Guru Besar UGM: “Pelarangan Buku adalah Pembodohan dan Kekonyolan”

Indonesia kembali disuguhkan dengan kebijakan kontra-demokrasi. Pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan buku-buku yang dianggap kiri dan berbau ajaran komunis. Dasar hukum yang digunakan adalah TAP MPRS No.25/1966 dan peraturan terkait yang melarang berbagai bentuk kegiatan yang menyebar luarkan ideologi Marxisme-Leninisme dan Komunisme. Bahkan kepala perpustakaan nasional mendukung kegiatan pemberangusan (pembakaran) buku-buku yang dianggap kiri. Pada 17 Mei, setidaknya ada dua momen yang dianggap penting dalam dunia perbukuan. Pertama, pendirian Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), 17 Mei 1950. Kedua, pencanangan pendirian Perpustakaan Nasional (Perpusnas), 17 Mei 1980. Pada tahun 2002 Menteri Pendidikan saat itu menetapkan 17 Mei menjadi hari buku nasional. Tujuan dari ditetapkannya hari buku nasional adalah untuk meningkatkan minat membaca di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan amanat UUD 1945 yang menyatakan Negara bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Buku merupakan jendela dunia dan merupakan “gudang amunisi” bagi masyarakat pada umumnya dan pemuda pada khususnya.

Akan tetapi pada peringatan hari buku nasional tahun ini (2016) ada kejadian kontra-demokrasi berkaitan dengan dunia perbukuan. Beberapa toko buku, penulis, dan penerbit didatangi aparat keamanan. Di Jogja misalnya, menurut Masyarakat Literasi Yogya (tempo.co) terror terhadap aktivitas literasi menimpa sedikitnya 2 penerbit dan satu toko buku. Penerbit Narasi dan Resist Book didatangi satuan tentara dan kepolisian, karena kejadian represi tersebut penerbit Resist Book terpaksa pindah tempat. Toko buku Budi dan Shopping Center Yogyakarta juga didatangi oleh petugas Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta dan menyita beberapa buku yang dianggap kiri. Di Jakarta Penerbit Margin Kiri (dalam CNN, 13/05/2016) aparat menggeledah dan menyita secara membabi-buta. Asal ada kata-kata komunis, PKI, 1965, atau sampulnya bergambar palu dan arit, langsung diberangus. Padahal ada beberapa buku yang tidak mengkritisi pemerintah, misalnya buku Palu Arit di Ladang Tebu karya Hermawan Sulistyo yang isinya aksi sepihak PKI juga dirampas.

Bulan Mei tahun 2016 ini merupakan 18 tahun reformasi yang ditandai dengan berhasilnya gerakan rakyat menjatuhkan Presiden Soeharto pada waktu itu. Semangat reformasi adalah menyerukan kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan demokrasi seluas-luasnya. Jika semangat reformasi ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang demokratis, maka harus ada jaminan terhadap freedom of expression, freedom of speech, dan freedom of the press. Dalam perspektif yang lebih umum, ketiga jenis jaminan tersebut dibutuhkan sebagai hak dasar sosial dan politik warga negara. Tanpa adanya jaminan tersebut, tak akan ada demokrasi. Dengan dalih menjaga “stabilitas nasional”, “ketertiban umum”, atau sekadar meluruskan “tafsir sejarah yang keliru”, lembaga-lembaga tertentu bisa dengan sewenang-wenang melarang kebebasan berpendapat. Model pelarangan, pembatasan, dan pengebirian semacam ini merupakan perwujudan Ideologi politik khas kolonial dan otoritarian yang terus dilanggengkan. Nampaknya semangat reformasi belum tercerminkan dalam pemerintahan saat ini. Kebijakan pelarangan buku adalah salah satu bentuk perbuatan kontra-demokrasi dari penguasa. Pelarangan buku juga mencerminkan ketakutan penguasa dengan mengekang hak politik warga negaranya, tidak mengakui adanya keanekaragaman perspektif dan sudut pandang. Setelah 18 tahun reformasi ternyata tujuan utama dari reformasi 98 masih jauh dari harapan. Apakah pelarangan terhadap buku-buku tersebut memiliki dasar yang kuat?

Pemunduran Peradaban


Kebijakan pemerintah yang melarang buku-buku kiri beredar dengan merepresi penulis, penerbit, dan toko buku merupakan kebijakan “konyol”. Kegiatan literasi di Indonesia masih rendah. Data dari UNESCO terbaru menunjukkan minat baca di Indonesia hanya 0,001, artinya dari 1000 orang hanya 1 yang mempunyai minat baca secara serius. Selain itu rata-rata nasional Indonesia dalam membaca buku pertahun tidak sampai 1 buku per orang. Angka tersebut merupakan terendah di kawasan Asia. Kita bandingkan dengan Malaysia misalnya, rata-rata nasional Malaysia menghabiskan 3 judul buku pertahun perorang. Negara maju seperti Jepang bisa menghabiskan 10 judul buku pertahun perorang. Data ini perkuat oleh laporan Bank Dunia Nomor 16369-IND, dan studi IEA (International Association for the Evaluation of Education Achicievement) di Asia Timur, tingkat terendah membaca dipegang oleh negara Indonesia dengan skor 51,7, di bawah Filipina (skor 52,6), Thailand (skor 65,1), Singapura (skor 74,0), dan Hongkong (skor 75,5). Bukan itu saja, kemampuan orang Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen.
Selain itu tulisan dalam bentuk buku yang dihasilkan secara Nasional di Indonesia juga masih terendah dikawasan Asia. Data UNESCO 2012 menyebutkan jumlah buku yang terbit pertahun di Indonesia sekitar 8000 judul/tahun. Bila kita bandingkan dengan Negara tetangga Malaysia jauh diatas Indonesia yaitu 15.000 judul/tahun, Vietnam 45.000 judul/tahun, Jepang mencapai 100.000 judul/tahun.

Kebijakan pelarangan buku (kiri) oleh pemerintah pada negara dengan (kondisi) budaya literasi yang rendah seperti menyiram bensin pada rumah yang terbakar. Artinya kebijakan pemerintah tersebut semakin memundurkan peradaban bangsa Indonesia.

Selain itu kesia-sian (baca : kekonyolan) pemerintah melarang buku menurut Guru Besar FIB UGM, PM Laksono, pada diskusi di MAP Corner-Klub MKP UGM (Selasa, 24 Mei 2016) menambahkan bahwa buku yang dianjurkan saja tidak dibaca. PM Laksono mencontohkan mahasiswanya yang dianjurkan membaca buku materi kuliah saja ternyata tidak mau membaca. Lebih ekstrim lagi Laksono mengatakan bahwa Kitab Suci keagamaan yang sebenarnya wajib dibaca ternyata tidak dibaca, apalagi buku lain. Rendahnya minat baca masyarakat diperparah dengan pelarangan pemerintah terhadap buku-buku beredar yang dianggap kiri. Yang kedua, pada era modern dengan kecanggihan teknologi seperti sekarang ini, keterbukaan informasi tidak bisa dibendung. Dengan adanya internet masyarakat bisa mengakses informasi dengan mudah. Gagasan dan ide seseorang dengan mudah bisa dipublikasi serta dinikmati secara luas. Dengan basis materiil seperti itu apakah salah apabila menganggap kebijakan pelarangan buku oleh pemerintah adalah hal yang konyol? Kalau menganggap kebijakan pelarangan buku kiri merupakan bentuk nasionalisme, maka nasionalisme yang seperti apa yang menghendaki masyarakatnya terjebak dalam kebodohan, ketidaktahuan, dan kebenaran tunggal? Ataukah ada pihak yang takut jika masyarakat mengetahui “kebenaran” yang tidak sesuai dengan “kebenaran” versi penguasa?

McDonalisasi Pendidikan Tinggi


Pendidikan tinggi di Indonesia juga menghawatirkan kondisinya. Dunia pendidikan tidak berdiri sendiri dan dipengaruhi oleh sistem ekonomi politik yang ada. Artinya dunia pendidikan tidak bebas nilai. Ada kepentingan yang mempengaruhinya. Dalam pemerintahan yang kapitalistik (pro-pasar) dunia pendidikan menjadi liberal, digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Nugroho (2010) menyebutnya dengan logika McDonalisasi Pendidikan Tinggi. Pendidikan yang mengasilkan lulusan siap pakai seperti logika makanan cepat saji. Disajikan secara instan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang berakibat hilangnya nalar kritis dari lulusan perguruan tinggi. Siswa yang belajar dianggap sebagai objek investasi dan sumber deposito potensial. Dalam bahasanya Paulo Freire (2007), sistem pendidikan yang mapan selama ini dapat diandaikan sebuah bank dimana pelajar diberi ilmu pengetahuan yang kelak dapat mendatangkan hasil berlibat ganda. Anak didik diperlakukan sebagai bejana kosong yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau modal ilmu pengetahuan yang akan dipetik hasilnya kelak. Implikasinya akhirnya pendidikan bersifat negative dimana guru memberikan informasi yang harus ditelan murid, yang wajib diingat dan dihapalkan. Dengan sistem yang seperti itu tidak akan melahirkan gagasan dan pengetahuan yang baru.
Laksono menambahkan, siswa tidak diajari cara bertanya yang kritis dan hanya ditekankan pada pengulangan. Sistem pendidikan tersebut menurut Laksono merupakan perwujudan dari pemerintahan yang anti-kritik. Nalar kritis akademisi terkikis dengan money oriented. Bahkan dosen juga terjangkit penyakit materialistis yang akut. Dosen lebih mementingkan proyek diluar kampus yang menghasilkan uang daripada mengajar mahasiswanya. Heru Nugroho (2010) menyebutnya dengan Dosen Asongan. Dosen melupakan tugas utama yaitu membangkitkan nalar kritis mahasiswa sehingga mampu mereproduksi pengetahuan yang berguna bagi masyarakat. Heru mencontohkan, macam-macam atribut dan profesi yang disandang oleh akademisi tipe ‘asongan’ seperti staf ahli, staf khusus, konsultan, direktur, deputi, konsultan lembaga donor internasional dan sebagainya menjadikan mereka tidak lagi menjadi intelektual kampus. Namun hanya menggunakan alat-alat akademik demi kepentingan ekonomi politik mereka. Dapat terlihat dari data di UGM bahwa dari Jumlah Guru besar yang aktif ada 274 orang, sedangkan dosen bergelar doctor ada 856 orang, dari semua dosen di UGM sampai tahun 2010 hanya menghasilkan 162 judul buku (Nugroho, 2013). Nalar kritis sengaja tidak ditumbuhkan karena dapat mengganggu hegemoni sebuah rezim.

Pemberangusan Demokrasi Akademik : Sebuah Pengkhianatan Reformasi


Pelarangan buku kiri merupakan dampak lanjutan (trickle down effect) dari penyebaran diskursus komunistofobia yang gencar dilakukan akhir-akhir ini. Pemerintah dan media mem-blow up isu seakan-akan Partai Komunis Indonesia (PKI) bangkit. Kejadian tersebut merupakan respon dari upaya pengungkapan pelanggaran HAM massa lalu (tragedi 65) melalui International People Tribunals 65 (IPT 65) di Den Hag dan Simposium 65 di Jakarta. Kedua acara tersebut merupakan sebagian dari upaya mendorong pemerintah untuk mengungkap kejadian 65 dan mengadakan proses rekonsiliasi. Pasca kejadian tersebut pemerintah melakukan pelarang terhadap buku yang dianggap kiri. Ini bukan kali pertama ada pelarangan buku pasca reformasi. Pada tahun 2009 akhir ada 5 buku yang dilarang beredar adalah (1) Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa; (2) Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman; (3) Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan; (4) Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan; (5) Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad (Yusuf, 2010).
Apakah tindakan tersebut masuk akal? Dengan pelarangan tersebut kebebasan dalam dunia akademik menjadi terganggu. Ide atau gagasan yang seharusnya tumbuh subur dan berdialektika secara suportif menjadi mandul. Menurut Laksono, sebuah gagasan seharusnya dilawan dengan gagasan. Sikap pemerintah yang mengintervensi sebuah gagasan (dengan pelarangan buku) menjadikan pendiskusian terhadap wacana-wacana dan masalah-masalah menjadi tidak sehat. Proses dialektika sebuah buku atau gagasan menjadi mandeg. Sensor ketat secara sepihak terhadap buku menjadi semacam upaya pemaksaan kebenaran tunggal yang melanggengkan status quo. Pemaksaan wacana melalui Kejaksaan dan sweeping oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil membuat proses perdebatan itu tidak berlangsung sempurna karena ada intervensi kekuasaan.

Dalam dunia akademik wajarnya, sebuah buku akan diuji teori, hipotesis, data, atau metodologi penelitian yang digunakannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Dimam Abror, ketidaksepakatan seseorang terhadap suatu buku semestinya “dilawan” dengan menuliskan buku tandingan. Oleh karena itu, ketika, misalnya, seorang guru besar tidak sepakat dengan pandangan-pandangan saksi sejarah karena dianggapnya membelokan realitas, maka yang harus dia lakukan adalah melakukan penelitian ilmiah dan membuat buku sejarah lainnya untuk menyatakan pandangannya. (Iwan Awaluddin Yusuf. et al. ,2010). Sweeping dan pelarangan pendiskusian sebuah buku akan memundurkan budaya literasi yang sudah mulai tumbuh. Perdebatan akan sejarah, peristiwa, maupun teori yang seharusnya dilakukan dengan diskusi digantikan dengan kekerasan. Walaupun buku-buku termasuk kiri bebas dipelajari di dalam kampus, akan tetapi kalau penerbit, penulis, dan toko buku di sweeping dilarang, maka darimana mahasiswa akan mendapatkan buku tersebut? Selain itu, kaum muda diluar kampus berarti tidak bisa mengakses pengetahuan secara bebas. Maka terjadilah fragmentasi dan diskriminasi antara akademisi dalam kampus dan masyarakat umum. Jika dibiarkan terus-menerus akan semakin menjauhkan kampus dengan masyarakat.

Dampak lain pelarangan buku menurut penelitian Yusuf (2010) adalah memberikan dampak psikis negatif kepada mahasiswa. Mahasiswa yang seharusnya dapat belajar segala macam perspektif dan sejarah sehingga dapat melahirkan pengetahuan yang baru, menjadi ketakutan untuk mempelajari teori-teori kritis yang dilarang oleh pemerintah. Menurut Laksono dibutuhkan waktu yang panjang untuk mengubah perilaku lisan yang cenderung nurut (sendiko dawuh) menjadi budaya tulisan yang memiliki tingkat kritis lebih tinggi. Nampaknya memang penguasa lebih suka budaya sendiko dawuh.

Menurut Laksono, logika “hukum pokoknya” masih tetap dilakukan. Artinya, kalau sesuatu menurut penguasa “salah” maka “salah” tanpa harus ada alasan kuat yang mendasarinya. Laksono menyebut pemerintah dengan kebijakan pelarangan buku adalah sebuah kenekatan, karena sudah tau kalau kebijakan tersebut salah tetapi masih dijalankan. Laksono jug mengingatkan tentang penyair Jerman yang terkenal, Heinrich Heine, dalam bukunya Almansor yang terbit pada 1823, meramalkan tentang pembakaran sebuah buku bahwa “Itu hanyalah permulaan, di mana mereka membakar buku, pada akhirnya akan ada keinginan membakar orang.” Ramalan ini menjadi realita kejam yang terjadi di Jerman beberapa ratus tahun kemudian pada era NAZI berkuasa.

Tugas kita semua untuk meningkatkan budaya literasi agar ilmu pengetahuan tumbuh subur, dan dengan gerakan sosial bersama rakyat terus kita pertahankan ruang-ruang demokrasi dari segala bentuk ancaman.

Leave a Reply