Menentang Elitisme Strategi Pemberantasan Korupsi

Revisi UU KPK hanya untuk melindungi oligarki penguasa yang korupsi. Terhitung sejak tahun 2012-2016 sudah tercatat 18 kali KPK dilemahkan oleh rezim penguasa baik itu yang ada pemerintah maupun parlemen. Salah satunya di tahun 2012 PDIP merupakan partai politik yang paling getot menolak revisi uu kpk namun setelah menjadi partai pemenang pemilu 2015 justru PDIP bertolak arah menjadi partai yang paling berambisi melakukan revisi terhadap UU KPK.

Fenomena oligarki kekuasaan merupakan praktek dari system politik yang berkembang pasca runtuhnya Orde Baru. Praktik oligarki berwujud ke dalam bentuk Patrimonial Administrative State, dimana kehidupan ekonomi, sosial dan politik dibentuk oleh sebuah framework negara dalam bentuk institusional. Disisi lain kepentingan publik diakusisi oleh rezim penguasa maupun oleh lingkaran elit yang ada didalamnya dan merupakan jejaring dari bagian patronase (Pribadi, 2013.hal 57). Rezim ini semakin tumbuh subur pada negara yang mengadopsi system demokrasi yang masih prosedural seperti Indonesia.

Eric pada diskusi MAPCONER Selasa, 1 maret 2016 menambahkan bahwa kuatnya oligarki politik terhadap dukungan pada revisi UU KPK disebabkan oleh adanya kesenjangan antara struktur kelas sosial pada masyarakat. Perbedaan struktur ini kemudian membuat masyarakat terpisah secara sosial dengan elit politik, yang harusnya masyarakat terlibat mengontrol dan juga mengawasi korupsi.

Selain itu gerakan sosial dan deretan anti korupsi yang melawan politik oligarki korup bersikap sangat elitis. Gerakan ini lebih kepada penetrasi politik yang dilakukan dengan logika institusional dan kelembagaan yang sifatnya sangat administratif seperti pada revisi UU KPK dan perdebatan mengenai pasal-pasal yang normtaif. Politik penetrasi juga seringkali mengabaikan keterlibat masyarakat karena sifatnya yang sangat elitis sementara yang dihadapi adalah oligarki politik yang memiliki struktur kuat sampai kepada masyarakat bawah.
implikasi oligarki yang korup secara ekonomi akan menimbulkan struktur ekonomi yang timpang. Distribusi sumber daya hanya mengalir pada kelompok-kelompok yang berada pada lingkaran elit oligarki sementara itu masyarakat diluar oligarki dibiarkan terus hidup menderita. Sumber daya ini kemudian diekstrak kembali untuk akumulasi kekuasaan. Hal ini terus menerus dilakukan sehingga oligarki yang korup akan terus menciptakan masyarakat yang timpang dan akses ekonomi yang sangat ekslusif.

Implikasi lain pada politik menyebabkan masyarakat yang kehilangan hak-hak politik. Oligarki kekuasaan yang korupsi cenderung menjadikan politik sebagai komiditas yang selalu di benturkan dengan persoalan ekonomi. Hak suara masyarakat akan di komodifikasi menjadi nilai ekonomis yang dengan demikian hak-hak politik masyarakat tidak lagi mewakili kepentingannya secara personal tetapi lebih kepada pemenuhan kepentingan oligarki.

Eric menambahkan bahwa untuk melawan rezim oligarki yang korupsi negara harus melakukan penetrasi yang representatif, yaitu penetrasi yang mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat bawah meskipun ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama tetapi ini dimaksudkan untuk mendorong masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam mengawasi korupsi.

Hal itu lebih efektif dibandingkan dengan penetrasi politik yang hanya terjebak pada persoalan administratif, bebrapa contoh kasus telah membenarkan itu seperti pada gerakan sosial di media massa antara cicak vs buaya yang berhasil memberikan tekanan serius dan pada akhirnya dimenangkan oleh KPK. Meskipun pada akhirnya gerakan ini tidak berlangsung lama karena sifatnya yang sangat kondisional dan tidak memiliki solidaritas yang kuat karena hanya terbentuk berdasarkan basis media.

Untuk itu yang dibutuhkan adalah gerakan sosial yang berideologi. Gerakan sosial yang mampu mengorganisasikan masyarakat yang kemudian melakukan mobilisasi untuk mendukung dan terus mengawal KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia. Gerakan sosial bisa dilakukan dengan cara memunculkan sikap kritis masyarakat dengan merubah perspektif korupsi. Bahwa korupsi bukanlah persoalan yang disebabkan oleh lemahnya aturan hukum dan faktor isntitusinoal tetapi korupsi oleh karena adanya ketimpangan kekuasaan yang telah hadir ditengah-tengah masyarakat. Implikasi ketimpangan ini yang justru dimanfaat oleh rezim untuk melakukan korupsi karena masyarakat tidak memiliki akses dan power untuk melakukan pengawasan secara ketat.

Selain itu, dengan cara memproblematisasi persoalan korupsi dengan kehidupan sosial masyarakat. Bahwa persoalan korupsi berintegrasi langsung dengan kesulitan yang dialami masyarakat. Maraknya korupsi oleh rezim oligarki berimplikasi pada sulitnya akses pendidikan dan kesehatan. Problematisasi ini dimaksudkan untuk memunculkan kepekaan masyarakat dalam melihat isu korupsi yang selama ini dikarangtina oleh rezim oligarki.
Gerakan sosial harus dilakukan secara kontinyu, dan tentu saja ini membutuhkan waktu yang lama. Selain itu yang menjadi tantangan sendiri dalam melakukan gerakan sosial yang anti korupsi adalah memunculkan insentif bersama antara masyarakat. Karena seringkali masyarakat bertindak berdasarkan atas insentif yang dalam artian sesuatu yang telah menyangkut dengan kehidupannya secara pribadi.

Oligarki yang korup tidak harus diselesaikan dengan melakukan revisi terhadap UU KPK yang sifatnya sangat administrasi dan kelembagaan, persoalan korupsi yang marak terjadi harus dilakukan dengan cara memperketat pengawasan yang tidak hanya dilakukan oleh kelembagaan tetapi melibatkan masyarakat secara luas. Akses dan distribusi kekuasaan kepada kelas bawah diperlukan bagi suatu upaya pemberantasan korupsi yang lebih mendasar.

Leave a Reply