May Day & Komodifikasi Isu Perburuhan di Antara Para Elite

Di May Day 2018 (hari buruh Internasional) isu perburuhan semakin ramai menghiasi media. Salah satu isu yang saat ini banyak diberitakan oleh media mainstream adalah polemik tentang Tenaga Kerja Asing (TKA) yang lahir dari PP 20/2018. Sejak disahkan di pertengahan Maret 2018 yang lalu, kebijakan ini tidak pernah sepi dari pemberitaan. Polemik terus bergelinding, pro dan kontra tak terhindarkan yang di tingkat elit telah membentuk dua kubu. PP 20/2018 ini selalu dikaitkan dengan peta koalisi Pilpres yang akan datang, antara kubu koalisi oposisi diantaranya PKS dan Gerindra yang menolaknya dan koalisi pemerintah yang di komandoi oleh PDIP sebagai parpol yang berdiri dibarisan pendukung PP.

Dalam perdebatannya, kedua kubu punya gagasan yang sangat kontradiktif, tercermin dari sikap politik terhadap PP 20/2018 yang juga sangat berbeda. Bagi kubu pendukung pemerintah, PP 20/2018 dianggap sebagai upaya untuk membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas. Logika yang dibangun oleh pemerintah, untuk memperluas kesempatan kerja dibutuhkan investasi yang besar, sementara di saat yang sama pra-syarat yang di sodorkan oleh investor adalah keterlibatan tenaga kerja yang memiliki hard skill untuk menunjang proses produksi dalam negeri. PP 20/2018 ini mengatur soal penggunaan tenaga kerja asing untuk menggenjot nilai investasi ke Indonesia.

Retorika pemerintah tentang perluasan tenaga kerja menjadi berita menggembirakan bagi tujuh juta-an penggangguran di Indonesia. Tetapi tidak bagi kubu oposisi. Berangkat dengan gagasan yang sama tentang kepentingan buruh, kubu ini mempersoalkan kebijakan pemerintah tentang TKA. Menurutnya, PP 20/2018 akan membatasi kesempatan kerja tujuh juta penduduk. Sebab, keberadaan TKA akan merebut peluang kerja tenaga kerja lokal. TKA dianggap hanya membatasi tenaga kerja lokal untuk terserap dalam dunia kerja.

Jika melihat sikap politik yang diambil baik oleh koalisi oposisi dan pemerintah termasuk pada aktivis dan pemerhati buruh dengan gagasan yang selama ini diwacanakan, cukup menyejukan. Karena baik dari kubu yang pro maupun kontra sama-sama menghendaki kesempatan kerja yang luas ditengah himpitan ekonomi yang semakin menyulitkan jutaan penggagur terserap dalam dunia kerja.

Pada kesempatan ini, penulis tidak ada menceburkan diri pada kedua kubu yang saling berhadapan. Bagi penulis ada pertanyaan penting yang harus dijawab sebelum menentukan sikap, di antara kedua kubu yang berkonflik, manakah yang benar-benar berpijak pada kepentingan kelas buruh dan mana yang hanya sekedar menjadikan TKA dan isu perburuhan sebagai panggung merebut perhatian buruh khususnya dalam menghadapi Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. Terlebih momentum May Day 2018 sangat dibutuhkan untuk membangun koalisi terhadap barisan buruh di Indonesia.

TKA & Konflik Antar Kapitalis Pasar vs Rente

Bagi penulis, kedua kubu yang berseteru sama-sama tidak pro terhadap buruh. Debatnya selama ini hanya menjadikan isu perburuhan sebagai panggung politik yang haus akan kekuasaaan. Kedua kubu mengatas namakan “pro terhadap buruh” termasuk dengan menaruh perhatian besar terhadap kondisi tenaga kerja lokal. Padahal, mereka yang berkonflik tentang pro & kontra TKA dengan mengatas namakan buruh adalah para kapitalis dengan karakter yang berbeda.

Salah satu pemikir yang secara serius mengamati perkembangan proses kapitalisme adalah Karl Marx. Marx membagi masyarakat menjadi dua kelompok yang saling berkonflik, antara pemilik modal atau yang menguasai alat produksi (borjuis) dengan masyarakat yang tidak memiliki alat produksi atau proletar[i]. Konflik bagi kedua kelompok ini adalah keniscayaan. Pemilik modal akan mengerahkan segala kemampuannya untuk mengakumulasi modal sementara proletar terus bergerak untuk merebut sarana produksi. Konflik dalam kecamata Marx lebih sederhana dengan membagi masyarakat menjadi dua kubu. Kubu pemilik modal yang terus mengakumulasi keuntungan yang berhadap dengan kelas buruh yang hanya mempunyai tenaga kerja untuk dijual demi bertahan hidup [ii].

Sementara Kammen (1997) melihat kapitalisme lebih spesifik. Gagasan besarnya, bahwa ketika kapitalisme diteliti lebih dalam ternyata sifat para kapitalis yang memiliki karakter berbeda. Kammen membagi kecenderungan cara kerja kapitalis dengan dua karaktersitik. Pertama kapitalis dengan karakter pasar. Kapitalis jenis ini mengamukumulasi modal dengan mendorong kerja pasar sebagai salah satu mekanisme yang harus di tempuh. Agar dapat bertahan di pasar, kapitalis dengan karakter ini harus melakukan Inovasi dan efesiensi. Kemudian, untuk karakter jenis kedua adalah kapitalis rente atau birokrasi. Jenis kapitalis ini mengandalkan lisensi negara. Keuntungan dan akumulasi diperoleh dari cara rente. Mengambil keuntungan dengan memanfaatkan proses rentetan yang sangat panjang. Cirinya, sangat terbirokratisasi. Singkatnya, karakter kedua kecenderungan kapitalis dapat diidentifikasi melalui corak modal, proses dan cara mengakumulasi.

Untuk konteks TKA, Debat soal pro dan kontra TKA adalah debat yang berlangsung antar kapitalis dengan karakter yang berbeda. Kembali merujuk pada definisi Kammen (1997), konflik kapitalisme antara kapitalis pasar dengan kapitalis birokrasi tercermin dari corak modal yang tercermin dari slogan kritik yang terus di gulirkan. Pengkritik TKA selama ini selalu menjadikan alasan terancamnya tenaga kerja lokal sebagai kekhawatiran. Slogan ini tidak sesederhana yang kita bayangkan ketika ditelisik lebih jauh jargon TKA  dan non asing dalam kaitannya dengan corak modal yang dikembangkan di suatu negara. Jargon kedaulatan dan tenaga kerja lokal sebagai ciri dari karakter kapitalis birokrasi, berhadapan dengan karakter kapitalis pasar yang menghendaki proses pasar termasuk penggunaan tenaga kerja[iii].

Masifnya modal asing khususnya yang dari Tiongkok cenderung telah mengucilkan proyek pada kapitalis birokrasi. Laporan BKPM menunjukan selama kurung waktu 3 tahun, perbandingan proyek yang dikelola oleh modal dari asing sangat timpang dengan jumlah proyek yang bersumber dari modal dalam negeri. Untuk tahun 2017 saja, jumlah proyek yang dikelola oleh modal asing sebanyak 12.710 sementara proyek yang dikelola oleh modal dalam negeri hanya 3.747[iv]. Tentu hal ini membuat perkembangan kapitalis birokrasi semakin gerah dengan massifnya perkembangan modal asing. Sehingga, PP TKA sebagai momen tepat untuk memperkuat pondasi kapitalis birokrasi dengan melempar isu pada TKA sebagai pintu masuknya. Tujuan jangka panjangnya, merebut negara sehingga proses rente bisa diperoleh kembali.

Berikutnya, Persoalan tenaga kerja lokal berhadapan dengan TKA yang ikut tergerus seperti yang dituduhkan oleh pengkritiknya juga masih sangat problematis. Menolak buruh asing dengan mengatas namakan kepentingan buruh lokal sangat polemik. Gagasan ini semakin rancu, sebab dibangun dengan nalar yang juga tidak berangkat dari kecamata kelas sebagaimana yang dinarasikan oleh penjelasan sebelumnya yang tidak memisahkan buruh dari sekedar asal negara tetapi lebih kepada kesamaan nasib atau idelogi. Karenanya debatnya sangat kering, soal TKA dan lokal. Pun jika harus membela, tentu pilihannya antara TKA dan lokal bukan soal buruh secara idelogis.

Isu Perburuhan dan Komoditas Politik

Keseriusan para politisi untuk terlibat pada persoalan perburuhan menjadi angin segar bagi buruh di republik ini yang sudah lama mengharapkan perhatikan pemerintah. Tetapi, bagi penulis kepedulian itu muncul tidak untuk kepentingan buruh. Akrobat politik yang di pertontonkan lebih kepada cumbuan manis untuk mendapat simpatik buruh di Indonesia. Motifnya, sudah bisa di tebak, untuk kepentingan mobilisasi dukungan buruh dalam menghadapi pilkada 2018 dan pilpres 2019.

Kasus pilkada 2017 di Jakarta menjadi bukti yang paling nyata. Ketika pasangan Anis-Sandi dengan gagahnya menyodorkan kontrak politik pada Aliansi Buruh Jakarta. Pasangan ini berhasil meyakinkan mereka bahwa segala persoalan buruh bisa di selesaikan oleh pasangan yang di usung oleh koalisi parpol Gerindra & PKS. Salah satunya yang termuat dalam kontrak politik adalah keinginan Anis-Sandi untuk tidak mengggunakan PP 78/2015 sebagai mekanisme pengupahan di Jakarta. Berkat kontrak politik itu, dukungan terhadap buruh terus mengalir. Faktanya, setelah terpilih pasangan Anis-Sandi tetap menggunakan PP 78/2015 sebagai mekanisme pengupahan[v].

Begitupun pada Pilpres 2014. Pada saat kampanye, masing-masing kandidat menjadikan persoalan buruh sebagai komoditas politik, Prabowo-Hatta berjanji akan menghapus outsourcing[vi], sementara Jokowi-JK meyakinkan buruh dengan janji tiga layak, yaitu kerja layak, upah layak dan hidup layak. Nyatanya, setelah terpilih justru kebijakan yang dikeluarkan tidak layak bagi buruh dan justru semakin menyulitkan buruh. Salah satu produk kebijakan kontroversi era Jokowi yang dianggap mencederai buruh adalah PP 78/2015 tentang pengupahan[vii]. Begitupun dengan penghapusan outsurciing yang sudah redup oleh pasangan Prabowo-Hatta, padahal posisi parpol pengusung Prabowo-Hatta secara politik sangat kuat di parlemen.

Meskipun dua kasus diatas tidak dapat dijadikan sebagai represetasi dari motif politik elektoral dalam mengait suara buruh di Indonesia, tetapi kasus ini setidaknya memberikan kita gambaran bagaimana kemudian isu perburuhan menjadi komiditas politik elektoral yang sangat menjanjikan. Dengan menjadikan persoalan perburuhan sebagai pemanis pada janji kampanye, buruh diseret untuk terlibat pada politik praktis. Apalagi untuk konteks saat ini kurang dari 3 bulan suksesi Pilkada serentak 2018 di berbagai daerah akan berlangsung. Tentu harapan para parpol pengusung kandidat yang bertarung berambisi merebut suara buruh untuk bisa memuluskan jalan berikutnya ke pilpres 2019 yang akan datang. Terlebih dengan melihat kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Dari laporan BPS, jumlah pengangguran di Indonesia setiap tahunnya bertambah 10 ribu jiwa, hingga saat ini jumlah pengangguran sudah mencapai angka 7 juta jiwa. Kemudian angkatan kerja setiap tahunnya bertambah sebesar 2 juta-an, sementara yang bekerja telah mencapai 121 juta jiwa[viii]. Jika dikalkulasi dengan hitung-hitungan kasar sekitar 130 juta jiwa penduduk yang mempunyai irisan dengan isu ketenagakerjaan di Indonesia.

Jumlah ini tidak sedikit, belum termasuk keluarga dan kerabat. Artinya, dengan terus menyuarakan persoalan perburuhan setidaknya kurang dari 130 juta ribu orang akan terseret pada isu ini. Termasuk dengan terus menggiring soal debat antara pendukung PP TKA dan pengkritik TKA. kesempatan ini di baca sebagai peluang untuk dijadikan sebagai marketing politik guna untuk merebut simpatik buruh. Harapannya, simpatik tersebut dapat terkonversi menjadi suara pada pertarungan elektoral di pilkada 2018.

Menutup Mata Terhadap Persoalan Perburuhan

Sangat disayangkan, momentum May Day 2018 jika hanya berhenti pada debat soal pro dan kontra terkait TKA. Bukan tidak boleh larut dalam perdebatan itu, tetapi di hadapan mata berbagai rentetan persoalan yang melanda perburuhan menanti untuk segera diselesaikan. Salah satunya soal PP pengupahan yang di banyak kasus telah merugikan buruh. Belum lagi soal outsourcing yang juga mempersulit buruh dalam mendapatkan kepastian kerja dan kesulitan dalam pengorganisasian serta skema pelayanan jaminan sosial yang masih memberatkan buruh. Berbagai rentetan persoalan ini malah jelas-jelas membuat kehidupan buruh semakin terhimpit oleh kemiskinan, tetapi disaat yang sama seolah menutup mata terhadap persoalan perburuhan. Giliran ribut soal TKA dan momentum menghadapi Pilkada, semua berbondong-bondong bersimpatik pada persoalan perburuhan.

[i] Marx, Karl. (2004:155), Kapital Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Hasta Mitra.

[ii] Ibid. 633

[iii] Kammen, Douglas. 1997. A Time To Strike: Industrial Strikes and Changing Class Relations In New Order Indonesia. Dissertation of Cornell University.

[iv] BKPM. 2017.Laporan Realisasi Penanaman Modal PMDN-PMA. Badan Koordinasi Penanaman Modal: Jakarta.

[v]https://www.koranperdjoeangan.com/curahan-hati-buruh-jakarta-terhadap-anies-sandi/, diakses pada 28 April 2018.

[vi]http://www.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/07/01/n81cro-ini-alasan-buruh-dukung-prabowohatta, diakses pada 28 April 2018.

[vii] https://tirto.id/suara-serikat-buruh-terpecah-jelang-pemilu-2019-cG2q, diakses pada 28 April 2018.

[viii] BPS. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Edisi 94, Maret 2018.

Leave a Reply