Dibalik Konflik Parangkusumo: Legalitas Sultan Ground dan Politisasi Zona Gumuk Pasir

“Sultan ground hanyalah alasan untuk mengklaim 141,15 hektar tanah di Parangkusumo, padahal sudah semenjak 1984 Sultan ground dihapuskan”

begitu prolog yang disampaikan Kawit dalam diskusi MAPCorner-Klub MKP UGM pada selasa 11 Oktober 2016. Pada diskusi yang bertemakan Penggusuran, Ekspansi Spasial, dan Politik Tata Ruang tersebut, Ketua Aliansi Keutuhan Republik Indonesia (AKRI) itu juga menjelaskan bahwa saat ini warga yang berada di sekitar zona inti gumuk pasir Parangkusumo telah mendapatkan Surat Peringatan (SP) ke 2 untuk segera meninggalkan tempat tinggal atau ruang hidup mereka. Total warga yang terkena penggusuran di Parangkusumo sebanyak 163 orang.

Alasan kedua penolakan penggusuran di Parangkusumo yang disampaikan Kawit adalah Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) mengenai pertanahan juga belum disahkan. Perdais ini yang seharusnya mengatur mengenai masalah pertanahan yang ada di Yogyakarta. Oleh sebab itu penggusuran yang mengatasnamakan Sultan ground tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Kawit juga mempertanyakan permintaan penggusuran yang berasal dari Panitikismo. Tidak seharusnya lembaga non-pemerintah ini memiliki kewenangan untuk memberikan instruksi penggusuran begitu ujar Kawit dalam diskusi yang dihadiri oleh sekitar 50an orang.

Penolakan penggusuran yang dilakukan warga juga disebabkan tidak jelasnya solusi yang ditawarkan Pemerintah. Pemerintah hanya berani menjanjikan rumah susun bagi korban yang memiliki KTP DIY. Namun rumah susun yang ditawarkan masih belum jelas lokasinya. Sedangkan bagi korban yang bukan warga asli DIY dikembalikan ke daerah asalahnya. Tawaran yang diberikan jauh dari kata solutif yang diharapkan warga. Kawit sendiri secara pribadi menolak tawaran apapun karena sudah puluhan tahun beliau menetap di sana.

E.T Paripurna atau biasa dipanggi Kang ET sebagai pemantik kedua berbagi pengalamannya mengenai konservasi gumuk pasir. Dosen UPN yang aktif dalam berbagai komunitas rawan bencana di Area Yogyakarta itu menunjukkan perlunya menentang penggusuran dengan cara yang baik. Sebelum penggusuran dilaksanakan, perlu adanya pemilahan lahan yang digunakan untuk pemukiman, pertanian, serta gumuk hidup. Dalam pemilahan lahan inilah semua pihak terkait perlu dilibatkan. Jangan sampai peristiwa di Pantai Depok terulang kembali. Bupati Bantul saat itu membangun tempat parkir di atas gumuk pasir yang dikelola warga. Akibatnya konservasi gumuk pasir dinilai gagal.

Masih terkait Depok, ET juga mengkritik pembangunan laboratorium Geospasial oleh UGM. Alasannya pembangunan itu dilakukan di atas gumuk pasir hidup yang seharusnya dikonservasi. Ironis sekali ketika Universitas yang seharusnya menjadi institusi akademis tidak menggunakan pendekatan ilmiah dalam melakukan pembangunan.

Dalam kasus Parangkusumo, ET menguraikan permasalahan penggusuran berasal dari penentuan zona gumuk pasir. Gumuk pasir dibagi menjadi 3 area yaitu zona inti, terbatas, dan penyangga. Dalam Zona inti inilah segala bentuk bangunan maupun pemukiman warga dilarang. Namun ET mempertanyakan atas dasar apa Pemda membagi wilayah ini. Idealnya ada penelitian pendahuluan mengenai kondisi gumuk pasir yang kemudian dipublikasikan.

Pertanyaan menarik disampaikan salah satu peserta mengenai pendekatan yang digunakan Pemerintah dalam menentukan zonasi gumuk pasir. Apakah pendekatan ilmiah atau pendekatan politis yang digunakan? Menjawab pertanyaan tersebut ET kurang begitu mengetahui karena belum melihat dokumen ilmiah yang digunakan. Seharusnya pendekatan ilmiah yang digunakan karena terdapat fakultas di UGM yang diajak bekerjasama. Namun data itu harus dipublikasikan dan diuji kembali kebenarannya.

Ada beberapa jalan keluar yang diusulkan ET dalam menanggapi penggusuran yang terjadi. Yang pertama adanya penelitian lebih lanjut dari berbagai universitas baik UGM, UNY, UMY, UPN serta perguruan tinggi lainnya. Dengan pendekatan partisipatoris dapat dihasilan naskah akademik yang mampu menjadi landasan untuk mengubah kebijakan penggusuran yang dilakukan Pemda. Riset partisipatoris juga memberikan legitimasi lebih karena melibatkan banyak pihak. Bahkan ET yakin dengan alasan seperti itu Sultan mengubah keputusannya.

Usulan yang kedua yaitu dengan menyatukan pendapat antara warga dari berbagai komunitas yang ada di Parangkusumo. Saat ini warga terpecah belah antara warga tergusur, warga yang tidak tergusur, maupun para aktivis lingkungan. Adanya konflik horizontal diantara warga ditenggarai hasil setingan. Indikasinya terlihat dari bantuan dan ganti rugi yang diberikan kepada pihak tertentu. Untuk itu perlu adanya kesepakatan diantara warga, salah satunya dengan melihat adanya “musuh bersama”.

Diakhir diskusi Kawit berharap adanya diskusi seperti yang dilakukan MAPCorner-Klub MKP ini perlu dilakukan. Tetapi tidak hanya berhenti dalam wacana saja, harus ada tindak lanjut yang perlu dilakukan. Hal serupa juga diutarakan ET, bahkan beliau mengajak berbagai kalangan terutama mahasiswa untuk ikut berpartisipasi dalam riset partisipatoris. Dengan begitu ada hasil nyata yang didapat, seperti trilogi yang sering didengungkan para aktivis, diskusi aksi dan konsolidasi.

Leave a Reply