Bantuan atau Penjajahan? Jerat Lintah Darat Dalam Kubangan Utang Luar Negeri

Utang Luar Negeri akan memastikan anak–anak hari ini dan cucu mereka di masa depan menjadi sandra. (dengan utang –ed) Mereka harus membiarkan korporasi kami menjarah sumber daya alam mereka, dan harus mengorbankan pendidikan, jaminan sosial hanya untuk membayar kami kembali. (John Perkins[1])

Utang Luar Negeri (ULN) tidak dapat begitu saja dipandang dengan pendekatan ekonomi (murni) neoklasik yang umum dipakai sekarang. Pendekataan ini memiliki keterbatasan sehingga mengaburkan sifat asli utang luar negeri. Pendekatan tersebut mengajarkan pandangan bahwa utang luar negeri merupakan bantuan dari negara-negara yang telah maju untuk negara berkembang. Apabila terus diproduksi pandangan tersebut sungguh memiliki implikasi yang mengerikan. Utang luar negeri memilki sifat asli sebagai kunci pembuka bagi agenda Neo-Kolonialisme. Alih-alih membawa perbaikan kondisi ekonomi, apa yang disebut sebagai “bantuan” tersebut justru secara sistematis membukakan jalan untuk menghisap negara penghutang hingga bangkrut. Sehingga lebih tepat kiranya untuk mengganti sebutan “lembaga donor pemberi bantuan” menjadi “rentenir”. Perspektif ekonomi politik menawarkan analisis yang dapat mengungkap agenda tersembunyi dari ULN, karena dalam pendekatan ini proses ULN tidak diletakan dalam ruang hampa.

Sucikah Yang Kau Sebut “Bantuan” itu?

Diskursus ilmu pengetahuan yang bergulir dalam masyarakat liberal di negara berkembang saat ini, masih meletakan definisi utang sebagai bantuan. Dalam rangka mewujudkan cita-cita agar setara dengan negara maju, cara berpikir kaum liberal menilai negara berkembang tentu memerlukan pembangunan dan itu membutuhkan banyak biaya. Terlebih dengan kemandirian ekonomi rapuh pasca imperialisme yang mereka terima seblumnya. Tentu negara berkembang tidak dapat berbuat banyak dalam bidang ekonomi.  Pada kondisi yang terpuruk demikian, utang ditawarkan berbagai pakar sebagai jalan yang tepat untuk diambil. Mereka membenarkan tentang adanya manfaat positif dari utang. Ekonom Neoklasik seperti Todaro[2] menyatakan bahwa ULN dipandang memiliki manfaat positif. Pertama, sebagai penutup kesenjangan antara tabungan masyarakat dengan kebutuhan investasi (Investmen Gap). Kedua, langkah untuk memanfaatkan peluang tersedianya suku bunga murah dalam paket pinjaman yang ditawarkan negara peminjam.

Alih-alih membawa perbaikan kondisi ekonomi, apa yang disebut sebagai “bantuan” tersebut justru secara sistematis membukakan jalan untuk menghisap negara penghutang hingga bangkrut. Sehingga lebih tepat kiranya untuk mengganti sebutan “lembaga donor pemberi bantuan” menjadi “rentenir”.

Sandiwara “bantuan” rentenir tidak hanya langsung disalurkan lewat mekanisme bilateral, kebanyakan dilewatkan melalui lembaga keuangan multilateral, seperti misal International Monetary Fund (IMF), Asian Developtment Bank (ADB), dan Bank Dunia. Jargon yang mereka dengung-dengungkan selalu sama yakni ingin membangun kehidupan yang lebih baik. Namun, menjadi problematis sebab tidak jelas kehidupan siapa yang ingin dibuat untuk menjadi lebih baik, negara pengutang? atau lembaga dan negara rentenir?

Untuk diketahui, ULN terlebih di negara berkembang tidak muncul begitu saja. Rasionalisasi paling pertama dari perspektif historis, tentu saja beban kolonialisme yang dibawa oleh negara berkembang. Tidak seluruhnya negara bekas jajahan langsung mampu merdeka begitu saja terlebih secara beban ekonomi. Contoh kasus di Indonesia, meskipun telah merdeka, negara ini justru masih dipaksa untuk menerima utang pemerintah kolonial yang jumlahnya mencapai 4,3 juta gulden[3]. Tragisnya, tanggungan utang Indonesia berasal dari biaya yang digunakan pemerintah kolonial untuk perang melawan perjuangan kemerdekaan.

Penyebab lain yang mempengaruhi kebijakan utang adalah diskursus ilmu pengetahuan. Seperti disinggung sebelumnya, utang yang dipahami sebagai bantuan lahir dari diskursus pengetahuan. Pengetahuan terbatas ini, terus menerus direproduksi, fatalnya digunakan sebagai pegangan dan pembenar oleh ekonom-ekonom dan para stakeholders pengambil kebijakan. Seperti yang disampaikan Heryanto[4] bahwa di negara kolonial dan paskakolonial seperti Indonesia, pengetahuan justru digunakan sebagai “…semacam alat untuk membantu proyek negara untuk memberikan pembenaran politik terhadap rasinonalisasi tindakan yang diambil…”. Praktek ini begitu berbahaya, karena sifat asli ilmu pengetahuan yang tidak pernah bebas dari nilai atau kepentingan justru dilupakan.

Praktek kotor ternyata juga digunakan kreditur untuk membujuk negara penerima utang. Praktek kotor ini diungkapan secara menarik oleh salah satu pelaku yakni John Perkins (bekerja di Dinar Pertahanan Amerika Serikat) melalui bukunya yang berjudul The New Confessions of an Economic Hit Man. John perkins merupakan agen khusus Amerika yang ditugaskan untuk membuat berbagai negara di dunia menerima tawaran utang. Perkins memerankan diri sebagai Preman Ekonomi atau Economic Hit Man (EHM)[5]. Strategi umum yang dia gunakan dimulai dengan iming-iming proyeksi tingginya laju pertumbuhan ekonomi. Perkins berupaya menjual proyeksi-proyeksi hasil analisanya yang cenderung melebih-lebihkan, daripada kenyataan yang sesungguhnya. Dia tidak bekerja sendiri, bersama dengan tim dia menyusun proyek yang tepat agar tawaran utang bisa terealisasi.

Praktek kotor ternyata juga digunakan kreditur untuk membujuk negara penerima utang. Praktek kotor ini diungkapan secara menarik oleh salah satu pelaku yakni John Perkins yang merupakan agen khusus Amerika yang ditugaskan untuk membuat berbagai negara di dunia menerima tawaran utang.

Sebenarnya Perkins dan tim bekerja untuk dua tujuan besar. Pertama, membenarkan utang luar negeri yang disediakan dalam bentuk proyek infrastruktur raksasa seperti pembangkit listrik kawasan industri atau pembangunan bandara. Proyek yang ditsetujui kemudian dikerjakan korporasi yang juga berasal dari Amerika, utang yang sebelumnya ditawarkan digunakan untuk membiayai pengerjaan produk ini. Sehingga, negara penerima utang hanya akan menerima hasil pembangunan proyek, tagihan utang dan bunga. Tujuan kedua ialah membuat negara yang terjerat utang menjadi terus menerus berhutang hingga mencapai titik kebangkrutan dan tidak mampu membayar. Negara yang tidak mampu membayar tidak lagi memiliki kekuatan tawar lagi kepada negara rentenir. Kondisi ini akan dimanfaatkan dengan baik untuk dikendalikan demi kepentingan ekonomi, politik dan militer. Misal, negara tersebut akan dikendalikan dalam pemungutan suara PBB untuk memperkuat posisi politik negara rentenir.

Agenda Neo-Kolonialisme (Motif Tersembunyi di Balik Utang Luar Negeri)

Dibalik niat besar untuk memaksakan utang terdapat motif besar yang tersembunyi. Meskipun terpisah-pisah motif pemberian utang ini akan selalu berkaitan satu dengan yang lain. Motif pertama adalah memperoleh keuntungan finansial, yang diperoleh lewat dua sumber yakni bunga utang dan hasil penjualan proyek yang dibiayai dari utang. Utang berbentuk proyek memberikan dua keuntungan bagi rentenirnya. Menurut bentuknya utang luar negeri terbagi menjadi tiga,yakni : uang, program dan proyek. Proyek ini lah yang sebelumnya dipaksakan oleh Perkins dan Preman Ekonomi yang lain agar diterima khususnya negara berkembang. Revrisond Baswir dalam diskusi Ekonomi Politik Utang Luar Negeri yang diselenggarakan Map Corner – Klub MKP UGM, Selasa 5 september 2017 lalu menunjukan data bahwa 90% utang luar negeri Indonesia ternyata berbentuk proyek[6].

Motif kedua yakni menjadikan negara penghutang sebagai pasar maupun penyangga sumber daya. Seperti yang dijelaskan Toussaint dan Millet, jebakan hutang merupakan agenda sistematis yang dilakukan negara atau lembaga multilateral rentenir untuk mengeksploitasi perekonomian negara lain. Utang digunakan sebagai instrument awal untuk menjalankan strategi sistematis tersebut[7]. Guna memperlancar upaya eksploitasi, negara atau lembaga rentenir memaksa pemerintah negara berkembang menjalankan agenda liberalisasi.

Indonesia kembali menjadi bukti nyata rekam jejak negara rentenir yang membuka berbagai macam proteksi ekonomi dalam negeri. Potret dapat dilacak mulai dari awal kejatuhan presiden Soekarno. Bersama dukungan Partai Komunis Indonesia (PKI), Soekarno berusaha melindungi perekonomian dalam negeri dari intervensi modal asing. Pasca tragedi berdarah pembantaian orang-orang kiri yang turut menyebabkan Soekarno jatuh, Soeharto mengambil alih pemerintahan melalui proses kudeta merangkak. Dalam hal penanaman modal Soeharto berkebalikan dengan regim sebelumnya. Soeharto menjadi yang pertama membuka kran penanaman modal asing melalui UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan menandai awal era liberalisasi. Tentu, tindakan Soeharto tidak terbebas dari pengaruh Amerika Serikat dan negeri Imperialis lain yang telah memberi bantuan hampir separuh lebih dari kebutuhan konsumsi dalam negeri[8]. Soeharto mewarisi krisis ekonomi yang disebabkan krisis pangan yang terjadi saat kepemimpinan soekarno. Sebagai sekutu barunya untuk melenyapkan pengaruh komunisme, tentu Amerika mnyokong kebutuhan Soeharto. UU PMA 1967 diibaratkan sebagai rasa terimakasih kala itu.

Liberalisasi masih terus berlanjut, meskipun terjadi pergantian pemain di perjalananya. Bagaimanapun kepemimpinan Soeharto dari 1968 hingga 1994, mengukir prestasi memukau dalam hal keberpihakanya pada investasi asing. Selama kurun waktu tersebut, berikut beberapa kebijakan pro investasi asing hasil pekerjaanya, diantaranya yakni :  UU No 68 tahun 1968 yang memperbolehkan tingkat investasi asing hingga 49%, Mei 1990 batas minimum investasi asing diturunkan dari minimal $1 juta menjadi $250 ribu lewat Peraturan Pemerintah, tahun 1993 dikeluarkan Paket Deregulasi untuk menarik investasi (Pakto 1993), dan lewat PP No 20 tahun 1994 kepemilikan atas sector strategis oleh asing dinaikan hingga tingkat 95%.

Menjelang krisis ekonomi 1997/1998 lembaga keuangan multilateral seperti IMF, ADB, Bank Dunia mulai merangsek untuk mengambil peran lebih besar guna memicu liberalisasi tahap selanjutnya. Bahkan, Pakar ekonomi Andrianof Chaniago[9] mengatakan ketiga lembaga tersebut bertindak sebagai penganjur yang berlebihan  (provokator) kepada Indonesia agar melakukan Liberalisasi dan Privatisasi radikal. Terutama IMF melalui berbagai Letter of Intent (LoI) yang dipaksakan ke pemerintah. Setidaknya dalam kurun waktu dua tahun, mulai 1997 hingga 1999, IMF dengan pemerintah Indonesia telah menyepakati 12 LoI. Seperti yang diketahui, pokok dari 12 LoI tersebut berisi tentang berbagai macam upaya yang semakin mempermudah Investasi asing masuk. Seperti kesepakatan tentang perluasan sektor yang dapat dimasuki asing, menghapus hambatan investasi asing, mendukung penuh program privatisasi, menghapus batasan kepemilikan asing dalam bank pemerintah, dll. [10]

Hasil dari permainan IMF dan kawan-kawannya membuahkan dua kebijakan penanaman modal yang mematikan. Diawali dengan UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menggantikan UU PMDN tahun 1968 dan UUPMA Tahun 1967. UU Tahun 2007 memiliki tiga point penting yakni: Pertama, merevisi kebijakan sebelumnya yang dinilai memiliki banyak kelemahan, seperti ketidak pastian hukum. Kedua, menyamaratakan ketentuan hukum antara investor asing dan domestik. Ketiga, melindungi investasi asing dari nasionalisasi dan pengambillihan, serta memberikan hak kepada investor asing untuk menggunakan mekanisme arbitase internasional guna menyelesaikan persengketaan dengan pemerintah indonesia. Selanjutnya Tahun 2009, liberalisasi mulai merambah ranah pertambangan, pembatasan investor asing dihilangkan. Pada sektor Infrastruktur listrik, modal asing diperbolehkan untuk menanamkan investasi baru[11]. Kerusakan alam Indonesia menjadi konsekuensi paling kasat mata dari tragedi ini.

Motif ketiga yang juga menjadi efek dari motif kedua yakni penyebaran Ideologi. Proses penetrasi liberalisasi yang dilakukan turut serta menanamkan nilai-nilai kapitalisme dan liberalisme. Paham tentang efektifitas dan efisiensi ekonomi pasar digunakan sebagai argument yang membenarkan perlunya liberalisasi. Diskursus ilmu pengetahuan lagi-lagi juga memberikan sumbangsihnya dalam hal ini. Dijejalilah negara penerima utang dengan berbagai pengetahuan yang memihak pada kepentingan kapital. Alhasil terbangun sebuah paradigma yang mengakar kokoh dalam pandangan birokrat-birokrat negara. Menurut Erler[12], Utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh negara pemberi hutang sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme-neoliberal ke seluruh penjuru dunia.

Neo-Kolonialisme digambarkan sebagai kolonialisme tertruktur yang dilakukan negara-negara bekas penjajah. Pola terstruktur menjadi titik tekan kondisi ini, sebab Imperialisme tidak lagi dilakukan lewat penaklukan langsung menggunakan kekuatan militer.

Motif keempat, ULN ini digunakan untuk membuat negara berkembang bangkrut. Gelontoran utang akan terus-menerus dialirkan hingga negara penerima utang tidak lagi mampu membayar hutangnya. Kombinasi antara utang yang terus menerus masuk dan rendahnya pendapatan, akan menyeret negara penerima pada kondisi kebangkrutan dan memang kondisi ini yang diharapkan. Pada posisi demikian negara penerima hutang hanya memiliki nilai tawar yang rendah, setara dengan budak. Jika yang diinginkan melalui utang luar negeri adalah kondisi yang seperti demikian maka kondisi ini tidak ubahnya seperti penjajahan gaya baru (neo-kolonialisme dan neo-imperialisme).

Neokoloniaslime menjadi isitilah yang pertama kali dipopulerkan presiden Ghana, Kwame Nkrumah melalui bukunya Neo-Colonialism : The last State of Imperealism. Neo-Kolonialisme digambarkan sebagai kolonialisme tertruktur yang dilakukan negara-negara bekas penjajah. Pola terstruktur menjadi titik tekan kondisi ini, sebab Imperialisme tidak lagi dilakukan lewat penaklukan langsung menggunakan kekuatan militer. Dengan model yang sistematis Neo-Kolonialisme menggunakan hegemoni ekonomi baik melalui skema hubungan bilateral atau melalui lembaga multinasional. Bahkan, Neo Kolonialisme dianggab oleh Kwane sebagai model paling kejam dari praktek imperialisme yang pernah ada, menurutnya ini merupakan puncak dari imperialisme.[13]

Tentu tidak ada negara yang ingin berada dibawah cengkraman imperialisme, akan tetapi negara bekas penjajah menjadi rentenir memiliki berbagai macam metode pemaksaan utang. Salah satunya menggunakan agen EHM seperti yang telah dijelaskan, EHM menjadi senjata tahap pertama. Apabila tahap pertama gagal, organisasi  intelligent setingkat CIA yang akan melanjutkan tugas EHM. CIA bekerja dengan rapi merekayasa kejadian sosial dengan memunculkan berbagai demonstrasi yang memicu ketidakstabilan politik Negara atau dengan melakukan perencanaan pembunuhan terhadap tokoh yang dinilai berseberangan, atau dengan cara khas intelijen lainya. Hingga akhirnya ketika negara tersebut runtuh atau melunak, negara kreditur akan datang ibarat pahlawan. Jika tahap pertama dan kedua tetap gagal, maka hanya tersisa pilihan terakhir yakni lewat invasi militer, serangan terhadap Irak menjadi bukti pelaksanaan pilihan terakhir dari metode ini[14].

Titik Nadir Indonesia dan Revolusi Sebagai Jalan Tunggal

Kondisi keuangan Indoneisa dengan berbagai gempuran ULN kini telah sampai di titik nadir. Empat motif ULN sudah terlaksana di Indonesia, termasuk motif terkahir yang tengah menyeret Indonesia menjadi negara budak. Dapat dilihat dalam tabel yang disusun Revrisond Baswir dibawah, mulai periode tahun 1984-1988 selisih transfer utang luar negeri Indonesia mengalami deficit hingga $ 0,36 milliar. Kondisi tersebut bermakna bahwa sejak tahun 1984 untuk membayar bunga hutang saja, Indonesia memerlukan hutang lagi sebesar $ 0,36 milliar. Kondisi ini terus bertahan dan jumlahnya kian bertambah hingga selisih uutang mencapai $22,86 milliar di tahun periode 2004-2008.

Tabel 01. Jumlah Serta Cicilan Pokok Dan Bunga ULN Pemerintah, 1969 – 2008 (milyar dollar)[15]

Sehingga, jikalau utang luar negeri yang diterima selama ini adalah praktek dari neo-kolonialisme maka hanya ada satu jalan yang dapat ditempuh yakni “Revolusi”. Saran yang juga disampaikan Revrisond dirasa menjadi realistis melihat tidak ada lagi alternatif lain untuk keluar dari jerat hutang. Pajak progresif sempat menjadi usulan dalam diskusi[16]. Memang benar dengan pajak progresif dapat spesifik menyasar 1 % kelompok masyarakat yang menguasai separuh kekayaan Indonesia, seperti yang dilaporkan majalah Tempo[17]. Untuk saat ini batas atas pengenaan pajak penghasilan pribadi menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2008 hanya mencapai 30% bagi masyarakat dengan penghasilan diatas 500 juta rupiah. Mekanisme ini akan menguntungkan masyarakat dengan penghasilan diatas 500 juta. Tarif 30% tersebut tentunya tidak memberikan sumbangsih besar bagi pendapatan negara untuk membayar utang. Akan tetapi tidak cukup hanya dengan memberlakukan pajak progresif untuk menghentikan laju invasi neo-kolonialisme. Pajak progresif lebih tepat disiapkan untuk membangun perekonomian dalam negeri. Sedangkan untuk jerat utang, jalan menuju revolusi perlu mulai dipikirkan mulai saat ini. Seperti misal dengan berupaya membangun blok bersama negara-negara yang selama ini juga dibangkrutkan oleh politik utang, guna melawan negara dan lembaga rentenir. ****

 

[1] Perkins, J. (2016). The New Confessions of an Economic Hit Man. Berrett-Koehler Publishers.

[2] Lihat Baswir, R. (2017). Ekonomi Politik ULN Pemerintah. Materi Diskusi “Ekonomi Politik Utang Luar Negeri” MAP Corner-Klub MKP, Selasa 5 September 2017.

[3] Habibi, M. (2016). Surplus Pekerja Di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi, Dan Proletariat Informal Di Indonesia Sejak 1980an. Tangerang: Marjin Kiri

[4] Heryanto. A (2006). “Kiblat dan Beban Ideologis Ilmu Sosial Indeonesia. Dalam Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Hadiz, V dan Dhakidae, D (ed). Jakarta: Equinox Publishing Indonesia

[5] Perkins, Loc. Cit.

[6] Baswir, Loc. Cit.

[7] Toussaint, E., & Millet, D. (2010). Debt, the IMF, and the World Bank: sixty questions, sixty answers. NYU Press.

[8] Habibi, Loc. Cit.

[9] Chaniago. A. (2012). Gagalnya Pembangunan : Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru. LP3ES. Jakarta

[10] Hadi, S., Daeng, S., Afrimadona, S. D., Pratiwi, E., & Nataprawira, I. (2012). Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia. Indonesia Berdikari. Jakarta.

[11] ibid

[12] Bawir, Loc. Cit.

[13] Putranto, I. E. (2011). Dekonstruksi Identitas (Neo) Kolonial: Sebuah Agenda Teologi Postkolonial. MELINTAS, 27(3).

[14] Perkins, Loc. Cit.

[15] Bawir, Loc. Cit.

[16] Usul peserta bernama Joko Susilo saat diskusi MAP Corner Klub MKP UGM, 05 September 2017 di Pojok Lobby MAP UGM.

[17]  Tempo, (2017). Indonesia Tanah Air Siapa. Liputan kusus edisi 26 maret 2017

Leave a Reply