Media Massa, Kapital Dan Politik Ruang Publik

Berbagai informasi berkaitan dengan dinamika politik dan hukum di Indonesia sangat mudah ditemui, terutama di dua chanel utama stasiun televisi, Metro TV dan TV one. Kedua media ini cukup menyita perhatian publik dalam menyajikan berita dan tayangan yang kritis, interogatif, dan sedikit provokatif terkait masalah korupsi, persaingan antar partai, ataupun kelemahan negara. Terlepas dari kondisi perpolitikan yang memang memprihatinkan, tercium adanya aroma kepentingan dibalik setting media tersebut. Pasalnya, kedua media ini dikuasai oleh pemilik kapital yang juga berebut pengaruh publik. Media lebih memilih meniupkan isu yang menguntungkan satu pihak, pemilik kapital, dibandingkan harus menegakkan wacana demokrasi. Lalu, jika sudah demikian jadinya, Siapakah yang harus dipersalahkan? Apakah ini sepenuhnya kesalahan media atau ada hal lain yang perlu dikritisi, seperti masyarakat dan kebijakan?. Melalui forum MAP Corner – Klub MKP (MCKM), selasa, 13 Maret 2012, Ana Nadya Abrar, mencoba menjawab hal tersebut dengan mengupas Media, Kapital dan Politik ruang publik.

Media Massa: Alat Politik atau Ruang Publik?

Media massa memiliki peran penting bagi negara dan masyarakat. Kehadiran media ditengah relasi keduanya dapat menciptakan keseimbangan dengan adanya sharing informasi dan aspirasi. Dalam posisi ini, media menjadi ruang yang potensial dalam menegakkan demokrasi. Namun kadang kala media cenderung digunakan sebagai alat politik, sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini.

Sebenarnya sudah sejak dulu media massa telah menjadi alat untuk menyalurkan aspirasi politik. Dari zaman demokrasi liberal dan orde baru fenomena politik pada media nampak dengan diwadahi oleh kebijakan. Tidak kalah dengan itu, di era reformasi, dimana media diharapkan menjadi ruang publik, pun tidak luput dari adanya desain politik yang bermain atas media tersebut. Media menjadi tempat yang paling ampuh untuk menggalang kekuatan bagi pemiliknya, yang tidak lain adalah aktor atau pesaing-pesaing di arena politik. Sangat jelas berbagai tayangan TV One ataupun Metro TV misalnya, mengandung unsur-unsur politik yang mewarnai isu-isu media yang diangkatnya. Alhasil, media tidak lagi bebas nilai atau telah terkooptasi oleh adanya kepentingan tertentu dari pemilik media.

Media sebagai alat politik lumrah terjadi justru pada negara yang menganut paham demokrasi. Namun hal yang penting dicermati adalah demokrasi tidak hanya dimaknai secara minimal, seperti saat pemilihan wakil-wakil rakyat (pemilu). Dalam argumen Bang Abrar – untuk lebih mengakrabkan pemantik – demokrasi yang lebih luas, menempatkan media sebagai ruang publik untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Disamping, juga berperan sebagai ruang mempertanggungjawabkan amanah rakyat oleh perwakilan rakyat. Jadi instrumentasi politik yang diperankan media, telah membuat media menjadi aktor politik lain yang memiliki keberpihakan, tergantung pada nilai yang diusungnya, “berpihak pada rakyat atau kepentingan tertentu”. Meskipun demikian, media seharusnya dapat membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan kritik bagi keberlangsungan demokrasi.

Media massa dalam bentuk televisi, adalah ruang publik yang telah diatur oleh negara dalam konstitusi. Seperti yang digambarkan oleh Bang Abrar bahwa media televisi menggunakan basis material udara dan gelombang elektromagnetis untuk menjalankan misinya. Sementara udara dan frekuensinya berkaitan dengan hajat hidup orang banyak yang diatur negara. Dengan alasan ini, media televisi seharusnya terbebas dari dominasi pihak tertentu dalam penggunaannya sebagai ruang publik. Dapat dilihat kondisi media televisi di Indonesia justru terjadi sebaliknya. Media televisi didominasi oleh pihak tertentu yang mampu memberi akomodasi materil yang besar untuk mengambil durasi waktu yang lebih lama. Baik pada televisi Lokal maupun televisi nasional, gejala ini seolah berlangsung tanpa ada kritik, adanya pelanggaran terkait penyimpangan ruang publik. Padahal mekanisme ini telah melanggar kepentingan publik dalam memanfaatkan ruang publik secara adil.

“Media lebih penting mewacanakan apa yang menjadi keinginan pemilik media (modal), daripada menjadi ruang publik yang netral. Politik ruang publik tersebut berlangsung didukung oleh kekuatan modal dan kekuatan politik sehingga tidak ada yang berani melontarkan kritikan”

Saat ini sudah sangat jarang televisi menyiarkan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak politik warga negara, atau yang mampu mengarusutamakan demokrasi melalui media. Yang marak bermunculan di media justru wacana-wacana yang saling kontroversi yang membingungkan publik, bahkan menciptakan “pembodohan publik”. Media lebih penting mewacanakan apa yang menjadi keinginan pemilik media (modal), daripada menjadi ruang publik yang netral. Politik ruang publik tersebut berlangsung didukung oleh kekuatan modal dan kekuatan politik sehingga tidak ada yang berani melontarkan kritikan. Lalu hal ini kemudian bertambah parah dengan kurangnya sensitifitas kultural masyarakat dalam menanggapi dinamika politik media yang sedang berlangsung. Jika demikian, masih patutkah media sepenuhnya dipersalahkan?

Eksistensi Media dan Kebebasan Pers

Bang Abrar mengatakan, pers tidak hidup dalam ruang hampa. Dia hidup tergantung kebutuhan masyarakat akan informasi, sehingga untuk tetap survive media harus berusaha mengakomodasi kebutuhan publik. Jadi yang menentukan eksisnya media adalah masyarakat. Lalu yang menjadi persoalan kemudian, jika kebutuhan publik adalah informasi yang bersifat sensasional belaka. Informasi yang tidak berbasis kesadaran politik warga negara tentang apa yang menjadi hak dan kebutuhan untuk menegakkan demokrasi. Maka sudah dapat dipastikan kehadiran media tidak memiliki substansi demokratis seperti yang dibicarakan sebelumnya. Meskipun begitu hal ini masih perlu dikritisi lagi, sebab media yang sudah mengadopsi filosofi neoliberal dapat dengan mudah menciptakan kebutuhan masyarakat akan suatu informasi. Mereka mereproduksi hal-hal baru untuk dikonsumsi masyarakat sebagai sebuah kebutuhan informasi. Disinilah letak kebebasan pers yang disinyalir sebagai bagian dari demokrasi.

“..media tumbuh dalam sistem sosial yang disepakati bersama. Bagaimanapun upaya menciptakan kebebasan pers jika sistem yang berlaku otoriter, pers tetap akan menjadi otoriter. Demikian sebaliknya sistem liberal menciptakan pers yang liberal”

Meskipun demikian media tumbuh dalam sistem sosial yang disepakati bersama. Bagaimanapun upaya menciptakan kebebasan pers jika sistem yang berlaku otoriter, pers tetap akan menjadi otoriter. Demikian sebaliknya sistem liberal menciptakan pers yang liberal. Kebebasan pers ditentukan oleh sistem sosial yang akan menentukan bentuknya. Uniknya di Indonesia, kebebasan pers tidak selaras dengan iklim sistem sosial. Saat liberalisasi pers terjadi, kontroversi seringkali muncul terkait produk-produk pers yang dihasilkan. Hadirnya media yang mengandung nilai-nilai tertentu, terkadang bertentangan dengan moralitas sosial atau prinsip-prinsip yang berkembang di masyarakat sehingga benturan pun rawan terjadi – seperti kontroversi majalah ‘Play Boy’ beberapa waktu lalu yang berujung pada dihentikannya penerbitan majalah tersebut dan orang-orangnya berakhir di penjara.

Persoalan media di Indonesia memang semakin liberal. Sinyal positif yang diperoleh dari liberalisasi tersebut adalah kebebasan ber-ekspresi tanpa adanya tekanan. Tetapi negatifnya, kebebasan tersebut tidak dapat menjamin terbentuknya kognisi publik yang lebih baik. Karena berbagai pemberitaan yang dikonsumsi publik, tidak tersaring positif maupun negatifnya. Kekacauan liberalisasi media di Indonesia terutama karena tidak adanya sebuah regulasi yang jelas. Dan akibatnya, publik diperhadapkan pada kesimpang siuran akibat bahasa media yang telah terdegradasi.

Mempertanyakan Kesiapan Publik

Dari alur tersebut muncul kesangsian Bang Abrar akan kesiapan masyarakat dengan kebebasan atau liberalisasi pers. Masyarakat terkesan sulit menerima berbagai pendapat yang berbeda. Sehingga perlu dilakukan penelusuran kembali terkait dua hal yang telah diulas. Yakni, Apakah menempatkan media sebagai alat politik atau ruang publik”?. Dan menelusuri kembali kesiapan untuk menerima liberalisasi media atau kebebasan pers sebagai paradigma atau falsafah yang dianut bersama.

“Banyak orang dengan suara lantang berteriak mengkritik media, tetapi tidak ada satupun aksi yang dilakukannya untuk mengubah media, yang dalam penilaiannya telah menyimpang dari substansinya sebagai ruang publik. Jika demikian jadinya, kesiapan publik rasanya perlu dipertanyakan kembali”

Menjawab kedua hal tersebut, maka yang perlu diluruskan terlebih dahulu adalah problem internal masyarakat, sebelum mengurus hal-hal yang bersifat eksternal. Masyarakat perlu menjawab lebih dulu apa yang dikehendaki sebelum menjadi pengendali terhadap eksistensi media. Masyarakat dalam konteks civil society perlu menentukan agenda setting yang akan menjadi basis dari gerakannya. Jika demokrasi adalah pilihannya, maka langkah selanjutnya adalah menentukan peran yang harus dilaksanakannya. Dengan mengambil peran tersebut, pertanyaan berikutnya yang perlu dikritisi adalah apakah sudah pernah kita terlibat dalam menegakkan demokrasi pada media, seperti yang telah dirancang sebelumnya?. Dengan kata lain, sudahkah peran kita dilaksanakan dalam mendukung media menjadi ruang publik? Banyak orang dengan suara lantang berteriak mengkritik media, tetapi tidak ada satupun aksi yang dilakukannya untuk mengubah media, yang dalam penilaiannya telah menyimpang dari substansinya sebagai ruang publik. Jika demikian jadinya, kesiapan publik rasanya perlu dipertanyakan kembali. Sangat naif ketika media sepenuhnya dipersalahkan, padahal pada saat yang sama masyarakat telah menikmati produk media yang dinilainya negatif.

Membongkar Kebijakan Media

Media hidup dalam fungsi sosial dan ekonomi. Mengatur kedua fungsi tersebut diperlukan peran pembuat kebijakan yang responsif dan sensitif dalam kaitannya dengan eksistensi media di masyarakat. Regulasi media yang sudah tidak relevan , yakni, UU No.32/2002 tentang Penyiaran, sudah sepatutnya diamandemen untuk mereformasi media yang sudah dijangkiti kepentingan politik tertentu. Agar media dapat kembali ke habitatnya sebagai ruang publik.

“UU Pers yang terbit pada tahun 1999 ini tidak satupun menyebutkan adanya perlindungan kepada masyarakat atas dampak negatif media massa dalam pasal-pasalnya. Secara substansial, UU Pers No.40/1999 hanya memuat rumusan yang memberi kesempatan kepada media untuk melaksanakan profesionalismenya”

Demikian pula halnya dengan kebijakan yang mengatur tentang Pers, sudah seharusnya dikaji ulang. Sebab UU Pers yang terbit pada tahun 1999 ini tidak satupun menyebutkan adanya perlindungan kepada masyarakat atas dampak negatif media massa dalam pasal-pasalnya. Secara substansial, UU Pers No.40/1999 hanya memuat rumusan yang memberi kesempatan kepada media untuk melaksanakan profesionalismenya. Atau media diberi kebebasan utuh dalam berkreasi menciptakan opini publik yang bias kepentingan. Kebijakan media sedemikian dalam pandangan Bang Abrar, sudah ‘expired’, sudah harus diganti dan diperbaharui.

Media dalam Cengkraman Kapitalis

Media di Indonesia hidup dalam kondisi lemahnya kebijakan dan rendahnya kepedulian publik. Jika kemudian Surya Palo atau Bakrie membeli televisi dan menjadikannya alat politik, menjadi sangat sulit untuk ditepis. Misi demokrasi harus berhadapan dengan liberalisasi media dimana kepentingan pemiliknya bekerja. Media bahkan lebih menyukai dikuasai oleh pemilik kapital, demi keberlangsungan medianya. Seperti cerita pemantik ketika berdiskusi dengan salah seorang jurnalis, Hutabarak yang mengemukakan keresahannya terhadap news room yang tidak netral, lebih senang meminta nasehat kepada pemilik modal terkait pemberitaannya. Alhasil, media secara praktis akan mengakomodasi saran dari pemilik modal dengan segala misinya.

“..news room yang tidak netral, lebih senang meminta nasehat kepada pemilik modal terkait pemberitaannya. Alhasil, media secara praktis akan mengakomodasi saran dari pemilik modal dengan segala misinya.”

Parahnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun tidak berdaya mengawasi news yang berdampak “negatif” pada publik. Kalaupun KPI mengeluarkan teguran, awak media hanya menanggapi dengan mempolitisir setting acara yang dibuatnya. Satu contoh konkrit, ketika acara “Empat Mata” mendapat teguran dari KPI karena dianggap melakukan pelanggaran sehingga acara tersebut harus dihentikan, media yang menyiarkannya kemudian mengantisipasi dengan mengubah nama acara itu menjadi “Bukan Empat Mata”. Sungguh suatu pelecehan atas peran KPI yang tidak mampu menekan media, meskipun memiliki kewenangan atas hal itu.

Pemilik modal memang telah berhasil menguasai media. Termasuk merekonstruksi berita yang diproduksi media. Jadi, sadar atau, tidak khalayak telah mengkonsumsi berita yang tidak lain sudah merupakan rekayasa media, yang relatif mengakomodasi kepentingan pemilik modal. Di era dimana filosofi neoliberal seperti sekarang ini, kebutuhan masyarakat menjadi kabur oleh agenda media yang mereproduksi berita dan menjadikannya kebutuhan publik.

Mencari Alternatif

Tidak ada jalan lain bagi pemerhati media kecuali mencoba mencari alternatif dalam mengantisipasi liberalisasi media yang tidak terbendung. Masyarakat perlu diberi penyadaran untuk mengambil peran dalam mengendalikan media yang sudah tidak berpihak pada publik. Dalam hal ini kaum intelektual berkewajiban mewacanakan substansi media sebagai ruang publik, sambil mengambil peran dalam mengupayakan reformasi media. Kuasa moral publik harus bergerak untuk mentransformasikan media menjadi lebih baik. Bukan dengan melarang penyiaran atau menonton siaran tertentu.

Dari sisi pelaku pers sendiri, perlu pula dilakukan instrospeksi. Meminjam analisis Bang Robby – peserta solid MCKM – bahwa profesi pers perlu diluruskan kembali. Jika para jurnalis, wartawan atau awak media hanya ‘manut’ dan melaksanakan job, maka mereka tidak lebih hanya sekedar sebagai pekerja pers, seperti buruh yang bekerja sesuai perintah. Namun sebenarnya, jika seorang jurnalis menekuni pekerjaan secara professional, maka mereka tidak akan mudah bertoleransi dengan job yang menyimpang dari kode etik jurnalistik. Sebab hal demikian sama dengan menurunkan derajat mereka menjadi sekedar buruh media belaka.

Kuasa media atas publik memang kian menggila dengan paradigma ‘opinikrasi dan mediakrasi yang ditanamkannya pada publik. Namun optimisme masih dapat dibangun dengan mencoba mentransformasikan media melalui proses deliberasi. Deliberasi yang dimaksudkan adalah dengan memastikan equality benar-benar tersedia. Yakni memastikan partisipasi yang objektif, yang tidak terbatas dengan segala logika-logika ekonomi politik. Saat ini cyber space dapat menjadi media alternatif yang dapat mengakomodasi hal tersebut. Dan media sendiri dapat mengintegrasikan mekanismenya dengan cara-cara cyber yang lebih objektif. Meskipun begitu akan tetap kembali pada kapasitas media sendiri, apakah akan mampu menjadi miniatur Indonesia yang akomodatif dalam menciptakan demokrasi, atau malah me-mini-kan Indonesia dengan opini dan slogan yang diciptakannya.

Setelah terbangunnya paradigma alternatif tersebut, langkah berikutnya adalah merubah kebijakan media agar dapat lebih terkendali. Artinya, kebijakan diharapkan tidak sekedar mengatur media, tetapi mampu melindungi masyarakat dari pengaruh buruk media. Adalah menjadi kewajiban semua pihak untuk mengemban amanah tersebut, karena mau tidak mau, suka tidak suka, media hidup dan bahkan menentukan iklim sosial, politik dan ekonomi di tengah kepentingan kita bersama.

Oleh: Masni

Leave a Reply