Klub DIY Menonton, 65, dan Para Penonton Milenialnya

Pengantar Redaksi

“Film dan Ideologi Politik” seperti dua keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Untuk memproduksi dan mereproduksi kekuasaan, penguasa tidak hanya bertopak pada “politik”, namun juga dengan “puitik”, seperti monumen, kesenian, sastra, dan film tentu saja. Film kerap digunakan sebagai alat ideologis negara. Hal itu telah berlangsung sejak Indonesia di bawah kolonialisasi Belanda dan Jepang, sampai Indonesia merdeka. Film “Penghianatan G30/S/PKI” yang disutradarai Arifin C. Noor memerankan peran sebagai alat propaganda Orde Baru. Film itu tidak hanya sebagai “tontonan”, tetapi juga berisi “tuntunan” dan “tuntutan” untuk menginternalisasi narasi sejarah versi Orde Baru. Pada perkembangannya, narasi sejarah dalam film “Penghianatan G30/S/PKI” menunjukan kekeliruan dan kebohongannya.

Esai berikut ini adalah tulisan pemantik dalam diskusi MAP Corner Klub MKP UGM pada 03 Oktober 2017 dengan tema “Film dan Ideologi Politik” dari Suluh Pamuji, seorang kurator dan koordinator Klub DIY Menonton (KDM). Suluh menjelaskan tentang kegiatan dari KDM sebagai komunitas pemutaran film alternatif. Film alternatif terkait peristiwa September 1965 tidak luput dari pemutaran dan pendiskusian KDM ini, seperti film berjudul Djedjak Darah: Surat Teruntuk Adinda; Sowan; Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jendral! ; On The Origin Of Fear; Pentas Terakhir. Setelah menjelaskan film alternatif tentang 65, Suluh kemudian menganalisis tentang peran film “Penghianatan G30/S/PKI” dalam konstruksi ideologi penguasa dan kondisi apa yang membuat film itu kembali diputar ulang (secara masiv oleh TNI AD sesuai instruksi Gatot Nurmantyo) akhir-akhir ini. Selengkapnya, silahkan simak tulisan dari Suluh Pamuji berikut ini.

*** *** ***

Prolog

Klub DIY Menonton (KDM) adalah program pemutaran dan diskusi yang dilaksanakan pertama kali pada Maret 2016. KDM memosisikan diri sebagai program pemutaran dan diskusi yang berlangsung secara berkesinambungan, selaras dengan slogan yang menjadi seruan KDM: “Durabillity! Sustainability! Long Live Alternate Screening!”. Pelaksanaan KDM yang telah memasuki tahun ke-2 ini kembali didukung oleh Seksi Perfilman Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta serta dikelola secara kolaboratif oleh SAAP – Think & Create, Paguyuban Filmmaker Jogja, dan Yuk Nonton!!!

Per Oktober 2017, kami akan memasuki pemutaran ke dua puluh empat atau KDM #24. Bertindak sebagai kurator sekaligus koordinator program KDM, saya beberapa kali memilih dan memutar film pendek bertema 65, di antaranya:

  • Djedjak Darah: Surat Teruntuk Adinda (KDM #1)
  • Sowan (KDM #9 x ICPSFF)
  • Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jendral! (KDM #13)
  • On The Origin Of Fear (KDM #13)
  • Pentas Terakhir (KDM #22 x ICPSFF)

Pemutaran dan diskusi film-film tersebut berlangsung lancar dan baik-baik saja dari awal hingga akhir. Kebetulan judul-judul film yang saya sebutkan di atas statusnya belum senaas Jagal, Senyap, Pulau Buru Tanah Air Beta yang dilarang putar; juga belum semasif film Pengkhianatan G30S/PKI yang belakangan dianjurkan untuk diputar dan dipaksa-tonton lagi. Namun, di luar konteks tersebut lima film tersebut—yang semuanya dibuat oleh warga negara Indonesia—umumnya hendak menampilkan sudut dan versi sejarah 65 yang berbeda dari orde baru.

KDM & Film Bertema 65

Djedjak Darah Surat Teruntuk Adinda (M. Aprisiyanto, 2004)

 

Sinopsis Film:

Hardjono adalah pemain kethoprak yang berbakat. Ia diajak Gito untuk sebuah pementasandi Istana Negara. Untuk itu, ia meninggalkan kekasihnya, Pertiwi, dan keluarganya. Selama proses persiapan pementasan, terjadilah peristiwa G30S. Gito adalah seorang anggota Lekra yang kemudian tertangkap. Sebab kedekatan Hardjono pada Gito, maka pada suatu hari Hardjono tertangkap. Film ini merupakan saat terakhir Hardjono sebelum tertangkap. Seluruh kegelisahan dan kekhawatirannya ia tuangkan ke dalam surat untuk kekasihnya.

Catatan Program:

Film ini adalah salah satu penanda di mana kran demokrasi di Indonesia dibuka selebar-lebarnya. Isu-isu yang ditabukan pada masa orba semakin masif dilesatkan, dihembuskan melalui medium apapun, termasuk film pendek. Djedjak Darah adalah film yang mengangkat sejarah enam lima dari sudut pandang seorang pelaku kesenian rakyat yang jatuh menjadi salah satu korban.

Pernyataan Sutradara:

“Latar pembuatan Djedjak Darah: Surat Teruntuk Adinda berawal dari ide ingin membuat film dengan adegan menulis surat, namun suratnya tidak sampai. Kira-kira apa yang akan terjadi?”Kemudian Jupri (panggilan akrab M. Aprisiyanto) ingin melekatkan pada konteks waktu saat itu, yang memunculkan kesadaran atas kedekatan peristiwa ’65 di sekitar kita.“Jika kita menilik ulang silsilah keluarga kita, pasti ada anggota keluarga entah keturunan ke berapa, atau bahkan tetangga kita yang tersangkut peristiwa ‘65”, tutur Jupri. Dari situlah kemudian Jupri dan beberapa crew-nya mengalami proses produksi yang sekaligus sebagai proses hearing atas peristiwa tersebut: melihat kembali sejarah keluarga mereka. Akhirnya jadilah film dengan adegan menulis surat yang suratnya tidak pernah sampai ke tujuan dalam latar peristiwa ’65. Bagi Jupri, “yang penting dari membuat film bukan menghadirkan film itu untuk berdiri sendiri hanya dengan si pembuat film. Namun, bagaimana si pembuat film mampu melekatkan konteks waktu dan peristiwa dengan film yang dibuatnya, itu jauh lebih penting.”

Sowan (Bobby Prasetyo, 2014)

Sinopsis:

Sowan bercerita tentang dua sahabat yang terpisah saat peristiwa politik tahun 1965 di Indonesia. Digambarkan semua orang yang terkait dengan PKI dibantai atau diasingkan. Empat puluh sembilan tahun kemudian, peristiwa tersebut masih mempengaruhi kehidupan sepasang sahabat.

Dalam sesi diskusi saat itu, KDM menghadirkan Budi Irawanto sebagai pembahas. Budi Irawanto menyatakan: “Sowan adalah film yang sangat kontekstual. Film ini kalau kita kaitkan dengan tema malam ini, Political Border, dengan pekat terlihat dimensi dari apa yang disebut dengan batas, ada beberapa dimensi yang tidak semata-mata bersifat fisik.”  Dalam sesi tersebut, seorang penanya, Giras Basuwondo bertanya: “Sampai kapan persoalan ‘65 ini sensitif di Indonesia?” Kemudian dengan sudut pandang generasi, Budi Irawanto menjawab: “Dilihat dari sisi generasi, korban maupun pelaku beberapa sudah banyak yang meninggal. Persoalannya kemudian, terjadi proses dalam tanda petik pewarisan tentang versi ‘65 yang dilakukan banyak medium. Dan sebenarnya, yang memungkinkan untuk mematahkan pewarisan tentang memori, stigma konstruksi ‘65 itu adalah generasi muda. Pertama, bantuan mereka secara waktu historis berjarak dengan peristiwa sesungguhnya, jadi relatif tidak ada beban historis apapun, bukan saksi dan tidak mengalami langsung. Nah, cuma celakanya, pertanyaan kita kemudian apakah pewarisan melalui entah itu buku sejarah lalu museum bisa diabaikan? Kalau saya merasa propaganda itu tidak lagi dikoar-koarkan generasi muda sekarang. Dan sumber-sumber untuk menggali tentang sejarah itu lebih banyak refrensi dan versi. Saya percaya generasi muda saat ini tidak mudah termakan”

Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jendral (Ilman Nafai, 2016)

 

Film ini (bersama On The Origin of Fear yang akan dibahas setelah film ini) kami pilih karena mampu merepresentasikan beberapa hal yang kami tangkap sebagai situasi manusia, kritisisme, gagasan, keberagaman, dan kebebasan. Sinopsis film ini adalah sebagai berikut: Tiga eks-Cakrabirawa asal Purbalingga berkisah tentang bagaimana peristiwa di malam ketika tragedi itu terjadi dan hari-hari setelahnya. Luka yang terus dipendam tak terobati hingga hari ini.

Catatan Programmer:

Sutradara film ini bernama Ilman Nafai, seorang pelajar dari Purbalingga. Apa yang dilakukan Ilman sangat sederhana: ia menyusun hasil wawancara dengan tiga narasumber dan menambahkan beberapa footage yang mendukung. Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal! membuktikan bahwa dengan pilihan subjek yang kuat dan konteks yang tepat, dokumenter ini menjadi signifikan tanpa gaya dokumenter yang ‘neko-neko’. ~Mohammad Reza Fahriyansyah

On The Origin of Fear (Bayu Prihantoro, 2016)

Sinopsis:

Satu tentara dan satu tahanan. Dua tentara dan satu sutradara. Pada hari itu, mereka berbicara dengan sangat akrab: tentang cinta, kesetiaan, pengkhianatan, drama dan rasa ngeri.

Catatan Programmer:

Masih membekas dalam ingatan generasi 80-an Indonesia ketika pertama kali menonton Pengkhianatan G30 S PKI sebagai film wajib tonton. Setelah rezim orba tumbang, kran demokrasi terbuka. Beberapa film dengan tema 65 diproduksi sebagai versi yang sama sekali lain: versi non-penguasa. Banyak di antaranya tampil sebagai film dengan narasi para korban yang didominasi oleh linagan air mata. Tahun 2016, On The Origin of Fear kemudian muncul sebagai film dengan tema serupa, namun terasa berbeda dari film bertema 65 versi non-penguasa lainnya. Bayu Prihantoro Filemon secara jeli mengelaborasi narasi filmnya dari sudut pandang tahap pasca produksi Pengkhianatan G30 S PKI. Dengan eksekusi sinematik yang apik, On The Origin of Fear bagi kami berhasil tampil sebagai gambaran tentang proses penciptaan rasa takut dengan medium seni rekam suara. ~Agni Tirta

Pentas Terakhir (Triyanto ‘Genthong’ Hapsoro, 2017)

Sinopsis:

Seorang seniman ketoprak, Parjan, dan anaknya, Wantun, diciduk oleh tentara dan dimasukkan ke penjara, karena organisasi kesenian ketopraknya dituduh berafiliasi dengan Lekra. Parjan berbohong pada Wantun, bahwa kepergian mereka adalah untuk pentas. Selang beberapa waktu, kepala sipir mengabarkan bahwa Parjan masuk ke daftar orang yang akan dibuang ke luar kota. Bagaimanakah cara Parjan memberitahu Wantun dan apa yang terjadi dengan Wantun kemudian?

Catatan Programmer:

Pentas Terakhir mengelola tema enam lima dari sudut pandang yang tak menihilkan peran tentara. Sejak Jagal dan Senyap susah tayang di dalam negri, namun demikian diapresiasi di luar negri. Masalah yang muncul adalah dua film menjadi jebakan lain bagi penonton luar negri yang tidak paham betul kompleksitas konteks sejarah 65. Jagal dan Senyap kemudian menjadi versi lain yang banyak ditangkap sebagai brutalitas sekelompok warga Indonesia dan organisasi paramiliter yang basis masanya adalah warga biasa. Namun, di sisi lain, celakanya adalah peran tentara menjadi tipis karenanya.

KDM & Para Penonton Milenialnya

Para penonton KDM sebagian besar adalah mahasiswa/i angkatan baru. Dalam pembabakan generasi, sebagian besar penonton kami tersebut adalah mereka yang disebut sebagai generasi milenial. Saya kerap memperthatikan bagaimana para penonton kami melontarkan pertanyaan juga pernyataan. Mengkonteks pada film-film bertema 65 yang pernah kami putarkan. Satu pertanyaan dan pernyataan yang menjadi temuan menarik adalah sebuah pertanyaan dan pernyataan untuk konten film Pentas Terakhir: “Lekra itu apa ya? Saya tidak tahu karena saya bukan orang sini.” Dari bentuk pertanyaan seperti itu, dugaan yang bisa kita tarik adalah terjadinya kekosongn versi sejarah 65 di level sekolah untuk generasi yang tidak memiliki pengalaman dan kepentingan apa-apa atas periode sejarah tersebut berikut beragam versi kebenarannya.

Jadi pertanyaan tentang apa yang membuat pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI sekarang menjadi polemik? Salah satunya adalah adanya upaya isi ulang versi sejarah 65 untuk kepentingan yang sangat praktis hingga teoretis dari pihak-pihak yang mengalami dan memiliki kepentingan langsung. Salah satunya adalah apa yang tergambar dari foto di awal. Seorang kawan mengatakan hal tersebut “sangat horor”. Tentara bertindak sebagai pemutar film dan film yang diputarnya tidak sesuai dengan kriteria usia yang telah ditentukan oleh salah satu lembaga negara sendiri: 15+. Penyaringan penonton tidak dilakukan. Seolah salah satu filmnya Arifin C. Noor tersebut adalah film untuk semua usia.

Lalu “bagaimana film digunakan untuk tujuan politik?” Film yang digunakan untuk tujuan politik kesuksesannya sebenarnya tidak hanya berhenti di tahap produksi film yang berkualitas saja, karena minimal sebuah film dengan tujuan politik tertentu harus memikirkan juga bagaimana pola distribusi dan ekshibisinya. Salah satu atau mungkin satu-satunya yang layak dijadikan contoh, tidak lain dan tidak bukan adalah film Pengkhianatan G30S/PKI. Persisnya, ketika Arifin C. Noor menuntaskan tugasnya sebagai seorang sutradara. Kemudian pemerintah orde baru menyusun strategi distribusi dan ekshibisi film tersebut agar ditonton masyarakat Indonesia sebanyak-banyaknya.

Penutup

Film kerap digunakan sebagai alat ideologis negara. Hal itu telah berlangsung sejak Indonesia di bawah kolonialisasi Belanda dan Jepang, kemudian berlanjut ke era kemerdekaan Indonesia hingga pasca kemerdekaan Indonesia. Kondisi-kondisi yang mendukungnya, yaitu ketika politik memasuki musim yang sangat berarti menuju era kekuasaan yang baru berikut sosialisasi atas terbitnya kebijakan-kebijakan baru. Hal tersebut seperti yang dipaparkan oleh Krishna Sen: “Tahun 1936, ANIF (Algemeen Nederlandsh-Indisch Film) sebagai perusahaan film Belanda, memproduksi film propaganda Indonesia pertama, Tanah Sebrang. Film yang disutradarai oleh Manus Franken tersebut berisi pujian atas kebijakan transmigrasi pemerintah Belanda yang hendak memindahkan sebagian populasi dari Jawa ke Sumatera.”

“Pertanyaan tentang “Bagaimana kontestasi ideologis dalam perfilman Indonesia saat ini? Apa implikasinya?” Saat ini, kontestasi ideologis dalam perfilman Indonesia tidaklah sekental periode sebelumnya. Kontestasi yang kentara lebih kepada kontestasi ekonomi. Jadi yang lebih ingin dibuktikan adalah bagaimana film Indonesia bisa berjaya di negri sendiri secara industri. Menipisnya kontestasi ideologis juga dikarenakan kondisi zaman yang berbeda berikut perkembangan teknologi yang menyebabkan semuanya lebih terbuka berikut sampah-sampahnya. Singkatnya, daripa membuktikan beragam ideologi dalam kontes, citra audiovisual yang banyak saya tangkap selain hoax, adalah pembuktian bahwa “bahagia itu sederhana”. Implikasinya, saat ini kita jadi terlalu santai untuk merespon gerakan dari kalangan out of date yang masih percaya dengan cara-cara lama.

“Dan bagaimana perkembangan film-film alternatif di Indonesia?” Jika pertanyaan itu harus saya jawab. Jawaban saya, perkembangan film-film alternatif di Indonesia baik-baik saja. Sebab yang bermasalah sejak dulu adalah Lembaga Sensor Film (LSF) dan ekosistem perfilman Indonesia yang sejauh ini berkembang sangat lambat.

Ditulis Oleh: Suluh Pamuji (Kuratort dan Koordinator KDB)

Esai ini sebelumnya digunakan oleh Suluh Pamuji untuk memantik diskusi MAP Corner-Klub MKP pada 03 Oktober 2017 dengan tema “Film dan Ideologi Politik”. Esai ini dimuat di website MAP Corner-Klub MKP UGM atas izin dari penulis.

Leave a Reply