Membajak Demokrasi: Konsolidasi Kekuatan Orde Baru dan Tumbuh Suburnya Serpihan Golkar

Baru saja memasuki tahun 2018, kita dikejutkan berita kelolosan Partai Berkarya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengikuti Pemilu 2019. Partai ini didirikan oleh Hutomo Mandala Putra atau biasa dikenal sebagai Tommy Soeharto. Dia adalah anak kandung dari Soeharto, orang yang berjasa membangkitkan kembali neo-imperialisme dan kekuasaan kapital di Indonesia melalui rezim Orde Baru.

Bagi sebagian pengamat, terjunnya Tommy Soeharto dalam arena politik merupakan indikasi dari kebangkitan Orde Baru. Namun, Tommy Soeharto tidak sendirian sebagai bagian dari bekas rezim Orde Baru yang terlibat dalam kontestasi politik. Kita bisa melihat bagaimana politisi dan figur-figur yang sering nongol di televisi pernah memiliki hubungan yang dekat atau bahkan bagian dari rezim yang berkuasa selama 32 tahun sebelumnya. Sebut saja Wiranto, Prabowo, dan Surya Paloh yang merupakan bekas anggota partai Golkar. Kini mereka mendirikan partai elitis masing-masing untuk berebut kekuasaan di Senayan.

Kehadiran Tommy dan kroni-kroni Orde Baru dalam panggung politik Indonesia menjadi suatu ironi bagi cita-cita Reformasi. Terlebih mengingat bahwa di bulan Mei 2018, Reformasi akan mencapai umurnya yang ke-20. Meskipun Soeharto telah dijatuhkan dari kursi presiden dua dekade yang lalu, kroni-kroni Orde Baru masih bisa bertahan hingga sekarang. Demokrasi di Indonesia saat ini justu dibajak oleh mereka yang dulunya dicap sebagai “penumpang gelap Reformasi”. Para “penumpang gelap” yang dahulu berupaya membendung arus demokratisasi ini, justru dapat mengkonsolidasi kekuasaan mereka dan mulai mengikis demokrasi yang telah susah payah diperjuangkan ketika Reformasi.

Transisi Demokrasi atau Kontinuitas Orde Baru?

Reformasi 1998 menjadi titik balik bagi sejarah bangsa Indonesia. Di bulan Mei tahun itu, masyarakat Indonesia behasil memaksa Soeharto melepaskan tahta presidennya setelah berkuasa selama 32 tahun. Jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan pun diikuti dengan perubahan cukup besar dalam sistem pemerintahan Indonesia. Sejak 1998, Indonesia mengalami apa yang disebut sebagai ‘transisi menuju demokrasi’ dengan dibukanya keran-keran demokrasi yang sebelumnya ditutup rapat. Kebebasan pers, hak-hak demokrasi dan politik, pemilihan umum secara bebas dan langsung, pembagian wewenang Trias Politica (lembaga eksekutif, legislatif, dan yudisial), dan sebagainya, merupakan bentuk dari demokratisasi yang dialami Indonesia.

Melihat demokratisasi dari aspek kelembagaan atau legal-formal memang menunjukkan bahwa Reformasi memberikan perubahan yang begitu besar dari rezim Orde Baru. Namun, pandangan seperti ini kurang memberi perhatian pada seberapa dalam dan luas proses demokratisasi terjadi. Bagi Wawan Mas’udi, Dosen Politik dan Pemerintahan UGM, relasi kekuasaan ekonomi-politik yang terbentuk pada Orde Baru “tidak mengalami pergeseran sedikitpun” sejak kejatuhan Soeharto. Dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP Selasa 20 Maret 2018 yang lalu, dia menyatakan bahwa Reformasi hanyalah sebuah “transformasi semu” karena tidak menimbulkan perubahan politik di tataran elit.

Jatuhnya Soeharto tidak serta merta menyingkirkan dan mengubah relasi dan struktur kekuasaan yang terbentuk pada rezim Orde Baru. Reformasi memang sempat memecah dan melumpuhkan relasi dan jaringan kekuasaan oligarkis yang dibentuk saat Soeharto berkuasa. Pecahnya relasi ini membuat para elit yang bergantung pada relasi kekuasaan Orde Baru mengalami disorientasi dan disorganisasi.[1] Namun, ruang demokrasi yang mulai terbuka sejak tahun 1998 di sisi lain justru menjadi peluang bagi kroni-kroni Orde Baru untuk mereorganisasi diri, beradaptasi, dan melebur dengan agenda demokratisasi.[2] Alhasil, Reformasi hanya melahirkan kekuasaan oligarki baru yang diisi oleh elit-elit bekas rezim Orde Baru dengan memanfaatkan ruang demokrasi sebagai arena kontestasi politik.

Wawan Mas’udi menyatakan bahwa keberhasilan proses demokratisasi bisa dilihat dari dua sisi, yakni transformasi elit politik dan perubahan penguasaan kapital. Berdasarkan hal tersebut, Reformasi di Indonesia tidak membuahkan proses demokratisasi dan perubahan ekonomi-politik yang signifikan. Hal ini terlihat dari komposisi partai dan politisi yang menguasai panggung politik Indonesia. Oligarki yang terbentuk setelah Reformasi tetap melanggengkan kekuasaan kroni-kroni Orde Baru. Partai Golkar yang dulunya merupakan aparatus rezim Orde Baru pun masih bertahan hingga sekarang dan memiliki pengaruh besar dalam lembaga pemerintahan. Banyak dari anggota Golkar merupakan bagian dari jaringan kekuasaan yang telah dibentuk dan dipelihara oleh Orde Baru untuk melanggengkan rezim otoriternya. Tidak hanya itu, para elit yang dulunya bagian dari Golkar memilih untuk keluar dan membangun partai-partai baru sebagai alat untuk memajukan kepentingan mereka seperti Wiranto (Hanura), Prabowo (Gerindra), dan Surya Paloh (Nasdem).

Sementara itu, penguasaan kapital juga masih berada di tangan pengusaha yang dulunya merupakan kroni dari Soeharto. Konglomerat dan pengusaha seperti Aburizal Bakrie, Bob Hasan, dan Liem Sioe Liong yang dulunya menjalin hubungan dekat dan mendapatkan konsensi bisnis yang besar dari rezim Orde Baru sampai saat ini masih menunjukan taringnya.[3] Mereka tetap bisa melakukan ekspansi bisnis hingga menguasai berbagai macam sektor ekonomi seperti media, industri rokok, dan properti. Begitupula dengan keluarga Soeharto. Tommy contohnya diberikan konsensi bisnis di sektor otomotif, petrokimia, dan kehutanan oleh rezim Orde Baru yang tengah berkuasa.[4] Kekayaan yang dia miliki hingga sekarang dijadikan modal untuk membiayai kegiatan politik mereka, seperti dengan mendirikan partai politik baru.

Kegagalan Reformasi dalam melahirkan transformasi elit dan pergeseran penguaan kapital membentuk sistem oligarki yang diisi oleh para mantan rezim Orde Baru. Oligarki pasca Soeharto ini memiliki watak yang berbeda dengan sistem patronase Orde Baru yang tersentralisir dan ketat. Sistem penguasaan dan jaringan oligarki yang terbentuk lebih terdesentralisir, dinamis, dan cair.[5] Perbedaan ini merupakan bentuk adaptasi terhadap demokratisasi dan desentralisasi dari sistem pemerintahan Indonesia.

Rudiyanto, selaku selaku anggota Militan Indonesia, membenarkan tanggapan Wawan Mas’udi. Dia mengatakan bahwa naiknya elit-elit bekas Orde Baru ke panggung politik Indonesia dengan cepatnya merupakan “hasil maksimal dari Reformasi”. Sebab, esensi dari Reformasi itu sendiri berarti sebuah perubahan dalam suatu sistem yang sudah ada, bukan sebuah transformasi besar yang mengubah masyarakat sampai ke akar-akarnya.

Krisis pada tahun 1998 seharusnya menjadi peluang bagi gerakan masyarakat dan elemen progresif untuk merebut pemerintahan dan melaksanakan tuntutan demokratisasi. Termasuk untuk menyingkirkan kroni-kroni Orde Baru yang bertahan dan masih berkuasa dalam pemerintahan. Namun, Rudiyanto berpendapat bahwa partai dan organisasi progresif (misalnya Partai Rakyat Demokratik yang beroperasi pada masa itu) gagal memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengorganisir massa menjadi tombak agenda demokratisasi. Gagalnya pengorganisiran massa menjadi kekuatan politik yang koheren menyebabkan mudahnya agenda Reformasi diambil alih oleh oligarki baru.

Gambar: Roh Orde Baru dari anak-anak Soeharto, bekas menantu, ajudan, bekas menteri, dan kolega bisnis Soeharto yang kini membuat partai-partai tersenduru

Konsolidasi Oligarki dan Penyingkiran Gerakan Rakyat

Terbentuknya oligarki baru menyebabkan agenda demokratisasi dan institusi pemerintahan dibajak oleh para oligark yang ingin meraih dan mempertahankan kekuasaan mereka. Melalui sistem demokrasi elektoral, oligarki mulai mengkonsolidasikan kekuasaan mereka. Secara kebudayaan dan politik, hegemoni Orde Baru (seperti soal nasionalisme, Pancasila, negara organik, dan anti komunisme) yang seharusnya dilenyapkan malah dipertahankan dan direproduksi ulang oleh para penguasa sebagai cara ‘praktis’ untuk merebut suara elektoral.[6] Penggelontoran wacana warisan Orde Baru sekaligus juga membendung wacana politik alternatif seperti soal ketimpangan ekonomi, kondisi kerja buruh, dan demokrasi yang dituntut oleh gerakan akar rumput di masyarakat.

Tidak hanya melalui wacana politik, para oligark menggunakan hukum sebagai alat untuk mempertahankan posisi mereka. Setahun belakangan ini, pemerintah sibuk menetapkan undang-undang yang berpotensi membatasi demokrasi dan membuat pemerintah kebal kritik. UU MD3 yang baru saja disahkan melarang kritik terhadap anggota DPR oleh masyarakat, Perpu Ormas dapat membubarkan suatu organisasi yang dianggap ‘mengancam’ negara, dan rancangan KUHP dengan jelas dapat memenjarakan warga negara yang mengkritik presiden dan pemerintah.

Melalui kedua cara tersebut, kekuatan oligarki mengkonsolidasi kekuasaan mereka dalam pemerintahan dengan membatasi gerakan rakyat untuk masuk dalam arena kontestasi politik. Hal ini penting mengingat bahwa partai-partai politik yang akan bertarung di pemilu 2019 berisi kekuatan oligarki yang sudah berkuasa sejak lama. Pembatasan ruang demokrasi di Indonesia akan secara efektif memukul mundur dan menyingkirkan gerakan rakyat yang mengusung wacana politik progresif dan pro-demokrasi dalam kontestasi politik melawan kekuatan oligarki. Penyingkiran gerakan rakyat membuat arena kontestasi politik semata menjadi arena kontestasi antar oligarki dalam mempertahankan kekuasaan mereka.

Meskipun Soeharto telah dijatuhkan dari kursi Presiden dua dekade yang lalu, kroni Orde Baru masih bisa bertahan mengkonsolidasikan posisi mereka dalam perpolitikan Indonesia saat ini. Sungguh ironis ketika menjelang 20 tahun Reformasi tahun ini, politik dan demokrasi di Indonesia masih dikuasai oleh mereka yang dulu di cap sebagai musuh demokrasi. ‘Kebangkitan’ kekuatan Orde Baru yang dialami Indonesia sekarang merupakan sebuah gejala dari penyakit yang belum tuntas disembuhkan 20 tahun silam. Kroni-kroni Orde Baru yang seharusnya disingkirkan justru mengambil alih demokrasi yang telah lama diperjuangkan. Ketika di awal Reformasi, kita mendengar semboyan “penumpang gelap Reformasi”. Sekarang, kroni-kroni Orde Baru tidak hanya menjadi penumpang gelap, tetapi telah terlegitimasi sebagai supir yang mengemudikan demokasi Indonesia.

Walaupun begitu, kekuatan oligarki bukanlah kekuatan absolut yang mustahil untuk diubah. Terdapat perpecahan di dalam oligarki seperti bagaimana Golkar terpecah-pecah menjadi beberapa partai. Perpecahan itu merupakan retakan-retakan kecil pada dinding kekuatan oligarki yang dapat dijadikan peluang bagi perubahan. Namun, retakan itu tidak akan dengan sendirinya meruntuhkan dinding kokoh oligarki. Dibutuhkan suatu kekuatan politik yang koheren, terorganisir, dan kuat dari masyarakat agar menjadi tombak yang mampu menembus retakan dinding tersebut dan menghancurkannya. Sebab hanya melalui pengorganisiran massa menjadi kekuatan politik yang koheren, masyarakat mampu merebut kembali kemudi demokrasi dari oligarki.

 

Catatan Kaki

[1] Lihat Robison & Hadiz (2005)

[2] Hal. 241-247.

[3] Hal. 54-57, 85-86.

[4] Hal. 80.

[5] Hadiz (2004)

[6] Lihat juga Hadiz (2017)

Daftar Pustaka

Hadiz, Vedi R. (2004) “Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-institutionalist Perspectives.” Development and Change. 35(4): 697-718.

Hadiz, Vedi R. (2017) “Indonesia’s Year of Democratic Setbacks: Towards a New Phase of Deepening Illiberalism?” Bulletin of Indonesian Economic Studies. 53(3): 261-278.

Robison, Richard and Vedi R. Hadiz (2005) “Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets.” New York: Routledge Curzon.

Leave a Reply