Tarik Ulur Renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan

Sektor tambang tampak menjadi isu yang hangat lagi setelah beberapa isu politik lain saling bergantian muncul dalam pemberitaan nasional maupun lokal. Mengambil momentum, diskusi MAP Corner 10 Oktober 2011 mengusung tema mengenai pertambangan. Secara lebih spesifik, diskusi dimaksudkan untuk memetakan tarik ulur yang terjadi dalam proses renegosiasi kontrak karya pertambangan di Indonesia. Untuk kesempatan kali ini, Suparlan yang menjabat Direktur Eksekutif WALHI Yogyakarta dan sekaligus aktivis JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) didapuk sebagai pemantik diskusi.

Renegosiasi Tambang Minerba?

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia harus segera diimplementasikan. Dalam rencana tersebut, kebutuhan investasi sangat besar. Selain melalui hubungan bilateral, pemerintah (misalnya) melalui World Economic Forum on East Asia yang diselenggarakan pada bulan Juni 2011 lalu di Jakarta mencoba menarik investor asing. Investor asing masih diminati pemerintah. Bahkan presentase tren investasi asing meningkat sejak 2009. Pemerintah dengan kukuh berargumen bahwa penciptaan iklim investasi yang baik mampu memberikan kesempatan dan insentif kepada dunia usaha untuk melakukan investasi secara produktif. Dampak lanjutan yang diharapkan ialah terciptanya lapangan kerja dan memperluas kegiatan usaha hingga mengurangi kemiskinan. Memang secara teoritis, hal ini mungkin benar. Namun secara faktual, banyak bukti bahwa pemerintah gagal mewujudkannya.

Kita bisa melihat sektor pertambangan untuk menunjang bukti. Telah lama Indonesia dikenal kaya barang tambang mineral, batubara dan migas. Cadangan mineral Indonesia menempati peringkat ke enam dunia. Sektor pertambangan masih dipercaya sebagai salah satu penarik investasi. Secara lebih luas lagi, pertambangan merupakan industri yang kompleks dalam pengaturannya terhadap dampak pembangunan ekonomi baik nasional maupun lokal, aspek lingkungan, aspek sosial budaya dan hampir dipastikan banyak wilayah pertambangan skala besar berada di wilayah terpencil di suatu wilayah atau negara.

Sejak UU Minerba diratifikasi tahun 2009 lalu, isu sektor pertambangan mencuat dan terekam publik terkait terutama masalah eksploitasi tambang dan investasi. Belakangan isu pertambangan yang kian santer muncul adalah masalah renegosiasi. Sejatinya, UU Minerba baru ini bertujuan memperbaiki kondisi pertambangan yang selama ini diciptakan berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pokok pertambangan. Berdasarkan kedua undang-undang ini, terdapat perubahan sistem hak pertambangan menjadi sistem perijinan. Lainnya seperti: divestasi kepemilikan saham asing maksimal 80% setelah 5 tahun produksi; ketentuan harga tambang oleh pemerintah, pelarangan ekspor bahan tambang dalam bentuk mentah hingga pembaruan atau/bahkan penyelesaian kontrak karya sektor pertambangan. Topik pembaharuan dan/atau penyelesaian kontrak karya inilah yang menjadi titik tolak masa depan pertambangan Indonesia.

Wacana negosiasi kembali kontrak karya pertambangan antara pemerintah dengan kontraktor tambang menjadi isu hangat ketika salah satu media masa nasional menyatakan sekitar 65 % perusahaan tambang siap berkomitmen melakukan renegosiasi dengan pemerintah, kecuali Freeport dan Newmont (VIVAnews 29/2011). Sementara media lain mencatat bahwa terdapat 118 kontrak yang sedang direnegosiasikan (Kompas, 4/102011). Pemerintah tampaknya sedang gencar merenegosiasi tambang, khususnya mengkaji kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Alasan utama yang sering diusung pemerintah adalah berdasarkan produksi pertambangan selama ini, terdapat ketimpangan antara pendapatan negara dari sisi pajak dan royalti pertambangan dibanding dengan keuntungan perusahaan tambang itu sendiri. Latar belakang renegosiasi oleh pemerintah kiranya menjadi dasar bagi arah masa depan terbaik untuk kesejahteraan masyarakat.

Perspektif Renegosiasi
Tak dipungkiri bahwa politik ekonomi pertambangan (setidaknya) berkaitan dengan kedaulatan nasional dan masa depan Indonesia itu sendiri. Kehadiran perusahaan atau investor asing dalam sektor ini—beserta kemampuannya—sementara di satu sisi kemampuan negosiasi pemerintah yang cenderung lemah akan membawa bangsa Indonesia berada dalam keterpurukan kedaulatan. Kelemahan ini akan memperparah kinerja pemerintah sebagai pemegang amanat rakyat untuk mengelola sumber daya alam demi kepentingan generasi sekarang dan mendatang. Wacana renegosiasi pemerintah terhadap kontraktor tambang (baik dalam negeri maupun asing) tidak dapat dipungkiri menghasilkan harapan masyarakat bahwa pemerintah akan merealisasikan keberpihakannya terhadap rakyat. Namun jika kita telusur lagi, seperti dipaparkan Suparlan dalam diskusi, terdapat tiga kacamata untuk melihat apa logika yang dipakai pemerintah untuk melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan.

Kacamata politik. Sebagai sektor usaha strategis, pertambangan menarik banyak kepentingan termasuk kepentingan politik. Meskipun pandangan ini masih dini, namun perhatian terhadap pemegang kekuasaan untuk tahun 2014 sudah mulai berdengung. Elit-elit politik satu sama lain berlomba meraih simpati rakyat, dengan momentum renegosiasi ini, “gertak sambal” ala Kuskrido Ambardi ini boleh jadi menjembatani elite yang duduk di eksekutif maupun legislatif sudah mulai merapat dan mengatur strategi pemilu 2014. Salah satu moment yang dimanfaatkan adalah renegosiasi tambang. Jika pemerintah melalui berbagai kementrian—yang para pemimpinnya juga salah satu representasi koalisi—dengan lantang memastikan renegosiasi pertambangan sukses. Maka dari pernyataan ini, akan ada dua catatan: pertama, jika pemerintah berhasil melaksanakan renegosiasi terhadap perusahaan tambang, maka penilaian rakyat diharapkan berubah secara positif terhadap pemerintahan. Bahwa pemerintah mempedulikan kesejahteraan masyarakat. Melalui harapan ini, pihak yang berkepentingan terhadap perolehan suara pada 2014 nanti—setidaknya—telah mengantongi kepercayaan masyarakat dan berharap memenangkan tampuk kepemimpinan.

Kedua, menghadapi pemilu nasional, partai politik peserta pemilu maupun calon pemimpin eksekutif dihadapkan pada penyediaan dana pemilu. Meski masih dua hingga tiga tahun lagi, partai politik peserta pemilu menaruh perhatian besar untuk memperoleh akses dana kampanye. Kenyataan bahwa elit politik dan korporasi (tidak hanya) tambang memiliki kepentingan timbal balik di masa depan tidak pernah surut. Kasus Bank Century misalnya meski sekarang masih tidak jelas “proses” penyelesaiannya. Aliran dana Bank Century tetap diindikasikan menyebar ke berbagai partai politik untuk mendanai kampanye partai politik pada Pemilu 2009. Asumsi yang sama juga mengarah pada sektor pertambangan. Bagaimana tidak? Beberapa politisi yang duduk di pemerintahan bisa jadi mengadakan deal-deal politik dengan pengusaha tambang, yang pada kesepakatan memang melakukan renegoisasi pertambangan, namun koridor win win solution terhadap kesejahteraan masyarakat tidak diprioritaskan. Justru simbiosis mutualisme yang terjadi antara elit politik dan perusahaan tambang yang akan terlihat pada persentase keuntungan yang didapat oleh perusahaan tambang. Di sisi lain, elit politik mendapat pundi dana untuk pemilu mendatang.

Kacamata ekonomi. Bagi seluruh (tipe) negara, pertambangan berkontribusi pada aktivitas ekonomi, yang pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi acuan utama. Pengalaman menunjukkan penerimaan negara tidak pernah lebih bagus dari harapan normatifnya. Dari sektor pertambangan, pemerintah mengklaim bahwa penerimaan negara sektor pertambangan rendah dikarenakan sedikitnya pajak dan royalti yang diterima. Dengan merenegosiasi pertambangan ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan hasil pendapatan khususnya sektor pertambangan. Renegosiasi ini merujuk pada penemuan keuntungan perusahaan lebih besar dibanding dengan pemerimaan negara.

Lebih lanjut, pembahasan renegosiasi pertambangan direncanakan mencakup prinsip luas wilayah, jangka kontrak, divestasi, pengelolaan lingkungan, royalti, dan kewajiban menggunakan jasa dalam negeri serta pelarangan ekspor bahan mentah tambang. Namun dari sekian substansi pembahasan renegosiasi ini, pemerintah cenderung memprioritaskan besaran penerimaan. Alasan ini logis ketika renegosiasi kontrak memberi kesempatan baru secara signifikan untuk membangun perekonomian terpadu. Renegosiasi pertambangan menambah laju debit keran pemasukan pemerintah. Bahkan deadline renegosiasi pertambangan pun masuk dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Ada harapan optimis bahwa dengan renegosiasi pertambangan, pemerintah mendapat tambahan penerimaan, dengan demikian pembangunan infrastruktur dapat berjalan tanpa hambatan. Infrastruktur yang bagus dapat mendukung produktivitas nasional dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat tercapai.

Kacamata ekologis. Secara prinsip, konsep sustainable development disetujui baik dalam area politik maupun bisnis untuk diaplikasikan dalam seluruh sendi kehidupan secara seimbang pada aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Jaminan terhadap sumber tambang secara berkelanjutan merujuk pada cara bagaimana pertumbuhan ekonomi tidak terpisah dari dampak lingkungan. Ini menjadi dilematis untuk seluruh pertambangan Indonesia. Eksploitasi seluruh sumber daya alam tak terbarukan [termasuk cadangannya] baik secara tradisional maupun modern akan mengakibatkan rusaknya lingkungan. Tak hanya wilayahnya, namun penduduk juga mendapat dampak buruk pertambangan, meliputi udara, vegetasi, degradasi hutan, air, tanah, hingga kesehatan manusia. Kinerja lingkungan dari pertambangan, mulai dari penambang skala kecil hingga besar menunjukkan ketimpangan dibanding dengan profit yang diperoleh. Jika merunut kontrak kerjasama selalu dapat dipastikan tercantum term “keberlanjutan”. Secara operasional, melalui analisis dampak sosial atau AMDAL, pemerintah Indonesia dapat memutuskan kelanjutan dari usaha tersebut. Masalahnya, meski AMDAL mengacu pada standar internasional tetapi hasil kualitas AMDAL sering kali buruk dan tidak mencerminkan kualitas sesungguhnya. AMDAL hanya di buat di atas kertas saja, sementara tidak ada pengawasan memadai dalam praktik di lapangan. Pemerintah tetap melenggangkan perusahaan tambang untuk beroperasi. Kemudian, selama usaha tambang berjalan, memang terdapat kewajiban setiap perusahan untuk melaporkan kondisi lingkungan pertambangannya, namun substansi kewajiban ini tampaknya dikesampingkan oleh perusahaan sementara di sisi pemerintah juga tidak tegas menindaklanjuti temuan di lapangan andaikata terjadi pelanggaran.

Kebijakan pemerintah selama ini penuh dengan ketidakpastian dan terjadi overlapping. Seperti konflik penggunaan lahan untuk pertambangan dan/atau perhutanan yang sering kali memenangkan sektor tambang. Arena konflik sendiri meliputi pemerintah pusat maupun daerah, swasta dan masyarakat lokal. Pertanyaannya adalah apakah peruntukan lahan tetap sebagai hutan akan dimenangkan ketika berhadapan dengan sektor pertambangan? Kecenderungan kearah ini sangat kuat. Antara tahun 2004 dan tahun 2009 saja, kementerian kehutanan mengalokasikan 1.2 juta hektar hutan untuk kegiatan pertambangan. Tak hanya itu, rencana mengubah lahan hutan menjadi lahan tambang mendapat alokasi hingga 2,2 juta hektar hutan antara tahun 2010 dan tahun 2020.

Melalui renegosiasi, pemerintah nampaknya perlu kembali mempertegas bahwa investasi harus layak secara teknis, baik terhadap lingkungan, menguntungkan secara keuangan dan bertanggung jawab secara sosial. Pemerintah diharapkan dengan tegas merealisasikan prinsip pembangunan berkelanjutan sektor tambang ketika berhadapan dengan pengusaha tambang dalam ranah renegosiasi tersebut.

Selama tambang masih dikuasai negara, ketiga kacamata baik politik, ekonomi dan ekologi diatas dapat menjadi dasar bagi kita melihat masa depan pertambangan Indonesia ketika berhadapan dengan sektor swasta baik dalam maupun luar negeri. Dari ketiga cara pandang ini, saat ini kita masih menunggu kacamata mana yang akan dipergunakan pemerintah dalam melakukan negosiasi kembali dengan pengusaha tambang. Nampaknya tarik ulur antar ketiga perspektif itu akan mewarnai proses renegosiasi ke depan.

Tarik Ulur Pusat – Daerah
Selain dinamika pertarungan antar perspektif, renegosiasi juga bertambah rumit dengan adanya masalah tarik ulur pemerintahan Pusat – Daerah terkait pengelolaan pertambangan. Memang, konsekuensi dari pasal 33 undang-undang dasar 1945 adalah sector pertambangan dikuasai negara demi kemakmuran rakyat. Masalahnya, masih terjadi tarik menarik kepentingan antar tingkatan Negara, dalam hal ini adalah Pusat dengan Daerah. Lahirnya UU Minerba 2009 yang cenderung mendukung otonomi daerah menambah pelik dinamikan hubungan kedua tingkatan pemerintahan Negara ini. Dengan UU Minerba 2009, pemerintah daerah merasa memiliki kewenangan lebih untuk mengelola sector pertambangan. Sebaliknya, pemerintah Pusat juga tetap merasa paling berhak mengatur pertambangan di daerah. Salah satu isu dalam pertarungan antara Pusat dengan Daerah adalah masalah pembagian pendapatan hasil tambang.

Begitulah ketika kita berbicara tentang share pendapatan bagi daerah penghasil tambang. Misalnya sedikitnya persentase royalti tambang yang diterima pemerintah, ternyata masih harus dibagi antara antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota lokasi pertambangan. Kenyataan menunjukkan proporsi presentase pusat, provinsi dan kabupaten masih timpang. Besaran royalti yang diterima oleh pemerintah kabupaten selalu yang paling sedikit. Keprihatinan ini berlanjut pada keyakinan bahwa PAD wilayah tambang (jenis A maupun B) yang tinggi ternyata besaran jumlah penduduk miskinnya cukup banyak. Kompas tanggal 7 januari 2011 menyebutkan BPS mencatat daerah-daerah kaya sumber daya alam justru merupakan daerah termiskin di Indonesia. Provinsi Riau menyumbang lebih dari 50 persen total produksi dan devisa minyak bumi. Namun terdapat 663 desa di Riau berstatus rawan pangan. Tingkat kemiskinan Riau pun tergolong tinggi, mencapai 22,19% dari total penduduk Riau. Di Papua Barat, angka kemiskinan mencapai 36,8%, di Papua 34,88% dan di Aceh mencapai 20,98 persen. Jika kemudian ditarik dari decision making ketika perusahaan masuk ke suatu daerah potensi tambang, ternyata kontrak karya yang dibuat merupakan ranah pemerintah pusat yang diwakili oleh kementrian ESDM dengan perusahaan tambang sendiri. Sementara terdapat anggapan bahwa pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten yang menjadi lokasi tambang ditempatkan dalam pemenuhan administratif saja.

Kasus PT Jogja Magasa Iron dan PT Inalum Medan
Salah satu contoh tentang kondisi diatas adalah kontrak karya yang dilakukan ESDM dengan PT Jogja Magasa Iron. Pemerintah daerah tampak tidak mempunyai posisi tawar untuk menolak kontrak karya tersebut. Ini terlihat dari RTRW Provinsi DIY dan RTRW Kabupaten Kulon Progo yang tidak menyebutkan wilayah yang sekarang menjadi lokasi tambang memang diperuntukkan sebagai lokasi tambang, justru peruntukan lahan dimanfaatkan untuk sektor pertanian, perikanan dan pariwisata. Seharusnya, sebelum kontrak karya dibahas, studi tambang untuk kepentingan RTRW didahulukan, sehingga jika memang dimungkinkan adanya perubahan, maka baik RTRW provinsi DIY dan Perda Tata Ruang Kab. Kulon Progo No. 1 Tahun 2003 dirubah, baru kontrak karya dibahas. Yang terjadi adalah kontrak karya disahkan sebelum perubahan RTRW.

Memang kontak Karya PT Jogja Magasa Iron (JMI) ditandatangani 4 November 2008, tentunya dengan konsultasi publik terlebih dahulu. Lucunya terdapat 31 pasal baru yang pada saat konsultasi publik tidak pernah dibahas. Ketiga puluh satu pasal baru ini oleh WALHI dipertanyakan bagaimana proses tercantumnya kepada DPRD. Pihak DPRD menyebut tidak tahu-menahu permasalahan ini dan menyampaikan hal tersebut adalah kepentingan departemen dalam negeri dan ketika dikroscek kepada pemerintah, kontrak karya 31 pasal baru ini sudah mendapat persetujuan DPRD. Tak tinggal diam, Walhi kemudian mengajukan judicial review kontrak karya PT JMI ini dihadapkan dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Harapannya jika terbukti kontrak karya tersebut cacat hukum, maka kontrak karya dapat dibatalkan. Tetapi harapan tersebut tidak tercapai.

Masih terkait kasus pasir besi, jika tadi pemerintah daerah tampak tidak memiliki posisi tawar dalam membahas kontrak karya PT JIM ini, muncul keraguan apakah benar begitu? Pemerintah daerah seharusnya mempertahankan kemaslahatan umum dengan menolak kehadiran investor tambang asing ini. Namun jika melihat sikap pemerintah selama masa pembahasan kontrak karya, ternyata pemerintah daerah bukannya tidak mempunyai posisi untuk menolak. Justru pemerintah daerah yang gencar mempertahankan investasi pasir besi ini tetap terselenggara.

Kasus lain adalah PT Inalum Medan yang memang sudah tidak diperpanjang masa kontraknya oleh pemerintah. Namun demikian, ini bukan berarti tanpa masalah. Pengelolaan tambang bekas PT Inalum medan menjadi tawar menawar elit daerah, hal ini dikarenakan muncul konsorsium pengusaha daerah yang menginginkan pihaknya menjadi operatorship pertambangan alumunium. Meski belum dipastikan, pertanyaan siapa yang akan menjadi operatorship? Pemain baru? Atau pemain lama? Keikutsertaan pemain lokal menjadi kekuatiran tersendiri karena dapat memunculkan keadaan menuju perbaikan maupun justru menuju jurang keterpurukan.

“A change in power can turn a local partner into a liability, since it can bring charges of favoritism or corruption” (Moran 1998; Wells and Gleason 1995)

Atau merunut investor pasir besi Yogyakarta, jika dilihat latar belakang pemilik modal, ternyata tidak ada yang memiliki background pengetahuan tambang pasir besi. Background meraka adalah tambang minyak. Temuan-temuan ini mengarah pada kesimpulan pemain yang terjun dalam sektor tambang (maupun sektor lainnya) bukan berdasarkan “ahli di bidangnya” namun pihak yang disebut pemilik capital. Pemilik capital ini dapat beridentitas macam-macam, sebagian juga teridentifikasi dalam ranah politik sebagai legislatif.

Secara umum, logis jika pemerintah daerah melihat secara kacamata kuda bahwa otonomi daerah dan ditambah UU minerba mengawal peran pemerintah daerah dalam sektor tambang. Karena dengan terbukanya usaha tambang, investasi akan masuk ke daerah, penciptaan lapangan kerja, PAD meningkat dan sebagainya. Namun ini sebenanrnya justru tidak logis jika dalam pengambilan keputusan pemerintah daerah dalam sektor pertambangan tidak memperhatikan pembangunan keberlanjutan sektor pertambangan tersebut. Tanpa sektor pertambangan yang relatif berkelanjutan, dapat dipastikan penerimaan juga tidak akan berkelanjutan. Konkretnya, pemerintah harus mengusung pemulihan ekosistem setiap melakukan pembahasan dengan perusahaan tambang. Dengan demikian, pemerintah mempunyai posisi tawar dalam rangka melindungi masyarakat.

Ujung Tarik Ulur
Harapan utama dari renegosiasi adalah kesejahteraan masyarakat. Untuk menuju kearah itu, pemerintah kiranya perlu melakukan renegosiasi pertambangan dengan cara pandang yang komprehensif, mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial maupun ekosistem secara proporsional. Selain itu, pemerintah (Pusat) juga perlu lebih memahami keinginan daerah untuk mengelola pertambangan secara mandiri, dengan tentu saja tidak mengabaikan potensi penyalahgunaan kewenangan oleh elit-elit di daerah. Bagi hasil yang lebih memenuhi rasa keadilan serta peruntukan yang jelas bagi warga sekitar area pertambangan perlu memperoleh perhatian lebih.

Sementara berkenaan dengan proses renegosiasi, ada dua ketentuan yang perlu mendapat perhatian. Pertama, renegosiasi terhadap tambang tidak hanya dilihat dalam ranah “dukungan” melanjutkan eksploitasi. Tetapi juga sebagai mekanisme pemerintah untuk memutuskan penghentian aktivitas tambang perusahaan tersebut. Kedua, media dan LSM berperan sebagai pengawal advokasi maupun menjembatani masyarakat untuk melakukan kontrol publik terhadap aktivitas pertambangan. Karena dalam setiap Kontrak Karya, terdapat hak dan kewajiban pemegang kontrak karya.

Salah satu kewajiban perusahaan adalah menginformasikan kepada publik akan dampak yang dihasilkan dari suatu kegiatan pertambangan. Secara administratif, pemegang kontrak karya diharuskan membuat laporan dampak lingkungan setiap tiga bulan sekali. Ini dapat menjadi celah bagi partisipasi publik dalam sektor pertambangan. Masalahnya, penjabaran partisipasi publik sendiri masih sering diartikan secara ambigu. Partisipasi masih dipahami dalam arti pasif atau sosialisasi saja. Bersama-sama setiap pihak harus membangun partisipasi publik baik dalam arti aktif maupun pasif yang mengakomodasi kepentingan umum. Pada sisi lain, muncul masalah tentang program community development maupun Corporate Social Responsibility (CSR) yang sering diusung oleh perusahaan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan. Seringkali program CSR tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat area tambang. Program CSR sering kali diimplementasikan berdasarkan kemauan perusahaan, bukan berdasar pada kebutuhan masyarakat lokasi tambang. Atau bahkan dana CSR digunakan pemerintah untuk kepentingan politik.

Jika jalan renegosiasi dengan mengikuti prinsip-prinsip ideal tersebut menemui jalan buntu, lantas apa yang dapat dilakukan? Meski tidak popular, beberapa peserta diskusi yang juga diamini Suparlan sebagai pembicara, dengan yakin mengusulkan perlunya nasionalisasi perusahaan pertambangan.

“…Venezuela again took steps to nationalize its oil industry, and the Russian government took control over Yukos, the largest nonstate oil firm. In 2006, Bolivia began to nationalize oil and gas, and Ecuador also took over the operations of a foreign oil firm by canceling its contract. More moderately, Argentina increased taxes on oil and mining fields, in spite of tax guarantees that precluded doing so. Expropriation has also been a concern for mining projects: it seems to have taken place in Uzbekistan, and firms have brought arbitration cases against Kyrgyzstan and Azerbaijan over this issue (Hogan & Sturzenegger, 2010)

Kutipan di atas sengaja ditampilkan utuh. Ini bertujuan memberi gambaran bahwa negara lain mampu mengambil alih pertambangan dari multinational corporations (MNCs) yang sebelumnya bekerja sama. Kita mungkin berharap pemerintah Indonesia dapat melakukan hal yang sama. Hal ini didukung kenyataan SDM Indonesia tidak kalah dengan SDM luar negeri, begitu pula dengan teknologinya. Namun rupanya kembali lagi pada kemampuan pemerintah rezim saat ini dalam mengelola pertambangan. Pemerintah tidak perlu sungkan terhadap negara-negara investor. Pemerintah juga tidak perlu terlalu takut ketika menghadapi ancaman dari perusahaan yang akan mengadukan masalah ke badan arbitrasi internasional. Pemerintah hanya perlu takut kepada rakyat yang dinaunginya dan meyakini bahwa proses pengambilan keputusan nantinya bertujuan untuk memperoleh sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanpa keyakinan seperti ini, isu renegosiasi mungkin hanya menjadi sekedar basa basi.

Leave a Reply