Aksi ‘Grebek Pabrik’: Dari Kesadaran Spontan Menuju Kesadaran Revolusioner?

Pengantar

Barangkali memang tidak ada aksi jalanan buruh pasca-Soeharto yang lebih spektakuler dibanding pergerakan buruh di Bekasi Jawa Barat. Mereka menggelar aksi solidaritas antarpabrik atau secara popular disebut “grebek pabrik”. Aksi ini marak terjadi pada 2012. Aksi puluhan ribu buruh melakukan “grebek pabrik” telah sukses memaksa ratusan pabrik mengangkat puluhan ribu buruh outsourcing dan kontrak menjadi buruh tetap. Data dari Federasi Serikat Pekerja Metal (FSPMI) menunjukkan bahwa aksi-aksi grebek yang diinisiasi FSPMI berhasil menuntut lima puluhan pabrik mengubah status 40-an ribu buruh outsourcing menjadi buruh tetap (Febrianto, 2012). Jumlah ini akan bertambah besar jika ditambah dengan aksi ‘grebek pabrik’ yang dipelopori oleh Forum Komunikasi dan Informasi (FKI) KSPSI Bekasi. Menurut pengakuan salah satu anggota Presidium FKI, aksi grebek pabrik yang dilakukan FKI hingga November 2012, berhasil membebaskan 12 ribu buruh outsourcing untuk kemudian diangkat menjadi buruh tetap (Maianto, 2012). Jumlah buruh outsourcing yang berhasil diangkat menjadi buruh tetap masih akan bertambah jika grebek yang diinisiasi serikat di bawah bendera Sekretariat Bersama (Sekber) Buruh Bekasi dihitung.[1]

Tulisan ini pertama-tama bukan bermaksud menjelaskan secara utuh fenomena aksi solidaritas antar pabrik. Tujuan utama tulisan ini ialah menyoroti pemaknaan atau motivasi buruh dalam keterlibatan mereka pada aksi-aksi jalanan yang riuh. Menjelaskan apa yang menggerakkan buruh dalam aksi jalanan merupakan hal penting. Tanpa pemahaman tentang hal ini, kita akan kesulitan menangkap dinamika internal gerakan buruh (Saptari, 2008).

Dalam kajian gerakan buruh, telah muncul berbagai macam konsep kesadaran buruh untuk menjelaskan keterlibatan mereka dalam aksi-aksi protes. Tulisan ini berupaya memperlihatkan bagaimana aksi solidaritas antarpabrik yang terjadi di Bekasi di medio 2012 merupakan wujud kesadaran spontan (spontaneous consciousness) buruh. Minimnya pengaruh elemen ‘sosial-demokratik’ dalam gerakan buruh ikut berkontribusi dalam pembentukan kesadaran spontan buruh. Bagian pertama tulisan ini akan menggambarkan aksi buruh dalam solidaritas antarpabrik yang terjadi. Bagian selanjutnya akan menguraikan konsepsi kesadaran spontan dalam tradisi klasik dan perwujudannya di aksi buruh Bekasi. Upaya menjelaskan hubungan antara peran aktivis-intelektual ‘sosial-demokratik’ dan kesadaran spontan akan mengisi pembahasan ketiga. Dua bagian terakhir mendiskusikan kaitan kesadaran spontan dengan prinsip ‘emansipasi mandiri buruh’ dan implikasinya terhadap peran aktivis dan gerakan buruh.

Aksi Solidaritas Antar-Pabrik

Pertengahan September 2012, Salang,[2] buruh muda di Bekasi sedang sibuk menyiapkan mobil komando. Ia memasang sound system dan menyeting suara pada malam hari. Paginya, Salang dan kawan-kawannya sudah bersiap di Markas Besar FKI KSPSI Bekasi, menunggu instruksi untuk berangkat. Tidak lama berselang, PUK-PUK (pengurus serikat tingkat pabrik) yang pulang shift 3 langsung datang ke Markas Besar. Mereka sebelumnya telah diinformasikan melalui pesan singkat (SMS) untuk ikut konvoi ke perusahaan yang  dituju. Begitu sudah berkumpul, massa buruh segera berangkat. Tidak ketinggalan, buruh yang selesai bekerja shift 1 juga diminta segera bergabung ke pabrik yang hendak di-‘grebek’.

Ketika rombongan telah sampai di pabrik yang dituju, aksi menuntut penghapusan buruh kontrak dan outsourcing segera digelar. Salang, menceritakan pengalamannya:

“Begitu sampai di lokasi, langsung turun dari mobil komando. Melihat situasi, menyiapkan aksi. Kita atur satu atau dua jam, terus baru orator sendiri yang mengumpulkan massa. Terserah siapa yang mau jadi orator. Biasanya diawali oleh orator dari FKI secara bergantian. Kemudian baru minta penjelasan dari karyawan perusahaannya sendiri permasalahannya apa saja. Terus kita beri motivasi, membangunkan semangat mereka lewat orator itu.”[3]

Dalam memberikan solidaritas, Salang tidak mengenal batas warna bendera serikat. Beberapa kali grebek pabrik yang berbeda serikat telah ia ikuti. Aksi solidaritas ke kawan-kawan SPMI, FPBJ dan beberapa serikat lain merupakan tindakan Salang yang disengaja. “Kalau untuk saya sendiri, masalah bendera bisa dbilang bodo amat. Dari awal, jika ingin solidaritas tidak terlalu melihat serikatnya apa. Yang penting saya mengatasnamakan buruh, bukan bendera,” terang Salang yakin.

Bukan tanpa alasan, Salang terlibat aktif dalam aksi solidaritas antarpabrik. Pada Juni sebelumnya, tempat Salang bekerja mendapat solidaritas dari buruh lain di sekitar kawasan. Saat itu, ia sama sekali belum tahu soal perburuhan. Salang bahkan belum tahu status kerja outsourcing yang melekat padanya itu bermasalah. Ia juga sama sekali buta tentang serikat buruh. Waktu itu, serikat buruh dalam gambaran Salang hanyalah semacam penyelenggara acara-acara di perusahaan. Itu saja, tidak lebih. Tapi, aksi ‘grebek pabrik’ di perusahaannya telah mengubah pandangannya. Salang termasuk salah satu dari tiga ratusan buruh yang diangkat jadi buruh tetap. Salang mengapresiasi betul aksi solidaritas buruh lain terhadap diri dan kawan-kawan satu pabriknya:

“Bangga, tanpa dia kenal siapa saya. Dia sudah mau membantu saya. Dari situ saya mulai tersadar, oh ini sebenarnya arti solidaritas. Tanpa melihat siapa saya. Satu yang manjadi motivasi saya selama ini adalah buruh ya buruh, berarti dia sama-sama merasakan apa yang saya rasakan. Dari situ mulai bangkit untuk ikut aktif bergabung organisasi.”[4]

Proses perubahan status Salang dari buruh outsourcing menjadi buruh tetap sebenarnya tidak mudah. Sejak di-‘grebek’ pada 20 Juni, berbagai proses perundingan buruh dengan manajemen berlangsung alot hingga berujung pada mediasi disnaker pada pertengahan Agustus. Hasilnya, dua opsi diberikan oleh Disnaker. Pertama, buruh yang ingin diangkat menjadi buruh tetap perlu mematuhi sebuah syarat. Syaratnya adalah mereka yang telah bekerja di atas satu tahun setelah masa kerjanya dipotong tiga tahun. Opsi kedua, buruh akan diberikan kompensasi jika bersedia mengundurkan diri. Besarnya kompensasi adalah 1 bulan gaji x masa kerja x 2 dipotong 10 persen.

Dua opsi hasil mediasi ternyata berujung pada perpecahan buruh. Sebagian buruh mengambil opsi pertama. Sebagian yang lain menerima opsi kedua. Buruh yang diangkat menjadi buruh tetap sekitar 300  orang. Tetapi bagi mereka yang mengambil opsi pertama, tetap geram karena masa kerja mereka dipotong secara sepihak. Sejak hasil 15 Agustus, kondisi di pabrik mulai berubah. Kekompakan buruh meluntur. Aksi solidaritas ke pabrik lain yang tadinya diikuti puluhan motor, kini tinggal dua motor saja. Tidak jarang, bahkan hanya Salang sendiri yang ikut aksi solidaritas, mewakili pabriknya. Salang punya alasan sendiri tentang keaktifannya untuk tetap memberikan solidaritas ke pabrik lain:

“Karena saya sendiri merasa buruh. Apalagi melihat banyak kawan-kawan buruh yang lain masih di bawah saya secara haknya. Saya ingin dia seperti saya, sudah mendapat kepastian, sudah dapat SK, statusnya sudah jelas. Terus dari gajinya juga sudah sesuai dengan UMK.”[5]

Aksi solidaritas antarpabrik yang riuh juga diikuti Yono (30 tahun). Yono buruh PT Mp yang tergabung dalam FSPMI sejak 2011. Begitu memperoleh informasi pabrik mana yang membutuhkan solidaritas dari SMS Center FSPMI, ketua serikat pabriknya segera mengirim pesan itu kepada dirinya selaku Sekretaris serikat. Pesan singkat itu ia sebarkan ke seluruh anggota. Selain melalui SMS Center, informasi ‘penggrebekan pabrik’ juga disebar melalui group Facebook FSPMI dan Buruh Bekasi Bergerak. Koordinasi tidak berhenti sampai di situ. Perwakilan dari pabrik untuk ikut aksi juga diperhitungkan. “Seminggu itu hampir dua sampai tiga kali aksi (solidaritas), biasanya dua puluhan (buruh) yang mewakili PUK, minimal 10 buruh, di-rolling gantian sesuai jadwal masuk kerja,”[6] kenang Yono. Begitu kawan-kawan sudah berkumpul di sekitar pabrik, mereka segera berangkat ke pabrik yang dituju. Saat sampai di lokasi, Yono mengaku duduk-duduk dengan berbincang dengan buruh lain yang ikut aksi solidaritas.

Bagi Yono yang telah berstatus buruh tetap dan tidak mengalami masalah lagi di perusahaannya, aksi solidaritas sebenarnya tidak menjanjikan manfaat yang jelas. Namun ia punya pemikiran sendiri:

“Ibarat kita buruh itu kan sudah satu keluarga. Sama-sama senasib, saudara-lah. Sama seperti orang Islam-lah, jika yang satu sakit, yang lain juga ikut tersakiti. Itu intinya sama, filosofinya hampir sama. Sama-sama buruh, kalau dia sakit, masa kita tidak menolong. Itu prinsipnya.”[7]

Bondan, buruh muda PT Hi juga ikut menjadi bagian dari puluhan ribu buruh dalam aksi ‘grebek pabrik’. Meski belum masuk menjadi salah satu anggota serikat buruh, ia begitu rajin aksi dari pabrik ke pabrik memberikan solidaritas. Puluhan grebek pabrik telah ia ikuti. Dari yang paling dekat di dalam kawasan Cikarang, hingga di titik terjauh Kabupaten Bekasi, berbatasan dengan Jakarta. Dalam tiap aksinya, Bondan memimpin minimal 50 buruh bermotor yang selalu membawa bendera kebesaran buruh PT Hi. Sebagian besar adalah para buruh outsourcing, meski di antaranya juga ada buruh kontrak dan buruh tetap. Mereka saling bergantian dalam mengikuti aksi. Bagi yang bekerja pada saat grebek, mereka akan menggantinya pada saat mereka tidak bekerja. Pesan singkat di telepon genggam atau informasi dari group Facebook, memberi petunjuk Bondan, pabrik mana yang hari itu memerlukan solidaritas. Pesan singkat dari beberapa serikat buruh segera ia sebarkan kepada beberapa koordinator lain di tiap bagian produksi. Dengan cepat, tiap koordinator akan menyebarkan informasi ke seluruh anggotanya. Selepas pulang kerja jam lima sore, Bondan mengumpulkan pasukannya di sekitar pabrik mereka. Setelah berkumpul, mereka segera meluncur ke pabrik yang dituju.

Bondan juga punya alasan sendiri dari keterlibatannya dalam aksi solidaritas antar pabrik. Pada April, buruh outsourcing berkonflik dengan manajemen soal selisih upah. Konflik terus merembet ke isu yang sedang memanas di kawasan Bekasi: status kerja kontrak dan outsourcing yang tidak sah. Bondan dan kawan-kawannya kemudian mulai aktif mencari tahu dan belajar soal perburuhan ke berbagai serikat buruh di Bekasi. Mereka akhirnya juga terlibat aktif dalam berbagai aksi ‘grebek pabrik’ dari berbagai serikat buruh. Bondan bahkan beberapa kali ikut memberi orasi. Di suatu pabrik, dengan bergelora ia menyatakan:

“..Kawan-kawan, jangan takut, karena kita benar. Ousourcing memang tidak boleh di bagian produksi. Padahal (buruh) outsourcing ‘kan saudara-saudara kita sendiri. Kalau manajemen ‘kan antek-anteknya kapitalis itu.”[8]

Merasa mendapat bekal pengetahuan dan pengalaman cukup, per Juli mereka memberanikan diri mengadu ke pimpinan serikat tingkat pabrik. Sayang, usulan para buruh outsourcing ini tidak digubris. Bondan dan kawan-kawan mulai berpikir keras. Pengalaman mengikuti puluhan kali ‘grebek pabrik’ memperkokoh keyakinan Bondan bahwa keberhasilan di pabrik-pabrik lain, dapat diulang di PT Hi. Emosi buruh sudah memuncak. Permintaan buruh pada 5 September untuk melakukan perundingan bipartit, ternyata sama sekali tidak direspons manajemen. Bondan dan buruh yang lain akhirnya memikirkan kemungkinan untuk melakukan mogok dan meminta bantuan solidaritas dari buruh pabrik lain. Persiapan pun dilakukan. Diskusi dengan beberapa orang yang dikenal berpengalaman dalam isu perburuhan, digelar. Koordinasi tentang kemungkinan meminta kepada serikat-serikat buruh untuk menggrebek pabrik PT Hi, juga telah dilakukan.

Akhirnya, pada 23 September, Bondan dan kawan-kawannya memutuskan untuk melakukan mogok kerja pada keesokan harinya: 24 September, terhitung dari jam sepuluh pagi hingga jam tiga dini hari. Sejak pagi, aksi solidaritas ribuan buruh dari berbagai arah Bekasi, menyemut ke PT Hi. Jalan utama di depan pabrik, yang menghubungkan Tol Cibitung dengan kawasan Jababeka dan sekitarnya, macet total sepanjang 10 km. Satu lajur jalan di dekat pabrik lumpuh total. Satu lajur di sebelahnya harus digunakan untuk lalu lintas dari dua arah yang berlawanan. Hasil ‘grebek pabrik’ ini: dari total 721 buruhoutsourcing, 200-an orang diangkat menjadi buruh tetap. Sisanya sekitar 500-an orang dikontrak langsung.

Pasca grebek di pabrik mereka, Bondan dan buruh lain tetap giat memberikan solidaritas ke pabrik lain. Aksi konvoi jalanan, menyemangati buruh di pabrik lain, ikut berorasi dan bernyanyi, kembali mereka lakukan bulan November. Hanya saja, ada yang berbeda kali ini. Buruh outsourcing yang tidak diangkat menjadi buruh tetap mulai berkurang mengikuti aksi solidaritas. Mereka seperti dinyatakan Bondan, agak kecewa dengan hasil grebek di pabriknya sendiri. Jika sebelumnya, Bondan bisa memimpin paling sedikit limapuluhan orang, pascakesepakatan di pabriknya, buruh yang ikut aksi solidaritas menyusut menjadi sekitar tigapuluhan orang. Dalam keadaan demikian, banyak buruh-buruh itu kembali ke aktivitas mereka semula: bekerja di pabrik – pulang ke kontrakan, dan sebaliknya. Tidak ada lagi kegiatan politik atau budaya yang dapat membangun kolektivitas mereka sebagai buruh.

Pola hampir serupa juga dialami Mulyanto, buruh PT To. Pria berusia empat puluhan tahun ini merupakan anggota serikat pekerja seluruh Indonesia (SPSI). Sejak bekerja pada 2002, statusnya adalah buruh tetap. Pada pertengahan Juli 2012, aksi solidaritas antarpabrik di Bekasi, “sedang ramai-ramainya,” ingat Mulyanto. Tidak mau ketinggalan, ia bersama puluhan kawannya hampir tiap hari memberikan dukungan solidaritas ke pabrik lain. Konvoi bersama 10 hingga 30 motor tiap aksi adalah rutinitas Mulyanto mewakili pabriknya solidaritas ke buruh yang lain. Hampir seluruh buruh di pabriknya mendapat jatah aksi. Mereka digilir sesuai jam kerja agar tidak menggangu pekerjaan. Mulyanto selalu berusaha ikut aksi ketika ada kesempatan. Baginya, aksi ‘grebek pabrik’ merupakan kegiatan yang penting.

“Karena ikut itu (grebek pabrik) berarti pertama adalah solidaritas. Terus kalau tidak ikut itu nanti tidak dapat bantuan (jika ada masalah di pabrik). Terus juga karena kita sudah dapat info dari teman-teman. Kalau sudah dapat info dari teman-teman kita juga aksi bersama”.[9]

Ada hal lain yang menggerakkan Mulyanto ikut aksi solidaritas. Pada 18 Juli, pabriknya digrebek buruh dari pabrik lain. Semuanya berawal dari proses perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2012-2014 pada Maret yang bermasalah. Sejak itu, isu perselisihan antara buruh dan manajemen merembet ke isu status kerja kontrak dan outsourcing. “(Pabrik) mulai di-sweeping dari jam setengah tiga sampai malam. Ada sekitar lima ratusan orang waktu itu,” kenang Mulyanto. Perundingan pun akhirnya digelar di dalam gedung, ditunggu oleh ratusan buruh di luar. Sudah diduga, perundingan berjalan alot. Manajemen bahkan sempat meninggalkan ruangan ketika perundingan berlangsung. Melalui kompromi, perundingan dapat dilanjutkan pada dini hari, jam 02.30 WIB. Hanya sekitar sepuluh menit kemudian perundingan selesai. Hasilnya: Perjanjian Bersama (PB) disepakati bahwa buruh outsourcingyang telah bekerja di atas tiga tahun akan diangkat menjadi buruh tetap. Buruh di luar gedung kontan bersorak ramai dengan hasil ini.

Kegembiraan buruh ternyata tidak berumur panjang. PB yang telah disepakati, sama sekali tidak dijalankan oleh manajemen. Lebih celaka lagi, pihak manajemen pada 30 Juli bahkan mengeluarkan surat panggilan dan surat skorsing kepada ketua serikat. Sebagai respons, pada 3 September, ratusan buruh di pabrik termasuk Mulyanto melakukan mogok dan membangun tenda di depan pabrik mereka. Mereka semua menuntut agar manajemen melaksanakan PB dan mencabut skorsing pada pengurus serikat.

Aksi Mulyanto dan kawan-kawan melakukan mogok dan membangun tenda di depan pabrik sempat berhenti pada 11 September ketika aparat membubarkan paksa aksi buruh. Namun aksi represif aparat sama sekali tidak menyurutkan nyali buruh. Kawan-kawan Mulyanto tetap melanjutkan aksi di tenda. Nasib ratusan buruh di pabrik itu terkatung-katung tidak jelas karena produksi sama sekali berhenti. Status buruh tetap yang melekat pada Mulyanto juga mulai terancam tidak berguna. Lebih menjengkelkan lagi, perusahaan sama sekali tidak mau diajak berunding. Perusahaan begitu arogan untuk sekedar bertemu di meja runding.

Di sela penungguan nasib yang tidak jelas itu, Mulyanto dan kawan-kawannya masih aktif memberikan solidaritas ke pabrik lain. “Sebagian jaga tenda, yang lain ikut aksi,” kata Mulyanto.Seringkali aksi Mulyanto dan kawan-kawan tidak melihat bendera serikat. Sepanjang ada buruh membutuhkan solidaritas, maka mereka akan memberikan bantuan. Itu pula yang membuat Mulyanto tidak terlalu peduli menggrebek pabrik dengan bendera serikat mana.”Rata-rata SPMI,” ucap Mulyanto sambil mengingat-ingat serikat di luar SPSI yang dia dan kawan-kawannya berikan solidaritas.

Mulyanto dan kawan-kawan juga terus gigih memperjuangkan nasib mereka dengan mengadu ke berbagai pihak: LBH, DPR dan berbagai lembaga lain. Hingga 23 Oktober atau hari ke-48 aksi, 109 buruh masih bertekad melakukan aksi. Peta pergerakan mulai berubah ketika perusahaan menawarkan PHK dengan pesangon kepada seluruh buruh di PT To, awal bulan November. Beberapa buruh mulai berguguran di medan pertarungan. Mereka lebih memilih mengambil pesangon dan meninggalkan laga perlawanan dengan pemilik kapital. Puncaknya terjadi ketika pakta damai buruh dan pengusaha Bekasi ditandatangani, 8 November.[10]

Setelah kesepakatan damai, aksi grebek pabrik menurun drastis. Ini berdampak pada peserta aksi di depan pabrik. Termasuk pada cara aparat menangani aksi. Mereka mulai lebih berani dan brutal. Akhirnya, setelah mogok dan mendirikan tenda di depan pabrik selama lebih dari tiga bulan, tenda-tenda perjuangan dibubarkan oleh Brimob pada 17 November. Perlahan tapi pasti, solidaritas yang terbangun mulai memudar. Makin banyak buruh  PT To yang menerima tawaran pesangon dari perusahaan. Setelah bertahan lama, Januari 2013, Mulyanto akhirnya menjadi salah seorang buruh yang juga mengambil pesangon. Ia meninggalkan 48 buruh lain yang masih kukuh berjuang melawan perusahaan. Dengan nada terpaksa, Mulyanto mengungkapkan:

“Ada pemikiran-pemikiran, ya sudah kalau seperti itu kita percuma. Akhirnya saya mengambil (pesangon) 1 PMTK (peraturan menteri tenaga kerja, ed.) dengan terpaksa. Karena keuangan. Kalau tidak begitu saya dan keluarga tidak makan. Membayar hutang rumah, hutang yang lain menggunakan apa? Bicaranya sudah ekonomi yang parah. Lhayang diskorsing ini masih digaji.”[11]

Ada empat hal penting yang patut dicatat dari keterlibatan buruh dalam aksi solidaritas antarpabrik di Bekasi. Pertama, aksi solidaritas antar pabrik merupakan perlawanan buruh yang terorganisir terhadap pemilik kapital. Perlawanan bukan dilakukan secara tidak sadar. Perlawanan buruh juga bukanlah sebuah reaksi otomatis atas eksploitasi yang mereka alami. Mereka merencanakan dengan sadar target pabrik yang hendak di-‘grebek’. Perencanaan termasuk penentuan tuntutan, waktu, mekanisme dan pelibatan siapa yang akan ikut ‘grebek pabrik’. Koordinasi juga berlangsung antara serikat buruh dengan perwakilan serikat buruh di tingkat pabrik. Koordinasi ini menjadi krusial dalam perencanaan keseluruhan ‘grebek pabrik’ di perusahaan bersangkutan.

Kedua, aksi perlawanan buruh terhadap kapital terutama berbasis tuntutan ekonomi. Tuntutan terhadap penghapusan praktik kerja kontrak dan outsourcing merupakan isu utama dan bahkan dalam konteks aksi solidaritas antarpabrik, menjadi satu-satunya isu yang menggerakkan ribuan buruh di berbagai kawasan industri. Meski demikian, di luar aksi ‘grebek pabrik’, gerakan buruh di Bekasi juga menyuarakan tuntutan politik. Tuntutan pengesahan RUU BPJS dan  setelah disahkan kemudian pelaksanaannya, penolakan RUU Keamanan Nasional dan RUU Organisasi Masyarakat, merupakan beberapa agenda politik gerakan buruh. Di balik tuntutan ekonomi dan politik itu, tuntutan gerakan buruh Bekasi sebenarnya masih berada dalam pandangan bahwa relasi majikan – buruh itu sendiri tidak perlu dipersoalkan. Masih ada kepercayaan yang kuat bahwa kepentingan buruh dan kapital dapat dikompromikan.

Ketiga, solidaritas atau perasaan senasib-sepenanggungan menjadi motif utama para buruh yang terlibat aktif dalam aksi ‘grebek pabrik’. Alasan itu yang barangkali membuat buruh tidak lagi melihat bendera serikat tertentu dalam memberikan aksi solidaritasnya. Mereka seakan larut dalam atmosfer ‘solidaritas tanpa batas’ yang diamini seluruh elemen gerakan buruh di Bekasi. Retorika ideologis, terutama ‘sosial-demokratik’, memang terlihat di orasi-orasi, baju maupun spanduk yang dibawa buruh dalam aksi solidaritas. Slogan “Anti kapitalisme”, “Lawan Kapitalis”, maupun “Revolusi” memang terdengar di sana-sini. Hanya saja, retorika ideologis itu tidak sampai merasuk dalam menggerakkan mereka dalam aksi. Secara umum, buruh bukan bergerak karena kapitalisme mesti diganti dengan sosialisme, di mana mereka (buruh) adalah aktor yang memiliki tugas sejarah untuk melakukan hal itu. Buruh di Bekasi secara sederhana memaknai keterlibatan mereka dalam aksi jalanan sebagai sebuah tindakan untuk menjalankan kesepakatan moral umum yang sedang berlaku saat itu: saling membantu sesama buruh.

Poin ketiga ini membawa kepada catatan penting keempat, yaitu: perlawanan buruh dalam bentuk aksi solidaritas antarpabrik memiliki daya tahan temporer dan tidak memiliki kecenderungan untuk dapat bertahan dalam jangka panjang. Aksi solidaritas antarpabrik maupun perjuangan buruh melawan pemilik kapital lainnya, secara perlahan mulai ditinggalkan oleh buruh. Kekecewaan terhadap tuntutan yang gagal seringkali membuat buruh sudah urung untuk ikut aksi solidaritas berikutnya. Dalam kesempatan lain, buruh juga nampak dengan mudah meninggalkan kawan-kawan buruh lainnya dalam medan laga melawan pemilik kapital ketika memperoleh tawaran material seperti pesangon. Moral umum yang berlaku tentang keharusan saling membantu sesama buruh seperti kehilangan daya persuasinya.

Gerakan Buruh dan Kesadaran Spontan

Apa yang terjadi pada aksi ‘grebek pabrik’ atau solidaritas antar pabrik di Bekasi mengingatkan kita pada cerita V.I Lenin tentang perlawanan buruh di Rusia pada era 1890-an. Lenin mengulas perlawanan buruh itu dalam buku klasiknya ‘What is to be done?’ (1902). Pada awalnya, Lenin menilai ada kemajuan gerakan buruh pada masa akhir abad sembilan belas itu dibanding pada era dua dekade sebelumnya. Pada dekade 1860 dan 1870-an, di Rusia memang terjadi gerakan buruh yang cukup besar. Mereka merusak mesin-mesin pabrik sebagai bentuk perlawanan. Kemajuan yang dimaksud Lenin ialah:

“Pemogokan (perlawanan buruh) pada era 1890-an memperlihatkan jauh lebih berkilaunya kesadaran: penentuan tuntutan makin maju, pemogokan direncanakan secara hati-hati, kasus yang diketahui dan organisasi di tempat lain didiskusikan, dan seterusnya.” (Lenin, 1961 [1902]: 31)

Hanya saja, Lenin segera mengingatkan bahwa pemberontakan buruh saat itu barulah mewakili sebuah perjuangan kelas dalam tahap awal, baru sebatas embrio. Pemogokan dan pemberontakan buruh baru sebatas perjuangan serikat buruh, bukan perjuangan kaum sosialis untuk mewujudkan sosialisme. Memang mulai muncul pertentangan antara buruh dengan pemilik kapital, tapi buruh sendiri tidak atau belum sadar watak pertentangan yang tidak terdamaikan antara kepentingan buruh dengan kepentingan sistem sosial dan politik secara keseluruhan. Menurut Lenin, kesadaran buruh semacam ini bukanlah kesadaran sosialis. Ini tidak lebih dari sebuah ‘kesadaran spontan’. Dalam bahasa Lenin sendiri:

“Pada dirinya sendiri, pemogokan-pemogokan buruh secara sederhana hanyalah perjuangan serikat buruh, belum perjuangan sosial-demokratik. Perjuangan itu menandai menguatnya pertentangan antara buruh dengan majikan, tapi buruh tidak, dan tidak akan memiliki kesadaran tentang pertentangan yang tidak terdamaikan antara kepentingan mereka dengan seluruh sistem sosial dan politik modern (kapitalisme-pen), kesadaran mereka belumlah kesadaran sosial-demokratik. Dalam pengertian ini, pemogokan di decade 1890-an, disamping kemajuan besarnya dibanding ‘pemberontakan’ (pada dua dekade sebelumnya), tetaplah sebuah perlawanan spontan murni” (Lenin, 1961 [1902]: 31)

Titik tekan penting Lenin dari ‘kesadaran spontan’ ialah belum hadirnya kesadaran bahwa kepentingan buruh bertentangan secara hakiki dan tidak dapat didamaikan sama sekali dengan kepentingan ‘sistem sosial dan politik’ kapitalisme (Shandro, 1995: 279). Sebaliknya, ‘kesadaran sejati’ muncul ketika buruh telah memiliki kesadaran bahwa kepentingannya bertentangan dan tidak terdamaikan dengan kepentingan kapital. Artinya, tidak berguna upaya buruh untuk berkompromi dengan kapital. Kapital akan selalu berupaya menundukkan buruh di bawah kepentingan akumulasi. Karenanya, satu-satunya jalan yang masuk akal bagi buruh ialah sebuah revolusi sosialis untuk menghapus kapitalisme. Kesadaran spontan yang tertanam dalam gerakan buruh hanya akan membuat buruh tunduk pada ideologi borjuasi. Gerakan buruh akan mengarah pada ‘serikat buruhisme’. Padahal, ‘serikat buruhisme’ berarti perbudakan ideologis buruh oleh kaum borjuasi. Tapi mengapa kesadaran spontan dan serikat buruhisme akan mengarah pada dominasi ideologi borjuis? Lenin mengatakan: “..[U]ntuk alasan yang sederhana, ideologi borjuasi jauh lebih tua kemunculannya daripada ideologi sosialis, karena itu ideologi borjuasi telah lebih berkembang maju dan memiliki alat dan saluran penyebaran yang tidak ada habisnya.” (Lenin, 1961 [1902]: 42)

Dengan demikian, kesadaran spontan mendorong pada ‘serikat buruhisme’. Ini berarti, kesadaran spontan sebenarnya tidak sama dengan ‘serikat buruhisme’ itu sendiri  atau agenda  yang terlalu berorientasi pada tuntutan ekonomi semata. Lenin menunjukkan bahwa, bahkan gerakan buruh yang terlalu dominan tuntutan ekonomi pun, juga tetap punya tuntutan politik seperti pengesahan undang-undang. Tapi, tentu saja tuntutan politik semacam itu bersifat ‘politik serikat buruh’, bukan sebuah ‘politik sosial-demokratik’ karena masih menundukkan buruh di hadapan kapital (Lenin, 1961 [1902]: 43).

Jadi, kesadaran spontan tidak berkaitan dengan pembedaan tuntutan ekonomi atau politik. Gerakan buruh yang punya tuntutan politik sekalipun dapat hanya memiliki kesadaran spontan ketika tuntutannya masih menundukkan buruh di tangan kapital. Ketika tuntutannya masih melihat ada kemungkinan kompromi antara buruh dan kapital. Poin yang utama dari kesadaran spontan ialah tidak adanya kesadaran bahwa kepentingan buruh bertentangan secara tidak terdamaikan dengan kepentingan kapital. Dengan kata lain, masih ada kepercayaan bahwa kepentingan kapital dengan buruh, dapat dikompromikan. Suatu hal yang dapat kita lihat pada aksi solidaritas antarpabrik di Bekasi.

Dalam aspek lain, ‘kesadaran spontan’ bukanlah aksi yang melulu tidak sadar dan sporadis. Lenin di depan telah mengatakan bagaimana gerakan buruh di Rusia yang memiliki kesadaran spontan, tetap ‘merencanakan dengan hati-hati pemogokan mereka’. Pandangan senada juga diberikan oleh tokoh Marxis Italia, Antonio Gramsci. Menulis pada era 1920-an, Gramsci melihat bahwa perlawanan spontan merupakan sebuah aksi yang sadar, seperti yang juga telah disinggung Lenin. Perlawanan spontan bukan hanya reaksi otomatis buruh terhadap kondisi ekonomi yang eksploitatif. Perlawanan itu juga melibatkan kesadaran buruh dalam ‘membuat masuk akal’ atas apa yang terjadi. Ada pandangan tradisional dalam diri buruh yang turut menentukan apa yang benar – salah, layak dilakukan – tidak layak dilakukan, yang pada ujungnya menggerakkan aksi perlawanan spontan. Perlawanan dilakukan oleh ‘subaltern class’ (kelas pinggiran) dalam masyarakat yang punya pandangan dunia berbeda dari kelas yang lebih dominan (maju) seperti kelas kapitalis. Gramsci (1971: 198-199) menyatakan:

“Spontan dalam arti mereka (perlawanan) bukanlah hasil aktivitas pendidikan sistematis sebagai bagian dari kesadaran kelompok maju yang telah mapan, tetapi dibentuk melalui pengalaman sehari-hari yang diilhami oleh ‘akal sehat’, oleh pandangan tentang dunia tradisional yang populer, apa yang secara kurang imajinatif disebut dengan ‘insting’..”

Penekanan bahwa perlawanan spontan dilakukan secara sadar dengan melibatkan pertimbangan tertentu juga kembali disuarakan oleh E.P Thompson, sejarahwan Marxis Inggris. Perlawanan tidak disebabkan secara otomatis hanya oleh memburuknya kondisi ekonomi, melainkan juga melibatkan pertimbangan ‘konsensus popular’ yang sedang berlaku di tengah masyarakat. Thompson (1991: 188) menyatakan:

“Tentu saja benar bahwa pemberontakan dipicu oleh melambungnya harga, oleh praktik menyimpang pedagang atau oleh kelaparan. Tapi aksi protes itu berjalan dalam sebuah konsensus popular tentang apa yang sah dan apa yang dilihat sebagai praktik tidak sah..kemarahan terhadap asumsi moral (yang dilanggar), sama halnya dengan perampasan yang biasa terjadi, merupakan penyebab umum dari sebuah aksi langsung (kolektif)”

Barangkali tidak ada satu orang pun pengamat yang meragukan betapa perlawanan buruh dalam ‘grebek pabrik’ di Bekasi jelas-jelas terkoordinasi secara sadar, sebagaimana telah disinggung Lenin, Gramsci maupun Thompson. Meski demikian, perlawanan buruh terhadap kapital bukan diilhami oleh semacam ideologi sosial-demokratik. Perlawanan buruh di Bekasi dalam bahasa Gramsci didorong oleh sebuah ‘pandangan tradisional mereka sendiri’ tentang apa yang benar – salah, bisa diterima – tidak diterima atau dalam istilah Thompson disebut sebagai ‘konsensus popular’ yang sedang berlaku: saling membantu sesama buruh karena pemilik kapital menginisiasi praktik (kerja kontrak dan outsourcing) yang tidak bisa diterima oleh akal sehat buruh. Karena perlawanan bukan dipandu oleh sebuah ‘teori modern’ tentang hakikat relasi antara buruh dan pemilik kapital, perlawanan buruh akhirnya punya daya tahan terbatas.

‘Kesadaran Spontan’ dan Aktivis-Intelektual ‘Sosial-Demokratik’

Tentu saja pertanyaan penting selanjutnya ialah: mengapa gerakan buruh ‘hanya sebatas’ memiliki ‘kesadaran spontan’ dan tidak berhasil mengembangkan kesadaran revolusioner atau ‘sosial-demokratik’? Catatan Lenin pada awal abad 20 tentang gerakan buruh Rusia mungkin perlu ditengok kembali. Lenin percaya bahwa kesadaran sosial-demokratik atau ‘kesadaran kelas sejati’ tidak akan bisa muncul dari dalam diri gerakan buruh sendiri. Ia mengatakan:

“Sejarah dari seluruh negara menunjukkan bahwa kelas buruh, terutama dari upayanya sendiri, hanya mampu untuk mengembangkan kesadaran serikat buruh (bukan kesadaran sosial-demokratik-pen)..keyakinan bahwa diperlukan persatuan dalam serikat, bertarung melawan majikan, dan melakukan pemogokan untuk memaksa pemerintah mengesahkan undang-undang, dan seterusnya. Teori sosialisme, bagaimanapun, lahir dari teori filsafat, sejarah dan ekonomi yang dikembangkan oleh orang terdidik dari kelas berpunya, oleh intelektual. Berdasarkan status sosial, pendiri sosialisme ilmiah, Marx dan Engels sendiri termasuk dalam kategori intelektual borjuasi.” (Lenin, 1961 [1902]: 31-32).

Ketidakmampuan buruh secara mandiri memiliki kesadaran revolusioner yang dipandu teori sosialisme membawa implikasi tersendiri. Menurut Lenin, kesadaran semacam itu harus dibawa dari luar gerakan buruh. Kaum intelektual sosial-demokratik  punya peran strategis dalam membawa teori itu bagi gerakan buruh. Adapun tugas dari intelektual ini menurut Lenin ialah:

“..[T]ugas kita, tugas dari sosial-demokratik, ialah untuk mematikan spontanitas, untuk mengalihkan gerakan buruh dari (watak) spontanitasnya, perjuangan serikat buruh yang berada di bawah sayap kaum borjuasi dan membawanya (gerakan buruh itu) ke bawah sayap kaum sosial-demokratik revolusioner.” (Lenin, 1961 [1902]: 41)

Dari gagasan seperti itulah, Lenin kemudian mengajukan tesis penting yang membuatnya begitu terkenal hingga sekarang: perlunya sebuah partai pelopor revolusioner yang membimbing dan mengarahkan gerakan buruh mencapai kesadaran sosial-demokratik dan melaksanakan revolusi sosialis.

Pandangan Lenin pada dasarnya tidak terlalu berbeda dengan spirit yang tertuang dalam Program Erfurt tahun 1891 yang dicetuskan oleh Internasional Kedua dengan pimpinannya Karl Kautsky.[1] Inti dari Program Erfurt ialah ‘Tesis Penggabungan’ (merger thesis) di mana sosial-demokratik merupakan gabungan antara doktrin sosialisme dengan gerakan buruh (Levant, 2012: 368). Mengapa keduanya perlu digabung? Gerakan buruh pada dirinya sendiri tidak akan memiliki kemampuan menciptakan kesadaran revolusioner. Kesadaran semacam itu perlu disuntikkan dari luar oleh kalangan intelektual sosialis yang terdidik.

Hanya saja, memang ada sedikit perbedaan antara Lenin dengan pendahulunya, Kautsky. Perbedaan mereka terletak pada penyebab gerakan buruh pada dirinya sendiri tidak bisa revolusioner. Bagi Lenin, penyebabnya adalah perjuangan serikat buruh yang terlalu bersifat ekonomistis, akan melulu melahirkan kesadaran borjuasi. Sementara menurut Kautsky, penyebabnya ialah kurangnya pendidikan buruh. Ia percaya, gerakan buruh sebenarnya mampu memproduksi insting sosialis, ini merupakan hasrat alamiah dari buruh sebagai dampak eksploitasi kapitalis. Namun, insting seperti ini perlu diperjelas menjadi kesadaran kelas sejati. Sayangnya, kesadaran kelas ini tidak bisa muncul dari dalam gerakan buruh itu sendiri. Buruh kekurangan segala kondisi yang diperlukan bagi kerja-kerja ilmiah (Mayer, 1994: 678). Untuk itu, perlu bantuan intelektual dari luar untuk membawa pengetahuan ilmiah kepada buruh tentang cara mencapai sosialisme.

Pentingnya peran elemen nonburuh untuk mengenalkan teori sosial demokratik juga dinyatakan  oleh Gramsci. Mulanya Gramsci mengakui bahwa perlawanan spontan dalam beberapa aspek memang memiliki embrio organisasi yang dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih efektif. Tapi Gramsci buru-buru menegaskan bahwa perlawanan spontan tidaklah otomatis punya karakter revolusioner atau progresif. Bahkan menurut Gramsci, “..[K]egagalan untuk memberi suatu kepemimpinan yang sadar terhadap perlawanan spontan atau meningkatkan spontanitas itu ke taraf lebih tinggi dengan memasukkan mereka ke dalam politik, akan membawa dampak sangat serius” (Gramsci, 1971: 199). Dalam banyak kasus, perlawanan spontan akhirnya ditunggangi dan ditundukkan oleh kekuatan reaksioner dan konservatif yang akan mematikan perlawanan. Untuk itu, senada dengan yang telah dikatakan Lenin, diperlukan peran aktivis (intelektual organik) dalam “[M]endidik, mengarahkan, dan memurnikan (perlawanan spontan) dari pencemaran asing dengan tujuan untuk membawa perlawanan spontan sejalan dengan teori modern..” (Gramsci, 1971: 198).

Nyatanya, syarat yang diajukan Lenin maupun Gramsci untuk mentransformasi ‘kesadaran spontan’ kearah ‘kesadaran sosial-demokratik’ bukanlah perkara mudah. Dalam konteks Bekasi dan Indonesia secara umum, sebuah gerakan ‘sosial-demokratik’ yang terwujud dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) dan beberapa elemen penopangnya, telah dihancurkan dan dibinasakan secara brutal oleh kolaborasi militer dan sipil pascaperistiwa 30 September 1965 (Cribb, 1990). Diperkirakan 500 ribu hingga 2 juta orang[2] yang diduga anggota dan berafiliasi dengan PKI, dibunuh tanpa proses pengadilan sama sekali (Roosa, 2006). Sejak saat itu, sebuah rezim diktator yang ditopang militer dan teknokrat didikan ideologi kapitalis-neoliberal, berkuasa tanpa oposisi yang berarti. Elemen-elemen radikal semasa era Soekarno, dikendalikan dibawah ketiak penguasa Orde Baru.

Gerakan buruh tentu saja termasuk dalam kelompok yang dianggap ‘radikal’ ini. Buruh lantas ditata-ulang untuk memenuhi kepentingan rezim Orde Baru: pertumbuhan ekonomi tinggi dan stabilitas keamanan.[3] Akhirnya, buruh dikondisikan dalam suatu hubungan “korporatisme eksklusioner negara”[4] dimana kebebasan berserikat direpresi secara brutal oleh Soeharto (Hadiz, 1996: 1). Untuk melaksanakan kebijakan perburuhan yang bertujuan ‘mengontrol’ buruh, pemerintah memayungi hubungan perburuhan dengan istilah yang ideologis, “Hubungan Perburuhan Pancasila” (HPP) yang kemudian berubah menjadi “Hubungan Industrial Pancasila” (HIP).[5] Suatu relasi industrial yang harmonis tanpa konflik antara kapital – buruh diinternalisasikan dengan kuat kepada buruh. Konsep HPP ini  kemudian salah satunya diterjemahkan dalam bentuk pengontrolan serikat buruh. Pengontrolan serikat buruh dilakukan dengan disatukannya seluruh gerakan buruh ke dalam satu wadah, Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) pada 1973. Namun pada 1985, konsep HPP dirubah menjadi Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Akibatnya, pada tahun itu juga wadah FBSI diubah namanya menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). SPSI lebih diarahkan lagi untuk menjalankan fungsi-fungsi kontrol dan demobilisasi buruh  pada masa Orde Baru. Dengan dimotori Menaker Sudomo, sebuah struktur organisasi yang lebih hirarkis dan bersifat “komando” dilahirkan (Hadiz, 1996: 14). Dari semua pengaturan ini, elemen ‘sosial-demokrat’ sama sekali diharamkan dan diberi stempel ‘musuh pembangunan’.

Nasib elemen ‘sosial-demokratik’ belum banyak berubah pasca-Soeharto tumbang pada 1998. Memang, rezim pasca-Soeharto memberi kesempatan bagi elemen ‘sosial-demokratik’ untuk bangkit. Beberapa partai dengan haluan Kiri bermunculan. Begitu pula organisasi massa beraliran ‘sosial-demokratik’, baik yang berbasis petani, mahasiswa maupun buruh juga mulai terbentuk. Hanya saja, elemen ‘sosial-demokratik’ tetaplah sebuah organisasi minoritas di tengah gerakan sosial lain. Hal yang juga dialami dalam sektor gerakan buruh industri. Pengaruh serikat warisan Orde Baru: SPSI masih begitu kuat di kalangan buruh. Stigma zaman Soeharto terhadap gerakan buruh yang mencoba ‘berpolitik’ dan diduga membawa paham ‘komunis’ juga masih sangat kuat dalam ingatan masyarakat secara umum. Buruh menjadi ragu dan enggan bergabung dalam serikat yang mendapat label Kiri. Elemen ‘sosial-demokratik’ juga telah kehilangan kemampuan mengorganisasikan dan baru kembali memulai belajar, setelah di represi total Orde Baru selama sekitar tiga puluh tahun. Ringkasnya: warisan proyek pengontrolan buruh ciptaan Orde Baru masih begitu kuat, yang secara efektif telah membendung kebangkitan gerakan buruh secara umum (Hadiz, 2002), termasuk elemen ‘sosial-demokratik’ pasca Soeharto tumbang.

Penyebab lain masih kecilnya pengaruh elemen ‘sosial-demokratik’ tentu saja ialah pergeseran teknik relasi produksi baru yang diperkenalkan dalam bentuk ‘pasar kerja fleksibel’ dengan ikonnya: kerja kontrak dan outsourcing. Pemberlakukan sistem kontrak dan outsourcing, telah secara halus menekan buruh yang memiliki status itu untuk berpikir ulang sebelum bergabung dalam serikat pekerja maupun terlibat dalam aksi-aksi perjuangan solidaritas buruh lainnya (Tjandraningsih, Herawati dan Suhadmadi, 2010b: 46).  Pasar kerja fleksibel telah turut mendorong depolitisasi buruh yang ujungnya melemahkan militansi buruh. Terakhir, fragmentasi dalam diri gerakan buruh (Tornquist, 2004), yang juga terjadi pada elemen ‘sosial-demokratik’ sendiri dan implikasinya pada pilihan strategi pengorganisasian, telah ikut andil dalam melemahkan pengaruh mereka terhadap gerakan buruh yang lebih luas.

Sejauh ini kita telah menguraikan hadirnya ‘kesadaran spontan’ dalam aksi solidaritas antar pabrik di Bekasi. Kita juga telah berusaha menelusuri kondisi-kondisi yang membentuk ‘kesadaran spontan’ itu.  Dari uraian sebelumnya, kita memiliki gambaran tentang pentingnya peran aktivis-intelektual dalam mentransformasi ‘kesadaran spontan’ menjadi ‘kesadaran kelas sejati’. Bagian berikutnya akan membahas bagaimana peran aktivis-intelektual ‘sosial-demokratik’ dalam mengenalkan ‘teori modern’ tentang relasi kapital – buruh kepada gerakan buruh. Apakah proses ‘pengenalan’ itu selalu berjalan dalam satu arah dengan menempatkan gerakan buruh sebagai objek semata? Atau pengenalan itu perlu dilakukan dalam proses kolaboratif dua arah hingga tidak mematikan inisiatif gerakan buruh itu sendiri?

Kesadaran Spontan dan Prinsip ‘Emansipasi Mandiri Buruh’

Baik pemikiran Lenin maupun  Kautsky serta pandangan umum dalam Internasional Kedua dan Internasional Ketiga nampak berbeda dengan konsepsi Marx tentang gerakan buruh. Pada 1864, Marx menulis dalam Program untuk Internasional Pertama: “Bahwa emansipasi dari kelas buruh harus dilakukan oleh kelas buruh itu sendiri, perjuangan untuk emansipasi kelas buruh tidak berarti sebuah perjuangan untuk memperoleh keistimewaan kelas dan monopoli, tapi untuk meraih hak dan kewajiban setara dan penghapusan semua kelas” (Marx, 1974 [1866]: 82). Pernyataan ini menjadi pijakan dari sebuah prinsip ‘emansipasi mandiri’ (self-emancipation) dari buruh sendiri. Ada dua asumsi yang mendasari prinsip ini (Shandro, 1995: 269). Pertama, buruh mampu melakukan aktivitas revolusioner secara otonom. Perjuangannya tidak perlu ditundukkan pada tujuan pihak lain (intelektual dalam konsepsi Lenin). Kedua, emansipasi buruh menghapus kapitalisme hanya dapat dilakukan melalui aksi independen buruh. Ia tidak bisa dilakukan oleh kaum reformis yang mengatasnamakan kepentingan kaum buruh.

Prinsip ‘emansipasi mandiri’ (self-emancipation) buruh juga diikuti oleh Engels. Dalam kata pengantar untuk buku Marx: The Class Struggle in France, Engels pada 1895 menyatakan (Lowy, 2005: 19):

“Saat-saat serangan tidak terduga, sebuah revolusi yang dijalankan oleh segelintir minoritas yang sadar memimpin masa kebanyakan yang kurang sadar, adalah masa lalu. Ketika pertanyaannya tentang transformasi menyeluruh dari organisasi sosial, massa pada dirinya sendiri harus juga terlibat di dalam perjuangan, mereka sendiri harus sudah menangkap apa yang diinginkan, apa yang mereka perjuangkan, jiwa dan raga”.

Bagi Marx dan Engels, jalan paling realistis menuju sosialisme ialah melalui ‘emansipasi mandiri’ kelas buruh. Sosialisme tidak bisa diwujudkan dari cetak biru rancangan yang disusun oleh segelintir intelektual sosialis. Bentuk khusus masyarakat sosialis diproduksi melalui perjuangan jangka panjang yang melibatkan mayoritas penduduk. Perjuangan kelas jangka panjang dengan melibatkan mayoritas pekerja dapat menjadi transformasi sosial yang nyata. Tidak hanya akan mengubah masyarakat, perjuangan itu juga akan mentransformasi para pekerja yang terlibat di dalamnya secara fundamental. Dari perjuangan itu, buruh mampu menjadi tuan bagi keyakinannya sendiri, dari yang sebelumnya terbiasa tunduk pada aturan dan norma umum yang berlaku (Levant, 2012: 372). Ringkasnya, sosialisme hanya akan terwujud melalui emansipasi mandiri mayoritas buruh dalam melakukan perjuangan kelas.

Berbekal pada prinsip emansipasi mandiri ini, Rosa Luxemburg yang hidup semasa dengan Lenin, mengedepankan signifikansi perlawanan spontan dan pada saat bersamaan menunjukkan keterbatasan pengorganisasian berbasis partai pelopor. Luxemburg pada 1906 menilai, guru terbaik bagi buruh adalah perjuangan kelas itu sendiri, bukan para intelektual sosialis yang terdidik. Dari perjuangan kelas, orang secara personal mengalami radikalisasi, dan melalui proses ini, mereka cenderung untuk mengembangkan kapasitas, kesadaran dan persatuan yang diperlukan untuk melakukan emansipasi secara mandiri. Perjuangan kelas tidak hanya energi bagi revolusi, tapi justru guru bagi revolusi itu sendiri (Levant, 2012: 375-376).

Gambaran Luxemburg rasanya juga bisa kita lihat dalam aksi gerakan buruh Bekasi. Pemuda berusia 22 tahun seperti Salang yang sebelumnya tidak tahu apa-apa tentang perburuhan, pasca aksi-aksi ‘grebek pabrik’ menjadi organisator buruh yang tangguh. Pengalaman Bondan juga tidak kalah mentereng. Buruh berusia 25 tahun yang telah beberapa kali pindah pabrik ini sebelumnya tidak terlalu aktif di serikat buruh. Pascapuluhan aksi solidaritas antarpabrik dan memimpin puluhan motor buruh lain, memberi orasi dan ikut mengorganisasikan pembentukan serikat di pabriknya, mental pemberani Bondan mulai terbentuk, terutama ketika berhadapan dengan pemilik kapital. Tidak perlu heran, ketika perundingan dengan Bos besar dari Jepang di PT Hi, Bondan terlihat tenang.[6] Beberapa buruh yang lebih muda juga memperlihatkan radikalisasi. Acep, baru lulus SMK ketika kemudian bekerja di sebuah pabrik di Bekasi dan akhirnya ikut aksi ‘grebek pabrik’. Dulu baginya polisi adalah aparat yang menakutkan, kini Acep tidak takut sama sekali dengan polisi.[7] Suasana kebersamaan konvoi kolektif pada aksi – aksi ‘grebek pabrik’ barangkali telah ikut menyumbang mental perlawanan ini. Lebih banyak lagi buruh seusia Acep yang punya pengalaman orasi pertama di hadapan ratusan buruh saat aksi-aksi ‘grebek pabrik’ yang begitu marak terjadi. Mereka tak jarang mencatut istilah ‘Lawan Kapitalis’ untuk dipertentangkan dengan ‘Buruh bersatu, tak bisa dikalahkan!’.[8] Gambaran tentang relasi kapital-buruh, meskipun masih samar-samar, mulai dipahami secara kritis. Kader-kader baru pun bermunculandi serikat buruh. Mereka mulai terlihat makin aktif mengorganisasikan buruh, memberikan orasi dan sebagian aktif mengadvokasi kasus konflik industrial.

Salang dan Bondan kiranya hanyalah sedikit dari sekian puluhan atau ratusan pemimpin buruh muda baru yang tiba-tiba lahir dari riuh-rendahnya perburuhan di Bekasi sepanjang 2012. Begitu banyak buruh-buruh muda seakan begitu haus akan pengetahuan perburuhan. Mereka tersentak dengan berbagai aksi jalanan dan ‘grebek pabrik’ yang hampir tiap hari dilihat dan dialami secara langsung. Menyelesaikan masalah status memang masih menjadi motivasi utama dari buruh-buruh muda itu. Di tengah upaya itu, sosok pemimpin pun mereka temukan dalam diri buruh-buruh yang lebih senior atau bahkan seusia mereka sendiri. Satu yang jelas: dia biasanya memilliki kelebihan dibanding buruh yang lain. Lebih berani, lebih giat atau lebih tahu sedikit tentang perburuhan dan lika-liku jaringannya, akan membuat seorang buruh dipercaya sebagai pemimpin. Tidak peduli bendera serikat mana, anak-anak muda itu mau belajar tentang perburuhan kepada siapa saja yang mau secara sukarela mengajari mereka. Tidak peduli juga dari pabrik mana, suatu kelompok buruh muda dari satu pabrik dapat bekerjasama dengan buruh muda lain untuk menggelar forum belajar bersama.

Titik-titik kumpul di sekitar pabrik atau di Saung Buruh dan Omah Buruh yang telah lebih dulu dilekati sebagai ruang kumpul buruh, atau ruang kumpul buruh yang lain, dibanjiri buruh-buruh muda dari pabrik manapun. Belajar perburuhan atau sekedar saling cerita pengalaman heroik mengikuti‘grebek pabrik’, menghiasi pertemuan mereka. Begitu pula titik kumpul imajiner via media sosial sepertiFacebook yang makin memperkuat suasana perburuhan di kawasan. Dalam proses penjelajahan yang kadang melelahkan itu, disengaja atau tidak, dan disadari atau tidak, telah berlangsung proses radikalisasi, lahirnya nalar kritis dan hasrat persatuan yang besar di kalangan sesama buruh, suatu hal yang begitu penting bagi proses emansipasi mandiri buruh.

Dari transformasi personal lewat proses perjuangan kelas seperti yang terjadi di Bekasi, kita barangkali bisa memahami pandangan Luxemburg tentang potensi bahaya dari sebuah partai pelopor. Pertama, intervensi partai dapat melumpuhkan inisiatif pekerja. Padahal inisiatif pekerja merupakan prasyarat penting bagi proses transformasi diri mereka sendiri dan masyarakat secara keseluruhan. Kedua, partai pelopor berbahaya karena dapat memunculkan bentuk subordinasi (penundukkan) baru terhadap pekerja sehingga justru dapat menciptakan alienasi (keterasingan) baru.[9] Jika intervensi partai pelopor dapat berbahaya bagi gerakan buruh, lantas apa yang harus dilakukan? Luxemburg tentu saja bukan orang yang antipartai. Ia sendiri membantu membentuk Partai Sosial-Demokrat Polandia, bekerja setahun di Partai Sosial-Demokrat Jerman dan menjadi pendiri utama Partai Komunis Jerman. Hanya saja, Luxemburg secara konsisten terus menyatakan pentingnya emansipasi mandiri buruh yang tidak ditundukkan oleh elit pemimpin partai.  Bagaimana kedua sikap yang nampak berseberangan ini disatukan? Menurut Levant (2012), Luxemburg menginginkan tetap hadirnya sebuah partai tanpa harus mematikan inisiatif buruh itu sendiri. Dalam konteks ini, partai pelopor tidak perlu memaksakan pandangan sosialis ke gerakan perlawanan spontan, tapi cukup bermitra dan merawat, mengolah dan mengembangkan perlawanan spontan itu (Levant, 2012: 374) menjadi perjuangan kelas yang berkesinambungan.

Pandangan ini rasanya tidak berlawanan dengan Lenin. Seperti yang telah diuraikan oleh Shandro (1995: 293), membicarakan tesis Lenin mesti mengaitkannya dengan konteks spesifik Rusia ketika Lenin menulis bukunya. Kecenderungan disiplin dan otoritarian dalam sebuah partai pelopor tidak dapat dianggap berlaku universal. Pilihan bentuk organisasi tertutup, sempit, dan hirarkis yang terjadi pada partai pelopor di Rusia merupakan respon dari situasi ekonomi politik spesifik dimana kekuasaan absolut Raja Tsar begitu kokoh sementara rakyat kebanyakan masih buta huruf. Yang berlaku universal ialah perlunya sebuah organisasi pelopor dalam membantu gerakan buruh memahami teori sosialisme. Sedangkan soal karakter organisasi, apakah ia akan bersifat terbuka atau tertutup, bercorak partai luas atau sempit dan apakah bersifat demokratis atau otoriter, akan sangat tergantung pada situasi konkret perjuangan kelas di suatu wilayah dan waktu tertentu. Konteks spesifik Bekasi memerlukan analisa tersendiri lebih jauh.

Peran Aktivis-Intelektual dan Gerakan Buruh

Uraian di depan mengantar pada beberapa implikasi penting bagi aktivis dan gerakan buruh di Bekasi. Ada sebuah kesepakatan umum tentang perlunya aktivis-intelektual yang mengaku dirinya ‘sosial-demokratik’ dalam pengertian Lenin, untuk terlibat aktif dan bergabung dengan gerakan buruh yang lebih besar. Upaya ini tentu saja penting dilakukan dalam rangka mengenalkan ‘teori modern’ terkait hakikat  relasi kapital – buruh kepada gerakan buruh yang tengah berada dalam ‘kesadaran spontan’. Hanya saja, langkah demikian mensyaratkan mereka yang saat ini terkungkung dalam petak-petak kecil serikat buruh ‘sosial-demokratik’-nya, untuk lebih aktif menginisiasi pembentukan suatu front gerakan buruh yang meliputi berbagai spektrum ideologi. Terlalu asyik dengan serikat buruh sendiri lewat  dalih ‘disiplin ideologi’ barangkali hanya akan berarti tidak meluasnya pengenalan ‘teori modern’ relasi kapital – buruh  kepada gerakan buruh yang jauh lebih besar. Ujung dari hal ini bisa diduga: aktivis-intelektual ‘sosial-demokratik’ menjadi terkucil dan tidak punya pengaruh signifikan terhadap gerakan buruh lebih besar yang kini tengah menggeliat.

Implikasi lain bagi peran aktivis-intelektual, sebagaimana telah didiskusikan di depan, ialah penggabungan diri tidak perlu diartikan sebuah upaya indoktrinasi satu arah ideologi ‘sosial-demokratik’ ke dalam gerakan buruh. Suatu sikap sebagai mitra gerakan buruh untuk merawat, mengolah dan mengembangkan perlawanan spontan menjadi perjuangan kelas yang berkesinambungan merupakan langkah penting dalam kerangka transformasi masyarakat secara keseluruhan. Prinsip utama yang patut dipegang dalam langkah ini ialah sebuah upaya mengenalkan ‘teori modern’ tentang relasi kapital – buruh perlu dilakukan dengan hati-hati, tanpa harus berujung pada matinya inisiatif aktif gerakan buruh itu sendiri.

Pandangan demikian sekaligus punya implikasi tertentu bagi gerakan buruh. Adalah terlalu berlebihan bagi gerakan buruh untuk selalu bersifat ‘tertutup’ terhadap peran aktivis dari luar buruh. Sikap ‘kehati-hatian’ barangkali tetap perlu diperhatikan sepanjang dilakukan untuk memastikan tidak matinya inisiatif dari gerakan buruh sendiri. Tetapi sikap ‘terlalu hati-hati’ hanya menunjukkan ketidaksiapan dan ketidakpercayaan diri buruh sendiri untuk bermitra secara kolaboratif dengan pihak lain. ‘Pengusiran’ terhadap seorang aktivis ‘sosial-demokratik’ dari serikat buruh yang pemimpinnya sendiri punya agenda untuk mengembangkan ‘kesadaran kelas’ buruh, mungkin mencerminkan sikap demikian. Agak aneh membayangkan sebuah visi membangun ‘kesadaran kelas’ buruh dapat dilakukan dan diwujudkan dengan sikap tertutup dan reaksioner terhadap aktivis ‘sosial-demokrat’ seperti itu. Gerakan buruh perlu lebih terbuka terhadap tawaran kerjasama pihak lain: aktivis-intelektual nonburuh.

Tetapi sikap terbuka terhadap aktivis-intelektual nonburuh saja, rasanya juga belum memadai. Terdapat sebuah kecenderungan umum di gerakan-gerakan sosial Indonesia, termasuk gerakan buruh, untuk hanya memberi perhatian pada isu mereka sendiri. Sektoralisme gerakan begitu terasa. Buruh sebagai pekerja industri, seperti tidak pernah mengenal, apalagi punya perhatian terhadap pekerja di sektor lain: buruh tani, petani kecil maupun pekerja informal. Seperti yang telah saya singgung pada kesempatan lain (Habibi, 2012), buruh nampak tidak punya bayangan keterkaitan mereka dengan proses transformasi agraria yang terjadi. Ini sekaligus menunjukkan, buruh tidak punya gambaran tentang asal-usul, hakikat posisi mereka dalam produksi dan tentu saja ujungnya tentang apa yang harus mereka lakukan dalam posisi seperti itu. Ketiadaan gambaran komprehensif tentang posisi buruh dalam proses produksi masyarakat secara keseluruhan, suatu bentuk ‘kesadaran spontan’, menjadi penyebab utama sektoralisme gerakan buruh.Tuntutan buruh kemudian menjadi hampir eksklusif isu mereka sendiri:outsourcing, kerja kontrak, upah, pesangon. Satu perkecualian barangkali aksi May Day 2013 di Yogyakarta di mana salah satu tuntutan mereka ialah pelaksanaan Reforma Agraria. Suatu tuntutan reorganisasi relasi produksi di sektor pertanian.

Di samping perkecualian itu, tentu saja gerakan buruh dapat mengatakan bahwa mereka telah memperjuangkan nasib pekerja lain melalui perjuangan pengesahan UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Buruh juga menuntut penolakan RUU Keamanan Nasional dan RUU Organisasi Masyarakat karena dituding akan membelenggu kebebasan gerakan buruh dan gerakan masyarakat sipil yang lain. Langkah ini tentu saja patut mendapat apresiasi. Tetapi tuntutan itu seakan masih menganggap relasi sosial produksi industri (sistem pabrik dengan relasi majikan-buruh) sebagai sesuatu yang alamiah dan tidak perlu diotak-atik kelangsungannya. Tuntutan gerakan buruh belum mencerminkan kebutuhan akan sebuah reorganisasi relasi sosial produksi sektor industri sebagai implikasi dari pemahaman terhadap posisi buruh dalam relasi produksi secara keseluruhan. Agak sulit membayangkan dalam suatu relasi kapital – buruh, di mana kepentingan buruh ditempatkan di bawah kepentingan akumulasi kapital, yang terutama didominasi kapital asing, buruh dapat mengamankan kepentingan-kepentingannya secara memadai.

Hanya saja, reorganisasi relasi sosial produksi di sektor industri mengandaikan juga terjadinya reorganisasi relasi sosial produksi di sektor lain, terutama pertanian. Banyaknya ‘tentara cadangan pekerja’ yang terlempar dari sektor pertanian dan belum terserap di industri, akhirnya menjadikan posisi buruh begitu lemah di hadapan majikan industri. Membayangkan proses reorganisasi sektor industri tanpa mengaitkannya dengan reorganisasi sektor pertanian, sama saja menafikan betapa erat dan tidak terpisahkannya proses produksi di kedua sektor itu. Dari sudut pandang ini, gerakan buruh tidak bisa menghindar untuk membangun aliansi dengan pekerja lain di sektor pertanian. Terlebih mengingat fakta bahwa mayoritas pekerja di Indonesia masih bekerja di sektor pertanian. Buruh industri belum menempati posisi dominan dalam struktur relasi produksi secara keseluruhan. Dalam kondisi seperti ini, barangkali agak berlebihan mengandalkan kekuatan buruh industri sendiri untuk melakukan suatu reorganisasi relasi sosial produksi masyarakat baik di ranah pertanian maupun industri.

Sulit dihindari, gerakan buruh industri yang tengah bergeliat perlu mulai aktif menginisiasi pembentukan suatu ‘blok politik’ atau ‘blok historis’[10] yang terdiri dari berbagai pekerja lintas sektor. Suatu blok politik pekerja bertujuan untuk melawan blok politik yang sedang dominan berkuasa: blok politik yang dipimpin pemilik kapital dengan segala narasi ide yang menopangnya: iklim investasi yang baik, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, jaminan keamanan dan stabilitas berbisnis, dan seterusnya. Narasi yang nampak indah itu tentu saja ujungnya hanya menempatkan buruh sebagai komoditas yang perlu ‘ditekan upahnya’ agar iklim investasi bagus di mata kapital internasional, buruh yang perlu ‘dikendalikan’ agar pertumbuhan ekonomi tinggi, dan buruh yang ‘terkondisikan’ dalam suatu relasi produksi tanpa konflik, untuk menjamin kelancaran bisnis. Bagi petani kecil, iklim investasi bagus barangkali berarti hilangnya sepetak tanah mereka karena diambli-alih investor, pertumbuhan ekonomi tinggi bermakna  makin lebarnya jurang kesenjangan antara mereka dengan pemilik kapital besar dan stabilitas dan keamanan bisnis seringkali sama dengan represi atau  aksi kekerasan terhadap petani yang memperjuangkan tanah mereka.

Seperti yang diingatkan oleh Gramsci (1971), blok politik baru tidak bisa hanya menggunakan kekuatan material-fisik dalam melawan blok politik yang sedang berkuasa. Blok politik pekerja yang hendak meraih hegemoni baru perlu juga menggunakan kekuatan bujukan lewat ide, narasi, cerita, argumen untuk meyakinkan kelompok atau kelas di luar buruh industri, agar mau bergabung dalam blok politik ini. Dalam hal ini, peran intelektual-aktivis menjadi penting untuk memproduksi ide dan narasi perlawanan yang diperlukan. Narasi yang mewadahi kepentingan banyak kelompok akan memudahkan pembentukan blok politik pekerja. Barangkali suatu agenda ‘industrialisasi domestik oleh negara’ dan agenda ‘reforma/revolusi agraria’ dapat menjadi titik awal pembangunan wacana blok politik pekerja. Siapa yang akhirnya menjadi pemimpin blok politik ini, akan sangat tergantung pada dialektika kekuatan sosial dalam situasi konkret.

Kesimpulan

Aksi solidaritas antarpabrik Bekasi yang melibatkan puluhan ribu buruh memperlihatkan kebangkitan gerakan buruh di Indonesia pasca-Soeharto. Mereka menggelar perlawanan terhadap kapital secara sadar dan terorganisasi. Tuntutan buruh meliputi isu ekonomi dan politik sekaligus. Di balik perbedaan ekonomi dan politik itu, tuntutan buruh sejatinya masih melihat ada titik kompromi yang mungkin dicapai antara buruh dan kapital. Tuntutan buruh yang masih berada dalam koridor mode produksi kapitalis ini dapat dilacak akarnya dari pemaknaan buruh terlibat dalam aksi jalanan yang riuh. Mereka bukan bergerak karena panduan ideologis tentang perlunya sebuah mode produksi kapitalis untuk diganti dengan sosialis. Buruh ikut aksi jalanan semata karena suatu ‘konsensus popular’ yang sedang berlaku umum: saling membantu sesama buruh melawan praktik kerja outsourcing dan kontrak. Perlawanan yang dipandu konsensus popular ini akhirnya punya daya tahan terbatas. Banyak buruh mulai meninggalkan laga pertarungan dengan kapital ketika memperoleh tawaran material maupun ancaman kekerasan. Empat dimensi yang digambarkan dalam aksi solidaritas antar pabrik di Bekasi memperlihatkan apa yang sering disebut dengan bentuk ‘kesadaran spontan’.

Minimnya pengaruh elemen ‘sosial-demokratik’ dalam gerakan buruh berkontribusi bagi terbentuknya kesadaran spontan. Gerakan buruh yang telah dibersihkan dari anasir ‘sosial-demokratik’ pada masa kekuasaan Soeharto, tidak memiliki gambaran kritis tentang relasi majikan –  buruh. Gambaran yang dominan di gerakan buruh setelah runtuhnya Soeharto tetaplah suatu relasi majikan – buruh yang harmonis seperti dalam hubungan keluarga. Konsep HIP dan HPP masih begitu hegemonik di benak mayoritas buruh. Tentu saja, ada kombinasi beberapa kondisi yang turut membentuk hal ini. Pengontrolan buruh warisan Soeharto masih membekas kuat di kalangan luas buruh. Anjuran agar buruh tidak berpolitik dan menjaga relasi industrial tetap tenang tanpa konflik, masih menghinggapi sebagian besar buruh. Elemen ‘sosial-demokratik’ yang terkena stempel ‘provokator’ dan ‘pengganggu pembangunan’ oleh Orde Baru membuat buruh di era pasca Soeharto masih ragu-ragu dan enggan untuk bergabung. Pasar kerja fleksibel juga turut mempersulit pengorganisasian buruh, tidak terkecuali apa yang dijalankan aktivis-intelektual ‘sosial-demokratik’. Selanjutnya, kecenderungan fragmentasi dalam elemen ‘sosial-demokratik’ sendiri juga telah menyumbang pada minimnya pengaruh ‘sosial-demokratik’ dalam gerakan buruh yang lebih luas. Kombinasi kondisi-kondisi itu telah membentuk ‘kesadaran spontan’ yang terwujud dalam aksi solidaritas antar pabrik di Bekasi.

Dalam perbincangan literatur, kesadaran spontan perlu dikembangkan menjadi suatu bentuk ‘kesadaran kelas sejati’. Suatu kesadaran di mana kepentingan buruh sejatinya selalu bertentangan secara tidak terdamaikan dengan kepentingan kapital. Langkah paling masuk akal bagi buruh karenanya bukanlah suatu tuntutan yang masih membenarkan relasi majikan-buruh, melainkan tuntutan untuk menghapus relasi yang eksploitatif itu sendiri dan menggantinya dengan bentuk relasi produksi yang baru. Membentuk kesadaran kelas seperti ini membutuhkan semacam ‘partai pelopor’yang mengenalkan ‘teori modern’ relasi kapital – buruh kepada gerakan buruh. Hanya saja, keberadaan partai tidak harus berarti mematikan inisiatif aktif gerakan buruh sendiri. Pengenalan ‘teori modern’ itu karenanya perlu dilakukan dalam kolaborasi dua arah. Suatu sikap sebagai mitra gerakan buruh untuk merawat, mengolah dan mengembangkan perlawanan spontan menjadi perjuangan kelas yang berkesinambungan. Langkah demikian di satu sisi mengandaikan peran aktif aktivis ‘sosial-demokratik’ untuk mewarnai gerakan buruh yang lebih besar, sementara pada sisi lain, sebuah keterbukaan dari gerakan buruh untuk menjalin kerjasama dengan aktivis-intelektual nonburuh.

Tidak hanya gagal memberi gambaran memadai mengenai hakikat relasi kapital – buruh, ‘kesadaran spontan’ juga tidak berhasil dalam membentuk pandangan komprehensif tentang posisi buruh dalam proses produksi masyarakat secara keseluruhan. Ujungnya, gerakan buruh terjerembab dalam sektoralisme yang kronis. Dibayangkan seolah-olah reorganisasi relasi produksi di sektor industri dapat berjalan tanpa melakukan hal serupa di sektor lain, terutama pertanian. Pandangan ini tentu saja mengabaikan fakta bahwa mayoritas pekerja di Indonesia masih bekerja di sektor pertanian. Reorganisasi relasi produksi industri membutuhkan reorganisasi serupa di sektor pertanian. Agak sulit membayangkan, buruh industri sendirian dapat menjalankan  agenda reorganisasi relasi produksi di kedua sektor itu sekaligus. Rasanya tidak ada pilihan lain bagi gerakan buruh industri yang tengah bangkit untuk menginisiasi pembentukan ‘blok politik pekerja’ yang meliputi berbagai pekerja lintas sektor. Suatu blok politik dengan agenda reorganisasi relasi produksi industri dan pertanian perlu segera dibangun. Mengenalkan agenda ‘industrialisasi domestik oleh negara’ dan agenda ‘reforma/revolusi agraria’ kepada pekerja sektor lain, terutama gerakan agraria, mungkin bisa menjadi pijakan awal pembangunan blok politik pekerja, guna melawan ‘blok politik kapital’ dalam lorong perjuangan kelas yang berkelanjutan.

*Dipublikasikan kembali untuk tujuan penyadaran dari Majalah Sedane.

 Referensi
Cribb, R, (1990), “The Indonesian killings of 1965–1965: studies from Java and Bali”, Clayton, Vic.: Monash University Centre of Southeast Asian Studies, Monash Papers on Southeast Asia no 21
_______, (2001), “How many deaths? Problems in the statistics of massacre in Indonesia (1965-1966) and East Timor (1975-1980)” In Violence in Indonesia Ed. Ingrid Wessel and Georgia Wimhöfer. Hamburg: Abera,. 82-98
Febrianto, R. (2012), “HOSTUM Jalan Menuju Buruh Indonesia Bermartabat”, Makalah pada Diskusi Pejaten, 14 November
Gill, S, (2002), Power and Resistance in the New World Order, Palgrave: Macmillan
Gramsci, A, (1971), Selection From The Prison Notebooks, New York: International Publishers
Habibi, M, (2012), “Buruh dan Transformasi Agraria Indonesia”, Majalah BASIS Vol. 62 No. 5-6
Hadiz ,V.R, (1996), “Buruh Dalam Penataan Politik Awal Orde Baru”, Majalah Prisma No.7, Juli
_________, (1997), Workers and State in New Order Indonesia, London: Routledge
_________, (2002), “The Indonesian Labour Movement: Resurgent or Constrained?”  Southeast Asian Affairs , pp 130-142
King, D.Y (1979), “Defensive Modernization: The Structuring of Economic Interest in Indonesia,” dalam G. Davis, What is Modern Indonesian Culture, Athens:Ohio
Lenin, V.I (1961 [1902]), What is to be done? Burning Questions of Our Movement, New York: International Publishers
Levant, A, (2012), “Rethinking Spontaneity Beyond Classical Marxism: Rereading Luxemburg through Benjamin, Gramsci and Thompson”, Critique: Journal of Socialist Theory, 40 (3): pp 367-387
Lowy, M, (2005 [1970]), The Theory of Revolution in the Young Marx, Chicago, IL: Haymarket Books
Lukacs, G, (1971 [1923]), History and Class Consciousness,Cambridge, MA: The MIT Press
Maianto, T. (2012), “Membangun SPSI Yang Modern, Progresif & Revolusioner”, diakseshttp://rumahburuh.com/membangun-spsi-yang-modern-progresif-revolusioner.html (7 Januari 2013)
Majalah Monitor, (1979), “ Hubungan Perburuhan Pancasila”, No.1 Mei
Marx, K, (1974 [1866]), ‘Provisional Rules of the First International,’ in The First International and After, London: Penguin Books
Mayer, R, (1994), “Lenin, Kautsky and Working-Class Consciousness”, History of European Ideas, 18 (5): pp 673-681
Prakarsa Rakyat, (2013), “Grebek Pabrik: Daya Ledak Gerakan Buruh”, diakses http://prakarsa-rakyat.org/grebek-pabrik-daya-ledak-perlawanan-buruh/ (2 Juli 2013)
Roosa, J, (2006), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra
Rudiono, D, (1992), “Kebijakan Perburuhan Pasca Boom Minyak”, Majalah Prisma No.1, Januari.
Saptari, R. (2008) ‘‘The Politics of Workers’ Contention: The 1999 Mayora Strike in Tangerang, West Java, ’’ International Review of Social History, 53, pp. 1-35
Shandro, A, (1995), “Consciousness from without: Marxism, Lenin and the Proletariat”, Science & Society, 59 (3):, pp.268-297
Thompson, E.P. (1991), Customs in Common, New York: The New Press
Tjandraningsih, I, Herawati, R & Suhadmadi , (2010), Praktek Kerja Kontrak Dan Outsourcing Buruh Di Sektor Industri Metal Di Indonesia, Bandung: Akatiga-Fspmi-Fes
Tornquist, O, (2004), “Labour and Democracy? Reflection on the Indonesian Impasse”, Journal of Contemporary Asia, 34 (3):377-399

[1] Pandangan tentang ketidakmampuan buruh pada dirinya sendiri mengembangkan kesadaran revolusioner juga dicetuskan oleh Leon Trotsky dan juga Georg Lukacs  (Levant, 2012: 368). Lukacs menawarkan konsep ‘kesadaran palsu’ untuk menunjukkan ketidakmampuan buruh memahami dan menyadari watak relasi produksi dan misi historis mereka. Gagasan Lukacs tentang ‘kesadaran palsu’(false consciousness) dapat dibaca dalam bukunya: History and Class Consciousness (1971 [1923]).

[2] Mengenai problem perbedaan perkiraan jumlah korban pembantaian dibahas dalam Cribb (2001: 82-98).

[3] Rejim Soeharto menerapkan strategi modernisasi difensif (defensive modernisation) dimana penguasa berusaha mengatur segalanya dan mengontrol organisasi buruh untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (King, 1979). Sementara pada aspek lain, pertimbangan politik Soeharto mengontrol buruh adalah dalam rangka mencegah kembali hadirnya gerakan massa radikal yang diasosiasikan dengan PKI, lawan TNI AD, yang kemudian menjadi pilar Orde Baru (Hadiz, 1997).

[4] “Korporatisme Ekslusioner” diperkenalkan oleh Alfred Stepan untuk menjelaskan upaya kelompok elite dalam masyarakat untuk meredam dan mengubah bentuk “kelompok-kelompok kelas pekerja yang menonjol” melalui kebijakan yang bersifat koersi. Ia berbeda dengan “korporatisme inklusioner” yang lebih bercirikan akomodasi dan inkorporasi kelompok-kelompok tersebut oleh negara.

[5] Istilah HPP dilontarkan pertama kali oleh menteri tenaga kerja pada 1966. Pada awalnya, istilah itu tidak terlalu jelas, bahkan ada kesan bahwa HPP hanya merupakan reaksi balik atas hubungan perburuhan sebelum 1966 yang dirasakan terlalu liberal dan radikal. Pada 1974, konsep HPP mulai terlihat lebih jelas. Asas ini mengandung tiga prinsip dalam hubungan perburuhan : (1) prinsip “rumongso handarbeni”, yaitu merasa ikut memiliki, mitra dalam produksi dan mitra dalam pembagian keuntungan (2) prinsip “melu hangrungkebi”, yaitu ikut mempertahankan dan memajukan perusahaan (3) prinsip “mulat sariro hangroso wani”, yaitu keberanian untuk mawas diri. Lihat Majalah Monitor No.1 Mei 1979. Pada 1985, HPP diubah menjadi HIP pada masa Mennaker Sudomo. HIP menjadi konsep yang lebih jelas dibanding HPP, yaitu suatu hubungan antara buruh dengan pengusaha (majikan) yang harus didasarkan pada tiga prinsip : kemitraan, kekeluargaan dan musyawarah untuk mufakat. Selain itu, dalam pandangan HIP, istilah ‘buruh’ yang melekat pada nama organisasi FBSI dinilai tidak sesuai dengan Pancasila. Konsep buruh memberi konotasi “kelompok tertindas yang selalu memberontak”. Sehingga istilah buruh perlu diganti menjadi ‘pekerja’. Lihat Rudiono (1992: 67).

[6] Cuplikan perbincangan Bondan dengan pemilik perusahaan asal Jepang terlihat dalam adegan berikut. Dengan bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan, pria tua asal Jepang itu bertanya “Apa yang kalian lakukan ?”. Dengan tenang, Bondan menjawab pelan “..[P]ihak manajeman telah melakukan pelanggaran ketenagakerjaan, yaitu mempekerjakan (buruh) outsourcing di bagian produksi”. Tidak berselang lama, pemilik kapital asal Jepang segera bertanya lagi “Kenapa tidak dibicarakan dahulu?”. Bondan kembali menjawab dengan yakin “..[S]udah yah, tetapi pihak manajeman menggangap itu diskusi bukan perundingan. Mereka mempermainkan kami.” Wawancara, Bekasi 21 Januari 2013

[7] Wawancara, Bekasi 26 Desember 2012

[8] Wawancara dengan Inda, Buruh PT Ha, Bekasi 26 Desember 2012

[9] Tentu saja kritik Luxemburg terhadap Lenin ini barangkali tidak adil. Karena faktanya, Lenin juga mengedepankan prinsip emansipasi mandiri buruh seperti tertuang dalam gagasannya tentang organisasi mandiri buruh yang pertamakali terbentuk pada tahun 1905 di St Petersburg dalam wujud Dewan Buruh (soviets). Menurut Levant (2012: 375), Luxemburg mungkin tidak membaca karya klasik Lenin, What is to be done?

[10] Konsep ini merupakan gagasan Antonio Gramsci (1971). Dalam skema pemikiran Gramsci, ‘blok historis’ merupakan langkah penting setelah pembentukan partai politik. Pembentukan partai, diikuti pembangunan ‘blok historis’ menjadi strategi kunci dalam meraih ‘hegemoni’ (kekuasaan). Seperti yang dinyatakan Gill (2002: 58): “Blok historis merujuk pada kesesuaian sejarah antara kekuatan material, institusi dan ideologi, atau secara luas, sebuah aliansi dari kekuatan kelas berbeda yang secara politik diorganisasikan oleh seperangkat ide hegemonik yang memberi arahan strategis dan kepaduan kepada konstituennya. Lebih lanjut, untuk memunculkan blok historis baru, pemimpinnya mesti terlibat dalam perjuangan yang direncanakan secara sadar. Blok historis baru tidak boleh hanya memiliki kekuasaan di dalam masyarakat sipil dan ekonomi, tapi juga membutuhkan ide yang membujuk, argumen dan inisiatif yang dapat membangun, menjembatani dan mengembangkan jaringan politik dan organisasi blok historis itu”

 

Tulisan ini sebelumnya dimuat di Majalah Sedane.
Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.

Leave a Reply