150 Tahun Das Capital & Kebingungan Para Penafsirnya

Saya masih mengingat masa-masa awal di tahun 2010/2011 ketika mulai mengenal Karl Marx dan kemudian memutuskan membaca “Das Kapital”. Sebuah buku yang oleh Engels (sahabat Marx) disebut sebagai “kitab sucinya kelas pekerja”. Sebelum itu, saya terlebih dahulu gandrung terhadap ajaran marhaenisme a la Soekarno. “Marhaenisme adalah marxisme dalam konteks Indonesia” begitu kurang lebih ungkap Soekarno. Marhaenisme dalam hal ini menjadi jembatan yang mengantarkan saya bergelut dengan marxisme.

Sebelum proses tersebut, dalam sebuah diskusi di Sekertariat BEM KM UGM, seorang kawan mengatakan bahwa kesalahan terbesar Marx adalah ketika dia menulis Das Capital. “Buku tersebut telah memberi tahu para kapitalis tentang kesalahan mereka, sehingga mereka dapat berbenah dan mampu bertahan hingga sekarang” ungkap kawan tersebut. Baginya Karl Marx sebagai orang bodoh yang memberi tahu kesalahan musuhnya akan bahaya yang akan dihadapi. Setelah itu si musuh berbenah dan marabahaya bagi si-musuh tidak jadi menimpa berkat anjuran Marx.

Dengan bahan bacaan yang masih sedikit dan pengetahuan yang masih sempit, argumen kawan tadi waktu itu menurut saya ada benarnya. Namun setelah mendalami marxisme lebih jauh dan membaca Das Capital, anggapan di atas adalah bentuk kebingungan para penafsir marxisme yang mengkritik tanpa pernah tahu sebenarnya apa yang dikritik. Para penafsir tersebut seperti mengutuk kobaran api saat sepanjang hidupnya gelap gulita.

Das Capital dan Analisa Hukum Alamiah Corak Produksi Kapitalisme

Marx mengabdikan 40 tahun hidupnya untuk menulis Das Capital. Buku Das Capital Volume 1 terbit dengan bahasa Jerman pada 14 Sptember 1867. Buku tersebut diterjemahkan dan diterbitkan dalam sembilan bahasa ketika Marx dan Engels masih hidup. Setelah kematian Karl Marx pada tahun 1883, Engels dengan tidak kenal lelah melakukan tugas luar biasa untuk menyusun dan menguraikan catatan-catatan Marx yang belum selesai. Berkat kerja keras Engels buku Das Capital Volume 2 dan Volume 3 akhirnya mampu terbit.

Karl Marx banyak ditertawakan oleh para ekonom liberal abad-19 ketika Das Capital terbit. Dia dicemooh karena prediksinya bahwa “kapitalisme akan menggali kuburnya sendiri” sebagai akibat krisis imanen yang ada dalam dirinya. Ada yang menilai Marx mengalami kebingungan saat menulis Das Capital sehingga dengan gegabah mengambil kesimpulan dan mendramatisir situasi.

Cemoohan tersebut sejatinya tidak memiliki dasar ketika kita melihat situasi dunia saat ini. Badai krisis ekonomi di tahun 2008 telah menelan biaya setidaknya $ 12,8 triliun output yang hilang secara global dan $ 10 triliun dana talangan (bailout) negara digelontorkan untuk menyembuhkan krisis itu. Dunia sekarang dalam situasi yang tidak baik-baik saja. Spekulasi dan gelembung ekonomi yang dilakukan melalui kapitalisme finansial, telah berakibat depresi ekonomi. Saat badai krisis yang menyakitkan itu datang, para kapitalis bersama para manajer perusahaannya dapat melenggang dengan membawa triliunan uang. Sementara rakyat diberi timbunan dampak krisis berupa utang negara yang membengkak (akibat kebijakan bailout), kemiskinan yang meningkat, hilangnya pekerjaan, semakin meningginya ketimpangan, dan depresi yang lain.

Das Capital ditulis Marx  dengan berangkat dari hukum alamiah corak produksi kapitalis. Das Capital menunjukan kenyataan krisis imanen dalam tubuh kapitalisme yang sampai sekarang kontradiksi didalamnya terus terjadi.

Keadaan yang dialami kapitalisme saat ini dengan gamblang menunjukan bahwa Karl Marx menulis dengan jenius (bukan bodoh seperti yang disematkan oleh kawan di awal) buku Das Capital. Mengapa demikian?

Das Capital ditulis Marx  dengan berangkat dari hukum alamiah corak produksi kapitalis. Das Capital menunjukan kenyataan krisis imanen dalam tubuh kapitalisme yang sampai sekarang kontradiksi didalamnya terus terjadi. Karya ilmiah tersebut lebih relevan dibanding model dan teori ekonomi neo-klasik (terutama neoliberal) yang terbukti gagal.

Seperti ungkapan kawan saya bahwa Das Capital telah menunjukan apa yang salah dari modus produksi kapitalisme, akan tetapi kehebatan Marx adalah bahwa kesalahan tersebut dianalisis karena sebagai akibat dari “hukum alamiah” corak produksi kapitalis yang berujung pada “krisis imanen”. Para kapitalis dapat saja tahu bahwa corak produksi yang dijalankan itu beresiko dan bersifat kanibalistik, akan tetapi mereka tidak akan mampu menghindar dari itu. Jika mereka berupaya menghindari, maka sistem ekonomi kapitalisme akan berhenti secara total. Artinya mau tidak mau para kapitalis dipaksa menjalankan hukum alamiah tersebut oleh sistem.

Itulah mengapa, sejak 150 tahun buku Das Capital terbit, terhitung 3 kali sistem ekonomi kapitalisme dihantam krisis. Dimulai pada tahun 1920-30an, 1970an, dan 2007/2008. Kecenderungan dari badai krisis tersebut seperti bola salju yang terus membesar. Setiap krisis tidak dapat diatasi secara tuntas, akan tetapi hanya ditambal-sulam. Itu menimbulkan gelembung potensi krisis yang terus membesar dan bisa meledak kapan saja.

Kondisi Kapitalisme dari 1867 – 2017 (150 Tahun)

Marx telah mampu menulis “kitab suci kaum pekerja” ini di tengah situasi kemiskinan dan serangan penyakit. Dengan keteguhannya dia beraktivitas tanpa henti untuk menyelesaikan buku yang telah dicetak dan dibaca jutaan kali ini. Das Capital ini pula telah menjadi pedoman perjuangan mencapai keadilan yang dilakukan oleh jutaan kelas pekerja dalam menentang eksploitasi dari kapitalisme.

Pada tahun 1867 ketika Marx pertama kali menerbitkan Das Capital, kapitalisme hanya menjadi dominan sebagai sebuah sistem di negara Inggris. Setelah 150 tahun buku ini diterbitkan, kapitalisme telah menjadi sistem ekonomi global. Dalam Das Capital kondisi tersebut sudah dibayangkan bahwa hukum alamiah corak produksi kapitalisme memaksanya memperluas akumulasi kapital dengan terus mencari ruang-ruang baru (ekspansi spasial).

Marx menggambarkan kapitalisme sebagai Vampir seperti yang ditulis di bagian akhir Das Capital. “Jika kapital masuk ke dunia dengan noda darah bawaan…” katanya, lalu “modal datang menetes dari kepala sampai kaki, dari setiap pori-pori, dengan darah dan kotoran”. Kapital (modal), tulis Marx, “adalah tenaga kerja mati, seperti vampir, hanya hidup dengan mengisap kerja yang hidup, dan semakin hidup, semakin banyak tenaga kerja yang terhisap”.

Dalam Das Capital beberapa kalimat metafora sesekali digunakan Marx. Metafora “vampir” di atas menunjukan sifat eksploitatif dan kanibalistik dari corak produksi kapitalisme. Para kapitalis menghisap nilai lebih para buruh yang terealisasikan menjadi keuntungan. Eksploitasi terjadi karena jam kerja yang dikerjakan para buruh, diluar waktu yang dibutuhkan untuk menciptakan nilai setara dengan upah mereka. Artinya ada pencurian nilai lebih. Para kapitalis tidak perlu bekerja keras seperti para buruh, mereka bisa hidup mewah dan bisa istirahat kapan saja dengan “menghisap darah dari buruhnya”. Lebih lanjut Marx menulis bahwa jam kerja yang lebih lama “hanya sedikit memuaskan dahaga vampir” dan kaum kapitalis tidak akan melepaskannya “jika masih ada satu tetes darah”.

Di Das Capital, Marx menunjukan omong kosong dari para ekonom arus-utama yang apologis terhadap sistem kapitalisme. Para ekonom itu berdalih bahwa keuntungan adalah buah dari resiko investasi; bunga adalah imbalan atas pinjaman; dan uang sewa adalah prasyarat untuk menggunakan tanah. Sementara adanya orang miskin dan kaya adalah dari proses alamiah seleksi alam.

Ada banyak cerita lain tentang itu, tulis Marx: dongeng di mana sekelompok kecil orang rajin menghasilkan uang melalui kerja keras, lalu menginvestasikannya. Pada saat bersamaan, begitu ceritanya, mayoritas orang lebih boros dengan menyia-nyiakan kesempatan mereka, dan akhirnya harus bekerja untuk minoritas yang rajin. Hanya orang yang mudah tertipu yang mempercayai dongeng seperti itu, kata Marx. Kenyataannya, menggunakan sumber daya (seperti tanah) untuk investasi adalah pekerjaan yang keji dan bahkan brutal. Marx membalik argument itu dengan menunjukan secara gamblang bahwa keuntungan, bunga, dan uang sewa serta proses terjadinya ketimpangan (borjuis-proletar / kapitalis-buruh) adalah hasil eksploitasi terhadap tenaga kerja.

Proses adanya penyingkiran manusia dari alat produksi yang sebelumnya dimiliki dalam Das Capital turut dijelaskan sebagai proses akumulasi primitif. Para petani dan penggembala ternak dalam proses akumulasi primitif di Inggris dieksklusi dari tanahnya (termasuk tanah komunal) oleh penguasa dengan memanfaatkan kemampuan negara memaksa. Para petani ini akhirnya bertransformasi menjadi buruh, mereka bermigrasi dari desa ke kota-kota untuk menjual tenaga kerjanya. Mereka menjadi komoditas yang bekerja dengan hasil kerja untuk orang lain atau terasing dari hasil kerjanya. Sementara kaum buruh ini mendapat imbalan upah untuk bertahan hidup.

Kondisi Indonesia Setelah 150 Tahun Das Capital

Ketika Das Capital terbit di tahun 1867, Bangsa Indonesia yang sekarang ada, masih terkerangkeng dalam jerat kolonialisme. Kini, setelah 150 tahun, kolonialisme dan imperialisme telah berganti wujud menjadi apa yang disebut Soekarno sebagai nekolim (neokolonialisme dan neoimperialisme). Indonesia tetap menjadi arena tindakan eksploitatif dari para kapitalis.

Kapitalisme yang hadir di Indonesia adalah kapitalisme cangkokan yang ditanamkan oleh bangsa penjajah. Itu berbeda dengan kapitalisme yang berkembang di Eropa yang hadir melalui proses hukum alamiah perkembangan masyarakat. Di sana revolusi borjuis terjadi dan transformasi agraria terbangun.

Sementara Indonesia setelah dihisap ratusan tahun nilai lebihnya dalam proses kolonialisme, gagal menjalankan transformasi agraria. Artinya negara ini tidak pernah benar-benar menjalankan proses industrialisasi. Transformasi dari petani subsiten ke buruh, dari pertanian ke industri, dari desa ke kota telah gagal. Hal itu turut mempengaruhi posisi Indonesia sebagai kapitalisme pinggiran.

Kegagalan proses industrialisasi, sementara di sisi yang lain proses proletarisasi di pertanian terus terjadi, menjadikan menumpuknya apa yang oleh Marx sebut sebagai “tentara cadangan pekerja”.

“Kapitalisme tidak akan pernah hidup tanpa adanya ketimpangan” begitu ungkap Marx. Sekarang kondisi itu terlihat jelas dalam perkembangan kapitalisme global. Negara bekas jajahan seperti Indonesia menjadi negara satelit di mana proses penghisapan begitu kejam terjadi yang hasilnya dibawa ke negara kapitalisme pusat. Negara bekas jajahan ini peran ekonomi yang dijalankan seperti waktu periode kolonialisme tua, yaitu menjadi pemasok bahan baku dan pemasok tenaga kerja murah.

Kegagalan proses industrialisasi, sementara di sisi yang lain proses proletarisasi di pertanian terus terjadi, menjadikan menumpuknya apa yang oleh Marx sebut sebagai “tentara cadangan pekerja”. Melimpahnya tenaga kerja produktif (term arus-utama sebagai “bonus demografi”) yang dialami Indonesia sekarang ini alhasil menjadi dinikmati oleh para “vampir” kapitalis. Para tentara cadangan pekerja (pengangguran, ibu rumah tangga dari kelas bawah, dan pekerja informal) memainkan peran ganda dalam kondisi ini, yaitu menjadi pendorong depolitisasi gerakan dan membuat upah tetap stagnan.

Penutup

Sekali lagi mengutip ungkapan Marx, bahwa krisis imanen akan selalu menghantui kapitalisme. Ketika badai krisis datang, maka penurunan keuntungan akan terjadi, devaluasi nilai bergentayangan, dan depresi besar sudah pasti mengancam. Dalam kata-kata Marx, “Hambatan sesungguhnya dari produksi kapitalis adalah kapital itu sendiri”. Kapital adalah uang, benda, dan sarana produksi lain yang terus bergerak.

Ketika badai krisis besar datang dan tidak bisa teratasi, maka membersihkan penghalang menjadi cara satu-satunya. Bagi para kapitalis itu terjadi melalui penghancuran kapital dan kemudian merekonstruksi ekonomi. Jika itu terjadi maka sesuatu yang mengerikan akan datang, yaitu terjadinya perang. Seperti perang dunia ke-2 yang digunakan untuk memungkinkan sistem kapitalisme kembali pulih.

Akan tetapi kemungkinan lainnya bisa terjadi, yaitu lahirnya revolusi sosialis. Itu terjadi sebagaimana menurut Engels adalah “ketika pengangguran, kehilangan kesabaran, dan mereka akan membawa nasib mereka sendiri ke dalam genggamannya”. Maka pada kondisi itu kelas pekerja akan menjadi penggali kubur bagi kapitalisme sebagaimana metafora dari Karl Marx dalam karyanya Das Capital yang terbit 150 tahun lalu.

Leave a Reply