Dari Birokratisasi ke Swastanisasi Pendidikan: Sebuah Refleksi Gerakan Mahasiswa

Dua dekade Reformasi rasanya belum cukup untuk mempertanyakan problem rendahnya mutu pendidikan. Biaya pendidikan mengalami trend kenaikan, sementara kualitas 4.500 Perguruan Tinggi (PT) di seluruh Indonesia terbilang rendah (Jpnn, 2017).Pembanguan fasilitas penunjang nampaknya menekankan sektor infrastruktur fisik kampus. Perguruan tinggi lebih giat mempersiapkan lulusan yang mengikuti permintaan pasar tenaga kerja, ketimbangmemecahkan persoalan didepan mata: pengeroposan kultur akademis. Persoalan pendidikan kontemporer tidak dapat dilepaskan dari warisan masa lampau.

Masa Orde Baru: Pendidikan Tinggi Dalam Kerangkeng Negera

Pada masa Orde Baru (Soeharto),  seperti ditulis oleh Hadiz dan Dhakidae, (2006) , pendidikan tinggi di kendalikan oleh  kekuasaan Soeharto sebagai alat “pembenaran” dalam proses rekayasa menjalankan pembangunan. Pendidik, terutama ilmuwan sosial, juga dimanfaatkan untuk tujuan politis penguasa, demikian ungkap Antlov  (2006). Secara lebih khusus, ilmu sosial yang “direstui” oleh Orde Baru adalah  ilmu sosial  yang mampu memberi pembenaran pada ideologi rezimnya: stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Ideologi yang sering disebut sebagai “pembangunisme” ini secara efektif lahir menggantikan “sosialisme ala Indonesia” dibawah Soekarno ketika aliran Komunisme yang diusung oleh PKI, sebagai salah satu pilar pendukung Soekarno, dihancurkan pada 1965 (Hadiz & Dhakidae, 2006).

Dalam bingkai birokratisasi pendidikan tinggi, banyak ahli akademisi perguruan tinggi dari berbagai bidang ilmu diangkat menjadi birokrat negara. Tidak heran jika seorang akademis di masa Soehartoi menjadi terkenal lebih karena dia diangkat sebagai pejabat Negara, daripada karena karya-karya akademiknya yang berharga. Terintegrasinya ilmuwan ke dalam birokrasi mendorong proses birokratisasi praktek dan orientasi keilmuan social. Mereka lebih cenderung bersifat pragmatis, dengan mementingkan meraih kekuasaan ekonomi-politik dan status dari jabatan Negara yang diperolehnya, daripada sibuk berupaya meraih kebenaran ilmiah ‘sejauh mungkin’ sebagai tujuan ideal seoarang akademisi. Menurut Kleden (1986), pragmatisme keilmuan, dan sifat intrumentalis yang dibirokratisasikan di masa orde baru ujungnya menyebabkan kemelaratan intelektual di Indonesia.

Masih menurut Hadiz dan Dakhidae, selama masa Orde Baru, pemerintah memberikan banyak dana dan sumber daya lainnya ke perguruan tinggi untuk pembiayaan operasional dan riset sehingga mampu mengendalikan para ilmuan dengan mudah (2006: 5).Dalam hal ini, seorang akademisi bisa duduk di puncak karir bukan karena karya ilmiah berkualitas, namun karena kedekatan dengan rezim penguasa (Laksono, 2006).

Menurut Laksono (2006),kerangkeng negaramembuat akademisi terkooptasi melalui jaringan kekuasaan dan birokrasi negara dalam sebuah organisasi yang dibentuk seperti; ISEI, HIPIIS, YIIS sebagai lokomotif penguasa. Bahkan negara menentukan; apa yang boleh diteliti dan tidak; disiplin mana yang mendapatkan posisi dominan dan yang terbengkalai, serta mengontrol perijinan secara ketat dilakukan LIPI, KOPKAMTIB, dan BAKIN untuk menolak riset-riset sensitif dan yang mengancam stabilitas penguasa (Hadiz dan Dhakidae, 2006). Marxisme, sebuah perspektif yang menekankan pada alamiahnya suatu konflik social, (pertentangan kelas social) di dalam masyarakat dilarang diajarkan. Tentu saja, Orde Baru khawatir perspektif Marxis akan merobohkan tatanan stablitas yang jadi pilar utama kekuasaannya. Perspektif yang didorong luas untuk diajarkan adalah berbagai pendekatan yang melegitimasi pentingnya ‘pemeliharaan sistem’ maupun ‘keteraturan’. Kita  bisa menyebut teori ‘struktural-fungsional’ nya ala Talcott Parson dan teori ‘political order’ nya Samuel Huntington sebagai contoh paripurna. Pelarangan terhadap Marxisme juga berkaitan dengan kekhawatiran langsung Soeharto dan rezim militer pendukungnya akan lahirnya kekuatan massa radikal seperti PKI (yang dipengaruhi oleh gagasan Marxisme) memasuki kembali pentas politik nasional.

Dari berbagai pengaturan itu, Orde Baru secara efektif  telah mengasingkan ilmu sosial kritis. Para akademisi yang bersifat kritis secara teguh dan terbuka biasanya terancam karirnya (Hadiz dan Dhakidae, 2006), sehingga mereka pada masa Orde Baru tugasnya mengisi kolom-kolom kosong yang disediakan oleh badan pemerintah atau partai politik (Harianto, 2006). Budaya akademis yang cenderung birokratis ini tidak ramah terhadap sikap keilmuan kritis dan tidak memberi tempat bagi pengembangan kecermatan, kejelasan logika, dan konsep yang bersifat kritis, kebenaran, dan konfrontatif (Kleden, 1987).

Masa Reformasi: Pendidikan Tinggi Dalam Cengkraman Negara dan Pasar

Masih menurut Hadiz dan Dhakidae (2006), Reformasi sedikit banyak membawa perubahan dalam dunia pendidikan tinggi. Pada masa Reformasi ini, suasana tidak lagi mencekik seperti Orde Baru karena para akademisi tidak lagi takut terkena hukuman dari pernyataan mereka di muka publik, bisa diskusi terbuka, terlibat dalam perdebatan, dan aktivitas refleksi diri lebih leluasa dilakukan. Meskipun masa Reformasi berkembang terbuka dan ramah kepada pemikiran kritis, namun institusi pendidikan tinggi dan riset-riset yang dilakukan masih belum banyak berubah karena warisan Orde Baru masih tetap kuat berpengaruh sampai sekarang.

Ketika demokratisasi politik dan liberalisasi ekonomi digulirkan pada masa Reformasi di sektor pendidikan, pemerintah pusat menetapkan kebijakan otonomi perguruan tinggi negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (sekarang PTN BH) (Kemenristek, 2018). Dari “label otonomi” ini, perguruan tinggi memiliki keleluasaan mencari dana tambahan dari masyarakat dengan dalih peningkatan “mutu” diperlukan biaya yang tinggi. Sementara pada lain sisi, proses marginalisasi kaun miskin, dehumanisasi, dan penurunan kualitas pendidikan tinggi telah terjadi. Inilah tragedi pendidikan tinggi di era reformasi (Nugroho, 2006).

Meluasnyaa otonomi kampus sebetulnya sekedar mengubah dominasi dari tirani negara menuju cengkraman pasar. Dengan otonomi khusus, para sivitas akademika akan cenderung diuntungkan dengan melimpahnya bisnis-bisnis pendidikan dan penelitian (Nugroho, 2006). Pada masa reformasi ini, perguruan tinggi kini sedang berada dalam cengkraman kombinasi negara dan pasar yang berhadapan langsung dengan penyerbuan riset-riset oleh bentuk paling dogmatis dari neoliberalisme (Hadiz dan Dhakidae, 2006).

Karena sangat lemahnya basis material dunia akademis, para akademisi perguruan tinggi sekarang tersedot menjadi konsultan pemerintah maupun perusahaan di berbagai bidang atau menjadi pengamat media untuk meningkatkan pendapatan tambahan yang lebih menggiurkan. Secara lebih pragmatis, kebanyakan para akademisi perguruan tinggi sekarang cenderung terlibat dalam riset-riset praktis berorientasi kepada pasar-melayani kebutuhan industri/perusahaan secara langsung (Hadiz dan Dhakidae, 2006).

Jangan heran, para sivitas akademika sekarang pada bergentayangan kesana-kemari untuk menjajakan dagangan akademiknya, dan melakukan pekerjaan pesanan untuk membenarkan kebijakan-kebijakan pemerintah, melaksanakan proyek untuk pengokohan sebuah kekuasaan tertentu, maupun pembenaran proyek perusahaan-perusahaan. Tentunya dengan imbalan yang cukup berarti demi menambah kesejahteraan sosial mereka (Nugroho, 2006).

Kemelaratan akademisi ternyata masih berlangsung terjadi meskipun Orde Baru telah berlalu, mereka bukannya sibuk terlibat dalamdalam pengujian kebenaran akademik untuk menghasilkan karya ilmiah berkualitas, tetapi malah menghabiskan waktu untuk membuat pembenaran semata-mata demi sang pemberi dana (Nugroho, 2006). Nugroho menyebut akademisi/intelektual pragmatis ini dengan sebutan “intelektual asongan” dan telah menjamur di era swastanisasi pendidikan tinggi negeri saat ini (Nugroho, 2006). Keberpihakan mereka terlihat menonjol dari asosiasi antara pemberi dana dan karya “pembenaran” yang dihasilkannya (Laksono, 2006).

Kapitalisasi Perguruan Tinggi dan Kemunduran Gerakan Mahasiswa

Perguruan tinggi kini tereduksi kedalam fungsi ekonomi dan politik dan mengakibatkan kehilangan fungsi normatifnya karena hanya menjadi arena permainan politik bagi negara dan pasar dari pada otoritas akademik. Budaya akademik seperti pendidikan, penelitian yang berkelanjutan, pengembangan wacana kritis yang terus menerus atau debat berkelanjutan yang seharusnya menjadi penompang utama kegiatan di perguruan tinggi, seolah telah hilang ditelan oleh realitas gegap gempitanya atas masifnya upaya pemberdayaan ekonomi dari para sivitas akademiknya (Nugroho, 2006).

Dalam situasi dan kondisi semacam ini, Eko Prasetyo (selanjutnya EP) dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP Rabu, 25 April 2018, –yang merupakan rangkaian dari seri diskusi 20 tahun Reformasi—mengaku sangat prihatin dengan krisis pendidikan yang diperparah dengan ketidakpedulian mahasiswa di era reformasi saat ini. EP menilai bahwa memang saat ini gedung-gedung mewah berdiri, namun budaya pendidikan dinilai justru mengalami kemunduran. Bahkan, EP menegaskan bahwa barangkali mahasiswa saat ini tidak paham akan budaya akademis yang telah berkembang di pendidikan tinggi. Padahal, mereka (mahasiswa) sedang dihadapkan pada budaya “korporatis” dan telah mengancam tumpulnya daya nalar kritis serta terhambatnya perkembangan kualitas diri untuk menghadapi masa depan.

Bukan tanpa alasan EP menegaskan hal demikian kepada sekitar 90-an peserta diskusi yang hadir. Pendidikan tinggi rasanya memang  terlaluberobsesi (orientasi utama) menjadi go internasional (jadi label pasar agar banyak menarik peminat “konsumen”) dan menghasilkan manusia-manusia siap kerja (apa pun telah disesuaikan dengan kebutuhan pasar). Pada saat yang sama pula, otonomi kampus (kebijakan Berbadan Hukum) menjadi mesin penghasil uang yang sangat mumpuni untuk mengejar “dalih-dalih” itu semua.

Sekilas dirasa  tidak ada masalah dengan segala dalih tersebut, tapi banyak ancaman yang nyata bagi para mahasiswa namun tidak disadari. EP mencoba menunjukkan bahwa perguruan tinggi pada saat ini berlimpah kekayaan (material) dan pemegang kuasa anggaran (Rektor dengan seluruh pejabat di bawahnya) dari otonomi yang diberikan dari pemerintah. Dengan dalih-dalih yang dirasa rasional, perguruan tinggi meningkatkan biaya kuliah dan mencari dana tambahan kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan “operasional” atau ambisi yang dibicarakan.Sementara itu, dalam prosesnya, marginalisasi masyarakat miskin akan akses pendidikan. Ungkapan “Orang Miskin Dilarang Kuliah” seakan menemukan perwujudannya. Selain itu, berbagai jabatan struktural perguruan tinggi kini menjadi  ajang perebutan ceruk kekuasaan ekonomi-politik. Dalam aspek lain ilmu-ilmu social humaniora semakin dikerdilkan atau dipinggirkan (seperti, jurusan filsafat sebagai contoh).

Lanjut, EP menjelaskan: Proses swastanisasiyang semakin ekspansif mendorong menciptakan budaya pendidikan “korporatis” dan pragmatisasi yang luar biasa. Pendidikan tinggi lebih cenderung mengutamakan kerjasama dengan pihak-pihak  pemberi dana dalam kegiatan riset, fasilitasi, dan penasehat para politisi maupun perusahan-perusahaan dari pada dengan para mahasiswanya. Disini, EP mencontohkan dua kasus dari sekian banyak kasus yang terjadi yaitu pembangunan gedung mewah lima lantai  Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada yang dibiayai dari lima korporasi, diantaranya Sinar Mas Group dan Agung Sedayu Group. Ada pula dosen yang terlibat menjadi intelektual organik-korporasi, sebagaimana kasus proyek pabrik semen Kendeng (Indopress, 2018; Tempo, 2015).

Dalam kultur akademis yang semakin “korporatis”, pendidikan kehilangan daya nalar kritisnya karena hanya menghamba pada para pemodal besar baik perusahaan maupun politisi. Sementara, mahasiswa sedang dikondisikan sedemikian rupa-oleh kampus dengan sumber daya dari fasilitas kampus agar terarah dan nalar kritis mahasiswa tidak berkembang terhadap organisasi-organisasi kampus. Bahkan, EP menyebut terkoneksinya (kontrak) antara orang tua mahasiswa dengan kampus agar menjadi mahasiswa yang “patuh dan penurut” menjauhi demo dalam mengkritik  kampus, pemerintah, maupun perusahaan dalam menjalankan proyek-proyeknya. Situasi dan kondisi akademis seperti ini sangat destruktif bagi para mahasiswa karena tradisi “liar” kritis tidak lagi berkembang di kampus, mahasiswa takut berpendapat atau demo karena takut nilainya jelek atau bahkan takut di keluarkan  (drop out). .

Gerakan mahasiswa dengan daya nalar kritis seperti pada masa tahun 1990-an telah hilang pada masa reformasi ini. EP yang juga penulis buku Bangkitlah Gerakan Mahasiswa (2015), mencoba memberi cerita provokatif, tentang gerakan mahasiswa (1990-an), bahwa pada jaman itu, mahasiswa sangat progresif, teguh pendirian, untuk berada digarisdepan memperjuangkan diri mereka, berani turun kejalan untuk menyuarakan pendapat-pendapatnya. Sekarang suara itu ada, namun hanya lirih  karena hanya sedikit yang berani, dan tidak sekeras waktu dulu. Konsekuensi logis dari budaya “korporatis” ini, pengetahuan dominan untuk melayani penguasa, akademisi kampus menghamba kepada sang pemberi dana, lembaga pendidikan kehilangan fungsi utamanya, dan tradisi kritis para mahasiswa untuk menganalisis sosial sengaja di tumpulkan atau dimatikan. Bagi EP, kondisi pendidikan semacam ini adalah sebuah kemunduran.

Pada tema diskusi ini, kita bisa memahami bahwa proses swastanisasi semakin masif terjadi mendorong pragmatisasi yang luar biasa dan menyebabkan pengetahuan sekedar menjadi komoditas semata. Akibat yang ditimbulkan, pendidikan justru semakin  mundur  dari  makna sejatinya. Ada person-person strategis dari sivitas akademika yang tujuannya memang  bukan  untuk memajukan  bidang  akademik  tetapi sekedar berorientasi pada kekuasaan dan mendapatkan uang, semakin memperparah merosotnya mutu pendidikan tinggi yang sejak lama memang sudah mengalami kemandegan (Nugroho, 2006).

Mahasiswa dapat bertanya pada diri sendiri: Apakah anda susah menemui dosen anda?; Susah mengisi acara-acara yang anda adakan? Apakah anda takut jika bertanya hal-hal yang sensitif kepada kampus karena kurang optimalnya program-program pembelajaran yang dijalankan? Apakah anda takut untukberdemo di jalan mengkritik kebijakan negara yang tidak memihak saudara kita yang kurang beruntung/miskin? Atau turun ke jalan menghujat sebuah perusahaan karena merusak lingkungan, mengeliminasi banyak orang miskin, bahkan mengabaikan hak-hak buruh yang dengan sengaja ? Nyatanya semakin sedikit mahasiswa melakukan hal ini. Semakin jarang mahasiswa turun ke jalan karena sibuk dengan dunianya sendiri yang semakin jauh dari kondisi empiris yang paling dekat dengan lingkungan mereka sehari-hari.

Sambil merefleksikan sejarah gerakan mahasiswa terdahulu yang paling tidak “lebih lantang” menyuarakan kepentingannya sendiri maupun kepentingan masyarakat lebih luas, mahasiswa butuh pikiran-terbuka dan keberanian bergerak bersama untuk bersikap kritis terhadap segala sesuatu di lingkungan sekitarnya, paling tidak soal bobroknya kualitas pendidikan tinggi kita.. Kualitas pendidikan tinggi yang baik tidak akan datang serta merta hanya dengan mengandalkan “kebaikan hati” dari pejabat-pejabat kampus yang sekelilingnya berputar material berlimpah dalam ruang budaya pendidikan yang semakin “korporatis”. Barangkali mahasiswa yang semakin mudah untuk “dikondisikan”, semakin memudahkan birokrat kampus untuk mengabaikan kualitas pendidikan yang seharusnyakita dapatkan. Ada kemungkinan bahwa  kualitas pendidikan tinggi di era reformasi ini semakin rendah karena orang-orang strategis di kampus yang hanya mementingkan uang dan kekuasaan. dapatmasih asik bermain tanpa gangguan dari mahasiswa-mahasiswa yang  telah terkondisikan untuk menjadi mahasiswa yang “baik, taat, dan patuh”.

 

Referensi

Hadiz, V dan Dhakidai, D. (2006). Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta. PT Equinox Publishing Indonesia.

Harianto, Ariel. 2006. Kiblat dan Beban Ideologis Ilmu Sosial Indonesia. Dalam Buku Suntingan Vedi Hadiz dan Dhaniel Dhakidai. (2006). Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta. PT Equinox Publishing Indonesia.

Indopress. 2018. Kampus Rakyat di Proyek Konglomerat. Diakses pada alamat: https://www.indopress.id/article/nasional/kampus-rakyat-di-proyek-konglomerat

Jpnn. 2017. Ada 4.500 Perguruan Tinggi, Mayoritas Mutu Rendah. Diakses dari alamat: https://www.jpnn.com/news/ada-4500-perguruan-tinggi-mayoritas-mutu-rendah

Kemenristek. 2017. Status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum Dievaluasi Secara Berkala. Diakses pada alamat: http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/index.php/2017/01/03/status-perguruan-tinggi-negeri-berbadan-hukum-dievaluasi-secara-berkala/

Kleden, Ignas. 1986. Alternative Social Science as an Indonesian Problematique. New Asian Visions, Vol 3, No 2, page 6-22.

Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.

Laksono, P.M. 2006. Asosiasi Ilmu-Ilmu Sosial. Dalam Buku Suntingan Vedi Hadiz dan Dhaniel Dhakidai. (2006). Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta. PT Equinox Publishing Indonesia.

Nugroho, H. 2006. Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi: Universitas Sebagai Arena Perebutan Kekuasaan. Dalam Buku Suntingan Vedi Hadiz dan Dhaniel Dhakidai. (2006). Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta. PT Equinox Publishing Indonesia.

Tempo. 2015. Bela Tambang Semen, Petani Kecam Semen Akademikus UGM. Diakses pada alamat: https://nasional.tempo.co/read/651935/bela-tambang-semen-petani-kecam-akademikus-ugm

Leave a Reply