#DaruratDemokrasi: Mengecam Pemberangusan Demokrasi di LBH Jakarta

(Yogyakarta) – Berselang sehari setelah peringatan Hari Demokrasi Internasional yang jatuh pada tanggal 15 September, aksi kontra-demokrasi justru terjadi di Indonesia. Pada tanggal 16 September 2017 acara diskusi tentang sejarah 65 yang diselenggarakan di YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Jakarta dilarang dan dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian, ormas reaksioner, dan beberapa organisasi mahasiswa. Tindakan tersebut menciderai semangat “Reformasi” yang telah diperjuangkan dengan tetesan darah.

Sesaat sebelum acara dimulai, pihak kepolisian berusaha membubarkan acara dan membuat pagar betis sebagai upaya blokade akses masuk ke gedung YLBHI. Setelah itu mereka masuk dan naik ke lantai 4 Gedung YLBHI Jakarta membubarkan sejumlah peserta diskusi dan panitia yang (sudah) sedang duduk-duduk untuk evaluasi situasi serta melakukan pencopotan terhadap sepanduk diskusi. Di luar gedung terdapat puluhan anggota organisasi mahasiswa dan kelompok reaksioner yang mengintimidasi dan berteriak agar acara diskusi dihentikan.

Aparat kepolisian yang dipercaya sebagian orang dapat memberi perlindungan konstitusional kepada masyarakat untuk berdiskusi dan berekspresi justru menjadi aktor utama pembubaran. Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian beralasan bahwa pelarangan diskusi tersebut dilandasi oleh tiga hal. Pertama, adanya kelompok anti PKI yang siap membubarkan seminar; kedua adanya aturan hukum yang jelas melarang PKI; ketiga kepolisian mengakui adanya permintaan purnawirawan TNI dan Polri, serta sejumlah aliansi masyarakat yang meminta melarang diadakannya seminar tersebut. Alasan pelarangan tersebut adalah bentuk pengingkaran terhadap konstitusi. Tindakan itu menambah daftar panjang aksi kontra-demokrasi yang dilakukan oleh pemerintah, kepolisian, TNI, dan kelompok intoleran terhadap diskusi-diskusi pengungkapan kebenaran dan pelurusan sejarah.

Pembungkaman terhadap demokrasi tenyata terus berlanjut. Setelah tindakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, pada hari Minggu (17 September 2017) sekitar pukul 21.00 WIB hingga hari Senin dini hari (18 September 2017) ratusan massa intoleran datang mengepung gedung YLBHI Jakarta. Mereka meneriakkan ancaman perusakan, pembakaran, hingga ancaman pembunuhan dalam merespon acara “Asik Asik Aksi” yang diselenggarakan di YLBHI Jakarta. Sebelumnya informasi bohong (hoax) dan fitnah tentang berlangsungnya acara PKI secara sengaja disebarluaskan oleh kelompok tertentu untuk memprovokasi massa intoleran. Opini massa digiring bahwa acara ini merupakan acara PKI dan ada nyanyian lagu genjer-genjer. Pihak YLBHI Jakarta dan aparat kepolisian sudah menjelaskan bahwa agenda yang berlangsung tidak ada kaitannya dengan PKI dan merupakan acara kesenian. Namun massa intoleran yang sudah terprovokasi justru bertindak rusuh dengan melempari kantor YLBHI Jakarta dengan batu. Hingga akhirnya aparat kepolisian membubarkan massa intoleran tersebut.

Isu kebangkitan PKI dan Komunisme nampaknya masih menjadi senjata ampuh untuk mengilusi rakyat atas krisis (ekonomi-politik) yang terjadi. Apapun masalah yang terjadi lagi-lagi mitos kebangkitan PKI yang blow-up. Hal tersebut nampak tidak rasional, pasalnya menurut Robert Cribb, Professor of Asian History dari Australian National University, PKI dan para simpatisannya yang berjumlah jutaan manusia telah dibumi hanguskan pada periode 65-66. Namun, isu tersebut berjalan beriringan dengan meningkatnya intoleransi dan politik identitas sehingga memperuncing potensi konflik. Presiden Joko Widodo merespon fenomena itu dengan hiper-nasionalisme, yang ditandai dengan kembalinya diskursus gaya Orde Baru melalui represifitas ala militerisme mengatasnamakan Pancasila (versi Orba).

Jika dilihat dari kaca mata lain, tragedi (musiman) kontra-demokrasi berbasiskan isu PKI dibalut dengan sentimen SARA merupakan akibat dari pertarungan kepentingan antar oligarki. Kekuatan antar oligarki yang saling berseberangan menggunakan berbagai isu untuk mengamankan posisi mereka, walaupun itu harus merusak demokrasi dan memecah belah masyarakat. Vedi Hadiz mengungkapkan bahwa perlindungan terhadap hak-hak sipil, terutama kelompok marginal, berada di bawah bayang-bayang kompetisi antar oligark.

#DaruratDemokrasi menjadi dampak dari pertarungan kepentingan perebutan dan pengamanan kekuasan tersebut. Hal ini sangat ironis dan kami mengecam tindakan tersebut! Mengingat perlindungan atas hak berkumpul dan menyuarakan pendapat sudah sangat jelas dinyatakan dalam konstitusi negara Indonesia yaitu pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Tindakan dari represif dari aparat kepolisian yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah ini adalah semakin menunjukkan ketidak-berpihakan rezim terhadap ruang demokrasi. Terlebih, ada beberapa organisasi mahasiswa yang turut menjadi pelaku pembungkaman demokrasi tersebut. Mahasiswa sebagai kelompok sosial yang mendapat previlige informasi yang lebih, alih-alih meningkatkan tradisi kebebasan berpikir, malah menjadi pelaku aksi kontra-intelektualitas. Acara penyampaian gagasan alternatif mereka lawan dengan intimidasi dan kekerasan.

Kejadian ini menambah daftar panjang upaya pemberangusan demokrasi di Indonesia. Selain banyaknya kasus pembubaran diskusi dan demonstrasi yang dilakukan rakyat, pemerintah juga mengeluarkan Perpu Ormas dan UU ITE yang menjadi dasar pasal karet dalam menundukan mereka yang tidak searah dengan penguasa. Kriminalisasi terhadap para aktivis pembela kemanusiaan juga turut terjadi. Data dari SAFEnet pada tahun 2017 (Januari – September) ada 6 aktivis yang dipidana dengan UU ITE. Pada tahun 2016 ada 10 orang aktivis yang ditahan dan pada tahun 2013 – 2015 sebanyak 17 aktivis dipidana.

Upaya pembungkaman demokrasi, pelarangan diskusi dengan tindakan intimidatif serta represif berpotensi terjadi kapan pun dan dimana pun, termasuk di kampus. MAP Corner-Klub MKP UGM setidaknya sudah tiga kali mendapatkan tekanan dan upaya intimidasi saat menyelenggarakan diskusi tentang terkait sejarah alternatif peristiwa 65, yaitu pada tahun 2015 dan 2016.

Atas sikap arogansi, ketidakpatuhan terhadap konstitusi negara, pengkhianatan cita-cita reformasi, serta sikap kontra-demokrasi (yang sekarang terjadi di YLBHI Jakarta dan juga di tempat lain) yang dilakukan oleh kelompok reaksioner maupun aparat negara, maka MAP Corner-Klub MKP Universitas Gadjah Mada mengecam keras tindakan tersebut.

Pemberangusan kebebasan berpikir dan berdiskusi, merupakan pendistorsian nalar kritis secara sistemik yang pada akhirnya akan membangkitkan tirani.

Maka dari itu, kami mengajak dan menyerukan kepada seluruh elemen pro-demokrasi untuk merapatkan barisan dan bersikap tegas dalam memperjuangkan demokrasi sejati di Indonesia.

Yogyakarta, 19 September 2017
MAP Corner Klub MKP Universitas Gadjah Mada

___

MAP Corner Klub MKP Universitas Gadjah Mada adalah komunitas diskusi tentang masalah publik yang bertempat di sebuah sudut Magister Administrasi Publik.

___

Website: mapcorner.wg.ugm.ac.id | Email: mapcornerklubmkp.fisipol@ugm.ac.id | Facebook: MAPCorner-KlubMKP | Instagram: mapcornerklubmkp | Youtube: MAP Corner | Line: @kbw7372v

Leave a Reply