Membincang Putusan Mahkamah Konstitusi: Outsourcing dan PKWT Langgar Konstitusi

Hampir pada setiap peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 1 Mei, buruh Indonesia selalu menuntut dihapuskannya sistem kontrak dan outsourcing. Kebiasaan ini telah dilakukan sejak disahkannya UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang di dalamnya mengatur praktik Pekerjaan Waktu Tertentu (PKWT) dan outsourcing. Tidak hanya pada Hari Buruh, tuntutan penghapusan akhirnya juga berlanjut ketika terjadi demonstrasi-demontrasi di seputar pabrik. Tuntutan itu terus menghiasi unjuk rasa-unjuk rasa buruh dalam hampir satu dekade terakhir. Kegelisahan buruh sepertinya sedikit terobati pada pertengahan bulan Januari 2012. Pada tanggal 17 bulan itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagaian uji materi UU No. 13/2003 yang diajukan oleh Didik Suprijadi, pekerja dari Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML). Sebagian besar buruh gembira mendengar ‘kemenangan kecil’ ini. Mereka berharap, pasca putusan MK, tidak ada lagi praktik sistem kontrak dan outsourcing di Indonesia. Apakah harapan ini akan terpenuhi? Bagaimana sebenarnya putusan MK? Apa latar belakang tuntutan uji materi UU No.13/2003 ke MK? Bagaimana prospek pasca putusan MK terhadap nasib buruh? Beberapa pertanyaan ini menjadi bahan diskusi MAP Corner – Klub MKP edisi 24 Januari 2012.

Konteks Historis UU No.13/2003

Membicarakan outsourcing dan PKWT tidak bisa dilepaskan dari proses pembentukan UU No.13/2003 yang ditujukan untuk merespon krisis ekonomi 1997/1998. Krisis ekonomi yang berdampak pada meluasnya pengangguran, rendahnya pertumbuhan ekonomi, inflasi yang tinggi, disertai angkatan kerja yang ternyata justru meningkat perlu segera diatasi. Upaya mengatasi krisis memerlukan investasi yang besar. Keterbatasan dana pemerintah, mendorong perlunya menarik dana investasi asing maupun pinjaman luar negeri. Menarik dana baik investor swasta maupun lembaga keuangan asing memerlukan kepercayaan dunia internasional. Kepercayaan diperoleh jika Indonesia mampu berkomitmen menjalankan isu-isu tekanan ekonomi dan politik yang sering disuarakan dunia internasional. Isu politik yang mencolok adalah demokratisasi pasca rezim otoriter Soeharto. Isu ini pada gilirannya merembet ke bidang perburuhan. Dengan dikawal oleh ILO, tuntutan dunia internasional yang didukung penuh aktor-aktor dalam negeri, berhasil membentuk UU No.21/2000 Tentang Serikat Pekerja/Buruh yang meliberalisasikan serikat buruh.

Di sisi lain, isu ekonomi yang menonjol adalah perombakan struktural ekonomi konglomerasi yang berjaya di bawah Soeharto untuk diubah menjadi ekonomi yang kompetitif dan terintegrasi dengan perekonomian global (liberalisasi ekonomi). Isu ekonomi dikawal dengan ketat oleh IMF, sebagai lembaga pengucur bantuan pemulihan ekonomi. Dalam kondisi krisis, IMF mengajukan resep neoliberal dalam mengatasi krisis ekonomi. Tidak terkecuali dalam bidang perburuhan. Menurut IMF, kondisi pengangguran yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang rendah, perlu diatasi dengan membantu dunia usaha. Bantuan ini dapat dilakukan pemerintah dengan memberikan insentif bagi dunia usaha agar lebih cepat bangkit menggerakkan perekonomian. Insentif ini dapat berupa dua hal. Pertama, memberi potongan pajak bagi dunia usaha. Kedua, menerapkan sistem pasar kerja yang fleksibel. Dalam sistem ini, dunia usaha tidak boleh diikat oleh aturan ketenagakerjaan yang kaku, terutama dalam soal perekrutan dan pemberhentian buruh. Dunia usaha mesti diberi kelonggaran dalam aturan merekrut dan memberhentikan buruh. Fleksibilitas dalam merekrut dan memberhentikan pekerja ini dianggap pengusaha sebagai syarat utama bagi tetap bertahannya usaha. Dengan fleksibilitas tersebut, pengusaha dapat menyesuaikan jumlah pekerja sesuai dengan kondisi pasar. Jika permintaan produksi meningkat, maka pengusaha akan merrekrut tenagakerja baru. Namun jika pasar sedang lesu dan permintaan melemah, maka untuk memangkas ongkos produksi, pengusaha harus diperbolehkan memberhentikan sejumlah pekerjanya. Fleksibilitas ini dapat dicapai dengan penerapan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan outsourcing. Permintaan pengadopsian pasar kerja fleksibel ini bahkan dengan konkret tertuang dalam Letter of Intent (LoI) IMF pada tanggal 18 Maret 2003. Inilah latar belakang pemerintah bersikeras mengadopsi sistem tersebut.

“Dalam sistem ini, dunia usaha tidak boleh diikat oleh aturan ketenagakerjaan yang kaku, terutama dalam soal perekrutan dan pemberhentian buruh. Dunia usaha mesti diberi kelonggaran dalam aturan merekrut dan memberhentikan buruh. Jika permintaan produksi meningkat, maka pengusaha akan merekrut tenagakerja baru. Namun jika pasar sedang lesu dan permintaan melemah, maka untuk memangkas ongkos produksi, pengusaha harus diperbolehkan memberhentikan sejumlah pekerjanya”

Dari konteks ini, maka memang tidak keliru jika Ari Hermawan, pengamat hukum perburuhan UGM yang kali ini menjadi pemantik diskusi pertama, menyatakan bahwa UU nomor 13 tahun 2003 pada awalnya merupakan kebijakan ekonomi yang digagas oleh pemerintah untuk menanggulangi krisis ekonomi yang menerjang sejak 1997/1998. Dengan adanya inisiasi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) rancangan undang – undang (RUU) tersebut berubah arah menjadi UU tentang ketenagakerjaan. Implikasi pergeseran ini cukup serius. Pergeseran itu berarti menundukkan tenaga kerja, dalam hal ini manusia dibawah hukum besi ekonomi (permintaan dan penawaran). Tidak mengejutkan jika kemudian UU No.13/2003 melegalkan praktik outsourcing, dimana manusia menjadi komoditas yang diperdagangkan, sama seperti halnya beras, batu bata, atau kambing. Ari menilai, praktik ini jelas menyalahi aturan karena manusia pada dasarnya tidak boleh diperdagangkan. Selain itu. sistem kontrak juga telah membuat buruh tidak bisa memiliki hak-hak pekerjanya. Ketiadaan hak jaminan sosial merupakan salah satu contohnya. Contoh yang lain ialah tidak adanya hak tentang kepastian kerja, mengingat buruh sewaktu-waktu dapat tertimpa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa pesangon jika dianggap menyalahi kesepakatan kontrak.

Putusan MK mengenai Uji Materi UU No. 13 Tahun 2003

Permasalahan tentang hak-hak pekerja yang terancam inilah yang mendorong banyak pihak berupaya melakukan Yudicial Review ke MK. Tuntutan Didik mewakili AP2ML sebenarnya bukanlah yang pertama kali di MK. Sebelumnya, kawan-kawan buruh juga pernah mengajukan tuntutan terhadap UU No.13/2003 yang dianggap sebagai bentuk human traficking. Sayangnya, saat itu tuntutan tidak dikabulkan MK. Alasan MK sederhana, pasal yang dituntut tidak memenuhi unsur human traficking sebagaimana yang dituduhkan pemohon. Nampaknya belajar dari pengalaman ini, Didik dan kawan-kawan berupaya mengajukan tuntutan secara lebih spesifik menyasar pasal tertentu dalam UU No.13/2003. Setelah masa persidangan yang cukup panjang, MK akhirnya memberi putusan pada 17 Januari 2012. Amar putusan MK bernomor 27/PUU-IX/2011 itu selengkapnya seperti berikut:

  • mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian:
    – frasa “… perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4279) bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak – hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagaian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
    – Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya:
    – Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Karena putusan MK ini, maka dua pasal yang ada di UU nomor 13 tahun 2003 itupun berubah dengan dihilangkannya kalimat “perjanjian kerja waktu tertentu” dan “perjanjian kerja untuk waktu tertentu..” Bunyi dua pasal itu menjadi: Pasal 65 ayat 7 Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 6 dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. Pasal 66 ayat 2 huruf b perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan / atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Putusan MK mewajibkan dua perubahan, yaitu perubahan bunyi pasal 65 ayat 7 dan pasal 66 ayat 2 huruf b. Sebelum diputus MK (dihapuskan), dalam dua pasal itu terkandung frasa ‘perjanjian kerja waktu tertentu’ dan ‘perjanjian kerja untuk waktu tertentu’. Dua frasa tersebut bermakna outsourcing sebelumnya disandingkan dengan kalimat perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Pasca putusan MK, dua frasa (PKWT dan PWT) dihapus dari dua pasal. Inti dari putusan MK ini artinya tak lagi memberi kesempatan pada sebuah perusahaan untuk memberikan pekerjaan yang sifat objeknya tetap meskipun itu bersifat penunjang seperti pengamana, kurir, dan lainnya. Dalam putusannya MK menilai, pekerjaan yang memiliki obyek tetap, tak bisa lagi dikerjakan lewat mekanisme kontrak atau outsourcing. Nantinya, pekerja–pekerja seperti Didik Suprijadi, yang inti pekerjaannya membaca meteran listrik, tidak dibenarkan dipekerjakan secara outsourcing karena obyek kerjanya tetap. Sistem outsourcing atau PKWT dengan menggunakan jasa perusahaan penyedia tenaga kerja hanya bisa dilakukan untuk pekerjaan yang objeknya tak tetap. Objek tak tetap contohnya antara lain adalah pekerja bangunan.

Masa Depan Putusan MK dan Nasib Buruh

Bagaimana kemudian dampak dari putusan MK ini? Kirnadi, Sekjen Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) yang menjadi pemantik diskusi kedua, menilai bahwa putusan MK tidak akan membawa banyak perubahan bagi nasib buruh dan tidak akan menghilangkan praktek outsourcing. Putusan MK dilihat tidak lebih hanya akan memperjelas aturan outsourcing. Bahkan ia meneruskan: “Putusan MK justru membuka peluang cara untuk melakukan outsourcing”. Menurutnya, aturan outsourcing itu dicabut sepenuhnya, tetapi ternyata MK tidak melakukan itu. MK hanya memberikan rekomendasi agar adanya perbaikan dalam praktik outsourcing. Meski demikian, Kirnadi nampak menyadari ini bukan mutlak kesalahan MK sendiri. Sebuah putusan hukum MK pada dasarnya hanya merupakan respon terhadap uji materi yang diajukan oleh pemohon. Pasal yang dituntut dan alasan penuntutan oleh karenanya sangat tergantung pada pemohon. Dari sisi hukum sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Ari, putusan MK mungkin menganulir beberapa ketentuan mengenai outsourcing tetapi dengan “hanya”ditindaklanjuti oleh Kemenakertrans dengan menerbitkan surat edaran yang tidak bersifat mengikat dan lemah secara yuridis, bisa saja putusan MK tetap memelihara atau mengakui keberadaan praktik outsourcing yang terjadi selama ini. Tanpa sebuah perbaikan berarti.

“Putusan MK dilihat tidak lebih hanya akan memperjelas aturan outsourcing. Putusan MK (juga) justru membuka peluang cara untuk melakukan outsourcing. MK hanya memberikan rekomendasi agar adanya perbaikan dalam praktik outsourcing”

Ringkasnya, kedua pemantik, baik dari kalangan akademisi maupun praktisi perburuhan nampak meragukan dan pesimistis bahwa putusan MK akan berdampak signifikan bagi perbaikan nasib buruh. Seperti sudah banyak diulas di berbagai media, nasib buruh Indonesia hanya ‘sebatas bertahan hidup’. Upah rendah, jam kerja panjang (dimana seringkali jam kelebihan kerja tidak dianggap sebagai lembur), tiadanya jaminan sosial bagi keluarga (pendidikan dan kesehatan), dan tentu saja ketiadaan kepastian kerja ketika outsourcing dan PKWT diterapkan. Seperti yang diungkapkan Anwar, aktivis buruh: “..(buruh) Dianggap sebagai satu elemen kecil dari mesin produksi yang akan mendatangkan keuntungan. Dalam cara pandang seperti ini, maka tidak aneh jika para pemilik modal ingin merasakan keuntungan yang sangat besar, maka buruhlah yang akan menjadi obyek pertama yang ditindas”.

Ketidaksejahteraan buruh tak hanya dalam soal outsourcing. Perlindungan ketika terjadi perselisihan industrial juga dinilai tidak memihak buruh. Selama ini jika ada perselisihan mengenai relasi tenaga kerja dengan perusahaan biasanya hanya diselesaikan dengan mediasi. Dinas ketenagakerjaan seringkali hanya menganjurkan pihak yang berselisih ke pengadilan hubungan industrial. Dalam proses mediasi dan pengadilan hubungan industrial tersebut buruh berada dalam posisi tawar yang lemah. Mengapa posisi buruh lemah? Bukankah ada institusi negara yang dapat membantunya?

Pada dasarnya, negara (Indonesia) pernah secara eksplisit menganut apa yang disebut dengan ‘Hubungan Industrial Pancasila’. Konsep ini berupaya meletakkan negara sebagai pihak ‘penengah’ antara kaum pemilik kapital dengan kaum buruh. Layaknya sebuah keluarga, negara dalam konteks ini dituntut berperan sebagai ‘bapak pengayom’ yang baik, menengahi setiap perselihan yang munngkin timbul antar ‘anggota keluarga’. Sayangnya, apa yang dicetuskan Orde Baru dan masih berlangsung sekarang tidaklah memperoleh fakta empirisnya. Bukannya berupaya ‘seadil mungkin’ menengahi kepentingan modal dan pekerja, negara justru terkesan lebih mengutamakan kepentingan modal. Ari menilai, paradigma “developmentalism” yang bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi nasional yang dianut oleh pemerintah menjadikan mereka lebih suka dengan ide-ide yang mendatangkan income lebih besar. Disadari atau tidak, memang sulit untuk menyatukan ide “pengentasan pengangguran” dengan “perlindungan tenaga kerja”.

Pengorganisasian Buruh dan Ketiadaan Partai Buruh

Jika kita meyakini putusan MK tidak akan berdampak signifikan bagi perbaikan nasib buruh, sementara negara terkesan abai terhadap persoalan buruh, apa yang dapat dilakukan? Sepertinya buruh tidak dapat berpaling ke pihak lain, kecuali kepada dirinya sendiri. Mereka perlu meningkatkan posisi tawar ketika berhadap-hadapan baik dengan pengusaha maupun penguasa. Untuk melaksanakan itu, tidak bisa dihindari buruh memerlukan organisasi diri yang kuat. Tanpa organisasi buruh yang kuat, buruh tidak akan bisa menekan pemilik modal dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Tantangannya kini ada dipihak buruh, apakah mereka mampu bertahan dari berbagai tekanan yang biasanya diberikan oleh perusahaan pada pekerja. Ada banyak contoh yang menunjukkan kuatnya tekanan perusahan terhadap organisasi buruh. Salah satu yang mencuat adalah kasus organisasi buruh di Carefour Indonesia. Serikat Pekerja Carefour Indonesia (KASBI) diberangus, anggota dan pengurusnya dikenai sanksi skorsing sampai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sayangnya, pemerintah ketika itu tidak memberi perlindungan pekerja maupun KASBI. Tanpa adanya organisasi atau serikat pekerja tentu akan semakin merugikan buruh, mereka tak lagi memiliki pelindung ketika hak mereka terampas dan tak ada yang memperjuangkan kepentingan buruh lagi.

Jalur lain yang mungkin dapat ditempuh oleh kaum buruh adalah melalui sebuah partai politik. Seperti yang telah dinyatakan oleh Ari, peraturan atau produk hukum merupakan hasil transaksi politik. Asumsinya jika buruh bisa memiliki partai politik yang memiliki basis massa yang besar dan terorganisir dengan baik tentu akan ada yang secara aktif melindungi dan memperjuangkan kepentingan buruh secara langsung dalam proses transaksi politik. Partai Buruh bisa menjadi harapan bagi akses untuk memperjuangkan aspirasi buruh. Namun, sayangnya partai buruh di Indonesia gagal menyatukan buruh. Dilihat dari sejarahnya saja tak pernah ada partai yang mengatakan memperjuangkan kepentingan buruh, bisa menjadi partai besar. bahkan untuk lolos electoral treshold (ET) saja tidak mampu. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999, ada partai yang memakai nama Partai Buruh Nasional, dengan nomor urut 37. Kemudian pada Pemilu 2004 berganti nama menjadi Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD) dengan nomor urut 2 dan gagal memenuhi perolehan suara minimal serta tidak mendapatkan satupun kursi di DPR RI. Tetapi, dengan adanya gugatan dari 4 partai gurem pada Pemilu 2004 kepada MK, akhinya 4 partai politik kecil bisa disahkan menjadi partai peserta Pemilu 2009, salah satunya ialah Partai Buruh dengan nomor urut 44. Sayangnya seperti dua Pemilu sebelumnya, Partai Buruh gagal memperoleh angka yang signifikan agar mereka bisa memiliki wakil di DPR RI. Ketiadaan wakil buruh di parlemen makin memperlemah posisi mereka ketika harus berhadapan dengan pemilik kapital dan pemilik kuasa (pemerintah).

“Partai Buruh bisa menjadi harapan bagi akses untuk memperjuangkan aspirasi buruh. Namun, sayangnya partai buruh di Indonesia gagal menyatukan buruh. Dilihat dari sejarahnya saja tak pernah ada partai yang mengatakan memperjuangkan kepentingan buruh, bisa menjadi partai besar”

Sulitnya mempersatukan kekuatan buruh dalam satu wadah juga diamini oleh Kirnadi. Kuatnya ‘budaya sempalan’ seakan menjadi penghalang tersendiri. Tidak ada kecocokan pribadi kemudian disikapi dengan pembentukan organisasi baru, dan begitu seterusnya. Akibatnya, buruh memiliki beragam organisasi maupun partai yang mengatasnamakan kaum buruh. Tentu saja hal ini justru membuat posisi mereka lemah. Pada Pemilu 1999, ada tiga partai buruh yang bersaing. Selain Partai Buruh Nasional, masih ada Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indoneia dan Partai Pekerja Indonesia yang bernafaskan semangat buruh. Mungkin kita bisa membayangkan, bagaimana jika kekuatan yang terpecah-pecah itu dapat bersatu. Jika sebuah partai buruh masih menjadi mimpi yang cukup jauh, kiranya dalam jangka pendek, aksi masa buruh dapat menjadi amunisi tersendiri. Aksi massa yang menghimpun buruh akan bisa mempertegas keberadaan dan posisi mereka sehingga setidaknya mereka tak lagi dipandang sebelah mata oleh pemerintah maupun pengusaha. Tujuan selanjutnya, ketika ada pembuatan kebijakan mengenai buruh, mereka bisa dilibatkan dan memiliki semacam ‘hak veto’ terhadap keputusan yang akan mempengaruhi nasib mereka. Dengan demikian, buruh, dimana pun ia berada tidak bisa menggantungkan nasibnya pada orang lain. Negara, sudah jauh hari seperti diingatkan Marx akan menjadi ‘panitia kesejahteraan borjuis’. Sudah saatnya buruh menyadari kesamaan kepentingan ‘kelasnya’ dan mengorganisir diri berbasis hal itu, bukannya justru masih asyik mengidentifikasi diri dalam ‘politik aliran’ yang telah memperbudak Indonesia sekian lama. Sepanjang ‘aliran’ masih berhasil memecah-belah ‘kelas’, nasib buruh nampaknya masih suram untuk waktu yang belum dapat ditentukan.

Oleh: Sirajudin Hasbi

Leave a Reply