Melawan Sirkulasi Elit Dalam PEMILU: Pembangunan Politik Alternatif & Upaya Menciptakan Distribusi Keadilan

“Pemilu dan Pilkada yang terjadi sampai saat ini lebih menunjukan sebagai mekanisme sirkulasi kekuasaan dari para elit dibanding sebagai arena pertarungan dalam hal distribusi dan redistribusi keadilan…. mereka melakukan politik dagang sapi demi mengamankan proses akumulasi kapital dengan membajak ajang demokrasi elektoral”

kalimat tersebut diungkapkan oleh Eko Prasetyo (Direktur Social Movement Institute) dalam diskusi MAP Corner-klub MKP UGM (01/11/2016) yang mengusung tema “Pilkada, Gerakan Sosial, dan Politik Alternatif”. Diskusi yang diselenggarakan dipojok lobby MAP UGM pada sore itu merupakan rangkaian ke-3 dari seri diskusi tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Seperti diketahui, ajang pemilihan umum (Pemilu) sudah mulai diselenggarakan untuk pertama kalinya di Indonesia pada tahun 1955. Pada Pemilu 1955 ini sering disebut oleh para Indonesianis seperti George McTurnan Kahin sebagai Pemilu paling demokratis dalam sejarah kontestasi politik Indonesia. Hampir semua partai yang bertarung memiliki garis idiologi yang tegas dengan basis massa masing-masing. Mereka bertarung dalam ranah program, kinerja, dan idiologi politik. Hingga akhirnya memunculkan empat besar partai pemenang Pemilu yang mewakili garis idiologi politik mereka atau mewakili gagasan Nasakom (Nasionalis, Agamis, & Komunis) Soekarno. Empat besar dalam Pemilu 1955 tersebut adalah PNI (ideologi Nasionalis, dengan 22,32% suara), Masyumi (ideologi Agamis, dengan 20,92% suara), Nahdlatul Ulama (idiologi Agamis, dengan 18,41% suara), dan PKI (idiologi Komunis, dengan 16,36% suara).

Paska Pemilu 1955 atau tepatnya pada tahun 1959 Indonesia menerapkan demokrasi terpimpin yang menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Pergolakan politik yang terjadi pada 01 Oktober 1965 turut merubah struktur kekuasaan di Indonesia. Soekarno kehilangan legitimasi politiknya paska peristiwa tersebut, karena dilucuti oleh Soeharto dan sekutunya. Peristiwa itu oleh John Roosa disebut sebagai kudeta merangkak (Coup d’État). Pada Maret 1967 secara resmi Soeharto menjadi presiden Indonesia dan sejak itu dimulai sebuah era yang disebut Orde Baru yaitu sebuah era yang dibangun dari peristiwa kejahatan kemanusian dan penghancuran gerakan kiri serta soekarnoisme.

Saat masa Orde Baru, terhitung 6 kali ajang Pemilu digelar. Itu adalah pemilu yang sangat membosankan karena sebelum digelar sudah dapat dengan mudah ditebak siapa pemenangnya, yaitu pasti Soeharto dan Golkar. Slogan Pemilu bahwa LUBER : Langsung Umum Bebas dan Rahasia JURDIL : Jujur dan Adil seperti jauh panggang dari api. Proses deparpolisasi yang dilakukan oleh Regim Soeharto dengan penyederhanaan parpol menjadi hanya 2 parpol yaitu PDI dan PPP serta satu Golongan Karya (Golkar) yang bisa mengikuti pemilu. Golkar ini diberikan keistimewaan untuk bergerak sampai level desa serta memobilisasi para PNS untuk memilih mereka. Itu telah membuat Golkar selalu unggul dalam proses ajang kontestasi politik Pemilu elektoral. Golkar menjadi jaringan patronase dan berkumpulnya lingkaran oligarki dari elit orba (Crouch, 1979). Demokrasi dikerangkeng hanya sebagai jargon pembenaran dengan mengabaikan substansinya.

Pada saat krisis ekonomi 1997/1998 dan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, berbagai harapan akan perbaikan demokrasi dan perbaikan kehidupan rakyat mulai bermunculan. Namun sampai sekarang kita dihadapkan dengan empat kali hasil Pemilu dan juga hasil Pilkada yang tidak bisa menghantarkan bangsa ini menuju cita-cita nasionalnya: masyarakat adil dan makmur. Pada seri diskusi Pilkada #1 dengan mengusung tema “Pilkada, Demokrasi Prosedural, & Oligarki Politik”, para pemantik diskusi yaitu Danial Indrakusuma (Aktivis Gema Demokrasi) dan AE Priyono (Peneliti Publik Virtue Institute) pada kesimpulan bahwa demokrasi Indonesia pada era reformasi sekarang masih dibajak oleh para Oligark.

Dalam seri diskusi Pilkada #1 AE Priyono menjelaskan bahwa demokrasi Indonesia pasca Orde Baru tidak menyebabkan dikontinuitas kekuasaan. Yang terjadi bukan hanya kontinuitas Orde Baru, tetapi justru munculnya kembali kekuasaan patrominial pra-kolonial (Nortdholt, 2004). Melalui desentralisasi, agen-agen otokratik berbasis birokrasi lokal membangun aliansi dengan elite ekonomi dan politik, untuk penguasaan sumberdaya. Inilah yang menjadi basis terciptanya demokrasi patronal di tingkat daerah. Sekaligus basis munculnya dinasti-dinasti politik baru (Klinken, 2006). Selain itu para elite partokratik melakukan pembajakan terhadap lembaga-lembaga dan prosedur demokrasi (Demos, 2004). Elite predatorial lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung. Reorganisasi kekuasaan berlangsung mengikuti logika politik kartel dan menjadi basis bagi munculnya plutokrasi (Robison & Hadiz, 2004). Namun bagi Danial dalam seri diskusi Pilkada #1 itu, peluang untuk dapat meruntuhkan kekuasaan oligarki politik itu ada dan mungkin. Menurutnya thesis “Oligarki” dari Jeffrey A Winter itu ahistoris dan kehilangan pokok kasualitasnya, bila dianalisa dengan analisa kelas. Jalan keluar untuk melawan cengkeram oligarki politik ini menurut Danial adalah dengan demokratisasi tenaga produktif (secara keseluruhan)–manusia dan sarana-sarana produksinya. Sementara AE Priyono menekankan pada pentingnya merebut dan menjalankan demokrasi partisipatoris di level terendah dan demokrasi representatif di level tertinggi.

Di seri diskusi Pilkada #2, MAP Corner-klub MKP UGM mengusung tema “Pilkada, Politik Identitas, dan Sentimen SARA”. Dalam diskusi tersebut Roy Murtadho (Redaktur Islam Bergerak) secara panjang lebar tentang terjadinya politik yang nir-idiologi dan itu dimanfaatkan oleh para elit politik untuk mengisi ruang-ruang kosong demokrasi. Mereka melakukan strategi kampanye dengan biaya rendah akan tetapi efektif mendulang suara dan memobilisasi massa yaitu melalui sentimen SARA (Suku, Agama, Ras, & Antar-Golongan). Bagi Roy politik identitas yang berbasis SARA ini telah mendiskreditkan substansi demokrasi dan itu menjadi hal yang berbahaya serta disisi lain melanggengkan sistem yang elitis. Perdebatan tentang kinerja, program kerja, dan idiologi menjadi menghilang dalam diskursus pertimbangan memilih pemimpin karena tersapu oleh diskursus politik identitas dan isu SARA. Sehingga Roy Murtadho kemudian menjadikan analisa kelas dan politik kelas menjadi penting dalam terwujudnya demokrasi substansial yang partisipatoris. Itu salah satunya dapat direalisasikan dengan membangun politik alternatif.

Sedangkan di seri terakhir dari seri diskusi Pilkada atau #3, MAP Corner-klub MKP UGM mengangkat tema tentang “Pilkada, Gerakan Sosial, dan Politik Alternatif”. Restu Baskara (Rumah Rakyat Indonesia) dan Eko Prasetyo (Social Movement Institute) didapuk sebagai pemantik diskusi. Restu yang memulai memantik diskusi melihat bahwa akumulasi kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah menurutnya membuat penting untuk membangun politik alternatif. Bagi Restu yang juga aktivis gerakan buruh, metode gerakan ekstra-parlementer dari aksi demo, mogok, dan juga aksi massa yang lain berdasarkan pengalamannya tidak benar-benar mampu mempengaruhi regulasi dan kebijakan pemerintah untuk berpihak pada rakyat kecil. Sehingga menurutnya juga menjadi penting untuk membangun politik alternatif bergerak dalam gerakan parlementer memanfaatkan struktur politik yang telah sedikit terbuka. Namun dia juga menekankan bahwa hal tersebut tidak lantas mengabaikan strategi ekstra-parlementer, karena itu juga menjadi bagian penting dalam proses demokrasi.

Majunya Obon Tabroni dalam Pilkada Bekasi pada 2017 nanti menurut Restu adalah bagian dari politik alternatif yang sedang Gerakan Buruh Indonesia (GBI) perjuangkan. Seperti diketahui bahwa Obon Tabroni (Aktivis Buruh) mencalonkan diri melalui jalur independen yang berhasil mengumpulkan 156 Ribu KTP dukungan dan itu melebihi sarat yang ditentukan yakni 135 ribu KTP. Dukungan tersebut sebagian besar dari serikat buruh dan para buruh di Bekasi. Apalagi Kabupaten Bekasi merupakan kawasan industri yang jutaan buruh bekerja disana dan memiliki 7 kawasan industri besar.

Politik alternatif yang mencoba dibangun oleh gerakan buruh yang tergabung dalam GBI (terdiri dari KSPI, KSPSI serta KPBI (KPBI sendiri terdiri antara lain dari FSBTPI dan FPBI) target utama mereka adalah berupaya mengikuti Pemilu 2019. Sebelumnya GBI mendeklarasikan ormas bernama RRI yang merupakan cikal bakal partai buruh. Namun mereka harus dihadapkan dengan persyarakat administratif yang cukup berat agar mampu lolos mengikuti Pemilu 2019. Mereka harus memenuhi 9 persyaratan administrasi, seperti berbadan hukum, memiliki pengurus di 100% provinsi, 75% di kabupaten/kota dan 50% kecamatan, memiliki anggota 1.000 atau 1/1.000 jumlah penduduk kabupaten dll. Selain GBI, upaya membangun politik alternatif untuk bertarung dalam demokrasi elektoral juga sedang berupaya dilakukan oleh Partai Hijau Indonesia (PHI).

Restu mengungkapkan bahwa partai alternatif yang berupaya dibangun oleh GBI adalah partai yang tidak melakukan kolaborasi kelas dan bersandar pada politik rakyat kelas bawah. GBI juga berupaya membangun partai politik yang tidak hanya berbasis pada gerakan buruh, akan tetapi juga gerakan mahasiswa, gerakan petani, dan gerakan rakyat yang lain. Dengan politik kelas yang diusung, Restu mengatakan bahwa itu akan mampu menjadi anti-thesis terhadap politik elitis dan dapat menentang kuasa para oligarki yang selama ini membajak demokrasi Indonesia.

Sementara Eko Prasetyo melihat bahwa politik yang dipertontonkan di Indonesia saat ini adalah politik yang sangat konservatif. Para aktor mengedepankan politik etis yang mengabaikan politik empiris. Sedangkan rakyat masih terjerat pada kesadaran palsu yang tidak memiliki imajinasi politik tentang bagaimana kehidupan yang baik diperjuangkan dan dapat terwujud. Berbagai data laporan dari FITRA dan juga lembaga yang lain menurut Eko Prasetyo secara gamblang menampilkan bagaimana ketimpangan antara yang miskin dan yang kaya begitu mencolok. Namun itu tetap saja tidak mampu memantik gejolak perlawanan menuntut keadilan. Gerakan sosial menurutnya masih terjebak dengan pola-pola lama dan tidak mampu mendorong kampanye kreatif (metode berbeda) yang membangkitkan kesadaran rakyat untuk turut melawan ketidakadilan yang secara real terjadi.

Menurut Eko Prasetyo politik alternatif menjadi sesuatu yang mendesak untuk diperjuangkan ditengah carut marut yang terjadi di Indonesia. Politik alternatif itu dalam pandangannya dapat juga direalisasikan didalam level terkecil pemerintahan yaitu di level Desa. Dia mencontohkan tentang pembangunan politik alternatif di Desa Jagalan – Yogyakarta dalam pemilihan kepala desa. Dengan menjalankan politik kelas yang dibumbui dengan kampanye-kampanye kreatif telah mampu mendorong kesadaran kritis masyarakat. Hingga akhirnya memenangkan secara mutlak calon yang diusung. Dengan merebut kekuasaan-kekuasaan terkecil menurutnya adalah bagian dari upaya untuk membatasi ruang gerak para oligark yang selama ini memporak-porandakan ekonomi-politik Indonesia.

Dalam tiga seri diskusi Pilkada (#1, #2, & #3) yang dijalankan oleh MAP Corner-klub MKP UGM ini, semua pemantik diskusi menyimpulkan penilaian yang sama yaitu bahwa demokrasi yang berjalan di Indonesia sekarang tidak sedang baik-baik saja. Ada problem serius yang membekap demokrasi menjadi ajang sirkulasi elit untuk memperebutkan kue-kue akumulasi kapital. Namun gerakan sosial yang terbangun lama di Indonesia sedikit banyak telah mampu mendapatkan kemenangan demi kemenangan melawan para oligark. Dibeberapa tempat, gerakan sosial yang terbangun telah mampu menghadang arah gerak kanibalistik ekspansi kapital dari para oligark.

Beberapa elemen Gerakan sosial (GBI, PHI, PRP, IndoProgress, dan elemen yang lain) yang ada di Indonesia kini mencoba melakukan langkah politik untuk bertarung dalam demokrasi elektoral yaitu bergerak dijalur parlementer. Seperti ungkapan Eko Prasetyo, mereka berupaya merebut kekuasaan negara yang menjadi titik sentral untuk mendorong cita-cita tentang distribusi ekonomi dan distribusi keadilan. Langkah bergerak dijalur parlementer ini juga mendapat pertentangan dari gerakan sosial lain.

Mampukah gerakan sosial ini membangun politik alternatif dalam menentang kekuatan para elit atau Oligarki politik di Indonesia? Apakah mereka yang bergerak dijalur parlementer mampu memperjuangkan cita-cita keadilan atau akan terseret dalam cengkeraman politik oligarki? Apakah mereka yang menolak bergerak di dijalur parlementer mampu membawa transformasi-transformasi perbaikan kehidupan rakyat atau malahan terjebak pada cara bermain para oligark? Politik alternatif seperti apa yang seharusnya dibangun di Indonesia untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan berkeadilan bagi rakyat?

Pertanyaan-pertanyaan diatas tidak akan pernah selesai terjawab jika kita hanya menunggu bagaimana keadaan sosial, ekonomi, politik dan demokrasi Indonesia untuk lima atau sepuluh tahun kedepan. Penting kiranya bagi kita untuk turut bergerak dalam kasanah laboratorium ekonomi politik Indonesia, untuk melakukan penyelidikan, percobaan, pencatatan, perenungan, dan penyimpulan. Berpolemik secara teoritis dan praksis juga menjadi hal yang penting untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana kehidupan yang layak harus diperjuangkan dan dipertahankan.

Leave a Reply