Api Kartini Dalam Pergerakan Perempuan Indonesia Masa Kini

Setiap tanggal 21 April, masyarakat Indonesia merayakannya sebagai Hari Kartini (mengacu pada hari kelahiran R.A Kartini). Perayaan itu bertujuan untuk mengingat jasa perjuangan Kartini sebagai pejuang kemerdekaan dan emansipator perempuan. Melalui pena dan kertas, Kartini menulis surat-surat berisi cita-cita politiknya, tentang kesetaraan perempuan yang dikekang oleh budaya feodalisme tradisional Jawa dan juga kolonialisme. Sikap yang ditujukan Kartini pada poriede dimana perempuan ditempatkan secara tersubordinat seperti sebagai kanca wingking dengan tugas hanya sebatas macak, masak, dan manak (bersolek diri, memasak, dan melahirkan) merupakan sikap yang progresif dan radikal.

Namun seiring berjalannya waktu, perayaan Hari Kartini menyimpan keironisan. Perayaan itu dimaknai sebatas formalitas dengan mengabaikan cita-cita besar pahlawan perempuan Indonesia ini. Perempuan-perempuan Indonesia dalam perayaan Hari Kartini ditekankan untuk memakai pakaian adat seperti kebaya dan mempercantik diri agar terlihat memukau.[1] Perempuan dijadikan objek dengan penilaian dari penampilannya, bukan dari pemikiran ataupun karakter mereka. Itu jelas sangat jauh sekali dari apa yang seharusnya dirayakan.

Meskipun begitu, Kartini tetap menjadi sosok yang fenomenal bagi aktivis dan  perempuan di masa ini. Artikulasi terhadap perjuangan Kartini pun mulai direproduksi menjadi identitas perjuangan rakyat menentang ketidakadilan. Seperti yang dilakukan oleh para perempuan dari Pegunungan Kendeng yang berjuang menentang ekspansi pabrik semen. Para petani perempuan itu bahkan rela memasung kaki mereka dengan semen untuk memperjuangkan masa depan ruang hidup mereka. Petani-petani perempuan tersebut mengartikulasikan identitas politik mereka sebagai ‘Kartini Kendeng’.

Mencari Kartini

Dalam Diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM yang diselenggarakan pada 18 April 2017, Anna Mariana mengatakan bahwa sosok Kartini itu menyimpan berbagai kontroversi. Oleh karena itu perlu hati-hati ketika mendiskusikannya. Peneliti dari Etnohistori itu mengatakan bahwa identitas Kartini bagaikan ayat-ayat dalam kitab suci yang dimaknai dan ditafsirkan secara berbeda-beda. Bagi kaum liberal, Kartini dianggap sebagai pejuang emansipasi perempuan yag menuntut persamaan hak antara perempuan dengan lelaki. Di sisi lain, penafsiran konservatif menganggap Kartini merupakan seorang yang agamis dan melanggengkan praktek poligami.

Anna menelusuri historiografi Kartini sejak tulisan-tulisannya diterbitkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan menemukan hal yang serupa. Pemerintah Belanda contohnya, mengkonstruksi sosok Kartini sebagai perempuan pribumi yang ‘tercerahkan’ akibat dari pendidikan Belanda dan digunakan untuk membenarkan kebijakan Politik Etis di Hindia Belanda. Tulisan-tulisan Kartini yang diterbitkan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang telah melewati berbagai penyuntingan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial sebelum terbit. Tulisan yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht itu pada kenyataannya telah dipilih dan dipilah. Artinya tidak menerbitkan semua surat-surat yang ditulis oleh Kartini.

Setelah Indonesia merdeka, pada masa Demokrasi Terpemimpinnya Soekarno, sosok Kartini dikonstruksi sebagai sosok penting dalam pergerakan nasional Indonesia. Hal itu turut disokong oleh gerakan kiri, seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Gerwani sebagai gerakan perempuan progresif pada masa itu bahkan menamakan majalah terbitannya dengan nama Api Kartini. Sedangkan Pramoedya Ananta Toer yang merupakan anggota Lekra menerbitkan buku berjudul Panggil Aku Kartini Saja dengan menampilkan sosok Kartini sebagai seorang yang progresif dan radikal. Presiden Soekarno pun menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1964.

Anna mengatakan bahwa tulisan-tulisan Kartini baru dikumpulkan secara lengkap oleh Joost Coté dalam bukunya Kartini: The Complete Writings 1898-1904.[2] Buku Coté sangat berguna karena memungkinan untuk menelusuri dan mempelajari sosok Kartini secara lengkap dan detail.

Gambar: Suasana diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM pada 18 April 2017 dengan tema “Api Kartini & Gerakan Perempuan Indonesia Kontenporer” yang diselenggarakan di Lobby MAP UGM.

Peredupan Pergerakan Perempuan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, gerakan kiri merupakan pionir pengkonstruksian sosok Kartini sebagai tokoh pejuang perempuan yang progresif dengan cita-cita emansipatif. Namun sejak naiknya regim Orde Baru pada tahun 1966, elemen-elemen kiri dan progresif (termasuk Gerwani) diberanguskan sampai ke akar-akarnya. Di bawah moderasi Orde Baru, perempuan dikonstruksi secara berbeda dan berlawanan dari perspektif kiri. Sosok Kartini tidak lagi tergambarkan sebagai pejuang yang progresif dengan cita-cita mulia tentang kesetaraan dan keadilan. Identitas itu dilucuti dan menjadikan Kartini sebagai seorang yang tradisional, penurut, dan jinak.[3] Hal tersebut berlanjut hingga sekarang.

Kejatuhan regim Orde Baru Soeharto pada tahun 1998 telah mulai membuka ruang demokrasi di Indonesia. Organisasi dan pergerakan dari masyarakat mulai bermunculan. Termasuk organisasi dan LSM perempuan arus-utama. Fullah, anggota dari Komite Perjuangan Perempuan (KPP) dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP di sore itu menyatakan bahwa organisasi dan LSM perempuan arus-utama yang ada, lebih memusatkan perhatian pada pemberdayaan perempuan. Itu merupakan perkembangan dari gerakan feminisme gelombang kedua pada tahun 1960an sampai 1980an yang telah mengalami demoralisasi.

Fullah berpendapat bahwa hanya Gerwani yang patut menyandang gelar gerakan perempuan progresif di Indonesia. Sebab, terdapat 2 hal fundamental yang membedakan Gerwani dengan organisasi perempuan lainnya. Pertama, Gerwani dapat membangun basis pergerakan massa yang mengakar dan terorganisir.[4] Itu berbeda dengan organisasi dan LSM perempuan arus-utama yang masih mengandalkan donor pihak luar dan memiliki pendekatan top-down. Selain itu, Gerwani tidak hanya membawa isu-isu pendiskriditan perempuan secara terpisah dan terlokalisir, melainkan langsung menyerang akar permasalahannya yaitu kapitalisme. Sementara gerakan perempuan arus-utama jarang atau tidak pernah menyentuh akar permasalahan. Mereka hanya berkutat pada hak individu secara terpisah yang sesuai dengan cita-cita liberalisme. Dengan berpijak bahwa relasi sosial Kapitalisme sebagai akar dari permasalahan perempuan, maka Gerwani turut bersolidaritas dengan kaum tani dan kaum buruh lainnya yang juga merupakan korban dari kapitalisme.

Menyalakan Api Kartini Kembali

Sudah merupakan kenyataan bahwa Kartini memiliki pencapaian yang sangat sedikit di masa hidupnya. Berbeda dengan Dewi Sartika, Kartini tidak pernah mendirikan sekolah perempuan maupun menjadi seorang penulis atau jurnalis tersohor seperti Rohana Kudus. Perjuangannya kandas setelah dinikahkan kepada seorang bangsawan dan kemudian meninggal sehabis melahirkan anak pertamanya di umur 25 tahun. Tetapi, mengutip Pramoedya Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Melalui tulisan-tulisannya, Kartini dapat mengabadikan gagasan-gagasan progresifnya.

Pemikiran-pemikirannya yang menentang budaya feodal Jawa dan menuntut pembebasan manusia tidak bisa dianggap remeh. Walaupun Kartini mungkin tidak pernah membebaskan satu pun perempuan pada masa hidupnya, tetapi gagasan dan pemikirannya menjadi sebuah senjata perjuangan bagi perempuan di kemudian hari. Adik-adik Kartini seperti Roekmini tetap melanjuti perjuangan kakaknya hingga akhirnya mereka dapat menuai dari apa yang mereka perjuangkan.[5]

Namun, Fullah mengatakan bahwa hanya dengan menulis dan berfikir saja tidak cukup. Perjuangan itu harus dilanjutkan secara fisik dengan menggalang pergerakan perempuan dan melakukan aksi massa. Pasalnya, di tahun 2017 ini terdapat gelombang besar perlawanan perempuan apalagi setelah Donald Trump yang misoginis menjadi presiden Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri, terdapat aksi massa Women’s March di Jakarta yang dihadiri ratusan orang dan membawa isu yang beragam dari hak perlindungan perempuan hingga LGBT.[6] Menurut Fullah, gelombang besar itu bisa menjadi embrio gerakan yang harus dimanfaatkan dan diarahkan menjadi pergerakan perempuan yang sebenarnya.

Anna juga berpendapat bahwa banyak yang meremehkan perjuangan ‘Kartini Kendeng’ dalam melawan pabrik semen. Banyak yang menganggap bahwa aksi perjuangan mereka tidak memiliki akar massa dan hanya didalangi oleh aktor intelektual. Hal ini disayangkan karena ini mirip dengan pandangan kolonial yang menganggap bahwa kaum pribumi tidak dapat berorganisasi dan melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Padahal, menurut Anna perjuangan mereka tidak bisa dipisahkan dari lingkungan sosial dan geografis mereka. Petani-petani itu berasal dari kabupaten Rembang yang berdekatan dengan tempat asal Kartini yaitu Jepara. Anna berpendapat bahwa kemungkinan besar pengaruh perlawanan Kartini menyebar secara lisan dan turun-temurun di daerah sekitar sehingga membuat para petani itu terdorong untuk melakukan perlawanan yang sama juga.

Melihat berkembangnya perlawanan perempuan di tahun ini membuat kehadiran sebuah pergerakan perempuan sangat dibutuhkan. Sebab pergerakan perempuan tidak hanya menggunakan aksi massa sebagai alat perlawanan politik yang ampuh, tetapi juga memiliki pandangan ideologis yang menelurusi akar permasalahan perempuan dari hulu ke hilir, yaitu kapitalisme. Maka penting sekali untuk menyalakan kembali api perlawanan kartini yang sempat redup dengan menggalang pergerakan perempuan yang terorganisir untuk melawan masalah-masalah yang dihadapi saat ini. ***

 

Catatan

[1] Berikut adalah beberapa contoh perayaan Hari Kartini yang lalu:

http://krjogja.com/web/news/read/30153/Kirab_Budaya_Cara_Kekinian_Peringati_Hari_Kartini
http://krjogja.com/web/news/read/30516/Kartinian_SMA_Negeri_1_Muntilan_Gelar_Pandawa
http://krjogja.com/web/news/read/30577/Ultah_Direksi_28_BUMN_Kartinian_Di_Candi_Prambanan
http://news.okezone.com/read/2017/04/21/65/1673159/peringati-hari-kartini-siswa-kenakan-kebaya-batik
http://celebrity.okezone.com/read/2017/04/21/598/1673106/live-dahsyat-tampil-berkebaya-ayu-dewi-kenang-perayaan-hari-kartini-masa-kecil

[2] Joost Coté (2015) “Kartini: The Complete Writings 1898-1904.” Clayton: Monash University Publishing

[3] Julia Suryakusuma (2012) “Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru.” Jakarta: Komunitas Bambu.

[4] http://www.jurnalperempuan.org/blog2/gerwani-dan-kepeloporan-perjuangan-politik-perempuan

[5] Joost Coté (2008) “Realizing the Dream of R. A. Kartini: Her Sisters’ Letters from Colonial Java.” Ohio: Ohio University Press.

[6] https://nasional.tempo.co/read/news/2017/03/04/173852617/womens-march-jakarta-mengusung-8-tuntutan-untuk-pemerintah

Leave a Reply