claims of progress, labor and environmental violations continue to plague Apple. Open Democracy. https://www.opendemocracy.net/beyondslavery/nicki-lisa-cole-jenny-chan/despite-claims-of-progress-labor-and-environmental-violatio.

Ford, M. 2009. Workers and Intellectuals: NGOs, Trade Unions, and the Indonesian Labour Movement. Singapore: NUS Press/University of Hawai Press/KITLV.

Hobsbawn, Eric. 1997. “The Age Of Capital 1848-1875,” Abacus.

Hadiz, V. dan R. Robison. 2005.”Neo-liberal Reforms and Illiberal Consolidations: The Indonesian Paradox,” The Journal of Development Studies 41(2): 220-241.

Hadiz, V. R .1997.Workers and the State in New Order Indonesia, London: Routledge.

__________. 2000. Retrieving the Past for the Future? Indonesia and the New Order Legacy. Southeast Asian Journal of Social Science, Vol. 28, No. 2, Special Focus: A ChangingIndonesia (2000), pp. 11-33. Brill

_____________. 2003. “Reorganizing political power in Indonesia: a reconsideration of so-called “democratic transitions’,” The Pasific Review 16(4):591-611.

Juliawan, B. H. 2014. Menentang Kaum Elite: Peluang Partipasi Buruh dalam Pemilu. Kebangkitan Gerakan Buruh Refleksi Era Reformasi. Marjin Kiri. Tangerang Selatan.

Massimo De Angelis. 2005. The Political Economy of Global Neoliberal Governance. Research Foundation of State University of New York for and on behalf of the Fernand Braudel Center Vol. 28, No. 3 (2005), pp. 229-257

Pringle, T. 2017. A Class against Capital: Class and Collective Bargaining in Guangdong. SOAS University of London. http://eprints.soas.ac.uk/22613/1/Pringle_22613.pdf

Suryomenggolo, Jafar. 2014. Kebangkitan Gerakan Buruh: Refleksi Era Reformasi. Marjin Kiri. Tangerang Selatan.

Tornquist, O. 2004. ‘‘Labour and Democracy? Reflections on the Indonesian Impasse,’’ Journal of Contemporary Asia, 34, 3, pp. 377-99.

Winters, J. A. 2011. Oligarchy. New York, Cambridge University Press.

 

[1] Lebih lanjut baca ttps://nasional.sindonews.com/read/1302256/15/deklarasi-dukungan-kspi-kepada-prabowo-dikritik-1525180435 diakses pada 1/05/2018

[2] Oligark adalah aktor dalam oligarki. Meraka adalah orang dengan kekayaan yang begitu besar sehingga dengan kekuatan ekonomi berupaya mengontrol kekuatan politik. Tujuannya untuk mengamankan sekaligus memperbesar kekayaan ekonominya.

[3] Selengkapnya lihat http://mapcorner.wg.ugm.ac.id/2018/04/may-day-komodifikasi-isu-perburuhan-di-antara-para-elite/, diakses pada 04 Mei 2018.

Leave a Reply